Share

Bab 6

Penulis: Puput Gunawan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sebaiknya kita tanya saja siapa pelakunya kepada Ami, dari pada Bunda terus mencurigai banyak orang."

 

"Tidak sekarang, Yah. Aku takut Ami stress dan bisa mempengaruhi kesehatannya."

 

Apakah aku bisa mempercayai suamiku sekarang? Dia terlihat tidak bersalah, tapi jujur saja aku masih mencurigainya. Siapapun bisa jadi tersangka yang menghamili Ami.

 

"Kasihan Ami. Dia pasti tertekan. Bagaimanapun aku menganggap gadis itu seperti anakku sendiri."

 

"Jujur aku curiga padamu, Yah" ucapku.

 

Mas Abi menatap mataku. Dia tersenyum kecil dan mulai meyakinkan aku bahwa dia tidak seperti yang aku tuduhkan.

 

"Atik, Sayang. Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun dari kamu. Jika ingin selingkuh kenapa harus dengan Ami yang sudah kita anggap anak sendiri."

 

"Pernahkah ayah membaca kisah detektif? Pelaku utama itu biasanya adalah orang terdekat korban."

 

"Dalam kisah detektif pun biasanya yang dicurigai itu bukan pelaku sebenarnya," ucap Mas Abi seraya membelai pipiku.

 

Aku terus menatapnya dengan penuh tanya. Semoga dapat jawaban dari mata suamiku. Namun, dia malah tersenyum.

 

"Terserah Bunda saja jika memang mencurigai ayah," ucapnya seraya kembali berbaring di ranjang kembali melanjutkan tidurnya.

 

Tidak berapa lama terdengar dengkuran halus dari mulut lelaki berusia 47 tahun itu. Kupandangi wajah pria yang menemaniku selama dua puluh tujuh tahun. Aku tidak boleh lengah. Siapapun bisa jadi pelakunya dan secepatnya aku harus mencari tahu serta bukti.

 

****

 

Azan subuh berkumandang aku tengah mengganti popok Aqila. Bayi ini sangat pintar. Hanya menangis saat buang air dan lapar saja.  Tidak rewel sama sekali. Mungkin dia tahu jika bundanya ini sedang bingung jadi tidak ingin menambah kebingunganku.

 

Aqila terlihat lapar. Jariku yang menyentuh pipinya diemut bayi mungil itu. Aku segera membuatkan putri kecil ini minuman favoritnya.

 

Saat berjalan menuju dapur, aku melihat seseorang berdiri di depan pintu kamar Ami. Karena lampu tidak dinyalakan dan hanya sedikit cahaya dari dapur yang membuatku tidak tahu siapa orang yang berdiri itu. Karena penasaran aku segera menyalakan lampu.

 

"Amran? Ngapain di situ?" tanyaku.

 

Dia terlihat terkejut melihatku. Dengan gugup dan terbata-bata dia menjawab pertanyaan dan menjelaskan kenapa dia ada di situ.

 

"Eh, itu, anu, Bun. Aku hanya khawatir dengan Ami," jawabnya.

 

Aku segera menghampiri Amran dan mencoba membuka pintu kamar Ami. Syukurlah pintu terkunci dari dalam. Berarti Amran tidak dari dalam sana. Tapi tetap saja aku curiga terhadap anak sulungku itu.

 

Aku menatap tajam ke arah Amran. Inginku bertanya lebih jauh tapi tidak sekarang, Aqila sudah menangis karena lapar. Amran yang sadar aku mencurigainya langsung tersenyum dan menggaruk lehernya.

 

****

 

Sambil menggendong Aqila aku menemaninya keluarga sarapan. Tidak ada obrolan kali ini. Keluargaku hanya fokus menyantap makanannya.

 

Hanya ada Angga dan Mas Abi saja yang ada di meja makan. Sementara Amran entah pergi kemana. Ami juga masih belum makan bersama kami. Matanya pasti bengkak habis menangis semalam.

 

Aku menggendong Aqila yang menangis sampai ke depan pintu. Sepertinya dia bosan berada di dalam rumah terus. Sebenarnya aku sangat ingin mengajak Aqila keluar rumah sambil menikmati sinar matahari pagi. Namun, aku belum punya alasan jika ada yang bertanya  bayi siapa ini. Sebab aku masih memikirkan Ami.

 

Suara motor berhenti di depan pagar. Perlahan pagar terbuka dan Amran masuk. Entah dari mana anak itu.

 

"Selamat pagi, Bunda. Selamat pagi Aqila," ucap Amran.

 

"Dari mana kamu?" tanyaku.

 

"Beli bubur ayam buat Ami," jawabnya berlalu meninggalkanku.

 

Aku segera mengekor padanya. Benar saja dia ke kamar Ami. Dia memang akrab dengan Ami, tapi tidak sedekat ini. Jujur saja aku sangat mencurigainya sekarang. Semoga saja kecurigaanku salah. Bukan Amran orang yang menghamili Ami.

 

"Bunda, ngapain sih?" tanya Angga membuyarkan lamunanku.

 

"Gak, liat Abang yang peduli dengan Ami," jawabku.

 

"Abang mah memang ...." Angga tidak meneruskan kata-katanya.

 

"Memang apa?" tanyaku penasaran.

 

"Memang makanan aku," ucapnya sambil bernyanyi penggalan lagu Ipin Upin.

 

"Kamu ini."

 

"Aku berangkat ke sekolah ya, Bun," ucap bungsuku seraya mencium tanganku.

 

"Bunda!" teriak suamiku.

 

Aku berjalan menghampiri Mas Abi yang sepertinya mencariku.

 

"Ada apa, Yah?"

 

"Aku berangkat ke toko dan mungkin pulang terlambat."

 

"Kenapa?"

 

"Rencananya mau ke pabrik langsung melihat pesanan yang akan di kirim ke luar kota."

 

"Baiklah, Yah."

 

"Jaga Aqila baik-baik," ucapnya seraya mencium bayi mungil dalam gendonganku.

 

"Tunggu, Yah. Aku ikut," ucap Amran.

 

Amran segera pamit denganku dan berlari kecil menghampiri ayahnya. Aku segera masuk ke dalam kamar Ami. Dia sedang menikmati bubur ayam yang tadi dibawakan oleh Amran.

 

"Sudah merasa lebih baik?" tanyaku.

 

Dia mengangguk sambil tersenyum. Aku keluar dari kamar Ami karena Aqila menangis. Segera kutimang-timang bayi mungil dalam gendonganku hingga dia lebih tenang.

 

*****

 

Ucapan Angga yang terpotong tadi membuatku penasaran. Apa dia tahu kalau Ami dan Amran punya hubungan khusus? Jika pulang sekolah nanti aku akan mengintrogasi anak itu.

 

Jika memang Ami dan Amran punya hubungan spesial aku tidak akan marah. Senang malah karena anak sulungku itu normal sebab selama ini dia tidak pernah membicarakan perempuan apa lagi membawa gadis ke rumah ini.

 

Sebagai seorang ibu tentu saja aku takut jika anakku tidak normal, tapi sepertinya dia menyukai wanita dan itu membuatku tenang meski dia jadi orang yang paling aku curigai sekarang.

 

Suara ramai terdengar dari luar. Aku yang tengah makan siang langsung keluar. Terlihat beberapa orang berseragam putih abu-abu ada di teras. Tiga orang  perempuan dan empat orang laki-laki termasuk Angga tengah bercanda.

 

Seperti anak SMA pada umumnya. Mereka bercanda dan tertawa bersama tanpa beban. Masa sekolah dan masa mencari jati diri karena dalam kondisi transisi dari remaja menuju dewasa. Melihatku berdiri di depan pintu mereka semua terdiam.

 

"Assalamualaikum, Bunda," ucap Angga.

 

"Waalaikumsalam."

 

"Teman-teman ingin menjenguk Ami, Bun," ucap Angga lagi.

 

"Silahkan, Ami pasti senang melihat kalian," ucapku.

 

Mereka segera masuk ke dalam rumah dan menemui Ami yang ada di kamarnya. Aku mengekor pada mereka. Memperhatikan satu persatu teman-teman Ami ini. Terutama yang laki-laki.

 

Karena kamar Ami yang sempit aku menyuruh Angga dan teman-temannya ngobrol di ruang tamu saja. Mereka menuruti perintahku.

 

Ami terlihat senang ketika teman-temannya datang. Dia tertawa bersama. Syukurlah, anak itu sudah baik-baik saja. Namun, aku tidak lengah dan terus memperhatikan satu-persatu anak-anak SMA itu meski tidak ada yang aneh.

 

Bersambung.

Bab terkait

  • Bayi Siapa?   Bab 7

    Semua orang kucurigai sekarang terlebih teman-teman Ami yang kemarin datang berkunjung. Aku mencari tahu lewat Angga seberapa dekat mereka. Cewek ataupun cowok sama-sama aku curigai karena tidak ada hal yang mustahil. Bisa saja Ami di ajak sahabat wanitanya nonton film tapi ternyata malah berbuat yang tidak-tidak.Teman laki-laki pun tidak luput dari perhatianku. Kemaren ada tiga orang yang datang. Gerak gerik ketiganya sangat mencurigakan bisa saja salah satu dari mereka pelakunya.****Hari ini hari Minggu. Rencananya aku akan mengintrogasi Angga untuk mencari tahu lebih dalam tentang teman-teman mereka kemarin. Adakah yang dekat dengan Ami atau sahabat, terutama yang laki-laki yang sering bersama dengan Ami.Aku masuk ke dalam kamar Angga. Seperti biasa Angga sibuk dengan ponselnya. Aku menghampiri dia."Sudah makan?" tanyaku.

  • Bayi Siapa?   Bab 8

    BAYI SIAPA?Part 8Aku tengah berbelanja di tukang sayur. Sebenarnya aku lebih suka belanja di pasar dan sangat jarang berbelanja di tukang sayur keliling karena selain kurang lengkap, terkadang sering terjadi obrolan yang menurutku tidak penting. Kali ini terpaksa, sebab tidak ada yang menjaga Aqila jika aku ke pasar. Mbok Iin kasihan harus menjaga Aku dan Aqila."Tumben Bu Atik berbelanja di sini," ucap Bu Mirna salah seorang tetangga."Iya, Bu belum sempat ke pasar," jawabku."Sibuk sama cucu baru ya Bu?" tanya Bu RT.Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Bu RT tanpa bisa menjawabnya, mau kujawab apa? Aqila itu bukan anak Amran."Iya, dengar-dengar Amran sudah menikah, Bu Atik ini gimana sih, nikahin anaknya gak ngundang-ngundang," ucap Bu Rina.

  • Bayi Siapa?   Bab 9

    BAYI SIAPA?Part 9"Bun, sarapan dulu yuk!" Ajak suamiku."Bunda gak lapar, Yah.""Temenin ayah sarapan aja."Aku langsung mengekor pada Mas Abi yang mengajakku untuk sarapan. Namun, aku sama sekali tidak merasa lapar. Masalah ini menguras pikiran dan membuatku tidak nafsu makan."Bun, jangan terlalu banyak pikiran," ucap suamiku."Tidak, hanya saja tatapan Amran terhadap Ami sulit di jelaskan.""Kamu mencurigai Amran?""Tentu saja. Semua laki-laki di rumah ini aku curigai.""Termasuk ayah?"Aku mengangguk. Mas Abi hanya tersenyum dan mulai menyodorkan sesendok nasi goreng hangat buatan Mbok Iin ke depan bibirku."Makan dulu. Setelah maki

  • Bayi Siapa?   Bab 10 POV Amran

    Part 10"Kak, boleh minta minum?" tanya seorang gadis berkuncir dua menghampiriku yang tengah berada di depan kulkas.Aku bingung siapa gadis itu. Aku tidak punya adik perempuan, ada pun Angga adik laki-lakiku yang super rese."Nih," ucapku menyodorkan sebotol air dingin.Anak itu berlari kecil. Aku mengikuti kemana dia pergi dan berhenti tepat di kamar mbok Iin.Mau apa dia di sana. Mungkin saudara mbok Iin yang sedang berkunjung ke sini.Aku segera pergi dari dapur dan menuju ke dalam kamar untuk melanjutkan tugas kuliah. Tiba-tiba saja ada seseorang yang masuk dan merengek ingin di ajarkan membuat PR. Tidak lain dan tidak bukan dia adalah Angga. Adik laki-laki yang menjengkelkan.Aku beranjak dari kamarku dan menuju ruang tamu tempat Angga membuat PRnya. Anak perempuan itu ada di sana juga. Aku t

  • Bayi Siapa?   Bab 11

    BAYI SIAPA?Part 11Hening, rumah ini menjadi sunyi. Hanya sesekali terdengar suara Aqila yang menangis. Semua orang larut dalam pikirannya masing-masing. Mbok Iin terpukul dan mengurung diri di dalam kamar. Aku bisa mengerti perasaannya sekarang. Dia pasti merasa gagal mendidik Ami. Itu juga yang aku rasakan saat tahu Ami hamil dan mengugurkan kandungannya.Amran sendiri tidak menjawab pertanyaanku. Dia juga memilih pergi entah kemana. Tinggallah aku yang tengah memasak makanan untuk makan siang kami.Sambil sesekali melihat Aqila yang berada di dalam kamar aku membuat menu makan siang. Tidak tega menyuruh mbok Iin untuk memasak sekarang, dia butuh waktu sendiri memikirkan semua yang terjadi.Meskipun pikiranku entah kemana, aku coba untuk tetap menjadi ibu yang baik. Angga pasti lapar saat pulang sekolah nanti. Aku hanya mem

  • Bayi Siapa?   Bab 12 POV Ami

    BAYI SIAPA?Part 12Pov AmiDua garis merah terpampang dengan jelas di atas sebuah alat tes kehamilan yang berada di tanganku. Air mata luruh seketika sebab aku belum menikah. Bingung sudah pasti, karena aku masih SMA.Buru-buru aku simpan benda pipih itu di tempat yang aman. Takut Ambu melihatnya dan aku dalam masalah. Sambil terus memikirkan bagaimana kedepannya kelak nasibku.Sekarang aku harus apa? Kuapakan janin yang akan tumbuh dalam perutku ini. Usiaku belum genap tujuh belas tahun dan masih sekolah pula. Ini semua terjadi karena kebodohanku.Atas nama cinta, aku melakukan hal yang belum seharusnya dengan seorang laki-laki. Entah Dia yang pandai merayu atau aku yang terlalu bodoh serta bisikan setan dalam diri yang sangat kuat hingga kami melakukan hubungan itu.Dengan

  • Bayi Siapa?   Bab 13

    BAYI SIAPA?Part 13Kutatap wajah Amran yang tengah memegang tubuhku dan Aqila. Apa yang aku pikirkan dan curigai selama ini benar adanya. Amran, putra sulungku yang menghamili Ami. Jujur saja aku sulit percaya hal ini.Aku sangat mengenal Amran. Tidak mungkin dia melakukan hal itu. Namun, Amran mengakui semuanya. Sesak, aku merasa gagal menjadi orang tua. Gagal mendidik anak dengan baik.Menangis pun tiada guna sekarang. Nasi telah menjadi bubur. Berpikir juga aku tidak bisa. Kecewa, marah, sedih bercampur jadi satu dalam hati ini.Semua yang ada di rumah terdiam. Mbok Iin sangat syok. Ami masih menangis. Amran masih memegang tubuhku."Ada apa ini?" tanya Angga yang baru pulang.Anak itu pasti bingung dengan semua yang terjadi. Aku pun sama bingung harus bagaimana?

  • Bayi Siapa?   Bab 14 POV Amran

    BAYI SIAPA?Part 14Pov AmranSeketika aku terdiam saat bunda bilang Ami keguguran. Aku pikir selama ini dia adalah ibu dari Aqila, kenyataannya bukan. Masalah di atas masalah. aku pergi meninggalkan bunda yang bertanya apakah aku pelaku yang menghamili Ami. Tentu saja bukan, aku memang mencintai gadis cantik itu. Namun, tidak akan berbuat demikian sebab bunda dan ayah tidak pernah mengajarkannya.Kupacu mobil dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan apa yang harus dilakukan sekarang. Di otakku hanya ada Ami yang tengah tersenyum manis. Ya, gadis itu adalah kuncinya. Dia harus berkata yang sebenarnya.Aku tidak marah saat bunda menuduhku sebagai pelaku yang menghamili Ami. Hanya saja sedikit kecewa karena bunda tidak percaya dan mencurigai aku. Beliau tidak salah, siapapun bisa jadi tersangka di dalam rumah kami

Bab terbaru

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Semua orang tertegun dengan penuturan Mia. Bagaimana ini bisa terjadi? Kebenarannya adalah Mita anak Lita, bukan aku? Lantas siapa aku? Kenapa ada kertas hasil DNA aku dan Lita? Lagi-lagi kepalaku di penuhi oleh banyak pertanyaan. Namun, enggan untuk aku tanyakan terlebih melihat Mita yang sedari tadi diam saja."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku.Hening, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Mita. Dia benar-benar terpukul. Bunda menghampiri gadis itu dan beliau memeluknya. Aku tahu kenyataan ini begitu pahit."Sebaiknya kita masuk, bicarakan ini di dalam rumah, tidak baik membicarakan sesuatu yang serius di depan rumah seperti ini," ucap Ayah.Sesuai dengan keinginan Ayah, kami masuk ke rumah. Lita juga diajak masuk oleh Mia meskipun dia lebih banyak diam.Kami berada di ruang tamu sekarang. Membicarakan masalah besar ini dengan kepala dingin. Aku ingin semuanya terungkapkan. Aku tolong ingin ada kebohongan lagi."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku yang duduk di sampingnya."Ke

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Pelukan Lita terasa sangat hangat, jauh berbeda dengan pelukan Bunda. Aku merasa nyaman dalam dekapan wanita ini. Rasanya benar-benar tidak bisa aku jelaskan."La, lu bilang apa?" tanya Mita yang sepertinya bingung."Gue beneran anaknya, Ta.""Jangan aneh-aneh deh, lu punya bukti?"Aku mengambil kertas yang sedari tadi ada di saku celanaku. Aku langsung menunjukkannya kepada Mita tentang apa yang tertera di sana."Ini apa?""Hasil tes DNA gue dan Ibu Lita, hasilnya gue anak kandung wanita-wanita ini," ucapku sambil mencium lembut pipi Ibu Lita."La?""Gue seneng banget karena tahu kebenaran ini.""Tapi, La. Lu dapet dari mana kertas ini?"Aku menceritakan bagaimana aku dapat kertas hasil DNA itu. Awalnya Mita masih berusaha meyakinkan aku jika kertas ini bisa saja dibuat, tetapi aku menyangkal karena ada tanda tangan dokter dan tanda sebuah rumah sakit."La, lu gak apa-apa?""Gak, sekarang gue tau siapa gue sebenarnya."Aku, Mita, dan Ibu Lita saling berpelukan sambil menangis. Sampai

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Aku membaca ulang hasil tes DNA yang ada di tanganku. Aku harap aku salah liat. Namun, berapa kali pun aku membacanya, di sana tertera namaku dan nama Lita.Air mata tidak bisa aku bendung lagi. Dadaku sesak mengingat pelukan Lita yang terasa sangat hangat. Pelukan itu adalah pelukan seorang ibu.Aku menutup mulut agar tangisku tidak terdengar oleh orang rumah. Aku duduk sambil memeluk lutut. Sesegukan sendirian karena tahu sebuah kebenaran yang disembunyikan oleh Bang Angga dan pastinya keluarga ini.Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis. Kenyataan ini begitu membuatku merasa sedih. Meskipun sudah menduganya, rasa sesak semakin berkecamuk dalam dada.Sekarang aku tidak bisa berpikir jernih. Menangis dan menangis hanya itu saja sambil mengingat senyuman tulus Lita ketika melihatku. Tak sepantasnya aku memanggilnya Lita, harusnya aku memanggilnya dengan sebutan Ibu, sebab dia adalah wanita yang melahirkanku.Sampai pagi menjelang aku tidak tidur. Aku juga sudah berhenti menan

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Bab 42 : Rahasia Angga (POV Aqila)Aku dan Mita terkejut melihat Bang Angga yang tiba-tiba saja memeluk Mia. Apa-apaan ini? Kenapa bisa seperti ini? Apa mereka saling kenal dan memiliki hubungan? Banyak pertanyaan yang ada dalam benakku. Inginku mengutarakannya, tetapi aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Lebih baik aku menunggu Bang Angga menjelaskan ini semua.Aku dan Mita memilih menjauh dari pasangan yang entah aku harus menyebutnya apa. Mia terlihat mengusap matanya begitu Bang Angga melepaskan pelukkannya. Aku seperti tengah berada dalam sebuah drama.Aku dan Mita saling pandang dan memilih mengalihkan pandangan dari dua orang yang entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya."La.""Hmm.""Sejak kapan Bang Angga kenal dengan Kak Mia?" tanya Mita."Itu pertanyaan yang sama seperti yang ada dalam otak gue.""Owh, okeh."Hening, Mita tidak bertanya lagi. Mungkin dia juga tengah memikirkan apa yang aku pikir. Masalah dalam hidupku semakin rumit sekarang, tetapi aku yakin semuanya ak

  • Bayi Siapa?   POV Aqila (kehadiran Mia)

    "Sekarang bagaimana, La?" tanya Mita yang tengah berbaring di ranjangku."Apa? Soal lu sama Bang Angga? Ngebet banget lu!" ucapku mencubit perutnya."Bukan itu, soal Lita."Aku buru-buru menutup mulut Mita sambil celingukan. Menyebut nama itu adalah hal yang tabu di rumah ini. Aku harap Bunda tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Mita tadi."Jangan bahas itu di sini.""Oke," jawab Mita dengan wajah bingung.Aku mengajak Mita keluar rumah untuk membicarakan Lita."Aqila, mau ke mana?" tanya Bunda."Nganterin Mita pulang, Bun," jawabku asal."Lho, Mita sudah mau pulang?""Eh, iya, Bun. Sudah siang.""Biar Angga yang antar!" perintah Bunda."Bang Angga sepertinya masih marah, Bun. Lebih baik sama pak sopir aja," ucapku."Baiklah."Dengan diantar pak sopir aku mengantarkan Mita pulang. Sebenarnya ini lucu, harusnya Mita pulang sendiri dengan sopir tanpa aku ikut, tetapi penyelidikan kami belum selesai, kami harus memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.Tiba di rumah Mita, aku l

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Aku berdiri di depan pintu kamar Lita bersama dua orang suster. Sementara itu, Lita tengah berbincang dengan Mita. Suatu kebetulan jika ternyata Mia atau sahabat Lita adalah kakak dari Mita. Dengan begini kami bisa mengorek lebih dalam tentang apa yang terjadi dengan Lita.Mita terlihat antusias mendengar Lita berbicara. Mereka layaknya sahabat yang sangat akrab. Sayangnya dari tempatku berdiri, aku tidak bisa mendengar apa pun. Tidak mengapa, nanti aku bisa bertanya kepada Mita tentang apa yang mereka bicarakan."Lita terlihat senang, baru kaki aku melihatnya seperti sekarang," ucap Suster."Iyakah, Sus?" tanyaku."Iya, emosinya terlihat stabil dan itu bagus.""Lita tertekan ya, Sus. Dia depresi dan akhirnya menjadi seperti ini. Apakah hanya KDRT yang menyebabkan Lita menjadi begini?" tanyaku."Kehilangan anak di usia muda adalah awal dari segalanya. Aku membaca buku riwayat pasien milik Lita dan di sana tertulisnya jelas jika dia hamil diluar nikah dan melahirkan tanpa suami."Lita

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    "Aqila, bangun, sudah siang, Nak!"Aku membuka mata perlahan sambil melihat siapa yang menepuk badanku. Terlihat Bunda tengah tersenyum lembut."Sudah siang, ayo bangun!""Sebentar lagi, Bun. Aku masih mengantuk. Lagi pula sekolah libur hari ini.""Baiklah kalau begitu, tidurlah tiga puluh menit lagi.""Makasih, Bunda."Bunda Ibu yang sangat pengertian. Saking pengertiannya, aku sering merasa beliau terlalu baik untuk ukuran ibu kandung. Marah saja beliau sangat jarang meskipun aku sering berbuat salah. Berbeda dengan ibu kebanyakan yang akan marah ketika anaknya membuat kesalahan. Entah harus senang atau semakin curiga jika aku memang bukan anak kandung.Aku kembali memejamkan mata untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda tadi. Namun, baru saja mata ini terpenjam, ponselku bergetar.Drtt ... DrttAku buru-buru mengambilnya, semoga saja ini sesuatu yang penting. Jika tidak, aku pasti marah besar."Halo, Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam, La, lu udah rapi?" tanya seseorang

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Seminggu telah berkali-kali setelah aku memergoki Mita dan Fajar berada di taman kota. Sejak itu pula aku tidak ingin bertemu mereka. Kebetulan saat ujian aku tidak sekelas dengan Mita. Begitupun dengan Fajar, dia sudah diterima kerja entah di mana, jujur saja aku tidak mau tahu tentangnya lagi.Setiap hari selama seminggu ini aku berusaha menghindari Mita yang ingin memberi penjelasan. Aku sengaja tidak ingin mendengar apa pun darinya. Aku ingin fokus mengerjakan soal ujian.Hari ini ujian terakhir. Karena cuma satu mata pelajaran, aku meninggalkan sekolah lebih awal. Aku tidak ingin berlama-lama di sekolah ataupun kantin. Aku juga malas jika bertemu Mita."La, Tunggu!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar. Aku mengabaikan teriakan Mita. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi darinya. Sangat disayangkan memang persahabatan kami harus hancur karena kebohongannya.Aku mempercepat langkah agar tidak terkejar oleh Mita. Namun, dia berhasil memegang tanganku."La, tunggu. Gue t

  • Bayi Siapa?   38 POV Aqila

    Hampir setiap hari aku terlambat pulang ke rumah karena pelajaran tambahan yang luar biasa banyak. Tidak mengapa, aku senang karena memiliki teman baru. Fajar ternyata sangat baik dan nyambung jika diajak berbincang. Tiap hari kami ngobrol sambil menunggu jam tambahan di mulai. Ada saja bahan yang kami bicarakan. Aku kadang mendengarkan cerita fajar tentang kampungnya dan alasan dia tidak bisa meneruskan sekolah. Jika sudah begitu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung karena bisa hidup nyaman dan bersekolah di tempat yang aku mau. Kadang kita memang perlu melihat ke bawah agar kita menjadi pandai bersyukur."Lusa ujian kelulusan di mulai, gue takut gak lulus," ucapku."Yakin aja, La. Kamu pasti lulus," ucap Fajar menenangkanku."Kalo gak lulus gimana? Gue harus ngulang lagi, gitu?""Lu itu terlalu parno, La. Yakin kita lulus dengan nilai sempurna," timpal Mita."Kalian ini orang-orang beruntung yang bisa sekolah dan pasti akan melanjutkan kuliah, belajar lebih giat untuk men

DMCA.com Protection Status