BAYI SIAPA?Part 24Alhamdulillah, akhirnya kami mengetahui siapa orang tua kandung Aqila. Selama ini aku salah mencurigai orang. Ternyata, Mbok Iin tahu segalanya. Pantas saja dia memintaku untuk merawat Aqila. Semua telah berakhir, Siti juga menyerahkan hak asuh Aqila sepenuhnya padaku. Ini adalah akhir yang menyenangkan.Pagi ini kami telah bersiap untuk berangkat mengantar Siti pulang kampung. Dia sangat antusias sebab merindukan keluarganya. Aku baru tahu jika dia punya suami dan anak. Sudah setahun ini tidak pulang sebab tak mendapat izin serta gaji sebagaimana ongkos.Sebenarnya aku ingin Siti bekerja di rumahku untuk mengurus Aqila, tapi dia menolak sebab ingin tinggal di kampung saja. Bekerja di sawah, meski gajinya kecil, dia bilang bahagia karena dekat dengan keluarganya.Apa pun
Romansa Cinta Amran Ami"Ba ... Ba," ucap Aqila yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku.Aku yang tengah berbaring tidak terkejut lagi ketika batita itu masuk ke dalam kamar. Aku memang sengaja tidak pernah mengunci pintu setelah Aqila bisa berjalan. Anak itu sering menggedor-gedor saat pintu di kunci. Kasihan melihat tangan mungilnya memukul pintu, lebih baik tidak usah di kunci."Ba," ucapnya lagi."Iya, ada apa?" tanyaku."Mam."Di usia Aqila yang sudah setahun lebih, dia lancar berjalan dan berlari, tapi untuk bicara dia masih terbata-bata. Ba, itu adalah panggilannya kepadaku sebab belum bisa bilang Abang."Aqila makan apa?" tanyaku.Sebuah biskuit ada di tangannya dan dia menyod
ROMANSA CINTA AMRAN DAN AMIpov Ami.Sudah dua hari aku tidak bicara dengan Bang Amran. Aku memang menghindarinya. Saat menjemput kesekolah pun aku memilih pulang bersama teman-teman. Itu semua aku lakukan agar dia membenciku.Setelah pernyataan cintanya beberapa hari lalu, hubungan kami jadi jauh. Tidak mengapa, aku yang menginginkan hal ini, meski ada sedikit sesak dalam dada. Setahun terakhir ini kami sangat dekat. Setelah kejadian aku keguguran tempo hari dia begitu peduli padaku.Bulir bening mengalir dari kedua mataku. Hati kecil ini mengakui keberadaan Bang Amran bukan sebagai seorang kakak, aku melihatnya sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya. Aku menyukainya.Ada yang salah dengan perasaan ini. Aku bukan gadis suci yang pantas untuk laki-laki sebaik
ROMANSA CINTA AMRAN DAN AMIKutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, berdiri di depan cermin dengan seorang yang tengah membantu bersiap. Hari ini adalah hari dimana aku akan memulai hidup baru. Menjadi imam dari seorang Ma'mun bernama Ami.Dua Minggu setelah lulus SMA kami menikah dan hari ini adalah harinya. Gugup dan tegang sudah pasti. rasanya sama seperti akan khitan saat aku kecil.Kami memilih menikah di rumah dan mengadakan pesta sederhana. Mengundang para tetangga saja. Memang itu yang aku inginkan. Ami pun demikian. Dia hanya mengundang beberapa teman dekatnya.Aku keluar kamar dan menuju teras tempat kami akan melangsungkan akad. Duduk di kursi yang di siapkan dan di depanku sudah ada penghulu serta wali hakim untuk Ami. Mbok Iin memang tidak punya saudara dan ayah Ami ternyata sudah meninggal serta tidak punya
ROMANSA CINTA AMRAN DAN AMIAku dan Ami tinggal terpisah dari kedua orang tua, kami tinggal di ruko. Ami sudah sibuk dengan agenda kuliah dan aku sendiri membantu ayah seperti biasa.Ruko yang kami tinggali ada tiga lantai. Di lantai tiga aku dan Ami tinggal. kami memang memilih tinggal di sini agar mandiri. Lagi pula tidak enak jika terus berada di rumah Bunda. Ami tidak kuat mendengar gibah tetangga tentang kami."Bang, Ami berangkat ya," ucap Ami seraya mencium tanganku."Abang anterin.""Gak usah, Bang. Pengen bareng sama temen-temen," ucap Ami.Aku mencium lembut kening gadis yang baru dua bulan aku nikahi itu. Terkadang memang aku merasa dia masih kecil dan harus dilindungi. Padahal kenyataannya dia bisa sendiri. Aku terlalu khawatir kejadian yang tidak diinginkan itu terulang. Namun, aku y
Aqila tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Meski bukan anak kandung, aku menyayanginya lebih dari Angga dan Amran. Sampai detik ini Aqila masih belum tahu kebenarannya. Aku takut jika dia tahu, dia akan pergi meninggalkanku.Egois memang, tapi ini keputusan yang paling tepat untuk saat ini. Meski usia Aqila sudah cukup, aku tidak ingin terburu-buru untuk mengungkapkan kebenaranya. Biarlah, suatu saat nanti pasti akan aku beru tahu siapa dia sebenarnya.Untuk saat ini, aku masih ingin gadis itu bermanja-manja denganku dan keluarga ini karena kami sangat menyayanginya. Semoga saja dia tidak tahu rahasia besar tentangnya. Aku memang sudah menyuruh orang-orang yang tahu untuk tutup mulut. Bila saatnya nanti, aku yang akan bilang pada Aqila jika dia bukan anak kandung keluarga ini."Bunda, aku berangkat ya," ucap Aqila yang langsung mencium pipiku."Iya, hati-hati. Jangan nakal dan jaga diri.""Iya, Bunda."Gadis berusia tujuh belas tahun dan berseragam putih abu-abu itu berlalu mening
Menyiram tanaman, memasak, dan membereskan rumah, hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang. Usia tua juga membatasi kegiatanku. Aku mudah lelah dan letih jika sudah kecapekan. Hal itu membuat Angga dan Mas Abi sering marah. Namun, mau bagaimana lagi, di dalam rumah dan tidak melakukan apa-apa mampu membuatku bosan. Aku sebisa mungkin beraktivitas daripada badanku ini pegal dan kaku.Usiaku memang sudah tua, sudah nenek-nenek. Namun, aku masih bisa melakukan apa pun sendiri. Bisa dibilang belum terlalu jompo. Hanya tua saja. Semoga saja, Tuhan masih memberiku umur panjang agar aku bisa melihat cucu-cucuku tumbuh besar dan menikah. Tetapi, aku sedikit ragu, sebab usia Nabi saja hanya 63 tahun. Itu artinya jika jatah usiaku sama seperti Nabi, hanya tinggal setahun lagi. Jujur saja aku masih belum ingin mati."Bu, hari ini masak apa?" tanya Nia."Terserah kamu saja.""Tapi, Bu di dapur tidak ada bahan makanan dan sayuran.""Lho, bukannya kemarin kamu berbelanja?" tanyaku."Saya berbelanja
Bab 29 : Masa lalu yang kembaliAqila terlihat sangat ketakutan. Dia memeluk tubuhku sangat erat. Ada apa sebenarnya?"Ada apa, Nak?" tanya Mas Abi. "Di luar ada orang gila, Yah," ucap Aqila dengan wajah pucat."Orang gila?""Iya, Yah, pokoknya orang gak waras gitu."Mas Abi segera keluar untuk melihat orang yang dimaksud. Sementara itu aku menyuruh Nia mengambil air untuk Aqila. Anak ini benar-benar terlihat syok."Duduk dulu, Nak.""Iya, Bun.""Nia, bawakan air putih!"Aku mengajak Aqila duduk di ruang tamu. Jujur saja aku sedikit penasaran dengan orang yang dimaksud oleh Aqila, tetapi untuk keluar dan melihatnya belum bisa, sebab aku tidak tega meninggalkan putriku yang sedang syok ini."Bu ini airnya," ucap Nia menyodorkan segelas air."Minum dulu, Nak.""Iya, Bun."Aqila menenggak minumannya dengan cepat. Tanpa dia sadari segelas air sudah tandas. Anak ini memang sedang tidak baik-baik saja."Tarik napas dalam-dalam dan embuskan perlahan, itu akan membuatmu lebih tenang."Aqila
Semua orang tertegun dengan penuturan Mia. Bagaimana ini bisa terjadi? Kebenarannya adalah Mita anak Lita, bukan aku? Lantas siapa aku? Kenapa ada kertas hasil DNA aku dan Lita? Lagi-lagi kepalaku di penuhi oleh banyak pertanyaan. Namun, enggan untuk aku tanyakan terlebih melihat Mita yang sedari tadi diam saja."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku.Hening, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Mita. Dia benar-benar terpukul. Bunda menghampiri gadis itu dan beliau memeluknya. Aku tahu kenyataan ini begitu pahit."Sebaiknya kita masuk, bicarakan ini di dalam rumah, tidak baik membicarakan sesuatu yang serius di depan rumah seperti ini," ucap Ayah.Sesuai dengan keinginan Ayah, kami masuk ke rumah. Lita juga diajak masuk oleh Mia meskipun dia lebih banyak diam.Kami berada di ruang tamu sekarang. Membicarakan masalah besar ini dengan kepala dingin. Aku ingin semuanya terungkapkan. Aku tolong ingin ada kebohongan lagi."Mita, lu gak apa-apa 'kan?" tanyaku yang duduk di sampingnya."Ke
Pelukan Lita terasa sangat hangat, jauh berbeda dengan pelukan Bunda. Aku merasa nyaman dalam dekapan wanita ini. Rasanya benar-benar tidak bisa aku jelaskan."La, lu bilang apa?" tanya Mita yang sepertinya bingung."Gue beneran anaknya, Ta.""Jangan aneh-aneh deh, lu punya bukti?"Aku mengambil kertas yang sedari tadi ada di saku celanaku. Aku langsung menunjukkannya kepada Mita tentang apa yang tertera di sana."Ini apa?""Hasil tes DNA gue dan Ibu Lita, hasilnya gue anak kandung wanita-wanita ini," ucapku sambil mencium lembut pipi Ibu Lita."La?""Gue seneng banget karena tahu kebenaran ini.""Tapi, La. Lu dapet dari mana kertas ini?"Aku menceritakan bagaimana aku dapat kertas hasil DNA itu. Awalnya Mita masih berusaha meyakinkan aku jika kertas ini bisa saja dibuat, tetapi aku menyangkal karena ada tanda tangan dokter dan tanda sebuah rumah sakit."La, lu gak apa-apa?""Gak, sekarang gue tau siapa gue sebenarnya."Aku, Mita, dan Ibu Lita saling berpelukan sambil menangis. Sampai
Aku membaca ulang hasil tes DNA yang ada di tanganku. Aku harap aku salah liat. Namun, berapa kali pun aku membacanya, di sana tertera namaku dan nama Lita.Air mata tidak bisa aku bendung lagi. Dadaku sesak mengingat pelukan Lita yang terasa sangat hangat. Pelukan itu adalah pelukan seorang ibu.Aku menutup mulut agar tangisku tidak terdengar oleh orang rumah. Aku duduk sambil memeluk lutut. Sesegukan sendirian karena tahu sebuah kebenaran yang disembunyikan oleh Bang Angga dan pastinya keluarga ini.Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis. Kenyataan ini begitu membuatku merasa sedih. Meskipun sudah menduganya, rasa sesak semakin berkecamuk dalam dada.Sekarang aku tidak bisa berpikir jernih. Menangis dan menangis hanya itu saja sambil mengingat senyuman tulus Lita ketika melihatku. Tak sepantasnya aku memanggilnya Lita, harusnya aku memanggilnya dengan sebutan Ibu, sebab dia adalah wanita yang melahirkanku.Sampai pagi menjelang aku tidak tidur. Aku juga sudah berhenti menan
Bab 42 : Rahasia Angga (POV Aqila)Aku dan Mita terkejut melihat Bang Angga yang tiba-tiba saja memeluk Mia. Apa-apaan ini? Kenapa bisa seperti ini? Apa mereka saling kenal dan memiliki hubungan? Banyak pertanyaan yang ada dalam benakku. Inginku mengutarakannya, tetapi aku rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Lebih baik aku menunggu Bang Angga menjelaskan ini semua.Aku dan Mita memilih menjauh dari pasangan yang entah aku harus menyebutnya apa. Mia terlihat mengusap matanya begitu Bang Angga melepaskan pelukkannya. Aku seperti tengah berada dalam sebuah drama.Aku dan Mita saling pandang dan memilih mengalihkan pandangan dari dua orang yang entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya."La.""Hmm.""Sejak kapan Bang Angga kenal dengan Kak Mia?" tanya Mita."Itu pertanyaan yang sama seperti yang ada dalam otak gue.""Owh, okeh."Hening, Mita tidak bertanya lagi. Mungkin dia juga tengah memikirkan apa yang aku pikir. Masalah dalam hidupku semakin rumit sekarang, tetapi aku yakin semuanya ak
"Sekarang bagaimana, La?" tanya Mita yang tengah berbaring di ranjangku."Apa? Soal lu sama Bang Angga? Ngebet banget lu!" ucapku mencubit perutnya."Bukan itu, soal Lita."Aku buru-buru menutup mulut Mita sambil celingukan. Menyebut nama itu adalah hal yang tabu di rumah ini. Aku harap Bunda tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Mita tadi."Jangan bahas itu di sini.""Oke," jawab Mita dengan wajah bingung.Aku mengajak Mita keluar rumah untuk membicarakan Lita."Aqila, mau ke mana?" tanya Bunda."Nganterin Mita pulang, Bun," jawabku asal."Lho, Mita sudah mau pulang?""Eh, iya, Bun. Sudah siang.""Biar Angga yang antar!" perintah Bunda."Bang Angga sepertinya masih marah, Bun. Lebih baik sama pak sopir aja," ucapku."Baiklah."Dengan diantar pak sopir aku mengantarkan Mita pulang. Sebenarnya ini lucu, harusnya Mita pulang sendiri dengan sopir tanpa aku ikut, tetapi penyelidikan kami belum selesai, kami harus memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.Tiba di rumah Mita, aku l
Aku berdiri di depan pintu kamar Lita bersama dua orang suster. Sementara itu, Lita tengah berbincang dengan Mita. Suatu kebetulan jika ternyata Mia atau sahabat Lita adalah kakak dari Mita. Dengan begini kami bisa mengorek lebih dalam tentang apa yang terjadi dengan Lita.Mita terlihat antusias mendengar Lita berbicara. Mereka layaknya sahabat yang sangat akrab. Sayangnya dari tempatku berdiri, aku tidak bisa mendengar apa pun. Tidak mengapa, nanti aku bisa bertanya kepada Mita tentang apa yang mereka bicarakan."Lita terlihat senang, baru kaki aku melihatnya seperti sekarang," ucap Suster."Iyakah, Sus?" tanyaku."Iya, emosinya terlihat stabil dan itu bagus.""Lita tertekan ya, Sus. Dia depresi dan akhirnya menjadi seperti ini. Apakah hanya KDRT yang menyebabkan Lita menjadi begini?" tanyaku."Kehilangan anak di usia muda adalah awal dari segalanya. Aku membaca buku riwayat pasien milik Lita dan di sana tertulisnya jelas jika dia hamil diluar nikah dan melahirkan tanpa suami."Lita
"Aqila, bangun, sudah siang, Nak!"Aku membuka mata perlahan sambil melihat siapa yang menepuk badanku. Terlihat Bunda tengah tersenyum lembut."Sudah siang, ayo bangun!""Sebentar lagi, Bun. Aku masih mengantuk. Lagi pula sekolah libur hari ini.""Baiklah kalau begitu, tidurlah tiga puluh menit lagi.""Makasih, Bunda."Bunda Ibu yang sangat pengertian. Saking pengertiannya, aku sering merasa beliau terlalu baik untuk ukuran ibu kandung. Marah saja beliau sangat jarang meskipun aku sering berbuat salah. Berbeda dengan ibu kebanyakan yang akan marah ketika anaknya membuat kesalahan. Entah harus senang atau semakin curiga jika aku memang bukan anak kandung.Aku kembali memejamkan mata untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda tadi. Namun, baru saja mata ini terpenjam, ponselku bergetar.Drtt ... DrttAku buru-buru mengambilnya, semoga saja ini sesuatu yang penting. Jika tidak, aku pasti marah besar."Halo, Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam, La, lu udah rapi?" tanya seseorang
Seminggu telah berkali-kali setelah aku memergoki Mita dan Fajar berada di taman kota. Sejak itu pula aku tidak ingin bertemu mereka. Kebetulan saat ujian aku tidak sekelas dengan Mita. Begitupun dengan Fajar, dia sudah diterima kerja entah di mana, jujur saja aku tidak mau tahu tentangnya lagi.Setiap hari selama seminggu ini aku berusaha menghindari Mita yang ingin memberi penjelasan. Aku sengaja tidak ingin mendengar apa pun darinya. Aku ingin fokus mengerjakan soal ujian.Hari ini ujian terakhir. Karena cuma satu mata pelajaran, aku meninggalkan sekolah lebih awal. Aku tidak ingin berlama-lama di sekolah ataupun kantin. Aku juga malas jika bertemu Mita."La, Tunggu!" teriak seseorang yang suaranya sangat familiar. Aku mengabaikan teriakan Mita. Aku tidak ingin mendengar apa pun lagi darinya. Sangat disayangkan memang persahabatan kami harus hancur karena kebohongannya.Aku mempercepat langkah agar tidak terkejar oleh Mita. Namun, dia berhasil memegang tanganku."La, tunggu. Gue t
Hampir setiap hari aku terlambat pulang ke rumah karena pelajaran tambahan yang luar biasa banyak. Tidak mengapa, aku senang karena memiliki teman baru. Fajar ternyata sangat baik dan nyambung jika diajak berbincang. Tiap hari kami ngobrol sambil menunggu jam tambahan di mulai. Ada saja bahan yang kami bicarakan. Aku kadang mendengarkan cerita fajar tentang kampungnya dan alasan dia tidak bisa meneruskan sekolah. Jika sudah begitu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung karena bisa hidup nyaman dan bersekolah di tempat yang aku mau. Kadang kita memang perlu melihat ke bawah agar kita menjadi pandai bersyukur."Lusa ujian kelulusan di mulai, gue takut gak lulus," ucapku."Yakin aja, La. Kamu pasti lulus," ucap Fajar menenangkanku."Kalo gak lulus gimana? Gue harus ngulang lagi, gitu?""Lu itu terlalu parno, La. Yakin kita lulus dengan nilai sempurna," timpal Mita."Kalian ini orang-orang beruntung yang bisa sekolah dan pasti akan melanjutkan kuliah, belajar lebih giat untuk men