Share

Bab 87. Area pemakaman

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-03-27 23:20:44

"TIDAK!"

Jeritan Bu Arini memecah keheningan, menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya langsung melemas, nyaris terjatuh jika tidak ditahan oleh Pak Raditya yang refleks meraih bahunya.

"Kamu bohong!" Isaknya penuh kepedihan. "Sagara tidak mungkin, dia tidak mungkin meninggal! Tidak mungkin!"

Pak Raditya tampak terpukul. Wajahnya yang selama ini selalu tegar mendadak tampak lebih tua, lebih lelah. Ia memejamkan matanya, seakan berharap saat ia membukanya kembali, ini semua hanyalah mimpi buruk.

Ruang tamu masih diselimuti kesunyian yang mencekik. Tangis Bu Arini mulai mereda, meski sesekali masih terdengar isakannya yang lirih. Pak Raditya duduk dengan wajah tegang, kedua tangannya bertaut di pangkuannya, seakan sedang mencoba menguatkan diri. Brisa tetap diam, menatap lantai dengan tatapan kosong. Sejak Brian mengucapkan kata-kata itu bahwa Sagara sudah meninggal, dunia di sekitarnya terasa kabur.

Di tengah keheningan itu, suara lirih Bu Tara akhirnya terdengar.

"Brian."

Semua orang men
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 88. Takut melupakan

    Detik berikutnya Brisa menggeliat pelan, kelopak matanya sedikit berkedut. "Brisa?" Brian segera mendekat, menatapnya penuh harap. Brisa mengerang pelan, matanya membuka sedikit. Pandangannya tampak buram, tetapi ketika ia melihat wajah Brian di depannya, air matanya langsung jatuh tanpa suara. "Sagara," suaranya lirih, hampir seperti gumaman. Brian mengepalkan rahangnya. "Brisa, dengar aku. Kau pingsan, tapi kau akan baik-baik saja. Coba tarik napas dalam." Brisa tidak menjawab, tetapi napasnya mulai tidak teratur, seakan masih berada dalam kepanikan yang mendalam. Brian segera menaruh telapak tangannya di punggung Brisa, mengusapnya perlahan. "Tenang, aku di sini! Tarik napas pelan, buang perlahan." Brisa mengikuti arahannya, meski tubuhnya masih gemetar. Napasnya mulai sedikit lebih stabil, tetapi wajahnya tetap pucat. Bu Tara langsung memeluk putrinya erat-erat, terisak dalam dekapan Brisa. "Sayang, kau membuat kami semua ketakutan." Pak Aryan juga mengusap punggung putri

    Last Updated : 2025-03-28
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 89. Tidak perlu memikirkan hari esok

    Bu Tara, matanya penuh kekhawatiran melihat kondisi putrinya. "Brisa, Sayang. Kita hampir sampai di rumah. Kau ingin minum sesuatu? Atau apakah ada yang bisa Ibu lakukan untukmu?" suaranya lembut, berusaha menenangkan. Brisa tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, bahkan tanpa mengangkat kepalanya dari bahu Brian. Pak Raditya yang menyetir pun sesekali melirik melalui kaca spion. "Brian, kalau kita harus ke rumah sakit, bilang saja." Brian mengusap punggung Brisa dengan lembut. "Sejauh ini dia hanya syok berat. Aku akan memeriksanya lebih lanjut begitu sampai di rumah." Bu Tara mengangguk, meski kecemasannya belum hilang. "Terima kasih, Brian." Brian hanya membalas dengan anggukan kecil. Ia tidak butuh ucapan terima kasih. Ia hanya ingin memastikan bahwa Brisa baik-baik saja. Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumah keluarga Brisa, semua orang masih dalam kondisi yang sama dipenuhi kesedihan, kepedihan yang mencekik, dan kehilangan yang begitu nyata. Pak Aryan turun leb

    Last Updated : 2025-03-28
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 90. Tetap hidup dalam kenangan

    Pagi itu, langit masih kelabu. Hujan semalam meninggalkan sisa embun di jendela, dan udara terasa lebih dingin dari biasanya. Rumah keluarga Brisa masih sunyi, seolah masih larut dalam duka yang belum usai. Di dalam kamar, Brisa terbangun perlahan. Matanya terasa berat, seakan semua air matanya telah terkuras habis semalam. Tubuhnya terasa lemas, tetapi yang lebih menyakitkan adalah kehampaan yang masih menggantung di dadanya. Saat ia menoleh, ia melihat sosok Brian duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Pria itu tidak tertidur, hanya bersandar dengan mata terpejam. Wajahnya tampak lelah, tetapi tetap terlihat waspada. Seolah merasakan tatapannya, Brian membuka mata. Ketika melihat Brisa sudah bangun, ia segera bangkit dari kursinya. "Kau sudah sadar?" Brisa hanya mengangguk pelan. "Kau merasa pusing?" Brian bertanya sambil memeriksa denyut nadinya. Sentuhannya lembut, penuh perhatian. "Sedikit," jawab Brisa jujur. Brian mengangguk dan meraih segelas air di meja samping. "Minuml

    Last Updated : 2025-03-28
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 91. Bertemu orang tua

    Setelah berbicara beberapa saat dengan Pak Rendra, Brian berpamitan dan melanjutkan kunjungannya ke pasien lain. Pasien Pascaoperasi Ia menuju ruang perawatan bedah, tempat seorang wanita berusia lima puluhan yang baru saja menjalani operasi jantung kemarin sedang beristirahat. Perawat yang berjaga di sana menyambutnya. "Bagaimana kondisi Ibu Sinta?" tanya Brian sambil mengecek catatan medisnya. "Tekanan darahnya stabil sejak pagi tadi, dan ia sudah mulai bisa mengonsumsi makanan lunak," jawab perawat. Brian mengangguk sebelum masuk ke dalam ruangan. Ibu Sinta sedang berbaring dengan posisi kepala sedikit ditinggikan. Wajahnya terlihat lebih segar dibanding kemarin, meskipun masih sedikit pucat. "Selamat siang, Bu Sinta," sapa Brian. Ibu Sinta membuka matanya dan tersenyum tipis. "Dokter Brian, terima kasih atas operasinya kemarin. Saya merasa lebih baik hari ini." "Itu kabar baik, Bu," kata Brian sambil memeriksa pergelangan tangannya untuk mengecek denyut nadi. "Ada rasa nye

    Last Updated : 2025-03-30
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 92. Kembalinya Brian

    Brian menggeleng. “Aku datang untuk berdamai, dengan kalian dan dengan masa lalu. Aku tahu kita punya banyak perbedaan, tapi aku ingin menunjukkan bahwa kita bisa berjalan bersama tanpa harus saling meniadakan.” Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa saat. Brian menunggu, tak terburu-buru, memberi waktu bagi ayahnya untuk mencerna semua ini. Akhirnya, pria tua itu mendengus pelan, matanya melunak meski tetap menunjukkan harga diri yang tinggi. Sang ibu mendekat, memegang tangan Brian dengan lembut. “Kami merindukanmu. Apa kau benar-benar akan pulang?” Brian menatap ibunya dengan lembut. “Ya, Bu. Aku pulang.” Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar diterima. Setelah percakapan yang cukup emosional itu, Brian akhirnya duduk bersama orang tuanya. Ibunya masih terlihat terharu, sementara ayahnya tetap mempertahankan sikap dinginnya, meskipun ada kilatan kebanggaan yang tak bisa disembunyikan dari matanya. “Kalau kau ingin mengambil alih posisi Sa

    Last Updated : 2025-04-01
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 93. Penerima donor

    Setelah rapat selesai, Brian berjalan keluar dari gedung kantor dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi ia sudah bertekad untuk menjalankan tugasnya. Malam itu, setelah hari yang panjang, Brian kembali ke rumah Brisa dan Sagara. Begitu memasuki rumah, ia langsung merasakan kekosongan yang begitu mencengkeram. Ruang tamu sunyi hanya ada bayangan perabotan yang tampak seperti saksi bisu dari kebahagiaan yang dulu pernah ada. Rumah itu masih sama, tetapi rasanya berbeda. Seperti kehilangan jiwanya. Langkah Brian terasa berat saat ia berjalan ke dalam. Meja makan yang dulu sering mereka gunakan untuk berkumpul kini tertata rapi, tak tersentuh. Di sudut ruangan, foto pernikahan Sagara dan Brisa masih berdiri kokoh di atas meja kecil. Brian mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh bingkai itu. Sagara tersenyum dalam foto itu, begitu bahagia, begitu hidup. Brian menarik napas dalam, mencoba menekan rasa kehilangan yang tiba-tiba menyerangnya. Hari-hari

    Last Updated : 2025-04-01
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 94. Surat untuk Brisa

    Suasana di ruang tamu semakin hening, hanya terdengar detakan jam dinding yang seakan mengiringi kegelisahan di dalam dada Brian. Ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan dokter Angga yang masih menunggu reaksi selanjutnya.Brian menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu ini bukan saatnya emosi. Ia bertanya dengan nada pelan, "Apakah Brisa sudah tahu?" Dokter Angga menggeleng perlahan."Saya belum memberitahunya," ujar dokter Angga, suara berat dan penuh pertimbangan. "Itulah alasan saya datang ke sini. Saya ingin bicara langsung dengan Bu Brisa, menjelaskan semuanya dari awal."Brian menatap dokter Angga beberapa saat sebelum mengangguk. Tidak ada kata-kata lagi. Setelah berpamitan, dokter Angga pun pergi meninggalkan rumah yang kembali tenggelam dalam keheningan.Brian menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang dokter Angga. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Ia mencoba menelepon Brisa. Sekali, dua kali. Tak dijawab. Ia mengirim pesan

    Last Updated : 2025-04-04
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 95. Pergi dari rumah

    Beberapa saat kemudian, pintu kamar Brisa terbuka. Brisa melangkah keluar dengan sebuah koper besar di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Ivana masih duduk di ruang tamu.“Kamu masih di sini?” tanya Brisa, nada suaranya dingin.Ivana bangkit berdiri, matanya menatap koper besar itu. “Kamu… kamu mau pergi?”Brisa menunduk sejenak, lalu menatap Ivana lurus. “Iya. Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan buruk dan Sagara sudah tidak ada lagi di sini."Ivana membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri di tempat, tubuhnya terasa kaku. Ada perasaan bersalah yang menyelinap di hatinya, tapi ia menekannya dalam-dalam.Brisa menyeret kopernya ke dekat pintu. Ia mengambil jaket dari gantungan, lalu berbalik menatap Ivana sekali lagi.“Kalau kamu datang buat bicara soal hubunganmu dengan Brian, aku nggak tertarik. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau, tapi aku nggak akan tinggal di tengah drama kalian. La

    Last Updated : 2025-04-05

Latest chapter

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 100. Tidak ada kehangatan

    "Pergi? Ke mana?" "Keluar negeri, Mas. Sudah tiga hari yang lalu." Deg. Brian mengerutkan kening. "Keluar negeri? Serius? Brisa juga ikut?" Mbak Ani mengangguk pelan. "Iya, Mas. Bertiga. Ibu, Bapak, sama Mbak Brisa. Mereka nggak bilang pergi ke mana secara spesifik, cuma bilang mereka akan tinggal cukup lama di luar negeri." Brian mundur satu langkah, kepalanya mendadak ringan, seperti darah mengalir terlalu cepat ke ubun-ubun. "Mereka ninggalin Indonesia dan nggak bilang apa-apa ke aku?" Mbak Ani tampak canggung. "Maaf, Mas. Saya juga nggak tahu banyak. Saya hanya diberi tugas menjaga rumah sementara. Mereka cuma bilang bahwa mereka pergi untuk waktu yang belum bisa dipastikan." "Nggak ninggalin pesan? Nggak ada surat buat aku? Nggak ada kabar?" Mbak Ani menggeleng pelan. Brian terdiam beberapa saat. Matanya memerah, rahangnya mengeras. "Mbak, Brisa nggak bilang apa-apa sebelum pergi? Tentang aku? Tentang bayi kami?" "Saya benar-benar nggak tahu, Mas. Maaf. Mb

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 99. Langit sore yang kelabu

    Malam itu, setelah semua tenang dan lampu ruangan dipadamkan, Brisa duduk sendiri di depan jendela. Di luar, salju tipis mulai turun, menyelimuti halaman rumah Bibi Rika. Ia memeluk bantal kecil sambil mengusap perutnya. “Hari pertama kita di tempat yang baru, Nak,” bisiknya lembut. “Maaf, kalau dunia belum terlalu ramah padamu, tapi Ibu janji, kita akan cari tempat yang bisa jadi rumah. Rumah yang sesungguhnya.” *** Hari-hari selanjutnya berlalu dalam keheningan yang menyembuhkan. Bibi Rika mengajaknya berjalan pagi ke taman kecil dekat kuil, mengajarkan Brisa cara membuat onigiri, dan memperkenalkan berbagai teh herbal yang bisa membuatnya rileks. Brisa mulai menulis lagi. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mengetik catatan harian, entah untuk dirinya sendiri, untuk anaknya, atau untuk masa depannya. Pagi hari rumah itu dipenuhi aroma teh chamomile. Siang hari, suara radio Jepang mengalun pelan, kadang lagu lama, kadang sekadar berita. Malam hari, rumah itu senyap kecuali detak

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 98. Bibi Rika

    Brisa duduk di dekat jendela. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit. Di sampingnya, Bu Tara duduk dengan kepala bersandar, tertidur. Pak Aryan di sisi lain, memejamkan mata meski jelas tak benar-benar tidur. Brisa melihat ke jendela kecil pesawat dan menatap ke luar. Di ketinggian itu, awan terlihat seperti hamparan kapas tak berujung. Dunia di bawah sana tidak terlihat. Seolah semuanya lenyap. Kenangan, luka, air mata, semua ditinggalkan di tanah yang menjauh. Ia menghela napas pelan. Tangan kirinya menyentuh kaca jendela. “Aku nggak tahu masa depanku akan seperti apa, tapi aku akan berusaha demi anak ini.” Tangannya mengusap lembut perutnya. “Dan demi diriku sendiri.” Sementara itu, di rumah yang ditinggalkan, di kamar Brisa terasa hampa. Boneka-boneka kecil, beberapa bingkai foto, dan tirai warna putih masih tergantung. Di meja rias, ada secarik kertas yang tertinggal, ditulis Brisa semalam sebelum berangkat. Untuk diriku yang akan kembali. Jangan lupa bahwa kamu pernah

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 97. Bandara

    Langit di luar terminal masih abu-abu. Sisa gerimis semalam membuat lantai trotoar bandara licin dan berkilau samar tertimpa lampu kuning dari deretan tiang lampu. Di dalam terminal, keramaian bercampur dengan suara koper beroda yang bergesekan, pengumuman jadwal keberangkatan, dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa.Brisa berdiri diam di dekat pintu masuk keberangkatan internasional, jaket kremnya terlipat rapi di lengan. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada beban yang ia bawa, beban yang tak terlihat namun terasa beratnya di setiap tarikan napas.Di sampingnya, Bu Tara tengah memeriksa paspor dan dokumen, sedangkan Pak Aryan mengawasi koper yang sudah tersusun di troli. Mereka berdua tampak lelah, tapi jelas berusaha menyembunyikan perasaan agar Brisa tidak semakin terbebani.Arga datang tergesa dari arah pintu masuk, jaket denimnya setengah basah karena sempat terguyur hujan. Nafasnya sedikit terengah, rambutnya acak-acakan, tapi yang paling menc

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 96. Pergi

    Sore itu, rumah keluarga Brisa terasa lebih lengang dari biasanya. Udara sejuk dari jendela terbuka membawa aroma rumput basah dan rintik gerimis yang mulai turun perlahan.Brisa membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatu yang basah oleh gerimis meninggalkan jejak samar di lantai. Ibunya, Bu Tara, yang mendengar suara pintu segera keluar dari dapur.“Brisa, kamu sudah pulang?” Suaranya lembut namun sarat kecemasan.Pak Aryan muncul dari ruang kerja, menatap putrinya lekat-lekat.Brisa memaksakan senyum kecil. “Ma, Pa.”Bu Tara buru-buru menghampiri dan memeluknya erat. Pelukan itu hangat, lama, dan penuh rasa khawatir yang tak bisa diucapkan. “Kamu nggak apa-apa, kan?” bisiknya.Brisa mengangguk pelan. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri."Setelah itu mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Tidak ada televisi menyala, tidak ada suara musik. Hanya keheningan yang mengendap di antara mereka.Pak Aryan bersandar di sofa, tangannya bertaut di depan dada, sedangkan

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 95. Pergi dari rumah

    Beberapa saat kemudian, pintu kamar Brisa terbuka. Brisa melangkah keluar dengan sebuah koper besar di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Ivana masih duduk di ruang tamu.“Kamu masih di sini?” tanya Brisa, nada suaranya dingin.Ivana bangkit berdiri, matanya menatap koper besar itu. “Kamu… kamu mau pergi?”Brisa menunduk sejenak, lalu menatap Ivana lurus. “Iya. Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan buruk dan Sagara sudah tidak ada lagi di sini."Ivana membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri di tempat, tubuhnya terasa kaku. Ada perasaan bersalah yang menyelinap di hatinya, tapi ia menekannya dalam-dalam.Brisa menyeret kopernya ke dekat pintu. Ia mengambil jaket dari gantungan, lalu berbalik menatap Ivana sekali lagi.“Kalau kamu datang buat bicara soal hubunganmu dengan Brian, aku nggak tertarik. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau, tapi aku nggak akan tinggal di tengah drama kalian. La

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 94. Surat untuk Brisa

    Suasana di ruang tamu semakin hening, hanya terdengar detakan jam dinding yang seakan mengiringi kegelisahan di dalam dada Brian. Ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan dokter Angga yang masih menunggu reaksi selanjutnya.Brian menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu ini bukan saatnya emosi. Ia bertanya dengan nada pelan, "Apakah Brisa sudah tahu?" Dokter Angga menggeleng perlahan."Saya belum memberitahunya," ujar dokter Angga, suara berat dan penuh pertimbangan. "Itulah alasan saya datang ke sini. Saya ingin bicara langsung dengan Bu Brisa, menjelaskan semuanya dari awal."Brian menatap dokter Angga beberapa saat sebelum mengangguk. Tidak ada kata-kata lagi. Setelah berpamitan, dokter Angga pun pergi meninggalkan rumah yang kembali tenggelam dalam keheningan.Brian menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang dokter Angga. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Ia mencoba menelepon Brisa. Sekali, dua kali. Tak dijawab. Ia mengirim pesan

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 93. Penerima donor

    Setelah rapat selesai, Brian berjalan keluar dari gedung kantor dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi ia sudah bertekad untuk menjalankan tugasnya. Malam itu, setelah hari yang panjang, Brian kembali ke rumah Brisa dan Sagara. Begitu memasuki rumah, ia langsung merasakan kekosongan yang begitu mencengkeram. Ruang tamu sunyi hanya ada bayangan perabotan yang tampak seperti saksi bisu dari kebahagiaan yang dulu pernah ada. Rumah itu masih sama, tetapi rasanya berbeda. Seperti kehilangan jiwanya. Langkah Brian terasa berat saat ia berjalan ke dalam. Meja makan yang dulu sering mereka gunakan untuk berkumpul kini tertata rapi, tak tersentuh. Di sudut ruangan, foto pernikahan Sagara dan Brisa masih berdiri kokoh di atas meja kecil. Brian mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh bingkai itu. Sagara tersenyum dalam foto itu, begitu bahagia, begitu hidup. Brian menarik napas dalam, mencoba menekan rasa kehilangan yang tiba-tiba menyerangnya. Hari-hari

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 92. Kembalinya Brian

    Brian menggeleng. “Aku datang untuk berdamai, dengan kalian dan dengan masa lalu. Aku tahu kita punya banyak perbedaan, tapi aku ingin menunjukkan bahwa kita bisa berjalan bersama tanpa harus saling meniadakan.” Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa saat. Brian menunggu, tak terburu-buru, memberi waktu bagi ayahnya untuk mencerna semua ini. Akhirnya, pria tua itu mendengus pelan, matanya melunak meski tetap menunjukkan harga diri yang tinggi. Sang ibu mendekat, memegang tangan Brian dengan lembut. “Kami merindukanmu. Apa kau benar-benar akan pulang?” Brian menatap ibunya dengan lembut. “Ya, Bu. Aku pulang.” Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar diterima. Setelah percakapan yang cukup emosional itu, Brian akhirnya duduk bersama orang tuanya. Ibunya masih terlihat terharu, sementara ayahnya tetap mempertahankan sikap dinginnya, meskipun ada kilatan kebanggaan yang tak bisa disembunyikan dari matanya. “Kalau kau ingin mengambil alih posisi Sa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status