B a y i B u n g k u s ( 9 )
True Story
S u a r a d i S e k e l i l i n g R u m a h
Detik berkumpul dan membawa tubuh-tubuh yang seharian lelah beraktivitas lelap dalam mimpi. Geliat hidup kota pun mulai redup. Hawa dingin menyiksa tulang. Kehangatan tiap rumah padam. Langit memekat. Hening mengakumulasi. Menghadirkan atmosfer mencekam yang membuat siapa pun enggan keluar rumah.
Gadis berbaju setelan kaos dan celana bercorak doraemon biru terjaga dari waktu tidurnya. ia tak sendiri. Boneka barbie hadiah dari Sapardi menemani. Boneka itu berambut pirang. Semakin cantik dengan gaun yang membalut tubuh plastiknya. Ketika semua penerangan berada dalam mode off, ia membiarkan penerangan kamarnya tetap benderang.
Kamar berukuran 3x3 bercat putih dengan lantai berlapis beton, menjadi tempat persembunyian paling aman. Sebentuk ranjang. Lemari dari kayu mahogani indah dan meja kecil menjadi perabot yang mengisi kekosongan. Latar di kamar itu hanyalah kipas angin gantung berisik. Netranya tak kunjung diserang rasa kantuk. Jika sang ibu tahu ia masih terjaga di sepertiga malam begini, bisa dimarahi habis-habisan. Sayangnya, sang ibu terlalu lelah untuk sekadar menegoknya. Mengurus adiknya yang rewel seharian, cukup menguras tenaga. Sedang bapak, seperti biasa mendapat shif sore dan baru pulang besok pagi.
Tiara duduk di atas ranjang. Berselimut kain berbulu tebal bergambar doraemon. Berteman boneka barbie yang ia ajak bicara. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang. Tak ada rasa takut. Meski ia terjaga seorang diri, nyalinya tak akan ciut. Entahlah, gadis kecil itu melupakan begitu saja makhluk-makhluk tak kasat mata berwajah seram yang menemuinya sebelum ini. Ketika Sapardi menanyakan, apakah Tiara bisa tidur atau berani ke kamar mandi seorang diri? gadis bertubuh kurus itu dengan lantangnya menjawab, bisa tidur dengan nyenyak. Mereka tak lagi menemui. Dan, untuk urusan ke kamar mandi, Tiara tak pernah meminta siapa pun mengantar, meskipun di malam hari.
"Hai, namaku Tiara?" ucapnya, sembari menggerak-gerakan tangan boneka barbie dalam genggaman.
"Namaku, Isabel." Tiara memanipulasi suaranya, lebih halus. Berperan menjadi boneka tersebut.
Menit selanjutnya, keheningan malam terkoyak suara berisik yang tertangkap indra pendengaran. Begitu dekat. Bak ribuan inang memekakkan telinga. Seolah berasal dari dalam batok kepalanya. Tiara mengeratkan mulut. Diam. Meletakkan boneka barbie ke ranjang, perlahan dan tanpa suara. Bulu kuduknya seketika meremang. Siapa juga yang bertamu malam-malam begini? Tetangga depan? Rasanya tak mungkin. Tadi, saat ia pergi ke kamar mandi, kira-kira pukul sembilan malam, ruang tamu rumah tetangga depan sudah gelap.
Jika dicermati, suara itu berasal dari arah luar rumahnya. Tepatnya di teras depan. Entah apa yang dibicarakan, Tiara tak bisa menangkapnya dengan jelas. Tak seperti ketika bertemu Marlina atau pun manusia bermata lepek, kali ini keberaniannya seolah dibabat habis. Ia ketakutan. Sangking takutnya, sampai membuat dahinya banjir keringat dan tubuhnya menggigil kedinginan. Gadis yang kini merapatkan kakinya menyentuh dada itu, yakin suara tersebut bukanlah milik manusia.
Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam di dalam kamar. Membiarkan napasnya dan jantungnya bergerak dalam ritme yang sama. Bokongnya tak bergeser sejengkal pun. Tetap pada posisi awal. Tiara menggigit kukunya selagi menyuntikkan formula keberanian ke dalam tubuh secara perlahan. Meski takut, jika suara itu tak kunjung pergi, ia memutuskan untuk menenggoknya dari balik jendela ruang tamu.
"Seorang ibu dan anak kecil," batin Tiara
Suara itu pada akhirnya mampu ia kenali. Terbit dan tenggelam. Mereka sekan-akan tengah mengelilingi rumah dengan kecepatan tak wajar.
Tiara membiarkan netranya terpaku pada jam dinding bulat tak terlalu besar berwarna biru muda yang menempel di atas pintu. Mengikuti arah gerak jarum jamnya. Membiarkan suara itu makin meresahkan hati. Lalu, ketika kikik menakutkan mengiringi suara tak jelas tersebut, ia memutuskan turun dari ranjang. Berjalan perlahan---berupaya agar tak meninggalkan bunyi tapakan kaki---membuka pintu kamar. Suasana gelap menggerompok. Pemandangan teras terhalang gorden jendela. Hatinya meragu. Sempat ingin kembali ke kamar, tetapi ia urungkan.
Kakinya kembali menapaki ubin dingin menuju ruang tamu. Melewati deretan sofa. Menaiki sofa paling panjang yang menempel ke jendela. Suara itu terdengar dekat. Perlahan, Tiara membuka gorden. Menyelisik kondisi di luar yang begitu gelap. Menunggu sang pemilik suara lewat di depan mata.
Kikik menerjang jantungnya. Tiara tersentak mundur, tetapi langsung menegak dan bertemu pemilik suara tersebut. Wanita berpakaian putih panjang, dengan rambut sampai menyentuh tanah, menggendong bayi yang terbungkus kain putih pula. Sosok itu terseok-seok. Namun dengan kecepatan tak wajar ia berjalan mengitari rumah. Seperti sedang berlari, tetapi dalam posisi berjalan. Berbicara tak jelas. Lagi-lagi telinga Tiara menangkapanya seumpama suara ribuan orang yang tengah berbicara dalam waktu bersamaan. Sedang suara kikik melengking yang cukup mengendurkan nyali bukanlah berasal dari sosok wanita tersebut, melainkan bayi dalam dekapannya.
Tiara tak lepas mengamati. Tangan kananya meremas tepian gorden, sedang tangan lainnya yang bebas mencengkeram ujung kepala sofa. Hatinya melantunkan ayat-ayat juz 30 yang ia hafal luar kepala.
Wanita itu meninggalkan Tiara berputar mengelilingi rumah dan bertemu lagi dengannya ketika melintasi teras. Terus seperti itu, sampai pergerakan Tiara yang hendak kembali ke kamar, terdeteksi olehnya. Dia berhenti. Kikik dan suaranya pun lenyap. Wanita itu menoleh dengan amat pelan. Menatap Tiara lekat. Memperlihatkan wajahnya yang hanya terlapis sedikit daging berselimut darah. Tulang tengkoraknya terlihat jelas. Tak memiliki bola mata. Tak memiliki hidung atau pun bibir. Daging melapisi area pipi dan dahi. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Sosok itu mendekat. Manghampiri gadis kecil yang mengintip keberadaannya dari dalam rumah.
Buru-buru Tiara menutup gorden. Turun dari atas sofa dan berlari ke kamar sang Ibu. Membuka pintu, lalu membangunkan Sri dengan menggoyang tubuhnya beberapa kali.
"Ada apa, Tiara?"
"Bu, Tiara tidur sini," pinta gadis itu. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung mengambil tempat di samping Sri dan memeluknya erat. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher ibunya itu.
***
Keesokan harinya, ketika beberapa tetangga berkumpul di depan rumah Tiara, pembahasan itu bergulir. Pembahasan tentang kejadian beberapa tahun lalu. Persis di tanggal, hari, dan waktu yang sama.
Tiara yang sedang disisir rambutnya oleh Sri, sebelum kemudian digelung jadi satu, mendengarkan hati-hati cerita yang mengalir di tengah majelis ngerumpi ibu-ibu itu.
Kisah kecelakaan beberapa tahun lalu. Mengagetkan warga yang tengah lelap dalam tidur. Kecelakaan itu melibatkan dua pengendara sepeda motor dan salah satunya seorang wanita yang tengah hamil muda. Terjadi tepat di jalan raya depan rumah. Sebelum dibawa ke rumah sakit, wanita itu sempat istirahat duduk di teras depan rumah Tiara. Menjelang pagi, dengan menggunakan mobil tetangga depan rumah, wanita itu dilarikan ke rumah sakit. Kabar yang beredar di tengah warga, wanita tersebut mengembuskan napas terakhir sehari setelahnya.
"Untung apa dia keluar di tengah malam begitu?" tanya Sri penasaran.
"Mencari nasi goreng untuk anaknya," jawab salah satu ibu.
Mendengar kisah itu, Tiara langsung menarik benang merah kekejadian semalam. Wanita dengan bayi dalam gendongan yang mengitari rumah. Adakah hubungannya dengan kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu? Entahlah, gadis itu tak mampu melihat siapa sejatinya sosok di balik wajah tengkorak bersimbah darah yang dilihatnya semalam.
***
Selamat membaca. Jangan lupa baca bismillah.
B a y i b u n g k u s ( 10 )Dear Diary,Cerita yang akan kutulis ini, kudengar langsung dari orang tuaku. Bagaimana aku yang masih kecil dan tak kuasa menanggung rasa takut, harus mendapat penjagaan berupa pagar gaib. Sebagai pelindung. Sebagai
B a y i B u n g k u s (11)True StoryDear Diary,
B a y i B u n g k u s ( 12 )True StoryDear Diary,Ini kisah terakhir masa kecilku. Masa dimana mereka yang tak mudah kutemui, semakin rajin mendatangiku. Mereka yang pada umumnya tak dapat dilihat orang, mencoba peruntu
B a y i B u n g k u s ( 13 )True StoryKalian melihatku. Apa kalian bisa melihatku?Biarkan aku yang menuntun kalian menuju kisah hidupku. Ya, akulah yang memandu jalan. Apa pun yang kalian rasakan nanti, tetaplah tenang
M a k a m M b a h B u y u t ( 13 )***Spektrum warna yang selalu Tiara lihat ketika berhadapan dengan orang lain, sempat membuatnya bingung. Tak hanya ibu, ayah, atau adiknya, semua orang memancarkan warna berbeda. Biru, merah, kuning dan banyak warna lain. Mereka berku
F I R A S A T ( 15 )TRUE STORY***Sesampainya di rumah Paklek Dagio pun, Tiara tak hentinya bercerita mengenai wanita menari yang ia lihat di pemakanam. Sri berusaha mengalihkan perhatiannya ke hal-hal lain. Sapardi sibuk menghubungi rekan sekaligus guru spiritualnya. Sedang Lek dagio dan istrinya, merasa curiga dengan sikap Tiara."Bisa lihat begituan, ya, Mbak?" tanya Dagio pada Sri.Mereka semua tengah berkumpul di ruang tamu--tanpa kedua anak Dagio."Sepertinya. Tapi sudah ditimbul, kok," jawab Sri."Walah, Mbak. Kalau bawaan dari kecil, nggak akan mempan meski ditimbul kayak gimana pun."Wajah Sri makin cemas. Selain wanita di pemakanan, bisa saja Tiara me
Satu minggu setelah kecelakaan yang menimpa Sapardi dan Sri, kondisi keduanya makin membaik. Sapardi yang hanya mengalami lecet-lecet di tangan dan kaki---luka itu mulai mengering. Alif yang setelah kecelakaan demam tinggi, kejar-kejaran bersama anak Dagio---pertanda kondisinya sudah baik-baik saja. Bagian kepala motor Dagio yang remuk, sudah diperbaiki. Saatnya pulang ke Sidoarjo dan memulai aktifitas seperti biasa.Kondisi lengang. Rembulan mulai merangkak naik. Malam pekat karena terselimut mendung. Dingin. Beberapa saat lalu hujan baru saja angkat kaki. Seharian desa yang sudah dingin, berubah jadi lemari es dadakan. Tak ada yang bersedia keluar rumah. Bocah-bocah mengekspansi setiap sudut jalan. Mandi hujan, main prosotan di jalan yang menurun. Hanya tampak satu dua orang dewasa berlari dengan menggigil kedinginan.Sri yang sibuk memindahkan pakaian dari lemari ke tas jinjing besar, mengernyit dan merintih samar beberapa kali. Bekas j
BAYI BUNGKUS*Semakin Peka*Pagi itu semua tampak biasa. Tak ada kejadian aneh yang menurut Sri atau Sapardi pantas untuk dikhawatirkan. Tiara berangkat sekolah seperti biasa. Sapardi berangkat bekerja seperti biasa. Bahkan Sri berangkat berjualan bersama Alif yang kini sudah berusia lima tahun pun seperti biasa. Waktu berjalan begitu cepat. Bulan merangkum hari demi hari tanpa terasa. Dua bulan telah berlalu sejak kejadian kecelakaan di Yogyakarta. Luka jahitan Sri telah sembuh sepenuhnya. Hanya meninggalkan bekas sebagai bukti kejadian di masa lalu.Pukul sepuluh pagi, Tiara yang sudah pulang dari sekolah setelah berganti pakaian langsung ke tempat Sri untuk membantu berjualan. Tak begitu banyak pembeli, hanya sepasang suami istri, dua pelajar SMA berjenis kelamin perempuan, serta seorang lelaki paruh baya yang sedang mengobrol santai dengan Sri. Saat Tiara menanyakan siapakah lelaki paruh baya itu, Sri menjawab diiringi tersenyum."Paklik D
Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber
Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da
Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.
Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S
B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di
B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.
Motor Basri berbelok ke perempatan jalan. Tak jauh lagi mereka akhirnya sampai. Rumah Barada di tepi sungai. Halamannya luas. Ada surai dari anyaman bambu di depannya. Tiara disambut wanita muda dengan perawakan tambun dan berparas cantik. Dialah Airin, kakak Basri. Tak lama, keluar seorang nenek dengan jalan yang sedikit terseok, dialah pengganti orang Tua Basri. Dari kelas tiga sekolah dasar sampai sekarang, Basri tinggal dan dirawat oleh neneknya. Ibu Basri telah meninggal, sedangkan ayah Basri memilih menikah lagi. Besar jasa nenek Basri padanya. Biaya sekolah, mondok, sampai kuliah, neneknya-lah yang menanggung. Kedatangan Tiara telah ditunggu. Rasa cemas terpatri jelas. Tiara dan Basri pamit berangkat pagi, tetapi hampir pukul sepuluh malam mereka baru tiba di rumah.
B a y i B u n g k u s Suara AsingTiara dan Basri resmi bertunangan. Hari ini Basri meminta izin pada Sri dan Sapardi untuk membawa Tiara merayakan idul fitri di kotanya. Sekaligus mengenalkannya pada keluarga besar. Sri dan Sapardi memperbolehkan, tetapi dengan syarat tak boleh lebih dari satu minggu. Tiara dan Basri betangkat pukul tujuh pagi dengan mengendarai motor. Jarak yang ditempuh lumayan jauh. Kira-kira sekitar empat jam jika menggunakan motor dan bisa lebih dari enam jam ketika menggunakan bus. Basri menerangkan bahwa mereka tak akan langsung pulang, Basri akan mengajak Tiara jalan-jalan lebih dulu.
"Tiara, jaga rumah, ya?" Itu pesan Sri sebelum akhirnya meninggalkan Tiara seorang diri di rumah.Sri, Sapardi, dan Alif harus pulang ke desa karena salah satu kerabat ada yang meninggal dunia. Alhasil, Tiara jadi penunggu satu-satunya. Kumandang azan magrib terdengar. Setelah menunaikan salat, Tiara memasak mie instan untuk mengganjal perut yang seharian tak terisi nasi hanya camilan. Serial televisi favoritnya sudah masuk intro pembuka. Sembari mie instan matang, Tiara menikmati tayangan televisi. Sisa waktu sebelum isya itu dia habiskan bersantai.Kembali azan isya berkumandang. Tiara segera menunaikan salat. Di kamarnya. Televisi ada di ruang tamu. Rakaat pertama dan kedua berjalan mulus. Tak ada hal ganjil yang terjadi. Rakaat keempat, Tiara merasa ada tiupan angin tipis yang menerbangkan mukenah bagian belakang. Kondisi jendela kamar tertutup. Semua pintu tertutup. Pun cuaca tak sedang berangin. Dan anehnya, angin itu hanya di rasakan punggungnya.&nbs