“Aku tidak tau jika kau memutuskan untuk pulang lebih cepat.”
Bahkan, Ayse pun tidak mendapatkan pemberitahuan lebih dulu mengenai keputusan Can.
Ia duduk tenang di single sofa, memerhatikan Can yang berbaring di sofa panjang, meluruskan kaki dengan menumpukan lengan kirinya di atas kepala, menutup matanya di sana. Sudah dua menit berlalu, tapi pria itu seolah mengembalikan pikiran jernihnya.
“Can?” panggil Ayse.
“Apa aku harus menceraikan Akira?”
Pertanyaan itu sukses membuat bibir Ayse terbuka. Manik hazelnya membeliak, tidak mendapati Can menurunkan lengannya supaya keduanya bisa bersitatap dan memahami respons raut muka masing-masing.
Napas perempuan itu tercekat. Ia mengerjap berulang kali, meyakinkan jika ucapan Can bukanlah sebuah angin lalu. “Kau membual, Can? Ini tidak lucu sama sekali,” cetusnya dengan intonasi sedikit tinggi, tampak serius dan merasa tidak nyaman dengan p
Can menutup pintu Range Rover, lalu menatap ke arah rumah mewah Keluarga Muammer. Ada sebersit ragu untuk datang ke rumah ini, terlebih Akira sedang tidak baik.“Aku akan mencoba terlebih dulu,” putusnya segera menaiki anak tangga ke pintu utama rumah Akira.Di dalam pelayan sudah menyambut kedatangannya, membantu melepaskan mantel milik Can. Tiba-tiba, suara yang familier tertangkap oleh indera pendengarannya.“Can?!”Pria itu menoleh ke lantai atas, melihat Akira menyunggingkan senyum manis. Di belakangnya, Nyonya Erdem mengulas senyum hangat dan membiarkan Keponakannya menuruni anak tangga. Ia berusaha memperlambat langkah kakinya ketika Nyonya Erdem memperingati Akira takut terjatuh.“Can ...”Tubuhnya tidak bergerak sama sekali ketika Akira sudah mendekapnya erat. Ia diam. Membiarkan Akira menangis kecil dan berucap bergetar, “Maafkan aku yang terlalu egois, Can ...”
Nyonya Sener melihat Can yang sibuk mengurus beberapa berkas di meja kerja, tepat di ruangan yang khusus menjadi ruang kerja putranya di rumah.“Apa Mama menganggumu, Can?”Pria itu mengalihkan pandangan ke arah pintu dan tersenyum. “Tidak sama sekali, Ma. Aku hampir selesai dan hanya memeriksa beberapa berkas untuk kubawa nantinya ke Istanbul,” jelasnya membuat Nyonya Sener tersenyum kikuk.Ia melangkah masuk dan mendapati pria itu memang sedang bekerja. Wanita itu duduk, menatap lekat putranya dengan raut yang terlihat cukup berbeda. “Kau akan membawa Ayse ikut bersamamu ke Istanbul?”Can yang akan membuka lembaran selanjutnya dalam berkas yang dipegangnya berhenti. Ia menilik manik mata yang berbeda itu. Rambut mereka berwarna sama, hitam. Sedangkan manik mata Can menurun dari Tuan Sener. Perpaduan yang serasi.“Aku ingin mengulang kebersamaan kami yang tertunda di sana,” balasnya tanpa menyangka
Kebohongan yang diucapkan Can adalah ketika pria itu akan pergi ke kamarnya setelah beristirahat sebentar di unit Ayse. Ia ingin berada di unit Ayse setelah penerbangan dari Ankara menuju Istanbul.Tapi, pria itu justru mandi dan mengganti bajunya di kamar Ayse dan sekarang sibuk berada di sofa kamarnya.Laptop dan beberapa berkas sedang menemani malamnya di saat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.“Kau tidak kembali ke unitmu?” tanya Ayse mengambil duduk di samping Can.Ia sudah bosan duduk di atas ranjang, memainkan ponselnya. Tapi, melihat Can yang sibuk dengan pekerjaannya dan tidak sedikitpun membuka pembicaraan pada Ayse, cukup membuat perempuan itu bingung sekaligus merasa terabaikan.Ayse jarang sekali diabaikan seperti ini. Perempuan itu cukup merasa asing dengan atmosfer yang pria itu ciptakan.“Aku harus menyelesaikan beberapa hal terlebih dulu, lalu aku akan kemba
Ayse memutuskan untuk mengunjungi Grand Baazar, Istanbul, Turki.Ia ingin mengintip kembali kemegahan dari pasar tertua dan terbesar di dunia. Seingatnya, kali terakhir ia pergi ke sini adalah hari terakhir sebelum ia dan Can memutuskan kembali ke Ankara setelah menikmati keindahan Bosphorus.Perempuan itu mengulum senyum. Ia mengulurkan tangan dan meraih beberapa pernak-pernik aksesori yang menarik perhatiannya.“Aku ambil dua gelang ini,” ucap Ayse mengangsurkan gelang yang berwarna sama.Evil eye atau mata setan.Souvenir yang terkenal di Turki dengan perpaduan warna biru tua, putih dan biru muda dalam bentuk bulat. Konon sebagai jimat pelindung dari nasib buruk. Sebuah kebudayaan masyarakat tradisional Turki.Nama khas di sana adalah Nazar Boncugu.“Untuk pasanganmu, Nona?” tanya seorang lelaki tua yang sibuk membungkus pesanan Ayse, meskipun ia mengulum senyum,
Can memandang lekat gelang yang lima belas menit lalu diberikan Ayse. Mereka menyelesaikan makan malam dan perbincangan ringan, lalu setelahnya Can memutuskan kembali ke unit. Sekarang, ia berdiri di pembatas balkon, menikmati keindahan Kota Istanbul di malam hari.Beberapa keluarga terdekatnya berada di kota ini. Tapi, ia hanya mengunjungi sesekali ataupun sekadar urusan pekerjaan.Benar yang dikatakan Ayse. Ia memang bertandang untuk kali pertama setelah kepulangannya dari negeri orang, datang ke sini hanya untuk mencari Ayse.Masih segar diingatannya mengenai tubuh perempuan itu yang nyaris dilecehkan di salah satu klub ternama. Pria itu membuang napas kasar, masih tidak terima perlakuan pria lain yang selalu mencari celah untuk membuat Ayse bisa mendapatkan mimpi terburuknya.Ia tidak pernah suka melihat pria yang merusak tubuh perempuan lain. Can selalu menekan dalam benaknya, tapi justru ia harus melakukannya
“Berapa lama aku harus membiarkan mataku tertutup, Can?”Ayse meraba penutup mata, sekaligus mengandalkan indera pendengarannya. Ia yakin Can duduk di sampingnya saat mobil yang sepertinya dikendarai sopir melaju entah kemana.“Tunggu sebentar lagi,” bisik pria itu dan Ayse terkesiap mendapati bibir tipis itu mendarat singkat di bibir ranumnya.Can mengulum senyum mendapati wajah Ayse memerah.“Aku tidak bisa melihatmu dan membalas perlakuan jahilmu, Can,” balas perempuan itu sedikit mencebik.Tawa kecil Can terdengar, mengisi keheningan mobil. Jemari tangannya dengan sigap menekan tombol penyekat supaya keintiman mereka tidak mendapatkan interupsi yang membuat Can kesal. Malam ini mereka akan datang ke dermaga.Mobil melaju dengan kecepatan sedang.“Can?!”Ayse terpekik ketika ternyata Can membawanya duduk di atas pangkuan pria itu.
Relung hati Akira seolah tertusuk ribuan jarum. Tatapannya tidak lepas menatap kedua orang di hadapannya. Senyum getirnya pun terus terpatri bersama langkah kakinya yang semakin maju.“Kenapa kau melakukan ini semua, Can?” suaranya terdengar putus asa.Air mata perempuan itu turun deras dengan sakit hati yang semakin kentara. Bayangan ciuman mesra mereka dan bagaimana langkah berat itu semakin maju, membuat lututnya kian lemah. Dua orang di hadapannya sudah menggoreskan luka dalam dirinya.Luka yang tidak terlihat. Tapi mampu membuat perasaannya sesak.Plak!Tamparan keras dan suara lantang Can tidak berarti apa pun saat telapak tangan Akira mendarat keras di pipi Ayse. Rasa panas di pipinya menjalar bersama suara tangis yang terpekik begitu menusuk perasaan terdalam Ayse.“APA KAU TIDAK TAU TELAH BERSAMA PRIA YANG SUDAH MEMILIKI SEORANG ISTRI?!”“KAU
“Sekarang aku tau. Bagaimana seorang Yavuz Can Sener lebih memilih perempuan simpanannya di bandingkan istrinya sendiri.”“Bajingan!”Umpatan kasar dan kedua tangan terkepal itu menjadi respons pertama saat Can melihat kedatangan Iskander dari dalam kapal. Menapaki undakan tangga satu per satu dengan seringai puas. Ia mendekat, tidak lepas menatap Can sampai berdiri di samping Akira yang sudah patah hati.“Bagaimana Can? Aku berusaha memberikan semua informasi yang kuketahui bersama bukti-bukti hubungan gelapmu bersama Ayse. Bukankah istrimu harus tau kebusukanmu juga? Jadi, aku mempermudahnya dan memperkenalkan siapa Ayse yang sebenarnya,” ucapnya menyorot Ayse yang tidak berkutik.Wajahnya pucat pasi dan sangat terkejut mendapati Iskander dalang di balik semuanya. Can tidak pernah salah menyuruhnya untuk waspada, meskipun akhirnya mereka harus kalah telak saat kelicikan Iskander tidak dapat diprediksi.
“Can ... bagaimana jika ada yang masuk? Orangtuamu akan mengetahui hasrat putranya yang selama ini tersimpan di balik sikap sopan dan tenangnya. Bahkan, kau bisa membuat namaku buruk sebagai imbasnya.”Pria tampan itu mengulum senyum. Lebih tepatnya ia menahan kedutan kedua sudut bibir, memerhatikan Ayse mendelik sebal seraya berusaha menjauhkan tubuhnya dari dekapan Can.Can berhasil masuk ke kamar Ayse tengah malam dan bahagia mendapati perempuan itu belum tertidur.Ayse sibuk duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan iPad miliknya dan membuat desain wajah perempuan itu bersama dirinya. Sungguh ia tidak memerhatikan jika Ayse memiliki imajinasi yang tinggi dan kreatifitas mumpuni.“Kenapa kau belum tidur dan terlihat sibuk membuat sketsa tadi, hm?”Perempuan itu memicingkan mata tidak suka, diabaikan ucapannya. Tapi bagaimanapun Ayse mengalah, mengendurkan perlakuannya yang sedari tadi berusaha mendorong tubuh Can.
“Aku sepakat dengan permintaanmu, Can. Sebaiknya kita lebih fokus merawat anak kita dan aku akan membebaskanmu jika pun kau bersama dia nantinya.”Can menatap lekat perempuan yang duduk di hadapannya. Perempuan itu menatapnya lurus, ditemani oleh Tuan dan Nyonya Erdem yang duduk di sisi Akira.Ia datang berkunjung untuk memperbaiki semuanya, meskipun Can sempat berpikir jika hal ini tidak akan mudah terjadi. Tapi sepertinya ia salah menduga karena tepat di ruang tengah ini, Can mendapatkan kesempatan yang tidak mungkin terulang kembali.“Tenang saja. Kita akan bercerai sesuai yang sudah kau inginkan sejak awal,” tambahnya menyorot tegas Can.Tidak ada hal yang bisa membuat Can beranggapan jika ucapan itu sekadar hal yang mudah dibohongi Akira. Ia sudah mengucapkan dengan kalimat tegasnya. Kening Can yang sebelumnya mengkerut, kini berangsur menipis.“Keponakanku sudah mengambil pilihan yang kau inginkan, Can. Seharusny
Ayse menggeliat saat dirasakannya ada sentuhan yang terus membelai puncak kepalanya. Ia pun mengerjap, menyipitkan mata sampai ia terkesiap, mendapati wanita yang menjadi Ibu dari pria yang sangat dicintainya, duduk di tepi ranjang untuk menyapa Ayse. “Selamat pagi, Nak.”Dengan cepat Ayse mendudukkan tubuhnya, menatap dengan salah tingkah karena sepertinya ia mulai tidak tahu diri telah berada di mana. Ia menunduk meminta maaf, “Bibi ... Aku lupa menghidupkan alarm, supaya aku bangun lebih pagi. Maafkan aku, Bibi,” ucap Ayse dengan wajah memerah.Ia malu dengan sikapnya sendiri.Tapi, wanita yang tampak lembut menyorotnya, memberikan kehangatan dalam genggaman tangan membuatnya memberanikan diri untuk bersitatap. Sekalipun ia masih belum bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. “Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Nak. Ini baru pukul setengah enam pagi. Aku sengaja datang ke mari hanya
PLAK!“BERANINYA KAU MELUKAI PERASAAN KEPONAKANKU, CAN!”Nyonya Sener membungkam mulutnya dan tidak bisa berhenti meneteskan air mata saat putra semata wayangnya diperlakukan dengan kasar. Seumur hidupnya, tidak pernah sedikit pun ia ringan tangan untuk memukul putranya.Anaknya sangat penurut sejak kecil.Entah kenapa hingga detik ini, ia mengambil langkah yang berbeda dan menentang beberapa kesepakatan ‘sah’ di dalam hidupnya.Tuan Sener hanya menatap sendu perlakuan yang sangat wajar diterima Can saat pria itu berani mengambil langkah seperti ini. Ayse berada di samping pria itu dengan bulir air mata yang turun.Pun sama apa yang dirasakan dan terlihat oleh Akira yang berdiri berdampingan dengan Tuan dan Nyonya Erdem.Keduanya tidak ingin membiarkan anak dari keluarganya mendapatkan perlakuan semena-mena. &ldquo
“Ayse?”Perempuan itu langsung tertunduk mendapati Can yang bertamu ke apartemennya. Ayse tidak melihat lagi siapa yang bertamu dari celah kecil. Jika ia tahu, mungkin perempuan itu bisa menyembunyikan mata sembab dengan memakai masker atau jika ada alternatif yang lebih baik, ia akan memilihnya. Kesedihannya harus tersamarkan.“Ha-hai, Can. Kau membawa hadiah untukku?” Ia berusaha mengendalikan ekspresi, tersenyum semringah menatap ke beberapa paper bag yang dibawa Can.Ia seperti melihat beberapa gaun dan kotak sepatu. Mungkin, heels?“Apa yang tidak kau beritahu dengan cepat, Ayse?”Suara dingin itu membuat Ayse terpaksa menatap Can dengan sorot takut. Napas perempuan itu tercekat dan bibirnya terasa kelu melihat Can menatapnya tegas dan dingin.Ayse berdeham sebentar, lalu memundurkan langkahnya, “Silakan masuk.&r
“DASAR PELAYAN TIDAK BECUS! KAU SUDAH MENGOTORI GAUN MAHALKU!”Seluruh tatapan pengunjung restoran tertuju pada dua orang yang kini menjadi objek perhatian. Perempuan muda dengan tinggi 178 sentimeter itu mengumpat, melihat betapa bodohnya pelayan berusia muda di hadapannya telah mengotori gaun miliknya.“Maafkan aku, Nona ...” lirih Ayse, tertunduk dengan nampan dalam pelukannya.Ia berani mengakui hal jika dirinya memang tidak sengaja menumpahkan minuman dingin yang terakhir dibawanya. Itu menjadi permintaan tambahan setelah perempuan itu memesan air putih. Karena pesanan itu diminta terakhir, tidak bersamaan dengan makanan yang sudah terhidang.Perempuan itu mengetatkan rahangnya, menatap tajam Ayse dalam balutan seragam kerjanya. “Seharusnya kau dipecat! Kinerjamu tidak bagus dan kau sangat bodoh!” cecar perempuan dengan wajah memerah dan meraih mantel di sisi kursi lainnya.Ayse semakin merasa
“Tolong, katakan di mana Can sekarang, Nyonya?”Sebuah gelengan lemah dari Nyonya Sener dan tatapan kejujuran itu membuat Nyonya Erdem mengembuskan napas panjang. Ia membuang pandangan, tidak tahu harus bertanya lebih jelas pada siapa di saat Keponakannya sendiri enggan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.“Ada apa Anda menanyakan keberadaan putra kami, Nyonya?” tanya Tuan Sener, tidak mengerti saat menyambut kedatangan wanita itu yang bingung.Tuan rumah tersebut berinisiatif membawa tamu, sekaligus keluarga dari pihak menantu mereka untuk berbincang di ruang keluarga. Embusan napas itu kembali terdengar dan sorot mata Nyonya Erdem begitu tegas.Nyonya Sener tidak banyak bicara, jika saja kemungkinan di dalam pikirannya tidak singgah terlalu lama. Ia meragukan jika semuanya perlahan dilakukan Can secara ‘terang-terangan’. Raut wajah Nyonya Erdem terlihat jelas dan Ibu satu anak itu berusaha tidak mengetahui
“Selama aku memimpikan sebuah pernikahan. Aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk mempersunting dua perempuan.”“Lalu, kenapa pemikiran aneh itu kau cetuskan? Apa bisa menjadi jalan keluar dari setiap hal yang sudah membuatku muak berada dalam pernikahan menyesakkan ini?”Ayse menggigit bibir bawahnya dan berusaha menahan desakan diri supaya tidak berkaca-kaca. Ia bisa melihat raut kekecewaan dari Can yang perlahan masuk ke dalam kamar. Sorotnya menyatakan jika pria itu sedih dengan ungkapan Ayse yang semakin menyulitkan Can keluar dari lubang yang sama. Ia ingin bebas, meskipun akan sulit karena memikirkan satu nyawa yang akan hadir.“Aku sudah berniat menceraikan Akira, tapi mendengar semua penuturanmu dan rasa sedihku juga terhadap calon anakku. Bagaimana aku bisa lebih baik untuk berpikir? Sejauh ini aku masih bertahan karena kau yang terus mengingatkanku, Ayse.”Perempuan itu terdiam.Henin
Ayse keluar dari apotek, mengeratkan mantel panjang yang membalut tubuh rampingnya. Ia menggigit bibir bawah, merasa sesak dalam hati dan juga denyutan di kepala. Seharian ia menunggu Can mengabarinya. Tapi, tidak ada satu pun hal yang bisa membuatnya tenang. Alhasil, dirinya mengabaikan makan dan merasakan tubuh lemah.Ia menggerakkan tangan, menghentikan taksi yang lewat dan segera masuk, menyebutkan di mana gedung apartemennya berada. Di dalam mobil, ia berusaha untuk tenang, meskipun pelupuk matanya berkaca-kaca.Ayse bahkan tidak bisa menghubungi nomor ponsel milik Can. Ia mengembuskan napas gusar. Berusaha tenang dan harus kembali sehat supaya besok pagi ia bisa pulang ke Ankara.“Ambil saja kembaliannya. Terima kasih telah mengantarku sampai ke sini,” ucapnya tersenyum manis, dibalas anggukan dan sapaan ‘selamat malam’ dari sang sopir ketika taksi sudah singgah di depan lobi.Ayse meringis pelan, masuk ke dal