Aroma pengharum ruangan jasmine menyeruak ke di indra penciuman Audrey kala Audrey memasuki apartemen pribadi miliknya. Apartemen mewah dengan design klasik. Nuansa hitam dan abu-abu sangatlah teduh dan nyaman di mata.Audrey meletakan koper besar miliknya ke sudut ruangan. Lantas, Audrey duduk di sofa kamarnya seraya memejamkan mata lelah. Sungguh, Audrey terkadang tak menyangka harus kembali ke apartemen miliknya. Tapi, Audrey tak menyesali apa yang telah terjadi. Semua orang memiliki masa lalu. Andai saja tak ada hal seperti ini; maka Audrey akan terus memaksakan kehendaknya.Suara dering ponsel berbunyi. Refleks, Audrey mengambil ponselnya yang ada di dalam tas dan melihat ke layar—seketika Audrey terdiam melihat nomor Dakota—sepupunya terpampang di layar ponselnya. Audrey hendak mengabaikan panggilan itu tapi Audrey tak enak. Audrey takut kalau ada yang ingin Dakota katakan penting padanya.Kini Audrey pun memilih menggeser tombol hijau sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“
Xander memejamkan mata singkat dengan raut wajah begitu frustrasi. Beberapa kali, pria itu mengumpat kasar. Tak pernah Xander kalau kepergian Audrey membuatnya kosong dan hampa. Baru saja satu hari Audrey pergi tapi Xander sudah merasakan kehampaan.Setiap kali, Xander melihat ke kamar—pria itu selalu ingin mencari kebradaan Audrey. Senyuman hangat dan tulus Audrey selalu menyambut dirinya. Sekarang, senyuman itu telah lenyap tak lagi bisa Xander lihat.Xander tak mengerti ada apa dengan dirinya. Harusnya dia senang karena apa yang selama ini diinginkannya telah menjadi kenyataan. Xander tak perlu menunggu satu bulan untuk menceraikan Audrey. Karena sekarang, Audrey pun sudah melepasnya. Audrey tak lagi memaksakan hubungan mereka lagi.Namun, entah kenapa hati Xander menjadi sesak dan tak nyaman. Xander seperti merasa masuk ke dalam dunia mimpi. Dan ketika dia sadar—semua yang terjadi padanya bukanlah mimpi melainkan sebuah kenyataan.“Tuan Xander?” sang pelayan melangkah menghampiri
“Audrey, kau mau ke mana?” Dakota bertanya pada Audrey yang baru saja selesai bersiap-siap. Ya, sejak kemarin Dakota menginap di apartemen Audrey. Dakota tak bisa meninggalkan Audrey dalam keadaan seperti ini. Dakota takut terjadi sesuatu pada sepupunya itu.“Aku ingin ke depan sebentar, Dakota,” jawab Audrey pelan seraya memberikan senyuman hangat pada Dakota.Dakota menghela napas dalam. “Apa kau ingin menemui Xander?” tanyanya menduga.Pasalnya kejadian di mana kemarin Dakota memberitahu tentang vitamin yang Audrey konsumsi selama ini adalah pill penunda kehamilan, itu membuat Audrey lebih banyak diam. Pun Dakota tak ingin menyinggung-nyinggung lebih dalam. Bagaimanapun, Dakota tak ingin sepupunya semakin bersedih mengingat hal buruk.Audrey tersenyum berusaha untuk menguatkan diri. “Iya, jam tanganku ternyata tertinggal di apartemen Xander. Aku harus mengambilnya, Dakota.”“Apa kau ingin aku temani?” tawar Dakota yang tak tega membiarkan Audrey berangkat seorang diri.“Tidak usah,
Xander duduk di kursi kebesarannya dengan raut wajah begitu frustrasi. Dasi sudah longgar di lehernya. Wajah kusut. Rambut yang sedikit acak. Ini pertama kali Xander berpenampilan tak rapi.Pagi ini Xander lebih awal datang ke kantor. Meski raganya ada di kantor tapi Xander tak menyentuh pekerjaannya sedikit pun. Semua meeting dan pekerjaan diurus oleh asistennya. Pikiran kacau, Xander tak bisa mengerjakan pekerjaannya.Ya, berita tentang perceraian Xander dan Audrey telah tersebar di seluruh media. Berita itu berhasil menjadi trending topic menyita seluruh perhatian publik. Selama ini di hadapan media hubungan Xander dan Audrey begitu harmonis. Tak sesekali Audrey memposting fotonya berdua dengan Xander di sosial media.Banyak orang kerap menganggap Xander dan Aurey adalah ‘Couple Goals’. Meski foto kemesraan hanya ada di postingan sosial media Audrey tidak pada sosial media Xander, tapi publik tetap menilai hubungan Xander dan Audrey romantis. Sayangnya, apa yang ditampilkan di hada
Beberapa hari telah berlalu, Audrey menjalani kehidupannya berusaha normal seperti biasa. Hingga detik ini, Audrey belum datang ke kantornya. Bukan tidak mau, tapi Audrey menuruti permintaan ayah dan ibunya yang memintanya untuk tetap tinggal di apartemen. Kedua orang tua Audrey menginginkan Audrey untuk menenangkan diri dan tidak memikirkan pekerjaan sampai proses perceraiannya dengan Xander selesai.Tak pernah Audrey kira, dirinya mampu melewati hari-hari tanpa Xander. Walau hati Audrey begitu sakit dan sesak tapi paling tidak Audrey bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Xander. Bertahan memang hal yang sulit tapi bukan berarti tidak mungkin.Dulu, setiap hari Audrey yang selalu menghubungi Xander. Bahkan meski Xander menolak panggilannya atau mengabaikan teleponnya, Audrey akan tetap menghubungi Xander melalui asisten pria itu.Audrey telah berjanji pada Xander tidak lagi mengganggunya. Pun Audrey tidak mau mengusik kebahagiaan Xander dan Serry. Sudah cukup keegoisannya membuat
Ruang kerja Xander nampak sangat berantakan. Jika biasanya Xander terkenal dengan selalu tertata rapi, kali ini berbeda. Wajah pun nampak sangat kusut. Layaknya memiliki masalah terberat dalam hidupnya.Xander yang harusnya bahagia, malah kini hidupnya menjadi tidaklah tenang.“Shit!” Xander melempar dokumen yang ada di tangannya ke atas meja.Berkali-kali Xander memaksa untuk otaknya memikirkan pekerjaan. Tapi hasilnya nihil. Bayang-bayang Audrey tak bisa lepas dari pikirannya. Yang tak bisa Xander lupakan adalah tangis Audrey dan perkataan Audrey yang tidak lagi mengganggunya. Semua itu benar-benar mengusik pikiran dan hati Xander hingga membuatnya tak bisa melakukan apa pun.Xander menarik dasinya yang sudah tak tertata rapi di lehernya. Lantas, pria itu mengambil ponselnya—dan menatap ke layar. Seketika Xander terdiam melihat layar ponselnya tak lagi ada panggilan telepon dan pesan masuk dari Audrey. Xander mengingat, dulu Audrey sering sekali menghubunginya dan mengirimkan pesan
“Audrey, katakan padaku siapa pria yang menyelamatkanmu tadi? Apa dia adalah pria yang dekat denganmu saat ini?” Dakota menatap Audrey dengan rasa penasaran.Sejak tadi Dakota memikirkan siapa pria yang menyelamatkan sepupunya itu dari kerumunan para wartawan. Seingat Dakota, selama ini Audrey tak memiliki teman pria. Kalaupuna ada pasti hanyalah rekan bisnis saja.“Jangan berbicara sembarangan, Dakota. Pria yang menolongku adalah Dylan. Dia teman baik Xander,” jawab Audrey memberitahu.“Teman baik Xander?” Kening Dakota mengerut, menatap bingung sekaligus terkejut. “Iya, Dylan adalah teman baik Xander di kuliah dulu,” jawab Audrey.Dakota terdiam sejenak mendengar apa yang dikatakan oleh Audrey. Padahal Dakota berharap pria yang menolong Audrey adalah pria yang dekat dengan Audrey. Tapi ternyata pria yang menolong Audrey adalah teman kuliah Xander.Hingga detik ini, Dakota tidak tahu wanita yang sekarang menjalin hubungan dengan Xander. Walau Dakota begitu penasaran namun tetap Dako
Audrey nyaris tak mampu merangkai kata. Mata Audrey melebar. Tatapannya menatap tak mengerti Xander. “Aku tidak—”“Audrey! Jangan berbohong!” bentak Xander keras.Mata Audrey mulai berkaca-kaca kala Xander membentaknya. Bahkan Xander tidak mau sama sekali mendengar penjelasannya. “Kau benar. Aku memiliki janji bertemu dengan Dylan. Memangnya kenapa, Xander? Aku dan kau sebentar lagi akan bercerai. Kau tidak berhak melarangku bertemu dengan pria lain,” jawabnya dengan nada bergetar menahan air mata.Kilat mata cokelat Xander menajam. Amarah dan emosi begitu melahap menguasai dirinya. Xander menangkup kasar kedua pipi Audrey. “Kau istriku, Audrey! Kau masih istirku!” tegasnya menekankan.“T-tapi kita akan bercerai, Xander.” Audrey meringis kala Xander mencengkram kuat rahangnya. Sayangnya, rintihan sakit itu tak dipedulikan sama sekali oleh Xander.Xander menggeram penuh emosi. “Persetan dengan perceraian kita, Audrey! Sekarang kau masih istriku!”“Xander, kau tidak bisa—” Audrey tak ma
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k