B a y i B u n g k u s / 1
🔲🔳🔲🔳
Dear Diary,
Hari ini tanggal 27 Maret 2020. Aku duduk di depan meja kerja. Berteman malam yang kian memekat dan suara serangga bersahutan memekakkan telinga.
Ragu rasanya menuliskan kisah ini, tetapi teror itu memaksaku untuk meluapkan segala ketakutan yang sejak lama terkubur dalam jiwa. Bukan pada orang, melainkan ke dalam lembar demi lembar buku harianku.
Diary ... Akan kuceritakan secara rinci padamu. Tentang mata batin itu ....
Tentang makhluk tak kasat mata yang sering menampakkan dirinya padaku ....
Tentang dimensi lain yang sering kusinggahi ....
Pun, tentang kelahiranku yang tak biasa ....
Lembar pertama kisah ini dimulai ketika aku masih dalam kandungan.
***
K E H A D I R A N K U
1992.
Gurat kebahagiaan mengiringi langkah wanita itu menuju serambi rumah. Sang suami menunggu di sana, lengkap dengan sekantong buah apel yang terkalung di keempat jari tangan kanannya. Ia masih berdiri di atas pakaian kerja hijau muda dan celana kain hitam. Akhir pekan, saat yang paling ternanti. Jarak bermil-mil rela ia tempuh untuk menemui sang istri yang sedang hamil muda
Ya, mereka terpisah jarak. Sapardi bekerja di kota, sedang Sri, karena tengah hamil muda memilih pulang ke kampung halaman. Sapardi rutin pulang setiap hari Sabtu dan kembali ke kota di hari Senin dini hari.
"Pak, Ibu sudah masak makanan kesukaan, Bapak," sambut Sri.
Sapardi menyahuti dengan usapan lembut di puncak kepala wanita pujaannya itu.
"Ini buah. Maaf ya, Buk, cuma satu kilo. Gajian masih lama."
Sapardi berstatus karyawan kontrak di salah satu pabrik kayu di kota dengan gaji setiap bulannya tak lebih dari 10000 rupiah. Belum lagi untuk kebutuhan perut setiap harinya. Sapardi cukup tertolong dengan adanya Mes pabrik, dengan begitu ia masih bisa menyisahkan sedikit pundi rupiah untuk ongkos bus dan tabungan lahiran sang istri.
"Walah, Pak ... minggu depan nggak usah bawa-bawa. Uangnya untuk biaya makan saja." Sembari mengambil alih kantong dari genggaman Sapardi.
"Loh, demi kesehatan bayi kita."
Sri terkekeh ringan.
"Iya, sudah terserah Bapak saja ... bersih-bersih dulu, Ibu tunggu di dapur."
Sapardi mengusap pipi Sri sekilas lalu melenggang pergi.
Di dapur, Sri telah menyiapkan makan siang untuk sang suami. Tak banyak, haya nasi beserta lauk pindang dan sambal. Sapardi bergabung dengan Sri beberapa menit kemudian.
"Wah, makanan kesukaanku ...," puji Sapardi.
"Makan yang banyak, Pak."
"Setelah itu kita pergi ke puskesmas untuk cek kesehatan kandungan, Ibu."
Sri tersenyum lega. Sebelumnya ia hendak mengusulkan hal itu. Namun ia ragu, takut jika sang suami belum memiliki uang lebih untuk periksa.
"Ibu setuju, Pak ... setelah makan kita pergi. Ah, jangan ke puskesmas, tutup kalau hari sabtu. Ke bidan Endah saja."
"Ya, terserah Ibu saja."
Setelah menyelesaikan makan siang. Baik Sapardi atau pun Sri bergegas berganti pakaian. Pergi mengendarai motor RC hasil meminjam dari tetangga. Sapardi belum ada rezeki lebih untuk membeli motor.
Rumah bidan Endah, letaknya di samping pasar desa agak menjorok masuk ke dalam gang. Rumahnya berdinding tembok dengan pintu kayu berukir. Bisa dibilang satu-satunya hunian paling bagus di desa ini.
Sri tak perlu mengantri, karena kebetulan tak ada yang mengantri selain dirinya. Bidan Endah yang usianya sudah setengah abad, meminta Sri berbaring di ranjang. Bermodal stetoskop, Bidan Endah mulai melakukan pemeriksaan.
Dahinya mengernyit. Berulang kali stetoskop di daratkan di area perut. Rona wajahnya menyiratkan rasa tak percaya--seakan tak menemukan sesuatu hal yang sejak tadi ia cari.
"Sudah telat berapa bulan, Bu?"
"Empat bulan, Bu Bidan," jawab Sri yakin. Kecemasan Bidan Endah seketika menjalar ke dirinya.
Bidan Endah menyudahi pemeriksaan. Meminta Sri turun dan bergabung dengan sang suami di ruang konsultasi.
Betapa Sri dibuat tercengang dengan penuturan Bidan Endah. Tak ditemukan tanda-tanda kehidupan di perutnya. Detak jantung janin berusia empat bulan tak terdeteksi. Ditambah, perut Sri yang tak membuncit---maklum, Sri memiliki bobot 35 kilogram---seperti tidak sedang hamil.
"Saya tidak berani memutuskan, Bu. Keterbatasan alat membuat saya tidak bisa mengambil keputusan gegabah."
"Lalu ... apa yang ada dalam perut saya, Bu Bidan. Saya benar-benar merasakan mual dan pusing layaknya orang hamil."
"Bisa jadi itu tomur atau kista. Coba ibu cek ke rumah sakit ... saya beri rujukan."
Sapardi yang duduk di samping Sri terdiam. Berita itu menjadi pukulan terbesar baginya.
Beberapa hari setelahnya, Sri dan Sapardi pergi ke rumah sakit. Melakukan serangkaian pemeriksaan yang lagi-lagi hasilnya membuat pasangan itu dihimpit rasa kecewa.
Tes USG tak memperlihatkan adanya janin, melainkan gumpalan yang kata dokter itu tumor. (Hamil anggur)
Sri kecewa, Sapardi emosi. Bagaimana bisa janin yang ada di perut istrinya dikatakan sebagai tumor.
"Itu tumor, Pak ... mesti secepatnya diangkat," terang dokter itu.
"Anda meminta saya membunuh anak saya sendiri!" Nada suara Sapardi meninggi.
"Tapi sangat berbahaya jika dibiarkan."
Sapardi mengusap rambutnya frustasi. Mencoba meredam emosi yang kian meluap---tangannya gatal medaratkan bogem mentah sebagai pelampiasan.
Lalu,
"Bisa panggilkan dokter lain. Biarkan dokter lain yang memeriksa saya, Dok." Itu suara lemah Sri, memecah ketegangan.
"Ya, akan saya panggilkan dokter senior. Bapak dan Ibu silahkan duduk," pinta dokter itu.
Tinggalah Sri dan Sapardi. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Membisu, dengan sorot mata menekuri jemari yang kian bergetar.
Pintu berderit. Sontak Sapardi dan Sri mendongakkan kepalanya tegak lurus. Dokter muda tadi masuk bersama dokter yang bisa dibilang sudah lumayan tua. Menyapa Sapardi dan Sri dengan ramah.
Sri meneliti. Rambut dokter itu putih. Tersembuyi dalam songkok warna putih---yang melekat pas. Wajahnya basah, mungkin baru selesai menunaikan salat. Penampilannya tampak bersahaja. Auranya menguarkan ketenangan.
"Ada yang bisa saya bantu, Bapak Ibu?"
Dokter itu duduk di depan mereka. Sedang dokter satunya berdiri di samping dokter senior tersebut.
"Bagaimana bisa janin yang dikandung istri saya di bilang tumor," protes Sapardi. Ia sudah tak sabar.
"Sabar, Pak ... biarkan saya yang memeriksanya lagi," usul dokter itu.
"Tolong ambilkan segelas air," pinta dokter itu kepada dokter di sebelahnya.
Sapardi dan Sri tetap di posisinya. Mereka melihat jelas proses, di mana dokter itu membacakan sesuatu dan meniupkannya ke dalam air, lantas ...,
"Silahkan diminum, Ibu?" Dia meminta Sri meminumnya.
Sri ragu. Namun dokter itu meyakinkan bahwa itu hanya air biasa yang dibacakan doa.
"Sekarang Bapak dan Ibu silahkan menunggu setidaknya satu jam, baru saya akan melakukan pemeriksaan ulang."
Sapardi dan Sri menurut. Waktu satu jam mereka habiskan untuk salat dhuhur dan makan siang. Setelahnya, mereka kembali. Bertemu dengan dokter itu untuk melakukan tes USG lagi.
"Bismillah, Buk," pinta dokter itu.
Mesin pendeteksi bergerak di atas perut Sri. Layar monitor 14 inci itu menampakkan gambar dua dimensi. Jelas-jelas sebelum ini Sapardi hanya melihat gumpalan besar tanpa pergerakan, tetapi ini ... gumpalan itu samar-samar seperti tubuh dengan kepala, tangan dan kaki mulai terbentuk.
"Selamat, Pak ... istri Anda sedang mengandung," ujar dokter itu.
Sapardi terpekik bahagia. Sri tak kuasa manahan air matanya.
"Bukan tumor kan, Dok?" Sapardi memastikan.
"Bukan. Alhamdulillah ... dijaga ya, Pak ... Bu. InsyaAllah, anaknya akan lahir menjadi anak yang pintar dan tahu segala hal. Mohon dijaga."
***
B a y i B u n g k u s2????
B A Y I B U N G K U S( 3 )Dear DearyHari ini tanggal 1 April 2020. Tidur siangku terganggu suara tangis bayi yang memekkan telinga. Kucoba mencari sumber suara di luar kamar
B a y i B u n g k u s ( 4 )P I N D A H P A N G G O N-------- ------- -------- -------------
B A Y I B U N G K U S ( 6 )True StoryM a r l i n aDear Diary,
B a y i B u n g k u s ( 9 )True StoryS u a r a d i S e k e l i l i n g R u m a hDetik
B a y i b u n g k u s ( 10 )Dear Diary,Cerita yang akan kutulis ini, kudengar langsung dari orang tuaku. Bagaimana aku yang masih kecil dan tak kuasa menanggung rasa takut, harus mendapat penjagaan berupa pagar gaib. Sebagai pelindung. Sebagai
B a y i B u n g k u s (11)True StoryDear Diary,
B a y i B u n g k u s ( 12 )True StoryDear Diary,Ini kisah terakhir masa kecilku. Masa dimana mereka yang tak mudah kutemui, semakin rajin mendatangiku. Mereka yang pada umumnya tak dapat dilihat orang, mencoba peruntu
Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber
Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da
Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.
Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S
B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di
B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.
Motor Basri berbelok ke perempatan jalan. Tak jauh lagi mereka akhirnya sampai. Rumah Barada di tepi sungai. Halamannya luas. Ada surai dari anyaman bambu di depannya. Tiara disambut wanita muda dengan perawakan tambun dan berparas cantik. Dialah Airin, kakak Basri. Tak lama, keluar seorang nenek dengan jalan yang sedikit terseok, dialah pengganti orang Tua Basri. Dari kelas tiga sekolah dasar sampai sekarang, Basri tinggal dan dirawat oleh neneknya. Ibu Basri telah meninggal, sedangkan ayah Basri memilih menikah lagi. Besar jasa nenek Basri padanya. Biaya sekolah, mondok, sampai kuliah, neneknya-lah yang menanggung. Kedatangan Tiara telah ditunggu. Rasa cemas terpatri jelas. Tiara dan Basri pamit berangkat pagi, tetapi hampir pukul sepuluh malam mereka baru tiba di rumah.
B a y i B u n g k u s Suara AsingTiara dan Basri resmi bertunangan. Hari ini Basri meminta izin pada Sri dan Sapardi untuk membawa Tiara merayakan idul fitri di kotanya. Sekaligus mengenalkannya pada keluarga besar. Sri dan Sapardi memperbolehkan, tetapi dengan syarat tak boleh lebih dari satu minggu. Tiara dan Basri betangkat pukul tujuh pagi dengan mengendarai motor. Jarak yang ditempuh lumayan jauh. Kira-kira sekitar empat jam jika menggunakan motor dan bisa lebih dari enam jam ketika menggunakan bus. Basri menerangkan bahwa mereka tak akan langsung pulang, Basri akan mengajak Tiara jalan-jalan lebih dulu.
"Tiara, jaga rumah, ya?" Itu pesan Sri sebelum akhirnya meninggalkan Tiara seorang diri di rumah.Sri, Sapardi, dan Alif harus pulang ke desa karena salah satu kerabat ada yang meninggal dunia. Alhasil, Tiara jadi penunggu satu-satunya. Kumandang azan magrib terdengar. Setelah menunaikan salat, Tiara memasak mie instan untuk mengganjal perut yang seharian tak terisi nasi hanya camilan. Serial televisi favoritnya sudah masuk intro pembuka. Sembari mie instan matang, Tiara menikmati tayangan televisi. Sisa waktu sebelum isya itu dia habiskan bersantai.Kembali azan isya berkumandang. Tiara segera menunaikan salat. Di kamarnya. Televisi ada di ruang tamu. Rakaat pertama dan kedua berjalan mulus. Tak ada hal ganjil yang terjadi. Rakaat keempat, Tiara merasa ada tiupan angin tipis yang menerbangkan mukenah bagian belakang. Kondisi jendela kamar tertutup. Semua pintu tertutup. Pun cuaca tak sedang berangin. Dan anehnya, angin itu hanya di rasakan punggungnya.&nbs