“Daddy ingin pergi ke mana?” Rikkard yang baru saja bangun tidur, menatap Xander yang sudah rapi seperti ingin pergi. Bocah laki-laki itu mengerjapkan mata beberapa kali, tatapannya begitu polos hingga mampu menyihir semua orang yang ada di sana. “Sayang, Daddy-mu harus pulang ke rumahnya.” Audrey yang ada di samping Rikkard memberikan pengertian pada Rikkard. Pasalnya, tak mungkin Xander bermalam lagi di sini. Lebih tepatnya, Audrey tak ingin Xander bermalam di apartemennya lagi. Sudah cukup satu malam saja! Audrey tak tenang jika Xander berada di apartemennya. “Kenapa kita tinggal terpisah?! Daddy dan Mommy harus tinggal di tempat yang sama. Tidak boleh terpisah!” Rikkard ngamuk mendengar ucapan Audrey. Bocah laki-laki itu menggulingkan badannya ke lantai seraya berteriak-teriak tak mau tinggal berpisah dengan sang ayah. “Rikkard, jangan seperti itu, Nak.” Audrey hendak menggendong Rikkard, namun Xander lebih dulu menggendong Rikkrad. Audrey tak bisa berbuat apa pun kalau Rikkard
“Xander?” Jantung Audrey nyaris berhenti melihat Xander berada di hadapannya. Kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran melingkupi dirinya. Jika Xander berhasil masuk ke dalam, artinya penjaga di depan berhasil dilumpuhkan. Sejak Audrey bercerai dengan Xander, ayahnya melarang Xander menginjakan kaki ke mansion keluarganya.“Kau—” Athes bangkit berdiri, mentap Xander penuh amarah. Sorot mata Athes begitu tajam layaknya ingin membunuh Xander. Miranda yang ada di samping Athes, buru-buru memeluk erat lengan Athes. Miranda tak mau sampai Athes main hakim sendiri.“Aku sudah tahu tentang Rikkard. Tujuanku ke sini karena aku ingin menikahi putrimu lagi. Aku tahu kau membenciku atas apa yang telah aku lakukan di masa lalu. Tapi aku menyadari semua kesalahanku. Aku berjanji akan menebus kesalahanku. Aku mohon maafkan aku,” ujar Xander berkata lantang, jantan, dan matang.Raut wajah Athes berubah mendengar ucapan Xander. Pria paruh baya itu melirik Audrey yang menunduk tak berani menatapnya. Rah
Aroma soup membuat Audrey yang tertidur pulas langsung mengerjapkan mata, menandakan akan segera terbangun dari tidur pulasnya. Bulu mata lentik Audrey bergerak-gerak beirama dengan pelupuknya. Perlahan, ketika mata Audrey sudah terbuka, matanya menyipit melihat kamar maskulin yang tak asing di matanya.“Selamat sore, Nyonya Audrey. Silahkan di makan soup-nya,” sapa sang pelayan sopan kala Audrey sudah membuka mata.Audrey memijat tengkuk lehernya. Tubuhnya terasa sedikit pegal dan sangat lelah. Namun, ingatan wanita itu nampaknya belum sepenuhnya ingat. “Aku di mana?” tanyanya seraya menahan ringisan perih di inti tubuh bagian bawahnya.“Nyonya, Anda di penthouse Tuan Xander,” jawab sang pelayan sopan—dan seketika itu juga membuat Audrey terdiam. Tak bisa mengatakan sepatah kata pun. Manik mata abu-abu Audrey memendung sebuah amarah tertahan. Kepingan memori pun mulai tertata di otak Audrey layaknya puzzle yang telah tersusun. Raut wajah Audrey memerah menahan emosi yang ingin meled
Jarum jam dinding menunjukan pukul 7 malam. Audrey masih tetap berada di penthouse Xander bersama dengan Rikkard. Terpaksa, Audrey masih tetap berada di penthouse Xander karena Audrey malas bertengkar dengan Xander. Lebih baik mengalah sebentar demi kebaikan. Selain itu, Audrey pun tak tega merusak kebahagiaan Rikkard. Yang selalu membuat Audrey menyingkirkan egonya adalah Rikkard.Kini Audrey berada di ruang bermain Rikkard, menemani Rikkard yang tengah bermain dengan robot-robotan. Entah, Xander ada di mana. Mungkin Xander berada di ruang kerjanya karena tak ingin membuat amarah Audrey terpancing. Mengingat tadi sore mereka berdebat.Suara dering ponsel terdengar, membuyarkan lamunan Audrey. Refleks, Audrey mengambil ponselnya, dan menatap ke layar tertera nama Dakota di saja. Beberapa detik, Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin pasti Dakota panik Rikkard tak ada. Tanpa menunggu lama, Audrey segera menjawab panggilan itu.“Hallo, Dakota?” jawab Audrey kala panggilan terhubung.
Tanpa terasa, sudah lebih dari satu minggu Audrey tinggal di penthouse Xander bersama dengan Rikkard. Selama tinggal dengan Xander, Audrey selalu membuatkan sarapan ataupun makan malam. Pasalnya, Rikkard bisa makan lahap kalau dirinya yang memasak. Bukan hanya Rikkard saja yang lahap makan, tapi Xander pun juga bisa lahap makan setiap kali Audrey yang membuatkan makanan.Sungguh, Audrey tak pernah menyangka akan berada di titik sekarang ini. Titik di mana, Audrey menyiapkan makanan untuk Xander dan Rikkard. Andai saja, Xander tak pernah memberikan luka sedalam ini, maka mungkin saja sekarang Audrey bersama dengan Xander dan Rikkard akan menjadi keluarga yang bahagia.Luka yang Audrey dapatkan terlalu menyakitkan. Meski demikian, Audrey telah memaafkan apa yang Xander lakukan. Memaafkan bukan berarti memberikan kesempatan kedua untuk Xander. Tidak! Audrey telah berjuang susah payah melewati jalanan penuh paku. Tak mungkin Aurey kembali ke masa lalu yang telah menghancurkan dirinya.Mem
“Selamat pagi, Tuan. Saya Tina, asisten Nyonya Audrey Russel. Maaf Anda mencari siapa, Tuan?” Tina—asisten pribadi Audrey baru saja hendak menuju ruang kerja Audrey. Namun langkahnya terhenti melihat sosok pria tampan dengan pakaian formal kantor. Sebelumnya Tina sudah mendapatkan kabar dari Audrey kalau Audrey akan ke kantor. Itu kenapa Tina hendak menyiapkan ruang kerja Audrey, memastikan di ruang kerja Audrey tak ada hal yang kurang.“Hi, aku Frank Ewald. Aku ke sini karena memiliki janji bertemu dengan Audrey,” ujar Frank memberitahu Tina dengan suara tenang dan tersirat tigas.“Ah, Anda sudah memiliki janji bertemu dengan Nyonya Audrey?” ulang Tina memastikan. Pasalnya tadi Audrey tak meninggalkan pesan apa pun padanya. Yang Tina tahu Audrey hanya akan datang ke kantor. Audrey tak bilang pada Tina kalau memiliki janji bertemu dengan seseorang. Mungkin saja Audrey lupa menyampaikan. Itu yang ada di dalam pikiran Tina saat ini.Frank menganggukan kepalanya. “Iya, aku sudah memiliki
“Tuan, kondisi Nyonya Audrey baik-baik saja. Kandungannya pun berhasil diselamatkan. Beruntung Anda membawa istri Anda tepat waktu. Kalau saja Anda terlambat sedikit saja, besar kemungkinan janin yang ada di kandungan Nyonya Audrey tidak bisa selamat akibat terlalu banyak menghirup asap dari api.”Tubuh Xander mematung mendengar semua yang sang dokter katakan. Ritme debaran jantungnya berpacu lebih cepat. Manik mata cokelat gelap Xander menunjukan banyaknya rasa yang muncul dalam benak dan hatinya. Bahagia dan bingung bercampur menjadi satu.“H-hamil? Istriku hamil?” ulang Xander memastikan. Tentu Xander yakin anak yang ada di kandungan Audrey adalah anaknya, tapi Xander tak menyangka belum juga satu bulan dirinya dan Audrey bertemu, sudah bisa membuat istrinya hamil.“Maaf, Tuan, apa Anda tidak tahu istri Anda hamil?” ujar sang dokter seraya menatap lekat Xander.Xander menggeleng. “Aku dan istriku sudah lama tidak bertemu. Kami belum sampai satu bulan bertemu. Apa proses kehamilan b
Jemari lentik Audrey mulai bergerak-gerak bersamaan dengan pelupuk matanya. Perlahan, ketika mata Audrey sudah terbuka, wanita itu menangkap cahaya putih. Aroma khas rumah sakit membuat otak Audrey detik itu juga bekerja seolah menggali memori. Mata Audrey menyipit kala sudah terbuka sempurna. Rasa pusing di kepalanya menyerang membuatnya meringis menahan rasa sakit.“Sayang? Akhirnya kau sadar.” Miranda memeluk putrinya, dan memberikan kecupan di pipi putrinya itu. Rasa cemas di hati Miranda mulai membaik melihat Audrey sudah siuman. Athes yang ada di sana pun langsung mengecup kening Audrey. Hati Athes tenang karena putrinya sudah sadar.“Kami senang kau sudah siuman, Sayang.” Marco dan Angela yang ada di sana pun memberikan pelukan bergantian pada Audrey.“Pa? Ma? Dad? Mom? Kalian semua di sini?” Audrey menatap bingung kedua orang tuanya serta Marco dan Angela. “Kenapa aku di rumah sakit?” tanyanya yang masih belum mengingat apa pun. “Kau tidak ingat kejadian yang menimpamu, Say
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k