BAYI SIAPA?Part 16Aku pulang dari sekolah dan melihat pemandangan yang sungguh tidak mengenakan. Bunda, mbok Iin dan Ami tengah menangis. aku tahu ini semua akan terjadi.Haruskah aku beritahu segalanya? Atau diam saja seperti yang Ami lakukan? Jujur aku kasihan dengan Bang Amran. Dia tidak tahu apa-apa, tapi harus bertanggung jawab atas apa yang tidak dilakukannya.Cinta itu buta benar adanya. Bang Amran contoh nyatanya. Jelas-jelas Ami hamil dan keguguran, masih saja menyukai gadis itu seperti tidak ada gadis lainnya saja di dunia ini.Pukulan ayah juga tidak mengubah pendiriannya untuk jujur saja dari pada harus menanggung akibat yang bukan perbuatannya. Aku sudah tahu lama jika Bang Amran menyukai Ami. Entah apa menariknya gadis itu hingga kakakku begitu mencintainya.Melihat Ami yang penuh luka karena d
BAYI SIAPA?Part 17Aku tengah mengobati luka-luka di wajah dan tubuh Aldo, sahabat Ami dan Angga dan juga pelaku yang membuat Ami menjadi seperti sekarang ini. Ada perasaan marah dan ingin memukul pemuda yang ada di depanku ini. Namun, naluri seorang ibu yang melihat anaknya terluka membuatku melupakan rasa tidak enak itu. Memilih mengobati lebam-lebam dan beberapa luka terbuka yang ada pada Aldo. Sesekali dia meringis saat aku membasuh lukanya dengan alkohol."Tahan ya, ini pasti perih," ucapku.Aldo hanya diam saja sekarang, berbeda ketika dia berkunjung ke sini tempo hari. Dia banyak bercanda dengan Angga."Aduh, pelan-pelan, Bang!" teriak Angga."Diem aja kenapa sih, lagi Abang obatin, nih," ucap Amran yang sedang mengobati luka-luka Angga."Emang gak ada cara lain selain berk
BAYI SIAPA?Part 18Sebulan telah berlalu sejak malam di mana Ami memilih memaafkan Aldo dengan syarat tidak akan berjumpa lagi. Yang aku dengar dari Angga, Aldo pindah sekolah. Syukurlah. Masalah Ami sudah beres.Kupandangi wajah bayi mungil yang berusia 40 hari itu. Dia berada dalam gendonganku sekarang, matanya yang bulat memandangku dengan tatapan yang sulit di jelaskan. Membuatnya semakin manis.Kuciumi pipi tembem Aqila. Meskipun belum mandi, tapi dia tetap wangi. Aqila menggeliat karena ciuman bertubi-tubi dariku, membuatku semakin gemas dengan bayi mungil itu."Bun, strollernya udah siap," ucap Amran."Iya, bawa ke sini. Kita ajak jalan-jalan Aqila."Rencana aku akan mengajak jalan-jalan Aqila kesekitar perumahan tempat kami tinggal. Untuk mengenalkan pada tetangga pu
BAYI SIAPA?Part 19"Yah, apa kamu sudah mengurus surat-surat untuk adopsi Aqila?" tanyaku."Belum, Bun. Di toko lagi banyak pesanan.""Secepatnya kita harus ke dinas sosial untuk mengurus surat adopsinya. Setelah itu baru kita kepengadilan.""Iya, Bun. Setelah urusan di toko selesai, Ayah akan secepatnya untuk mengurus semuanya.""Jujur saja aku takut, Yah!""Takut apa?""Takut orang tua kandung Aqila datang dan mengambilnya dari kita.""Jangan cemas, Sayang. Tidak ada yang bisa mengambil Aqila darimu."Mas Abi langsung memelukku, mencoba untuk menenangkan diri ini. Jujur saja aku sangat ketakutan jika Aqila di ambil orang tuanya. Aku sudah menyayangi bayi mungil itu lebih dari anakku.
BAYI SIAPA?Part 20Pov AnggaKulihat bunda tengah menangis. Kuhampiri beliau yang tengah menyusui Aqila. Air mata terus mengalir dari kedua matanya."Sudahlah, Bun jangan menangis lagi," ucapku.Bunda tidak menjawab pertanyaanku dia malah menatap Aqila. Aku tahu perasaannya seperti apa. Jujur saja aku pun menyayangi Aqila seperti adikku."Yang bunda takutkan terjadi," ucap Bunda."Apa bunda yakin jika Aqila anak Lita?" tanyaku."Iya, asisten rumah tangga Bu Lilis yang cerita ke Mbok Iin kalau dia melihat Lita melahirkan.""Bisa saja mereka berbohong?""Untuk apa?""Ya, bisa saja karena gemas melihat Aqila. Mereka jadi pengen gitu.""Sudah
BAYI SIAPA?Part 21Pov Angga"Apa kamu sudah yakin?" tanya Bang Amran."Tentu saja, omongan Mia sepertinya bisa di percaya," jawabku."Apa dia mau jadi saksi?" tanya Bang Amran lagi."Entahlah, aku belum bertanya sejauh itu.""Gue rasa gak, soalnya Mia dan Lita tuh sahabatan banget," ucap Ami."Lantas kita harus apa sekarang? Dan apa motif mereka mengakui Aqila sebagai anak Lita?" tanyaku."Desas-desus yang beredar memang Lita melahirkan siang hari dan itu dibenarkan oleh Mia," ucap Ami.Aqila ditemukan dini hari sementara Lita melahirkan siang hari dan anaknya meninggal. Penuturan pembantu rumah tangga mereka, ka
BAYI SIAPA?Part 22Pov AnggaPerdebatan sengit terus terjadi, kami dan keluarga Lita saling menunjukkan bukti kuat. Hingga akhirnya bang Amran menyarankan untuk tes DNA agar lebih akurat.Wajah keluarga Lita memucat mendengar apa yang dikatakan oleh Bang Amran. Mereka semua terdiam. Sepertinya akan menolak untuk tes DNA sebab Aqila memang bukan anak Lita."Bagaimana, Pak? Tes DNA adalah cara terbaik untuk mengungkapkan identitas Aqila sebenarnya," ucap bang Amran."Iya, jika itu memang sangat diperlukan," jawab Bu Lilis.Keputusan yang diambil malam ini adalah tes DNA Aqila dan Lita. Selama prosesnya berlangsung, Aqila akan tetap tinggal di rumah kami. Bunda terlihat senang sebab masih bisa bersama Aqila sampai seminggu ke
BAYI SIAPA?part 23Pov AmranAku menarik tangan Siti. Dia terlihat sangat ketakutan. itu terasa dari tangannya yang begitu dingin. Aku membawanya ke depan Bunda."Jangan takut, bicarakan yang sebenarnya," ucapku.Siti hanya terdiam. Bulir bening mulai mengalir dari kedua matanya. Artinya ini benar."Dari mana kamu tahu, Ran?" tanya Ayah."Potongan-potongan kebenaran yang aku satukan. CCTV, ucapan Bu Dea dan rumah sakit.""Maksudnya?" tanya Angga."Gambar di CCTV memang Siti dia yang membawa Aqila dan meletakkannya di depan rumah ini. Sementara anak dari Lita lahir prematur dan meninggal. Aku bertanya langsung kepada Bu Dea dan dia juga bersedia menja
Semua orang tertegun dengan penuturan Mia. Bagaimana ini bisa terjadi? Kebenarannya adalah Mita anak Lita, bukan aku? Lantas siapa aku? Kenapa ada kertas hasil DNA aku dan Lita? Lagi-lagi kepalaku di penuhi oleh banyak pertanyaan. Namun, enggan untuk aku tanyakan terlebih melihat Mita yang sedari tadi diam saja."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku.Hening, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Mita. Dia benar-benar terpukul. Bunda menghampiri gadis itu dan beliau memeluknya. Aku tahu kenyataan ini begitu pahit."Sebaiknya kita masuk, bicarakan ini di dalam rumah, tidak baik membicarakan sesuatu yang serius di depan rumah seperti ini," ucap Ayah.Sesuai dengan keinginan Ayah, kami masuk ke rumah. Lita juga diajak masuk oleh Mia meskipun dia lebih banyak diam.Kami berada di ruang tamu sekarang. Membicarakan masalah besar ini dengan kepala dingin. Aku ingin semuanya terungkapkan. Aku tolong ingin ada kebohongan lagi."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku yang duduk di sampingnya."Ke
Pelukan Lita terasa sangat hangat, jauh berbeda dengan pelukan Bunda. Aku merasa nyaman dalam dekapan wanita ini. Rasanya benar-benar tidak bisa aku jelaskan."La, lu bilang apa?" tanya Mita yang sepertinya bingung."Gue beneran anaknya, Ta.""Jangan aneh-aneh deh, lu punya bukti?"Aku mengambil kertas yang sedari tadi ada di saku celanaku. Aku langsung menunjukkannya kepada Mita tentang apa yang tertera di sana."Ini apa?""Hasil tes DNA gue dan Ibu Lita, hasilnya gue anak kandung wanita-wanita ini," ucapku sambil mencium lembut pipi Ibu Lita."La?""Gue seneng banget karena tahu kebenaran ini.""Tapi, La. Lu dapet dari mana kertas ini?"Aku menceritakan bagaimana aku dapat kertas hasil DNA itu. Awalnya Mita masih berusaha meyakinkan aku jika kertas ini bisa saja dibuat, tetapi aku menyangkal karena ada tanda tangan dokter dan tanda sebuah rumah sakit."La, lu gak apa-apa?""Gak, sekarang gue tau siapa gue sebenarnya."Aku, Mita, dan Ibu Lita saling berpelukan sambil menangis. Sampai
Aku membaca ulang hasil tes DNA yang ada di tanganku. Aku harap aku salah liat. Namun, berapa kali pun aku membacanya, di sana tertera namaku dan nama Lita.Air mata tidak bisa aku bendung lagi. Dadaku sesak mengingat pelukan Lita yang terasa sangat hangat. Pelukan itu adalah pelukan seorang ibu.Aku menutup mulut agar tangisku tidak terdengar oleh orang rumah. Aku duduk sambil memeluk lutut. Sesegukan sendirian karena tahu sebuah kebenaran yang disembunyikan oleh Bang Angga dan pastinya keluarga ini.Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis. Kenyataan ini begitu membuatku merasa sedih. Meskipun sudah menduganya, rasa sesak semakin berkecamuk dalam dada.Sekarang aku tidak bisa berpikir jernih. Menangis dan menangis hanya itu saja sambil mengingat senyuman tulus Lita ketika melihatku. Tak sepantasnya aku memanggilnya Lita, harusnya aku memanggilnya dengan sebutan Ibu, sebab dia adalah wanita yang melahirkanku.Sampai pagi menjelang aku tidak tidur. Aku juga sudah berhenti menan
Bab 42 : Rahasia Angga (POV Aqila)Aku dan Mita terkejut melihat Bang Angga yang tiba-tiba saja memeluk Mia. Apa-apaan ini? Kenapa bisa seperti ini? Apa mereka saling kenal dan memiliki hubungan? Banyak pertanyaan yang ada dalam benakku. Inginku mengutarakannya, tetapi aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Lebih baik aku menunggu Bang Angga menjelaskan ini semua.Aku dan Mita memilih menjauh dari pasangan yang entah aku harus menyebutnya apa. Mia terlihat mengusap matanya begitu Bang Angga melepaskan pelukkannya. Aku seperti tengah berada dalam sebuah drama.Aku dan Mita saling pandang dan memilih mengalihkan pandangan dari dua orang yang entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya."La.""Hmm.""Sejak kapan Bang Angga kenal dengan Kak Mia?" tanya Mita."Itu pertanyaan yang sama seperti yang ada dalam otak gue.""Owh, okeh."Hening, Mita tidak bertanya lagi. Mungkin dia juga tengah memikirkan apa yang aku pikir. Masalah dalam hidupku semakin rumit sekarang, tetapi aku yakin semuanya ak
"Sekarang bagaimana, La?" tanya Mita yang tengah berbaring di ranjangku."Apa? Soal lu sama Bang Angga? Ngebet banget lu!" ucapku mencubit perutnya."Bukan itu, soal Lita."Aku buru-buru menutup mulut Mita sambil celingukan. Menyebut nama itu adalah hal yang tabu di rumah ini. Aku harap Bunda tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Mita tadi."Jangan bahas itu di sini.""Oke," jawab Mita dengan wajah bingung.Aku mengajak Mita keluar rumah untuk membicarakan Lita."Aqila, mau ke mana?" tanya Bunda."Nganterin Mita pulang, Bun," jawabku asal."Lho, Mita sudah mau pulang?""Eh, iya, Bun. Sudah siang.""Biar Angga yang antar!" perintah Bunda."Bang Angga sepertinya masih marah, Bun. Lebih baik sama pak sopir aja," ucapku."Baiklah."Dengan diantar pak sopir aku mengantarkan Mita pulang. Sebenarnya ini lucu, harusnya Mita pulang sendiri dengan sopir tanpa aku ikut, tetapi penyelidikan kami belum selesai, kami harus memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.Tiba di rumah Mita, aku l
Aku berdiri di depan pintu kamar Lita bersama dua orang suster. Sementara itu, Lita tengah berbincang dengan Mita. Suatu kebetulan jika ternyata Mia atau sahabat Lita adalah kakak dari Mita. Dengan begini kami bisa mengorek lebih dalam tentang apa yang terjadi dengan Lita.Mita terlihat antusias mendengar Lita berbicara. Mereka layaknya sahabat yang sangat akrab. Sayangnya dari tempatku berdiri, aku tidak bisa mendengar apa pun. Tidak mengapa, nanti aku bisa bertanya kepada Mita tentang apa yang mereka bicarakan."Lita terlihat senang, baru kaki aku melihatnya seperti sekarang," ucap Suster."Iyakah, Sus?" tanyaku."Iya, emosinya terlihat stabil dan itu bagus.""Lita tertekan ya, Sus. Dia depresi dan akhirnya menjadi seperti ini. Apakah hanya KDRT yang menyebabkan Lita menjadi begini?" tanyaku."Kehilangan anak di usia muda adalah awal dari segalanya. Aku membaca buku riwayat pasien milik Lita dan di sana tertulisnya jelas jika dia hamil diluar nikah dan melahirkan tanpa suami."Lita
"Aqila, bangun, sudah siang, Nak!"Aku membuka mata perlahan sambil melihat siapa yang menepuk badanku. Terlihat Bunda tengah tersenyum lembut."Sudah siang, ayo bangun!""Sebentar lagi, Bun. Aku masih mengantuk. Lagi pula sekolah libur hari ini.""Baiklah kalau begitu, tidurlah tiga puluh menit lagi.""Makasih, Bunda."Bunda Ibu yang sangat pengertian. Saking pengertiannya, aku sering merasa beliau terlalu baik untuk ukuran ibu kandung. Marah saja beliau sangat jarang meskipun aku sering berbuat salah. Berbeda dengan ibu kebanyakan yang akan marah ketika anaknya membuat kesalahan. Entah harus senang atau semakin curiga jika aku memang bukan anak kandung.Aku kembali memejamkan mata untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda tadi. Namun, baru saja mata ini terpenjam, ponselku bergetar.Drtt ... DrttAku buru-buru mengambilnya, semoga saja ini sesuatu yang penting. Jika tidak, aku pasti marah besar."Halo, Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam, La, lu udah rapi?" tanya seseorang
Seminggu telah berkali-kali setelah aku memergoki Mita dan Fajar berada di taman kota. Sejak itu pula aku tidak ingin bertemu mereka. Kebetulan saat ujian aku tidak sekelas dengan Mita. Begitupun dengan Fajar, dia sudah diterima kerja entah di mana, jujur saja aku tidak mau tahu tentangnya lagi.Setiap hari selama seminggu ini aku berusaha menghindari Mita yang ingin memberi penjelasan. Aku sengaja tidak ingin mendengar apa pun darinya. Aku ingin fokus mengerjakan soal ujian.Hari ini ujian terakhir. Karena cuma satu mata pelajaran, aku meninggalkan sekolah lebih awal. Aku tidak ingin berlama-lama di sekolah ataupun kantin. Aku juga malas jika bertemu Mita."La, Tunggu!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar. Aku mengabaikan teriakan Mita. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi darinya. Sangat disayangkan memang persahabatan kami harus hancur karena kebohongannya.Aku mempercepat langkah agar tidak terkejar oleh Mita. Namun, dia berhasil memegang tanganku."La, tunggu. Gue t
Hampir setiap hari aku terlambat pulang ke rumah karena pelajaran tambahan yang luar biasa banyak. Tidak mengapa, aku senang karena memiliki teman baru. Fajar ternyata sangat baik dan nyambung jika diajak berbincang. Tiap hari kami ngobrol sambil menunggu jam tambahan di mulai. Ada saja bahan yang kami bicarakan. Aku kadang mendengarkan cerita fajar tentang kampungnya dan alasan dia tidak bisa meneruskan sekolah. Jika sudah begitu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung karena bisa hidup nyaman dan bersekolah di tempat yang aku mau. Kadang kita memang perlu melihat ke bawah agar kita menjadi pandai bersyukur."Lusa ujian kelulusan di mulai, gue takut gak lulus," ucapku."Yakin aja, La. Kamu pasti lulus," ucap Fajar menenangkanku."Kalo gak lulus gimana? Gue harus ngulang lagi, gitu?""Lu itu terlalu parno, La. Yakin kita lulus dengan nilai sempurna," timpal Mita."Kalian ini orang-orang beruntung yang bisa sekolah dan pasti akan melanjutkan kuliah, belajar lebih giat untuk men