Share

Bab 2

Penulis: Puput Gunawan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kutimang-timang bayi perempuan dalam gendongan. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menimang bayi. Terakhir sekitar tujuh belas tahun lalu saat Angga baru lahir.

 

Karena baru lahir, bayi perempuanku masih lebih banyak tidur serta belum bisa di ajak bermain. Segera aku menaruhnya di atas tempat tidur di dalam kamarku.

 

"Aqila tidur, Bun?" tanya suamiku yang sedang bersiap untuk ke toko milik kami.

 

"Iya, dia masih bayi jadi lebih banyak tidur," jawabku.

 

"Kamu itu sangat perhatian dengan bayi itu jadi lupa sama aku," rajuk suamiku.

 

"Tentu saja tidak, Sayang. Kamu tetap nomor satu," ucapku mencium lembut pipi suamiku.

 

"Ya sudah, rawat Aqila baik-baik karena itu keinginanmu. Jangan mengeluh jika lelah," ucapnya.

 

Aqila, kami menamai bayi mungil itu. Nama yang sangat cantik untuk anggota baru keluarga kami. Aku mengantar suami ke depan rumah. Dia segera pamit untuk berangkat kerja.

 

Saat kembali masuk, aku melihat Ami. Dia tengah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Wajahnya masih seperti tadi pagi, pucat. Mataku tertuju pada bokong Ami. Darah segar terlihat di rok yang dia kenakan.

 

"Ami, kamu sedang datang bulan?" tanyaku.

 

"Iya, Bu. Hari pertama jadi deras banget. Ibu tau dari mana?"

 

"Kamu tembus, liat tuh rok kamu," ucapku.

 

Ami langsung melihat bokongnya dan berlalu. Gadis itu ceroboh sekali, tidak sadar kalau tembus begitu. Aku segera ke kamar Angga, karena sampai jam segini belum juga bangun, padahal harus berangkat ke sekolah.

 

Pintu kamar anak keduaku itu memang jarang di kunci, aku dengan mudahnya masuk ke dalam dan membangunkan Angga.

 

"Ga, bangun," ucapku.

 

"Hmm."

 

"Bukan hmm, bangun sudah siang," ucapku seraya mengguncang tubuhnya.

 

"Masih ngantuk, Bun. Lagian tadi pagi di bangunin sekarang aku masih ingin tidur," ucap Angga tanpa membuka mata.

 

"Cepat bangun atau bunda siram," ucapku.

 

Ancaman sukses membuat Angga bangun. Aku segera keluar dari kamarnya karena Aqila terdengar menangis. Aku tersenyum karena Amran ada di kamarku tengah menenangkan bayi mungil itu.

 

"Bun, cara gendongnya gimana sih?" tanya Amran.

 

"Emangnya kamu mau gendong,"

 

"Hu'um."

 

Aku membantu Amran menggendong adiknya. Dia terlihat sangat menyayangi bayi itu padahal baru beberapa jam Aqila bersama kami. Amran berjalan perlahan meninggalkan kamar sambil menimang bayi. Pemuda itu memang sudah pantas menjadi seorang ayah.

 

"Mau di bawa kemana?" tanyaku.

 

"Keluar, Bun. Berjemur."

 

"Kalau dilihat tetangga gimana?"

 

"Pagar rumah kita tinggi, mana mungkin terlihat."

 

Amran sangat kebapakan. Wajar saja, usianya kini dua puluh lima tahun, sudah pantas untuk berkeluarga dan punya anak. Namun, Amran tidak pernah sekalipun membawa teman wanitanya ke rumah.

 

"Bun, aku berangkat sekolah dulu," ucap Angga seraya mencium tanganku.

 

"Bayi gak jelas tuh, Bang," ucap Angga melirik Aqila.

 

"Angga, Aqila sekarang adikmu," ucapku.

 

Angga segera berlalu menuju garasi.

 

"Bu, Ami berangkat ya," ucap Ami pamit.

 

Aku memperhatikan anak itu karena terlihat mencurigakan. Sesekali kulihat dia mencuri pandang dengan bayi yang di gendong oleh Amran.

 

"Ami, tunggu. Balik badan dulu," perintahku.

 

Ami menuruti perintahku dia membalik badannya. Dengan seksama aku perhatikan dia, terutama bokongnya yang tembus tadi.

 

"Sudah Ami ganti, Bu. Sekarang pakai dua pembalut malah biar aman," ucap Ami.

 

Terus aku perhatikan gadis manis itu. Tidak ada yang aneh, hanya dia terlihat pucat. Itu saja. Namun, aku tidak boleh lengah. Siapa saja bisa jadi orang tua kandung Aqila.

 

"Bun, aku berangkat!" teriak Angga.

 

"Barengan sama Ami saja. Kasihan dia pucat begitu," ucapku.

 

"Ami bisa sendiri, Bu," ucap Ami.

 

"Siap, Bun. Ami ayo naek," ucap Angga.

 

"Sudah sana, kamu terlihat tidak sehat. Lebih baik bareng sama Angga saja."

 

Ami menuruti perintahku. Gadis itu memang penurut dan polos. Sejak lulus sekolah dasar dia ikut ibunya untuk tinggal di sini. Sekolah di tempat yang sama dengan Angga karena mereka seumuran. Entah kenapa aku mencurigai dia karena cuma dia yang bisa hamil di keluarga kami. Mbok Iin tidak mungkin sebab seumuran denganku.

 

Kulihat Amran masih asyik menggendong Aqila. Bayi perempuan itupun tertidur dalam gendongan Amran.

 

"Kamu itu sudah pantas menjadi ayah," ucapku.

 

Amran terbatuk. Dia kemudian menatapku.

 

"Bunda apaan sih."

 

"Itu tandanya Bunda ingin punya menantu dan cucu, secepatnya kamu harus cari istri. Usia kamu juga sudah cukup untuk itu."

 

"Kalau sudah menemukan wanita yang seperti bunda, aku pasti menikah," ucap Amran.

 

Amran kembali asyik menimang Aqila, anak itu memang anti jika aku bicara soal menantu. Entahlah, sepertinya dia belum menemukan wanita yang cocok untuknya.

 

******

 

Hari sudah siang. Aku membuatkan susu untuk Aqila. Tiba-tiba saja ponselku bergetar, aku segera mengambilnya sambil menggendong Aqila yang rewel.

 

"Mbok, buatkan susu," ucapku.

 

Kebetulan mbok Iin sedang ada di dekatku. Aku segera mengangkat telpon yang dari tadi bergetar. Dari nomor yang tertera itu dari Angga. Ada apa anak itu menelpon di jam segini.

 

"Halo, assalamualaikum," ucapku.

 

"Waalaikumsalam, Bunda." jawab Angga.

 

"Ada apa, Nak?"

 

"Ami pingsan di sekolah, Bun."

 

Bersambung.

Bab terkait

  • Bayi Siapa?   BAB 3

    Kecurigaanku sepertinya terjawab sekarang, Ami pingsan di sekolah dan aku akan pergi ke sana untuk menjemputnya. Dengan menyewa taksi online aku bergegas menuju ke SMA di mana Angga dan Ami bersekolah.Setibanya di sana aku langsung menuju ruang UKS. Terlihat Ami terbaring lemas di ranjang. Angga dan seorang siswi, mungkin temannya Ami berada di sini."Bunda, Ami kita bawa ke rumah sakit aja, kasihan," ucap Angga."Iya,"Aku segera menghampiri Ami yang begitu pucat. Aku akan membawa Ami ke kedokter untuk di periksa kesehatannya.Setelah pamit pada guru yang merawat Ami selagi pingsan tadi, aku segera mengajaknya ke dokter. Ada yang tidak beres dengan anak itu.*****Dokter sedang memeriksa kondisi Ami, aku sengaja membawanya ke dokter kandungan agar kecurigaanku terhadap Ami bisa t

  • Bayi Siapa?   Bab 4

    Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menghampiri Ami yang masih menangis. Kupeluk erat gadis manis itu. Gadis yang kuanggap sebagai anakku sendiri."Bu, maaf," ucapnya.Aku bingung harus berbicara apa. Di otakku ingin bertanya banyak hal kepada Ami. Namun, aku takut malah membuatnya tertekan. Karena bisa saja dia korban dari laki-laki tidak bertanggung jawab.Air mata menetes dari kedua mataku. Ada rasa kecewa dalam diri ini. Aku merasa gagal melindungi Ami hingga dia menjadi seperti ini."Bu, Ami mohon maaf," ucapnya."Semua bukan salahmu, ini salahku karena tidak bisa menjagamu dengan baik.""Bu, tolong rahasiakan ini dari ambu. Ami tidak ingin beliau sedih," pinta Ami.Satu botol cairan infus sudah habis, Ami di izinkan pulang. Kami tengah menunggu obat. Angga ter

  • Bayi Siapa?   Bab 5

    Kepalaku sakit memikirkan banyak hal. Lebih baik mandi air hangat untuk menyegarkan pikiran. Semua orang di rumah terlihat mencurigakan untukku.Aku segera keluar dari kamar mandi dan masuk ke dalam kamar, terlihat Mas Abi, suamiku tengah menatap Aqila."Tumben sudah pulang?" tanyaku."Iya, Bun. Khawatir dengan kamu, merawat Aqila dan Ami. Tadi siang di toko kata Amran Ami sakit," jawab suamiku.Mas Abi dan Amran memang mengelola toko furniture milik kami. Penghasilan dari sana lumayan bisa menghidupi keluarga kami."Ami bagaimana? Kenapa dia?" tanya Mas Abi."Biasa, masalah perempuan," jawabku.Sebenarnya ingin sekali aku jujur pada Mas Abi, tapi takut. Sebab aku pun mencurigainya. Di sini ada tiga orang laki-laki yang aku curigai. Amran, Angga dan suamiku sendiri karena bagaimana

  • Bayi Siapa?   Bab 6

    Sebaiknya kita tanya saja siapa pelakunya kepada Ami, dari pada Bunda terus mencurigai banyak orang.""Tidak sekarang, Yah. Aku takut Ami stress dan bisa mempengaruhi kesehatannya."Apakah aku bisa mempercayai suamiku sekarang? Dia terlihat tidak bersalah, tapi jujur saja aku masih mencurigainya. Siapapun bisa jadi tersangka yang menghamili Ami."Kasihan Ami. Dia pasti tertekan. Bagaimanapun aku menganggap gadis itu seperti anakku sendiri.""Jujur aku curiga padamu, Yah" ucapku.Mas Abi menatap mataku. Dia tersenyum kecil dan mulai meyakinkan aku bahwa dia tidak seperti yang aku tuduhkan."Atik, Sayang. Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun dari kamu. Jika ingin selingkuh kenapa harus dengan Ami yang sudah kita anggap anak sendiri.""Pernahkah ayah membaca kisah detektif? Pelaku

  • Bayi Siapa?   Bab 7

    Semua orang kucurigai sekarang terlebih teman-teman Ami yang kemarin datang berkunjung. Aku mencari tahu lewat Angga seberapa dekat mereka. Cewek ataupun cowok sama-sama aku curigai karena tidak ada hal yang mustahil. Bisa saja Ami di ajak sahabat wanitanya nonton film tapi ternyata malah berbuat yang tidak-tidak.Teman laki-laki pun tidak luput dari perhatianku. Kemaren ada tiga orang yang datang. Gerak gerik ketiganya sangat mencurigakan bisa saja salah satu dari mereka pelakunya.****Hari ini hari Minggu. Rencananya aku akan mengintrogasi Angga untuk mencari tahu lebih dalam tentang teman-teman mereka kemarin. Adakah yang dekat dengan Ami atau sahabat, terutama yang laki-laki yang sering bersama dengan Ami.Aku masuk ke dalam kamar Angga. Seperti biasa Angga sibuk dengan ponselnya. Aku menghampiri dia."Sudah makan?" tanyaku.

  • Bayi Siapa?   Bab 8

    BAYI SIAPA?Part 8Aku tengah berbelanja di tukang sayur. Sebenarnya aku lebih suka belanja di pasar dan sangat jarang berbelanja di tukang sayur keliling karena selain kurang lengkap, terkadang sering terjadi obrolan yang menurutku tidak penting. Kali ini terpaksa, sebab tidak ada yang menjaga Aqila jika aku ke pasar. Mbok Iin kasihan harus menjaga Aku dan Aqila."Tumben Bu Atik berbelanja di sini," ucap Bu Mirna salah seorang tetangga."Iya, Bu belum sempat ke pasar," jawabku."Sibuk sama cucu baru ya Bu?" tanya Bu RT.Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Bu RT tanpa bisa menjawabnya, mau kujawab apa? Aqila itu bukan anak Amran."Iya, dengar-dengar Amran sudah menikah, Bu Atik ini gimana sih, nikahin anaknya gak ngundang-ngundang," ucap Bu Rina.

  • Bayi Siapa?   Bab 9

    BAYI SIAPA?Part 9"Bun, sarapan dulu yuk!" Ajak suamiku."Bunda gak lapar, Yah.""Temenin ayah sarapan aja."Aku langsung mengekor pada Mas Abi yang mengajakku untuk sarapan. Namun, aku sama sekali tidak merasa lapar. Masalah ini menguras pikiran dan membuatku tidak nafsu makan."Bun, jangan terlalu banyak pikiran," ucap suamiku."Tidak, hanya saja tatapan Amran terhadap Ami sulit di jelaskan.""Kamu mencurigai Amran?""Tentu saja. Semua laki-laki di rumah ini aku curigai.""Termasuk ayah?"Aku mengangguk. Mas Abi hanya tersenyum dan mulai menyodorkan sesendok nasi goreng hangat buatan Mbok Iin ke depan bibirku."Makan dulu. Setelah maki

  • Bayi Siapa?   Bab 10 POV Amran

    Part 10"Kak, boleh minta minum?" tanya seorang gadis berkuncir dua menghampiriku yang tengah berada di depan kulkas.Aku bingung siapa gadis itu. Aku tidak punya adik perempuan, ada pun Angga adik laki-lakiku yang super rese."Nih," ucapku menyodorkan sebotol air dingin.Anak itu berlari kecil. Aku mengikuti kemana dia pergi dan berhenti tepat di kamar mbok Iin.Mau apa dia di sana. Mungkin saudara mbok Iin yang sedang berkunjung ke sini.Aku segera pergi dari dapur dan menuju ke dalam kamar untuk melanjutkan tugas kuliah. Tiba-tiba saja ada seseorang yang masuk dan merengek ingin di ajarkan membuat PR. Tidak lain dan tidak bukan dia adalah Angga. Adik laki-laki yang menjengkelkan.Aku beranjak dari kamarku dan menuju ruang tamu tempat Angga membuat PRnya. Anak perempuan itu ada di sana juga. Aku t

Bab terbaru

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Semua orang tertegun dengan penuturan Mia. Bagaimana ini bisa terjadi? Kebenarannya adalah Mita anak Lita, bukan aku? Lantas siapa aku? Kenapa ada kertas hasil DNA aku dan Lita? Lagi-lagi kepalaku di penuhi oleh banyak pertanyaan. Namun, enggan untuk aku tanyakan terlebih melihat Mita yang sedari tadi diam saja."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku.Hening, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Mita. Dia benar-benar terpukul. Bunda menghampiri gadis itu dan beliau memeluknya. Aku tahu kenyataan ini begitu pahit."Sebaiknya kita masuk, bicarakan ini di dalam rumah, tidak baik membicarakan sesuatu yang serius di depan rumah seperti ini," ucap Ayah.Sesuai dengan keinginan Ayah, kami masuk ke rumah. Lita juga diajak masuk oleh Mia meskipun dia lebih banyak diam.Kami berada di ruang tamu sekarang. Membicarakan masalah besar ini dengan kepala dingin. Aku ingin semuanya terungkapkan. Aku tolong ingin ada kebohongan lagi."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku yang duduk di sampingnya."Ke

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Pelukan Lita terasa sangat hangat, jauh berbeda dengan pelukan Bunda. Aku merasa nyaman dalam dekapan wanita ini. Rasanya benar-benar tidak bisa aku jelaskan."La, lu bilang apa?" tanya Mita yang sepertinya bingung."Gue beneran anaknya, Ta.""Jangan aneh-aneh deh, lu punya bukti?"Aku mengambil kertas yang sedari tadi ada di saku celanaku. Aku langsung menunjukkannya kepada Mita tentang apa yang tertera di sana."Ini apa?""Hasil tes DNA gue dan Ibu Lita, hasilnya gue anak kandung wanita-wanita ini," ucapku sambil mencium lembut pipi Ibu Lita."La?""Gue seneng banget karena tahu kebenaran ini.""Tapi, La. Lu dapet dari mana kertas ini?"Aku menceritakan bagaimana aku dapat kertas hasil DNA itu. Awalnya Mita masih berusaha meyakinkan aku jika kertas ini bisa saja dibuat, tetapi aku menyangkal karena ada tanda tangan dokter dan tanda sebuah rumah sakit."La, lu gak apa-apa?""Gak, sekarang gue tau siapa gue sebenarnya."Aku, Mita, dan Ibu Lita saling berpelukan sambil menangis. Sampai

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Aku membaca ulang hasil tes DNA yang ada di tanganku. Aku harap aku salah liat. Namun, berapa kali pun aku membacanya, di sana tertera namaku dan nama Lita.Air mata tidak bisa aku bendung lagi. Dadaku sesak mengingat pelukan Lita yang terasa sangat hangat. Pelukan itu adalah pelukan seorang ibu.Aku menutup mulut agar tangisku tidak terdengar oleh orang rumah. Aku duduk sambil memeluk lutut. Sesegukan sendirian karena tahu sebuah kebenaran yang disembunyikan oleh Bang Angga dan pastinya keluarga ini.Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis. Kenyataan ini begitu membuatku merasa sedih. Meskipun sudah menduganya, rasa sesak semakin berkecamuk dalam dada.Sekarang aku tidak bisa berpikir jernih. Menangis dan menangis hanya itu saja sambil mengingat senyuman tulus Lita ketika melihatku. Tak sepantasnya aku memanggilnya Lita, harusnya aku memanggilnya dengan sebutan Ibu, sebab dia adalah wanita yang melahirkanku.Sampai pagi menjelang aku tidak tidur. Aku juga sudah berhenti menan

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Bab 42 : Rahasia Angga (POV Aqila)Aku dan Mita terkejut melihat Bang Angga yang tiba-tiba saja memeluk Mia. Apa-apaan ini? Kenapa bisa seperti ini? Apa mereka saling kenal dan memiliki hubungan? Banyak pertanyaan yang ada dalam benakku. Inginku mengutarakannya, tetapi aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Lebih baik aku menunggu Bang Angga menjelaskan ini semua.Aku dan Mita memilih menjauh dari pasangan yang entah aku harus menyebutnya apa. Mia terlihat mengusap matanya begitu Bang Angga melepaskan pelukkannya. Aku seperti tengah berada dalam sebuah drama.Aku dan Mita saling pandang dan memilih mengalihkan pandangan dari dua orang yang entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya."La.""Hmm.""Sejak kapan Bang Angga kenal dengan Kak Mia?" tanya Mita."Itu pertanyaan yang sama seperti yang ada dalam otak gue.""Owh, okeh."Hening, Mita tidak bertanya lagi. Mungkin dia juga tengah memikirkan apa yang aku pikir. Masalah dalam hidupku semakin rumit sekarang, tetapi aku yakin semuanya ak

  • Bayi Siapa?   POV Aqila (kehadiran Mia)

    "Sekarang bagaimana, La?" tanya Mita yang tengah berbaring di ranjangku."Apa? Soal lu sama Bang Angga? Ngebet banget lu!" ucapku mencubit perutnya."Bukan itu, soal Lita."Aku buru-buru menutup mulut Mita sambil celingukan. Menyebut nama itu adalah hal yang tabu di rumah ini. Aku harap Bunda tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Mita tadi."Jangan bahas itu di sini.""Oke," jawab Mita dengan wajah bingung.Aku mengajak Mita keluar rumah untuk membicarakan Lita."Aqila, mau ke mana?" tanya Bunda."Nganterin Mita pulang, Bun," jawabku asal."Lho, Mita sudah mau pulang?""Eh, iya, Bun. Sudah siang.""Biar Angga yang antar!" perintah Bunda."Bang Angga sepertinya masih marah, Bun. Lebih baik sama pak sopir aja," ucapku."Baiklah."Dengan diantar pak sopir aku mengantarkan Mita pulang. Sebenarnya ini lucu, harusnya Mita pulang sendiri dengan sopir tanpa aku ikut, tetapi penyelidikan kami belum selesai, kami harus memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.Tiba di rumah Mita, aku l

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Aku berdiri di depan pintu kamar Lita bersama dua orang suster. Sementara itu, Lita tengah berbincang dengan Mita. Suatu kebetulan jika ternyata Mia atau sahabat Lita adalah kakak dari Mita. Dengan begini kami bisa mengorek lebih dalam tentang apa yang terjadi dengan Lita.Mita terlihat antusias mendengar Lita berbicara. Mereka layaknya sahabat yang sangat akrab. Sayangnya dari tempatku berdiri, aku tidak bisa mendengar apa pun. Tidak mengapa, nanti aku bisa bertanya kepada Mita tentang apa yang mereka bicarakan."Lita terlihat senang, baru kaki aku melihatnya seperti sekarang," ucap Suster."Iyakah, Sus?" tanyaku."Iya, emosinya terlihat stabil dan itu bagus.""Lita tertekan ya, Sus. Dia depresi dan akhirnya menjadi seperti ini. Apakah hanya KDRT yang menyebabkan Lita menjadi begini?" tanyaku."Kehilangan anak di usia muda adalah awal dari segalanya. Aku membaca buku riwayat pasien milik Lita dan di sana tertulisnya jelas jika dia hamil diluar nikah dan melahirkan tanpa suami."Lita

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    "Aqila, bangun, sudah siang, Nak!"Aku membuka mata perlahan sambil melihat siapa yang menepuk badanku. Terlihat Bunda tengah tersenyum lembut."Sudah siang, ayo bangun!""Sebentar lagi, Bun. Aku masih mengantuk. Lagi pula sekolah libur hari ini.""Baiklah kalau begitu, tidurlah tiga puluh menit lagi.""Makasih, Bunda."Bunda Ibu yang sangat pengertian. Saking pengertiannya, aku sering merasa beliau terlalu baik untuk ukuran ibu kandung. Marah saja beliau sangat jarang meskipun aku sering berbuat salah. Berbeda dengan ibu kebanyakan yang akan marah ketika anaknya membuat kesalahan. Entah harus senang atau semakin curiga jika aku memang bukan anak kandung.Aku kembali memejamkan mata untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda tadi. Namun, baru saja mata ini terpenjam, ponselku bergetar.Drtt ... DrttAku buru-buru mengambilnya, semoga saja ini sesuatu yang penting. Jika tidak, aku pasti marah besar."Halo, Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam, La, lu udah rapi?" tanya seseorang

  • Bayi Siapa?   POV Aqila

    Seminggu telah berkali-kali setelah aku memergoki Mita dan Fajar berada di taman kota. Sejak itu pula aku tidak ingin bertemu mereka. Kebetulan saat ujian aku tidak sekelas dengan Mita. Begitupun dengan Fajar, dia sudah diterima kerja entah di mana, jujur saja aku tidak mau tahu tentangnya lagi.Setiap hari selama seminggu ini aku berusaha menghindari Mita yang ingin memberi penjelasan. Aku sengaja tidak ingin mendengar apa pun darinya. Aku ingin fokus mengerjakan soal ujian.Hari ini ujian terakhir. Karena cuma satu mata pelajaran, aku meninggalkan sekolah lebih awal. Aku tidak ingin berlama-lama di sekolah ataupun kantin. Aku juga malas jika bertemu Mita."La, Tunggu!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar. Aku mengabaikan teriakan Mita. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi darinya. Sangat disayangkan memang persahabatan kami harus hancur karena kebohongannya.Aku mempercepat langkah agar tidak terkejar oleh Mita. Namun, dia berhasil memegang tanganku."La, tunggu. Gue t

  • Bayi Siapa?   38 POV Aqila

    Hampir setiap hari aku terlambat pulang ke rumah karena pelajaran tambahan yang luar biasa banyak. Tidak mengapa, aku senang karena memiliki teman baru. Fajar ternyata sangat baik dan nyambung jika diajak berbincang. Tiap hari kami ngobrol sambil menunggu jam tambahan di mulai. Ada saja bahan yang kami bicarakan. Aku kadang mendengarkan cerita fajar tentang kampungnya dan alasan dia tidak bisa meneruskan sekolah. Jika sudah begitu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung karena bisa hidup nyaman dan bersekolah di tempat yang aku mau. Kadang kita memang perlu melihat ke bawah agar kita menjadi pandai bersyukur."Lusa ujian kelulusan di mulai, gue takut gak lulus," ucapku."Yakin aja, La. Kamu pasti lulus," ucap Fajar menenangkanku."Kalo gak lulus gimana? Gue harus ngulang lagi, gitu?""Lu itu terlalu parno, La. Yakin kita lulus dengan nilai sempurna," timpal Mita."Kalian ini orang-orang beruntung yang bisa sekolah dan pasti akan melanjutkan kuliah, belajar lebih giat untuk men

DMCA.com Protection Status