Ros tersentak saat merasakan genggaman hangat di tangannya. Nicolas menariknya dengan ringan namun tegas, seolah-olah itu adalah hal yang biasa mereka lakukan.“Tuan, apa ini tidak berlebihan?” bisik Ros, sedikit panik.Nicolas tetap melangkah tanpa melepas tangannya. “Kita harus terlihat meyakinkan,” jawabnya santai, meskipun ada senyum samar di sudut bibirnya.Ros menghela napas, berusaha menenangkan detak jantungnya yang sedikit tidak beraturan. “Tapi, bagaimana jika Bu Maya melihat dan menganggap ini serius?”Nicolas menoleh sekilas, tatapannya tajam. “Bukankah itu tujuannya?”Ros terdiam. Ya, dia tahu alasan Nicolas membawanya ke sini. Tapi tetap saja, sikap pria itu terasa sedikit berlebihan.Begitu mereka masuk ke restoran, beberapa pasang mata langsung melirik ke arah mereka. Nicolas yang tampan dan berkarisma, serta Ros yang anggun dalam balutan gaun yang membuatnya tampak berbeda dari biasanya, tentu menjadi perhatian.Seorang pramusaji segera menghampiri mereka. “Selamat ma
Tanda lahir El membuat Ros kembali memikirkan anak itu. Dalam perjalanan di mobil, Ros sesekali menoleh ke arah Nicholas. Namun, wanita itu kembali menatap jalanan saat pria di sampingnya protes."Jangan berpikir kejadian d li tempat Bu Maya kamu menjadi besar kepala," ujar Nicolas. "Besar kepala bagaimana?""Kamu pikir saja naksir sama kamu kan dan kamu mulai kepedean."Ros terkekeh, "Tuan, yang memulai permainan siapa. Kenapa harus saya yang baper. Saya enggak. Mikir kok bakal naksir sama cowo kaya Tuan. Saya cukup tahu diri, Tuan saja yang berlebihan. Harusnya Tuan bilang saja langsung ke bu Maya kalau tidak suka dan masih nyaman menduda."Benar juga yang di katakan Ros pikir Nicolas kenapa harus dia mengaku jika Ros calon istrinya.Nicolas melirik Ros sekilas sebelum kembali fokus menyetir. Rahangnya sedikit mengeras, merasa tak suka dengan cara Ros berbicara yang begitu santai seolah-olah dia memang pria menyedihkan yang tak bisa menolak seorang wanita secara langsung."Kau piki
Ros, yang akhirnya sadar sepenuhnya, langsung membulatkan mata."T-Tuan Nicolas?!"Nicolas langsung berusaha bangkit, tapi karena terlalu terburu-buru, tangannya justru tersangkut di selimut, membuatnya hampir jatuh lagi."Kau ini, kenapa harus bangun sekarang?!" omelnya, wajahnya memerah karena canggung.Ros, yang juga panik, buru-buru mendorong dada Nicolas. "SAYA yang harus bertanya! Apa yang Tuan lakukan di atas saya?!""Aku tidak sengaja! Kau yang sulit dibangunkan!" balas Nicolas, akhirnya berhasil berdiri dan menjauh.Ros langsung duduk, wajahnya masih merah padam. "Lalu kenapa harus menjatuhkan diri ke atas saya?!""Itu kecelakaan!" Nicolas mendengus, lalu menatapnya tajam. "Dan lagi, aku yang harusnya kesal! Aku sudah capek-capek membawamu ke sini, tapi kau malah tidur seperti batu!"Ros berkedip beberapa kali, masih berusaha memahami apa yang terjadi.Tunggu… tidur?Dia mengingat-ingat dan baru sadar bahwa terakhir yang dia ingat adalah duduk di dalam mobil."K-Kenapa saya b
Ros merasakan tubuhnya melemah. Kakinya seolah kehilangan tenaga untuk berdiri tegak. Apa yang baru saja dikatakan Suster Ana terus berputar di kepalanya."Nyonya Sandrina membawa El pada Nyonya Erika."Ros menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Nyonya Erika? Nama itu terdengar tidak asing, tapi pikirannya masih terlalu kacau untuk mengingat lebih jauh.Suster Ana yang menyadari perubahan wajah Ros buru-buru berdeham, mencoba mengalihkan perhatian. "Ros, lupakan yang tadi aku bilang. Aku cuma asal bicara."Namun, Ros tidak bisa tinggal diam. Dengan cepat, ia melangkah ke depan Suster Ana, menghentikan langkah wanita itu. "Sus, apa maksudmu? Kenapa Nyonya Sandrina membawa El ke Nyonya Erika?"Suster Ana terlihat gugup. Matanya beralih ke kanan dan kiri, seakan memastikan tidak ada orang yang mendengar."Ros, tidak di sini," bisiknya.Suster Ana lalu meraih pergelangan tangan Ros dan menariknya ke sisi lain rumah, menjauhi jangkauan CCTV. Mereka berdiri di sudut lorong yang sepi, d
Ros menarik napas dalam, menatap lurus ke arah Suster Ana. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya terasa kelu. Kepercayaannya terhadap wanita di depannya masih samar. Ia tidak bisa begitu saja membuka luka lama, terutama kepada seseorang yang belum tentu berpihak padanya."Aku hanya merasa ini aneh, Suster," ujar Ros akhirnya, memilih kata-kata yang lebih aman. "Kenapa El bisa memiliki tanda lahir seperti itu? Dan kenapa ada begitu banyak rahasia di sekitar keluarganya?"Suster Ana menghela napas, menoleh ke sekitar sejenak untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka. "Ros, aku mempercayaimu. Tapi aku juga tidak bisa mengatakan semuanya. Jika aku berbicara terlalu banyak, bisa-bisa aku kehilangan pekerjaanku."Ros mengerti, tapi tetap saja hatinya gelisah. "Aku tidak akan memaksa, Suster. Aku hanya ingin tahu... apa El benar-benar bukan anak kandung Tuan Nicolas dan Nyonya Erika?"Suster Ana terdiam, lalu menatap Ros dalam-dalam. "Sejujurnya, aku juga tidak tahu
"Nic, kamu kenapa si dari tadi melihat jam saja?""El nanyain Ros. Dari tadi ke swalayan tapi belum pulang.""Kamu apa El?"Nicolas mendongak menatap ibunya yang tersenyum penuh arti."Apa maksud Mama?" tanyanya, berusaha terdengar santai.Nyonya Sandrina mengangkat bahu. "Ya, tadi kamu bilang El yang nanyain Ros, tapi yang dari tadi mondar-mandir dan lihat jam itu siapa?"Nicolas mendengus, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Sudahlah, Ma. Aku cuma heran, biasanya nggak selama ini kalau cuma ke swalayan."Nyonya Sandrina menyesap tehnya dengan tenang. "Atau kamu khawatir Ros pergi ke tempat lain?"Nicolas diam. Tidak, dia tidak mau mengakui kalau ada sedikit rasa gelisah dalam dirinya."Sudahlah, Nic. Kalau memang dia ada urusan, biarkan saja. Lagipula, dia pasti tahu batasannya," lanjut Nyonya Sandrina santai.Nicolas tidak menjawab. Namun, entah kenapa, perasaan tak nyaman itu tetap ada. Kenapa lama sekali?Nicolas bersedekap di depan ruang tamu, rahangnya mengeras setiap kali mat
Ros menarik napas dalam-dalam.Sejak pagi, hati dan pikirannya terus bertarung.Dia ingin meminta izin untuk pulang ke rumah sang ayah, tapi takut jika permintaannya ditolak.Bagaimanapun juga, dia baru saja bekerja di rumah ini sebagai seorang suster pribadi."Tapi, aku harus mencobanya..."Dengan langkah mantap yang dibalut keraguan, Ros akhirnya berjalan menyusuri koridor rumah megah itu, mencari seseorang yang bisa membantunya mencari tahu lebih dulu.Di ujung tangga, dia melihat seseorang—Sofia, asisten pribadi Tuan Nicolaas."Mungkin dia tahu sesuatu..."Ros mempercepat langkahnya dan memanggilnya pelan."Sofia!"Sofia menoleh, sedikit terkejut. "Ya? Ada apa, Ros?"Ros menelan ludah. "Aku... hanya ingin tahu. Apa Tuan Nicolaas biasanya memberi izin kalau ada urusan mendesak?"Sofia menaikkan sebelah alisnya, menatap Ros dengan penuh tanya."Kenapa? Kamu mau izin?"Ros mengangguk pelan.Sofia menghela napas, lalu berbisik, "Kalau baru bekerja seperti kamu, biasanya sulit."Jawaba
Ros menatap Nicolas dengan mata membulat, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dadanya naik turun, napasnya memburu."Tuan… apa maksud Anda?" suaranya bergetar, berusaha memahami perkataan pria itu.Nicolas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, wajahnya tetap dingin. "Kau ingin pergi, bukan? Aku memberimu izin. Tapi jangan berharap bisa kembali bekerja di sini setelahnya."Ros menggeleng cepat. "Tapi, saya tidak pernah bilang ingin berhenti bekerja.""Kau pikir aku bodoh, Ros?" Nada suara Nicolas terdengar rendah, namun penuh ketegasan. "Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu. Aku tidak suka orang yang bekerja denganku penuh dengan rahasia."Ros menggigit bibirnya, menahan emosi yang meluap dalam dadanya. "Saya tidak menyembunyikan apa pun, Tuan," katanya lirih.Nicolas tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam tawanya. "Benarkah? Lalu kenapa kau pergi begitu lama? Kenapa harus ikut Suster Ana? Kenapa terlihat gugup saat kutanya?"Ros terdiam. T
Rosalia melangkah perlahan, sorot matanya tenang, tetapi ada ketegasan di sana. "Benar, aku adalah cucu kandung Nyonya Agata. Dan sebagai pewaris sah, aku ingin melihat semua perjanjian bisnis yang telah dibuat atas nama perusahaan keluarga kami."Maya mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin! Kau selama ini hanyalah—""—Seorang babysitter?" potong Rosalia dengan senyum tipis. "Ya, itu yang kalian kira. Tapi aku tidak pernah menyangkal siapa diriku. Kalian saja yang terlalu sibuk menginjakku hingga lupa mencari tahu kebenaran."Maya menelan ludah, matanya beralih ke Tian, lalu ke Nicolas. "Ini lelucon, kan? Nicolas, kau tahu soal ini?"Nicolas masih terdiam, pikirannya bercampur aduk. Ia merasa dikhianati karena Rosalia menyembunyikan identitasnya. Tapi di sisi lain, ia mulai memahami mengapa wanita itu selalu terlihat penuh pertimbangan setiap kali mengambil keputusan.Tian melipat tangan di dada, menatap Aldo dengan tatapan penuh kemenangan. "Jadi, Tuan Aldo, masih ing
Suasana tegang saat Nicolas datang bersama dengan Alex. Lalu, Aldo bersama dengan Maya, melihat hal itu Nicolas seperti bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi."Nicolas, apa kabar? Hmm... Apa kabarmu sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar kontrak yang sedang di ambang kerugian."Maya kini merasa menang dan di atas awan. Nicolas hanya menanggapi semua dengan tenang walau hatinya ketar ketir.Nicolas menghembuskan napas perlahan, menahan emosinya agar tidak terpancing oleh provokasi Maya. Ia melirik Aldo yang duduk dengan ekspresi santai, seolah menikmati situasi yang sedang berlangsung."Aku baik-baik saja, Bu Maya. Justru aku penasaran, apa Anda yang sedang dalam kondisi baik setelah bermain api dengan kontrak ini?" jawab Nicolas dengan nada datar namun penuh makna.Maya menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai. "Oh, Nicolas, bisnis itu tentang siapa yang lebih cerdas membaca peluang. Sayangnya, kali ini kau kalah cepat."Alex yang berdiri di samping Nicolas m
Rosalia tersenyum untuk pertama kalinya pada Nicolas. Pria itu sedang tidak baik-baik saja. Ros bangkit dan hendak masuk.."Ros, tetap di sini. Apa kamu mau pergi meninggalkan aku yang sedang tidak baik-baik saja?" tanya Nicolas."Tuan, aku mau kedalam. Sudah malam, lebih baik Anda juga tidur. Besok bukannya mau bertemu dengan Tuan Tian?"Nicolas menghela napas panjang, menatap Ros dengan mata yang penuh kelelahan. "Aku hanya ingin berbicara sebentar, Ros. Aku lelah dengan semua ini, dengan pekerjaan, dengan perasaan yang terus-menerus tak bisa aku kendalikan."Ros menggigit bibirnya, ragu untuk tetap tinggal atau pergi. Tapi melihat ekspresi Nicolas, sesuatu dalam hatinya melunak. "Baiklah, sebentar saja," ujarnya pelan.Nicolas tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. "Aku tidak pernah menyangka, hidupku akan serumit ini. Semua berjalan begitu cepat, dan sekarang… aku takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya aku genggam."Rosalia menunduk, merasakan geta
"Kenapa begitu tiba-tiba Tuan Aldo dari perusahaan Nyonya Agata mengambil alih project kita?" tanya Nicolas.Nicolas kaget saat tiba-tiba Alex mengabarkan berita yang tak terduga.Alex menyesuaikan kacamatanya sebelum menjawab. "Aku juga baru menerima laporan ini, Tuan. Tuan Aldo mengklaim kepemilikan atas sebagian saham proyek ini dengan dalih perjanjian lama yang tidak diperbarui."Nicolas menghela napas, ekspresinya mengeras. "Dan kenapa kita tidak tahu soal perjanjian itu sebelumnya?""Karena dokumen lama itu seharusnya tidak berlaku lagi. Tapi, entah bagaimana, Aldo berhasil mendapatkan celah hukum untuk menggunakannya."Nicolas mengepalkan tangannya. "Aldo tidak mungkin bergerak sendiri. Aku ingin kau cari tahu siapa yang ada di belakangnya."Alex mengangguk. "Baik, Tuan. Saya juga sudah menghubungi tim legal untuk meninjau ulang semua dokumen terkait. Tapi, sebaiknya Anda juga berbicara langsung dengan Nyonya Agata."Nicolas menatap lurus ke arah jendela kantornya, pikirannya d
"Ros, sampai kapan kamu menutupi identitas kamu? Jika kamu menikah, Nicolas harus tahu siapa kamu," ujar Oma Agata. Ros menegang mendengar perkataan Oma Agata. Rahasianya selama ini menjadi beban yang terus menghantui. Dia tahu cepat atau lambat Nicolas akan tahu, tapi dia tidak siap untuk menghadapi reaksi pria itu."Oma... apa itu penting sekarang?" suara Ros terdengar lemah. Matanya menatap lantai, menghindari tatapan tajam Oma Agata dan Tian."Sangat penting, Ros," Oma Agata menegaskan. "Jika kamu menikah dengannya tanpa mengungkapkan siapa dirimu sebenarnya, kamu tidak hanya menipu Nicolas, tapi juga dirimu sendiri. Pernikahan tidak bisa dibangun di atas kebohongan."Ros menghela napas panjang. Pikirannya bercampur aduk antara ketakutan, keraguan, dan rasa bersalah."Aku takut, Oma... jika dia tahu semuanya, dia mungkin tidak akan menerimaku." suara Ros bergetar.Tian mendekat, menatap Ros dengan lembut. "Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia akan mengerti. Kamu berhak dicint
" Jangan paksa jika memang tidak ada raasa," Ujar Tian. Pria itu duduk bersebelahan dengan omanya.Ros tersenyum getir. "Demi El, aku akan melakukan apa pun."Tian menghela napas panjang, pandangannya bergeser ke arah Ros yang tampak resah. "Ros, membangun hidup dengan seseorang hanya demi anak tanpa ada cinta di antara kalian... itu berat."Oma Agata menambahkan dengan lembut, "Cinta bisa tumbuh, Ros. Tapi kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Jangan memaksakan sesuatu yang hatimu tolak."Ros menunduk, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Aku hanya tidak ingin El terluka. Dia sudah terlalu banyak kehilangan."Tian menatap Ros dengan serius. "El lebih membutuhkan seorang ibu yang bahagia daripada melihatmu terjebak dalam hubungan yang tidak membuatmu nyaman."Ros menyeka sudut matanya yang mulai basah. "Aku... aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk El. Jika menikah dengan Nicolas adalah jalannya, mungkin aku harus mencobanya."Oma Agata menggenggam tangan Ros dengan erat.
Ros meminta izin ke rumah sang nenek. Dia meminta Tian menjemputnya. Sepupunya itu langsung saja bertanya tentang Nicolas. Ada hubungan apa dan bagaimana bisa, pikir Tian. Tian menyandarkan tubuhnya ke mobil, menatap Rosalia dengan senyum samar. "Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Nicolas sekarang?" tanyanya santai, tapi ada sedikit ketertarikan dalam nada suaranya.Ros menghela napas, menyilangkan tangan di depan dada. "Entahlah, Tian. Dia tiba-tiba mengajak menikah, tapi aku tahu itu hanya karena El."Tian mengangguk pelan, lalu menyipitkan mata. "Dan menurutmu, hanya karena El?"Ros terdiam. Pertanyaan Tian seperti menamparnya. Dia ingin percaya kalau Nicolas hanya bertanggung jawab, tidak lebih. Tapi… ada momen-momen di mana tatapan Nicolas terasa berbeda, lebih dalam, lebih hangat."Aku tidak tahu, Tian. Aku takut berharap."Tian tersenyum miring, menepuk pundak Ros pelan. "Yang aku tahu, Nicolas bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa alasan yang kuat. Kalau dia ingin menik
Ros mendesah pelan, menatap Nicolas dengan mata yang masih menyimpan luka. "Nicolas, hidupku bukan hanya tentang El. Aku juga punya perasaan, punya masa lalu yang menyakitkan, dan aku tidak yakin bisa menerima semua ini begitu saja."Nicolas melangkah mendekat, wajahnya serius. "Aku tahu, Ros. Aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan. Tapi aku juga tahu satu hal—aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu dan El."Ros tertawa kecil, getir. "Kau hanya takut kehilangan El. Bukan aku."Nicolas terdiam sejenak sebelum mengangkat tangannya, menyentuh lembut wajah Ros. "Aku tidak akan memaksa jika kamu benar-benar tidak mau. Tapi aku ingin kamu tahu... sejak kamu muncul lagi dalam hidupku, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Dan aku ingin memperjuangkan itu."Ros menatap mata Nicolas, mencari kebohongan di sana—tapi yang ia temukan justru ketulusan. Dadanya berdebar, pikirannya berantakan."Beri aku waktu," bisiknya akhirnya.Nicolas mengangguk pelan, sudut bibirnya terangkat sedikit.
Mobil melaju dalam keheningan. Nicolas menggenggam kemudi lebih erat, pikirannya berkecamuk. Dia ingin menjawab, tapi bibirnya seolah terkunci.Ros menunggu, namun saat Nicolas tetap diam, ia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Angin malam meniup lembut wajahnya, tapi dada Ros terasa sesak. "Jika Anda tidak bisa menjawabnya, mungkin memang sebaiknya saya pergi," gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.Nicolas mendadak menginjak rem, membuat tubuh Ros sedikit terdorong ke depan. "Kau tidak akan pergi ke mana pun, Ros!" suaranya terdengar tegas, tapi ada kegelisahan di baliknya.Ros menoleh, menatap Nicolas yang kini menatapnya dengan tatapan tajam. "Kenapa? Kenapa Anda menahan saya?"Nicolas mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Karena aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Karena... aku tidak ingin kehilanganmu lagi. El, bisa ngambek terus.""El mungkin aku bawa, dia anakku."Nicolas tersentak, sorot matanya menggelap. "Apa maksudmu, Ros?"Ros mena