B a y i B u n g k u s
2
🔲🔳🔲🔳
Dear Diary,
Hari ini tanggal 29 Maret 2020. Bisakah kau melihat apa yang ada di balik jendela kamarku? Ya, langit siang memuram dengan tangis menjadi-jadi. Pukul 13.18. Aku ingat pada jam-jam dimana---25 tahun lalu---ibuku bergulat dengan rasa sakit. Mencoba bertahan di tengah garis kesadaran demi buah hatinya.
Diary,
Aku lahir bersamaan dengan datangnya air bah ke desa ibuku. Hujan deras seperti saat ini. Bedanya, aku seorang diri. Di sana? Pontang-panting. Ternak-ternak digiring masuk. Bocah-bocah yang asyik main gundu diseret pulang. Kapal-kapal buatan sendiri, ditarik ke luar---diikat pada tiang penyangga---halaman rumah jadi dek-dek darurat.
Tak masalah bagi rumah yang memiliki pondasi tinggi. Banjir sering datang ketika musim penghujan, apalagi dengan curah tinggi. Sayangnya, bagi mereka-mereka yang jarak rumah hanya beberapa meter dari tanah, ini sebentuk musibah yang mengusik nyeyaknya tidur malam hari.
***
K E L A H I R A N K U
1993.
"Air bah datang ... air bah datang."
Himbauan itu seperti cambuk yang mengalihkan Sapardi dari perasaan kalut.
"Duh, gusti ... opo maneh iki?" (Tuhan apa lagi ini?) gumam Sapardi sembari tergopoh keluar rumah. Meninggalkan Sri, sang ibu mertua dan mbah dukun yang menanti kelahiran si jabang bayi.
"Ada apa, Pak?" tanya Sapardi.
Lek Kardi ---masih saudara, berlari dari arah sawah di samping rumah.
"Anu, dek, Par ... brantas amber gedhe. Banyune bakal mili mrene!" (Brantas penuh. Airnya akan jalan ke mari)
"Waduh, ciloko iki, Pak ... adik istri saya masih main. Gimana ya?"
"Sopo? Bayu ta?"
"Inggeh, Lek,"
"Wes tak susule. Kowe jogo Sri wae, durung ngelaerno toh?" ( Aku yang jemput. Jaga Sri saja. Belum lahiran kan?)
Sapardi mengangguk. Tak lagi ingin melanjutkan pembicaraan, sebab jerit kesakitan Sri dari arah dalam sukses mengoyak pikirannya.
"Loh, opoo Sri!?" pekik Lek Kardi.
"Lek, kulo tinggal?" pamit Sapardi.
"Yo ... yo ... ojo lali perahune dietokke," (Jangan lupa perahunya dikeluarkan) pesan Lek Kardi.
Anggukan sekilas, lalu Sapardi terbirit masuk. Di pintu kamar Sri, ibu mertuanya keluar dengan mata yang mulai basah.
"Ada apa, Mak?! Sri kesakitan lagi?"
"Anu, Par ... Pandungane yo ... duh, gusti Allah. Ono opo toh Sri, cek angelmen lahiran," ujar ibu mertua Sapardi sembari mengusap-usap dada. Sesak pasti. Sapardi pun merasakan hal yang sama.
"Tunggoni ... Mak.e tak salat disek, terus merene maneh." ( Di tunggu. Ibu salat dulu. Setelah iti ke sini lagi)
Sapardi menurut. Menghantar sebentar sosok Ibu mertua dengan kedua matanya, lalu buru-buru menyibak kelambu dan masuk.
Sri di sana. Menahan sakit. Bulir keringat mengucur deras. Bajunya basah. Bibirnya memucat. Telapak tangan kanannya yang digenggam Sapardi bergetar.
"Sakit Pak ... sakit banget," rintih Sri.
"Karo moco ayat kursi, yo Nduk," (Sambil baca ayat kursi ya, Nduk) pinta mbah dukun bayi.
"Mbah ... ini sudah tiga hari dua malam. Kapan kira-kira akan lahir? Kasihan istri saya?"
"Ini ketubannya belum pecah---" Mbah dukun mengecek ke dalam kain jarik yang menutupi area bawah tubuh Sri, "Loh, iki wes siap lahiran. Kurang siji maneh." (Ini sudah siap lahiran, kurang satu lagi)
"Aku sudah tidak kuat, Pak," ucap Sri pelan.
"Kudu kuat, Nduk. Par, celukno Mak-mu ... karo jukukno banyu uyah, yo," (Panggil ibumu dan ambilkan air garam) perintah sang dukun.
Sapardi menurut. Awalnya Sri benar-benar tak mau melepas genggaman tangannya, tetapi saat mbah dukun mengatakan "Gek ndang cepet metu, Nduk" barulah Sri mengendurkan genggamannya.
Ibu mertua Sapardi ada di kamarnya. Menyelesaikan rokaan terakhir. Saat diberi tahu, tanpa melepas mukenah, Ibu mertuanya itu bergegas dengan segelas air putih dalam genggaman tangannya. Tak lupa saat melewati dapur, Sapardi membuat air garam yang diminta mbah dukun.
"Bade lahiran, Mbah?" (Sudah mau lahiran, Mbah) sembari menyerahkan segelas air itu pada Mbah dukun.
"Nyo, Nduk ... diombe disik, iki banyu pandogane Mak-mu." (Diminum dulu. Ini air doa dari ibumu)
Sapardi mengambil alir gelas itu, lalu membantu Sri sedikit mengangkat kepalanya.
Detik berganti ....
Menit berlalu ....
Tiba saatnya Sri melahirkan. Erangan hidup mati itu memenuhi seisi kamar. Mengiris ketenagan. Mempertebal gurat cemas di wajah Sapardi dan ibu mertuanya. Doa terlantun mengiringi setiap proses. Jendela yang sengaja ditutup, memberikan sensasi remang yang mencekam.
Hujan turun begitu derasnya. Sapardi yang sempat melongok ke arah ruang tamu dari bingkai pintu karena merasa khawatir, mendapati suasana siang mendadak jadi petang. Suara gemuruh datang bersama berkubik-kubik air keruh yang menyapu teras rumah. Ah, sebentar lagi air itu akan masuk rumah.
"Terus, Sri ... ngeden sing jeruh," ( Ngeden yang dalam)
Wajah Sri merah marak. Otot lehernya bermunculan. Netranya menggelendongkan air mata terus menerus. Dahinya terlipat bertingkat-tingkat. Sri berada pada titik kesakitan yang luar biasa dahsyat. Garis maut tampak jelas di depan matanya.
"Sudah terlihat, Sri ... terus," dorong mbah dukun.
Sri memperdalam erangan, hingga ... ia seperti memuntahkan sesuatu dari dalam perutnya. Rasanya lega.
"Metu, Sri anakmu," ujar Mak bahagia.
"Loalah, gusti Allah! Bungkus tenan bayine," ( Ya Allah, bunkus beneran bayinya) pekik mbah dukun.
Bayi Sri berada di atas kain jarik dengan posisi telungkup. Selaput plasenta masih mmbungkus bayi itu.
"Ya Allah, pie!" Sapardi tak kalah paniknya.
"Ora usah panik," pinta mbah dukun, sembari mengambil air garam dalam gelas di atas meja tak jauh dari jangkauannya.
Bibirnya berkecumik melantunkan salawat. Mbah dukun meminta Ibu mertua memegang gelas. Ia sendiri menggendong bayi Sri.
"Bismillah, Allahuma Shaliala sayyidina Muhammad," lantunnya, "Yo, Nduk. Sing ayu dewe. Bene, kakang kawah adi ari-arimu seng nunggoni. Mbah buka."
Mbah dukun mencelupkan jari telunjuknya ke dalam air garam, lalu menggoreskannya ke selaput yang membungkus anak Sri.
Selaput pecah. Air ketuban tumpah. Tak ada tangis. Bayi itu belum menampakkan pergerakan. Dengan sigap dan cekatan Mbah dukun membalik si bayi, dengan posisi kepala menghadap tanah dan kakinya menghadap langit. Mbah dukun memukul pantat si bayi dua kali.
Barulah tangis itu terdengar. Begitu keras. Ritmenya teratur. Dan, terlantun kalimat tasbih yang mengiringi wajah-wajah bahagia di kamar itu.
"Nyo, Le... Ndang diazani," pinta Mbah dukun.
Sapardi menunaikan kewajibannya.
"Le?" Mbah dukun menghampiri.
"Inggeh Mbah?"
"Aku melu dukani, yo, Le. Duduk amergo aku iki ndisiki kersane gusti Allah, ora ... ora. Mbah iki percoyo karo perkara sing gaib." (Aku mau bicara. Bukan karena aku mendahului kehendak Allah. Mbah ini percaya pada hal yang gaib)
"Inggeh, Mbah."
"Titip putuku sing ayu iki ... emboh sopo sing bakal dipilih kakang kawah adi ari-ari-ne gawe njogo bareng. Mugo-mugo apik lan iso ngengeri putuku iki."
(Titip cucuku yang cantik ini. Tak tahu siapa yang bakal di pilih kakang kawah adi ari-arinya untuk mendampingi menjaga, semoga bagus dan bisa merawat cucuku ini.)
***
B A Y I B U N G K U S( 3 )Dear DearyHari ini tanggal 1 April 2020. Tidur siangku terganggu suara tangis bayi yang memekkan telinga. Kucoba mencari sumber suara di luar kamar
B a y i B u n g k u s ( 4 )P I N D A H P A N G G O N-------- ------- -------- -------------
B A Y I B U N G K U S ( 6 )True StoryM a r l i n aDear Diary,
B a y i B u n g k u s ( 9 )True StoryS u a r a d i S e k e l i l i n g R u m a hDetik
B a y i b u n g k u s ( 10 )Dear Diary,Cerita yang akan kutulis ini, kudengar langsung dari orang tuaku. Bagaimana aku yang masih kecil dan tak kuasa menanggung rasa takut, harus mendapat penjagaan berupa pagar gaib. Sebagai pelindung. Sebagai
B a y i B u n g k u s (11)True StoryDear Diary,
B a y i B u n g k u s ( 12 )True StoryDear Diary,Ini kisah terakhir masa kecilku. Masa dimana mereka yang tak mudah kutemui, semakin rajin mendatangiku. Mereka yang pada umumnya tak dapat dilihat orang, mencoba peruntu
B a y i B u n g k u s ( 13 )True StoryKalian melihatku. Apa kalian bisa melihatku?Biarkan aku yang menuntun kalian menuju kisah hidupku. Ya, akulah yang memandu jalan. Apa pun yang kalian rasakan nanti, tetaplah tenang
Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber
Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da
Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.
Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S
B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di
B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.
Motor Basri berbelok ke perempatan jalan. Tak jauh lagi mereka akhirnya sampai. Rumah Barada di tepi sungai. Halamannya luas. Ada surai dari anyaman bambu di depannya. Tiara disambut wanita muda dengan perawakan tambun dan berparas cantik. Dialah Airin, kakak Basri. Tak lama, keluar seorang nenek dengan jalan yang sedikit terseok, dialah pengganti orang Tua Basri. Dari kelas tiga sekolah dasar sampai sekarang, Basri tinggal dan dirawat oleh neneknya. Ibu Basri telah meninggal, sedangkan ayah Basri memilih menikah lagi. Besar jasa nenek Basri padanya. Biaya sekolah, mondok, sampai kuliah, neneknya-lah yang menanggung. Kedatangan Tiara telah ditunggu. Rasa cemas terpatri jelas. Tiara dan Basri pamit berangkat pagi, tetapi hampir pukul sepuluh malam mereka baru tiba di rumah.
B a y i B u n g k u s Suara AsingTiara dan Basri resmi bertunangan. Hari ini Basri meminta izin pada Sri dan Sapardi untuk membawa Tiara merayakan idul fitri di kotanya. Sekaligus mengenalkannya pada keluarga besar. Sri dan Sapardi memperbolehkan, tetapi dengan syarat tak boleh lebih dari satu minggu. Tiara dan Basri betangkat pukul tujuh pagi dengan mengendarai motor. Jarak yang ditempuh lumayan jauh. Kira-kira sekitar empat jam jika menggunakan motor dan bisa lebih dari enam jam ketika menggunakan bus. Basri menerangkan bahwa mereka tak akan langsung pulang, Basri akan mengajak Tiara jalan-jalan lebih dulu.
"Tiara, jaga rumah, ya?" Itu pesan Sri sebelum akhirnya meninggalkan Tiara seorang diri di rumah.Sri, Sapardi, dan Alif harus pulang ke desa karena salah satu kerabat ada yang meninggal dunia. Alhasil, Tiara jadi penunggu satu-satunya. Kumandang azan magrib terdengar. Setelah menunaikan salat, Tiara memasak mie instan untuk mengganjal perut yang seharian tak terisi nasi hanya camilan. Serial televisi favoritnya sudah masuk intro pembuka. Sembari mie instan matang, Tiara menikmati tayangan televisi. Sisa waktu sebelum isya itu dia habiskan bersantai.Kembali azan isya berkumandang. Tiara segera menunaikan salat. Di kamarnya. Televisi ada di ruang tamu. Rakaat pertama dan kedua berjalan mulus. Tak ada hal ganjil yang terjadi. Rakaat keempat, Tiara merasa ada tiupan angin tipis yang menerbangkan mukenah bagian belakang. Kondisi jendela kamar tertutup. Semua pintu tertutup. Pun cuaca tak sedang berangin. Dan anehnya, angin itu hanya di rasakan punggungnya.&nbs