“Selamat pagi, Tuan. Saya Tina, asisten Nyonya Audrey Russel. Maaf Anda mencari siapa, Tuan?” Tina—asisten pribadi Audrey baru saja hendak menuju ruang kerja Audrey. Namun langkahnya terhenti melihat sosok pria tampan dengan pakaian formal kantor. Sebelumnya Tina sudah mendapatkan kabar dari Audrey kalau Audrey akan ke kantor. Itu kenapa Tina hendak menyiapkan ruang kerja Audrey, memastikan di ruang kerja Audrey tak ada hal yang kurang.“Hi, aku Frank Ewald. Aku ke sini karena memiliki janji bertemu dengan Audrey,” ujar Frank memberitahu Tina dengan suara tenang dan tersirat tigas.“Ah, Anda sudah memiliki janji bertemu dengan Nyonya Audrey?” ulang Tina memastikan. Pasalnya tadi Audrey tak meninggalkan pesan apa pun padanya. Yang Tina tahu Audrey hanya akan datang ke kantor. Audrey tak bilang pada Tina kalau memiliki janji bertemu dengan seseorang. Mungkin saja Audrey lupa menyampaikan. Itu yang ada di dalam pikiran Tina saat ini.Frank menganggukan kepalanya. “Iya, aku sudah memiliki
“Tuan, kondisi Nyonya Audrey baik-baik saja. Kandungannya pun berhasil diselamatkan. Beruntung Anda membawa istri Anda tepat waktu. Kalau saja Anda terlambat sedikit saja, besar kemungkinan janin yang ada di kandungan Nyonya Audrey tidak bisa selamat akibat terlalu banyak menghirup asap dari api.”Tubuh Xander mematung mendengar semua yang sang dokter katakan. Ritme debaran jantungnya berpacu lebih cepat. Manik mata cokelat gelap Xander menunjukan banyaknya rasa yang muncul dalam benak dan hatinya. Bahagia dan bingung bercampur menjadi satu.“H-hamil? Istriku hamil?” ulang Xander memastikan. Tentu Xander yakin anak yang ada di kandungan Audrey adalah anaknya, tapi Xander tak menyangka belum juga satu bulan dirinya dan Audrey bertemu, sudah bisa membuat istrinya hamil.“Maaf, Tuan, apa Anda tidak tahu istri Anda hamil?” ujar sang dokter seraya menatap lekat Xander.Xander menggeleng. “Aku dan istriku sudah lama tidak bertemu. Kami belum sampai satu bulan bertemu. Apa proses kehamilan b
Jemari lentik Audrey mulai bergerak-gerak bersamaan dengan pelupuk matanya. Perlahan, ketika mata Audrey sudah terbuka, wanita itu menangkap cahaya putih. Aroma khas rumah sakit membuat otak Audrey detik itu juga bekerja seolah menggali memori. Mata Audrey menyipit kala sudah terbuka sempurna. Rasa pusing di kepalanya menyerang membuatnya meringis menahan rasa sakit.“Sayang? Akhirnya kau sadar.” Miranda memeluk putrinya, dan memberikan kecupan di pipi putrinya itu. Rasa cemas di hati Miranda mulai membaik melihat Audrey sudah siuman. Athes yang ada di sana pun langsung mengecup kening Audrey. Hati Athes tenang karena putrinya sudah sadar.“Kami senang kau sudah siuman, Sayang.” Marco dan Angela yang ada di sana pun memberikan pelukan bergantian pada Audrey.“Pa? Ma? Dad? Mom? Kalian semua di sini?” Audrey menatap bingung kedua orang tuanya serta Marco dan Angela. “Kenapa aku di rumah sakit?” tanyanya yang masih belum mengingat apa pun. “Kau tidak ingat kejadian yang menimpamu, Say
Suara makian Audrey begitu keras pada Xander yang berdiri di hadapannya. Wanita itu memukul-mukul dada bidang Xander sekuat tenaga. Tampak jelas amarah Audrey begitu membakar dan tak bisa terkendali. Makian dan umpatan terus lolos di bibir Audrey. Emosi dalam diri benar-benar telah tersulut kala mengingat jenis obat yang diminumnya adalah obat penguat kandungan. Segala rasa campur aduk dalam hatinya membuat dirinya tak bisa memadamkan api kemarahan.“Audrey, tenangkan dirimu.” Xander menangkap kedua tangan Audrey dengan satu tangannya, berusaha membuat Audrey untuk mengendalikan dirinya.“Jawab aku! Obat apa itu, Sialan!” teriak Audrey dengan mata memerah menahan air mata.Xander mengembuskan napas panjang seraya memejamkan mata lelah. Xander memiliki alasan khusus kenapa tidak langsung memberitahukan Audrey tentang kehamilan wanita itu. Salah satu alasannya, Xander yakin kalau Audrey pasti mengamuk. Dan terbukti dugaan Xander menjadi kenyataan.“Audrey, dengarkan aku dulu.” Xander me
“Mommy.” Rikkard melompat kegirangan kala melihat Audrey masuk ke dalam ruang bermainnya. Bocah laki-laki itu nampak senang Audrey datang. Dua pengasuh Rikkard yang ada di sana pun langsung menundukan kepalanya ketika Audrey datang.“Sayang.” Audrey memeluk Rikkard dan memberikan kecupan di pipi bulat Rikkard.“Mommy! Look at my new cars!” pekik Rikkard seraya menunjukan tiga mobil kecil yang bisa dia naiki. Meski mobil berukuran mini, tapi begitu elegan. Tak tanggung-tanggung, Rikkard sampai memiliki tiga mobil mini berwarna hitam, putih, dan navy.Audrey menghela napas dalam. “Rikkard, kau sudah memiliki dua mobil seperti ini di Tokyo. Kau sudah memiliki banyak sekali mainan, Rikkard.”“No, Mommy. Ini mobil jenis berbeda. Daddy yang membelikannya untukku. Daddy bilang dia juga akan membelikanku real cruise ship. Daddy loves me, Mommy,” jawab Rikkard begitu bangga pada Xander.“Rikkard. Mommy bukannya melarang, tapi Mommy sudah berkali-kali bilang padamu jangan membuang-buang uang, N
Audrey menggeliat seraya membuka matanya kala merasakan ada yang menyentuh wajahnya. Sayup-sayup ketika mata Audrey terbuka, tatapan Audrey menatap Xander yang memberikan kecupan bertubi-tubi di bibirnya. Audrey tak bisa menolak. Yang dia bisa lakukan hanya membiarkan Xander kala pria itu mencium bibirnya dengan penuh kelembutan. “Kau sudah bangun, hm?” Xander membelai pipi Audrey lembut dan hangat.Audrey tersenyum malu tapi tetap tersirat kesal. Yang membuat Audrey kesal adalah ketika dirinya mengingat kejadian tadi. Kejadian di mana pergulatan panas setelah perdebatan. Sungguh, Audrey tak menyangka akan sampai melakukan hal itu lagi dengan Xander. Ah! Benar-benar memalukan! Bibirnya selalu berkata tidak tapi malah tubuhnya selalu merespon setiap sentuhan Xander. Audrey mengakui dinding kebencian yang dia bangun sangatlah tipis. Cintanya pada Xander terlalu besar lebih dari rasa marahnya. Xander menyapukan hidungnya ke hidung Audrey. Senyuman malu-malu Audrey itu sangatlah menggem
Xander dan Audrey harus merelakan putra kecil mereka dibawa oleh Marco dan Angela. Baik Marco dan Angela merasa tak puas jika hanya bertemu dengan Rikkard satu hari saja. Menjadi cucu pertama di keluarga Foster, tentu membuat Rikkard layaknya anak emas yang sangat disayangi. Xena—adik bungsu Xander yang terkenal centil itu pun begitu menyayangi Rikkard.“Xander, tadi aku lihat Daddy dan Mommy bahagia sekali melihat Rikkard.” Audrey berucap seraya menyandarkan kepalanya di dada bidang Xander. Sepulang Marco, Angela, dan Xena; Audrey dan Xander masih duduk di sofa ruang keluarga. Mereka menikmati waktu bersantai mereka sejenak.Xander mengecup kening Audrey. “Orang tuaku sudah sejak lama menginginkan cucu. Jadi wajar kalau orang tuaku senang sekali melihat putra kita.”Audrey mendongakan kepalanya dari dalam pelukan Xander, menatap pria itu dengan tatapan hangat. “Tadi Xena juga sangat pintar mendekati Rikkard. Xena berhasil membuat Rikkard menyukainya. Aku benar-benar beruntung, memili
Audrey memilih untuk mengubur dalam masa lalunya. Hal-hal menyakitkan dulu, tak ingin lagi Audrey mengingatnya. Memang tak mudah untuk melupakan segalanya, tapi sesuatu hal akan bisa terasa mudah jika mau mencoba. Seperti Audrey yang memilih untuk terus mencoba melupakan segalanya. Luka itu masih ada dan masih terasa perih jika Audrey mengingat. Akan tetapi Audrey telah memutuskan untuk memberikan kesempatan kedua untuk Xander—pria yang sangat Audrey cintai. Pria yang selalu berhasil memorak-porandakan hatinya.Audrey menyadari bahwa perpisahannya dengan Xander tetap membuat dirinya terbelenggu akan cintanya. Xander adalah cinta pertama Audrey, selalu dan akan tetap menjadi pria yang satu-satunya Audrey cintai. Selama tiga tahun berpisah, belum pernah Audrey memiliki niat dekat dengan pria lain.Teori mengatakan Audrey ingin menikah lagi dengan pria lain, membangun keluarga yang indah. Sayangnya praktek berkata bahwa Audrey tak sanggup untuk membangun sebuah hubungan dengan pria lain.
Beberapa bulan kemudian … Tokyo, Japan. “Rikkard … Rachel … jangan bermain di air mancur. Nanti kalian terjatuh.” Audrey hendak menghampiri kedua anaknya yang tengah asik bermain di air mancur. Akan tetapi gerak Audrey terhenti kala Xander menahan lengannya.“Sayang, ada pengawal yang menjaga anak-anak kita. Tidak usah mencemaskan mereka.” Xander menarik tangan Audrey, masuk ke dalam pelukannya, dan mengecupi puncak kepala sang istri. Musim semi di Tokyo sangatlah indah. Bunga-bunga sakura bermekaran tumbuh dengan sangat sempurna.Audrey tersenyum samar. Rikkard dan Rachel memang anak yang sangat aktif. Dua kakak beradik itu kerap membuat Audrey sedikit pusing akibat dua anaknya terlalu aktif. Well, meski demikian tentu hidup Audrey penuh warna. Kehadiran Rikkard dan Rachel melengkapi kebahagiaannya dengan Xander. “Xander, aku senang sekali Serry dan Frank sudah menikah. Aku berharap mereka bisa segera mendapatkan anak dan hidup bahagia seperti kita,” ujar Audrey hangat mengingat
Pagi yang cerah membaur dengan suara kicauan burung. Sinar matahari menyinari bumi begitu indah. Tampak Audrey sibuk di ruang makan membuat pudding cokelat dan strawberry kesukaan anak-anaknya. Hari ini kedua anaknya akan pulang dari rumah orang tuanya. Itu kenapa Audrey khusus membuatkan pudding. Satu hari tak bertemu kedua anaknya itu membuat Audrey benar-benar merindukan kedua anaknya. Walau sebenarnya memang kedua anaknya kerap menjadi rebutan kedua orang tuanya dan kedua orang tua Xander.“Nyonya, apa Anda membutuhkan bantuan?” tanya seorang pelayan pada Audrey.“Tidak usah. Ini sudah selesai.” Audrey menyimpan pudding buah ke kulkas “Kau kerjakan pekerjaanmu yang lain saja.”“Baik, Nyonya. Saya permisi.” Pelayan itu menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Audrey.Saat Audrey sudah memasukan pudding buah ke dalam kulkas, Audrey berbalik, dan hendak melangkah keluar meninggalkan dapur, menghampiri Xander yang berada di ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tanpa sengaja
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak, menandakan wanita itu akan segera membuka matanya. Malam yang sunyi dan gelap, membuat Audrey tertidur sangat nyaman. Akan tetapi, suara ketukan pintu yang berasal dari luar menjadi pemicu Audrey yang terlelap itu langsung terbangun dari tidur lelapnya.Audrey membuka mata, menyeka sedikit kedua matanya, lalu melihat ke samping—Xander sudah tidak ada di sana. Tampak Audrey mengembuskan napas panjang. Tatapan Audrey melihat ke tubuhnya sendiri—yang sudah memakai gaun tidur. Audrey ingat setelah pergulatan panasnya dengan sang suami, Audrey langsung tertidur pulas. Kalau sekarang dirinya sudah memakai gaun tidur, pasti suaminya itu yamg memakaikannya.“Xander pasti ada di ruang kerjanya.” Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin kalau tadi ketika dirinya tidur, suaminya pergi ke ruang kerja. Padahal Audrey sudah dibuat lemas oleh sang suami. Tapi malah suaminya masih saja memiliki energy untuk memeriksa pekerjaan.Suara ketukan pintu masih terdengar.
Menjadi ibu rumah tangga sekaligus memimpin perusahaan membuat Audrey sempat kesulitan. Ditambah perusahaannya yang ada di Jepang benar-benar berkembang pesat. Membuat Audrey harus mengawasi dengan teliti.Dulu, Audrey memang fokus membesarkan perusahaannya di Jepang karena Audrey pikir dirinya akan menetap selamanya di Jepang, tapi siapa sangka kalau apa yang Audrey pikirkan salah. Takdir tetap membawanya kembali pada Xander. Menikah lagi dengan pria yang sejak dulu dia cintai.Beberapa tahun terakhir ini, sejak Rachel lahir, Audrey memang sangat fokus pada membesarkan kedua anaknya. Tentu, Audrey tidak melepas tanggung jawabnya akan perusahaannya. Selama ini, Audrey dibantu oleh Tina—asistennya—dalam mengurus perusahaan yang ada di dalam atau luar negeri.Tak hanya Tina saja, Xander pun kerap membantunya. Sedangkan Zack dan Rainer, dua adik Audrey itu memang fokus pada pendidikan di Boston. Adapun cabang perusahan yang Zack dan Rainer urus adalah cabang perusahaan di Amerika.“Sayan
“Rikkard, Rachel, ayo ini sudah waktunya kalian berangkat sekolah. Hari ini Mommy dan Daddy akan mengantar kalian ke sekolah.” Audrey berseru meminta Rikkard dan Rachel untuk cepat menghampirinya.Khusus hari ini, Audrey dan Xander memang akan mengantar Rikkard dan Rachel sekolah. Audrey dan Xander sengaja menyekolahkan Rikkard di satu sekolah dengan Rachel. Tujuan utama tentu agar Rikkard bisa selalu menjaga Rachel.“Ya, Momny. Aku dan Kak Rikkard sudah siap.” Rachel menghampiri Audrey bersama dengan Rikkard. Gadis kecil itu sudah rapi dan cantik dengan seragamnya. Rambut pirang Rachel diikat ke atas, membuat gadis itu seperti boneka hidup. Pun di samping Rachel ada Rikkard yang sangat tampan memakai seragam sekolahnya. Diusia yang masih 6 tahun, Rikkard memiliki tubuh yang tinggi menurun dari Xander.“Anak Mommy sangat tampan dan cantik.” Audrey mencium pipi Rachel dan Rikkard bergantian. Memeluk dengan erat kedua anaknya itu.“Aku cantik seperti Mommy. Kak Rikkard tampan seperti Da
Piazza Navona, Roma, Italia. “Rikkard, jaga adikmu. Jangan jauh-jauh dari adikmu.” Audrey berseru melihat Rikkard yang tengah berlari-lari bermain dengan Rachel. Meski ada empat pengawal yang menjaga Rikkard dan Rachel tetap saja Audrey mencemaskan kedua anaknya itu.“Sayang, mereka aman. Kau tenang saja.” Xander membelai pipi Audrey dan memberikan kecupan di sana.“Audrey, biarkan Rikkard dan Rachel bermain. Rikkard pasti menjaga adiknya dengan sangat baik. Lagi pula mereka tidak pergi jauh dari kita,” sambung Angela hangat.“Benar, Sayang. Kau tidak usah khawatir,” ucap Miranda lembut mengingatkan putrinya.Audrey tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kini Audrey bersama dengan suami, anak, serta orang tua dan mertuanya berada di Piazza Navona. Mereka tengah duduk bersantai menikmati cuaca pagi yang cerah. Berada di tempat ini adalah permintaan Audrey.Audrey merasa jenuh selalu duduk di restoran mahal. Kali ini Audrey ingin lebih menikmati hidup dalam kesederhanaan. Piazza Navona
Audrey duduk bersimpuh di lantai seraya memeluk lututnya. Air mata Audrey berlinang deras setelah perdebatannya tadi dengan Xander. Isak tangis Audrey terdengar pilu. Sudah lama sekali Audrey tak pernah bertengkar dengan Xander. Ini benar-benar sangat menyakitkan.Audrey tidak pernah bermaksud untuk membahas masa lalu. Tapi, semua bermula dari Xander yang menyudutkan dirinya. Padahal berkali-kali Audrey sudah menjelaskan pada Xander bahwa dirinya dan Alan tak memiliki hubungan apa pun. Namun, kecemburan telah membutakan Xander, membuat pria itu sampai meledak.“Kau jahat, Xander,” isak Audrey sesegukan.Pintu kamar terbuka perlahan. Xander berdiri di ambang pintu, menatap Audrey yang menangis. Ya, saat ini Audrey tengah berada di kamar tamu. Setelah terdebatannya tadi dengan Audrey, istrinya itu pergi menjauh darinya. Tentu, Xander langsung menyusul. Terlebih dikala tadi sang istri sempat menyebut-nyebut kata ‘Cerai’, membuat Xander menjadi tak tenang.Xander terdiam sebentar. Hati Xa
“Rikkard masuk ke kamarmu.” Xander berucap tegas pada putra sulungnya, kala pria itu bersama dengan istri dan anaknya sudah berada di mansion—yang sudah tiga tahun ini mereka tempati.“Oke, Daddy.” Rikkard patuh akan ucapan Xander. Bocah laki-laki itu langsung melangkah menuju kamar, tanpa sedikit pun melawan. Setelah dari rumah sakit, Xander memang langsung mengajak Audrey dan Rikkard untuk pulang. Xander tak mau membiarkan istri dan anaknya berlama-lam di rumah sakit. Tentu, semua urusan telah Xander bereskan.“Sayang, kenapa kau tidak menasihati Rikkard dulu? Dia bersalah, Sayang.” Audrey memprotes Xander yang meminta Rikkard untuk pergi begitu saja. Padahal harusnya Xander memberikan teguran pada Rikkard yang telah mendorong Blaire sampai membuat lutut Blaire terluka cukup parah.“Blaire juga bersalah. Dia mencium Rikkard. Kau jelas tahu Rikkard tidak mudah dekat dengan orang lain,” ucap Xander dingin dan menegaskan. Xander membela Rikkard. Nada bicaranya menunjukan bahwa apa yang
Note; Karena banyak yang minta extra part tampil di sini, jadi abi rilis di sini juga ya. Follow IG: abigail_kusima95 (Info seputar novel ada di IG) Tiga tahun berlalu …Audrey turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sakit, menelusuri koridor rumah sakit. Tampak raut wajah Audrey begitu panik dan penuh rasa khawatir. Degup jantung Audrey berpacu dengan cepat. Benaknya sejak tadi tak bisa tenang tepat ketika guru sekolah Rikkard menghubungi dirinya, dan mengabarkan putranya terlibat masalah. Entah masalah apa, pihak guru mengatakan padanya tidak bisa memberitahu di telepon.“Nyonya Foster,” seru Myla Zahnee—guru di sekolah Rikkard menyapa Audrey dengan penuh sopan.“Ms. Zahnee.” Audrey lega akhirnya melihat guru sekolah putranya. Namun, tatapan Audrey pun langsung teralih pada Rikkard yang ada di samping Ms. Zahnee. Sepasang iris mata Audrey mulai menatap lekat putranya yang sejak tadi hanya diam dan memasang wajah dingin. Jika sudah seperti ini, maka Rikkard pasti sedang k