Ting... Pintu lift baru terbuka ketika pengguna lift di belakang Kara menabrak tubuhnya, Membuat Kara terhuyung ke samping.
"Aduh ...." Refleks sepasang netra Kara melotot ke arah penabrak. Pria itu sengaja melakukannya, dia membalas dengan sudut bibir mengarah ke atas.
"Kau menghalangi jalanku!" katanya datar, Kara baru akan memaki ketika mendengar perkataan petugas lift.
"Silakan, Bapak Garvin!"
Bu Mira sudah menyampaikan ke saya berapa waktu lalu, Profil anda pun sudah dikirimkan oleh beliau. Saya juga sudah mempelajarinya. Anda beruntung saat ini posisi Customer Service di ruangan CEO sedang kosong. Anda akan menempatkan posisi sebagai Staf dari CEO, Prabu Garvin. Saya akan menghubungi Daniel untuk mengatur jadwal interview anda.
Perkataan bapak Agus kembali tergiang di telinga Kara. "Apakah pria tadi adalah bapak Garvin, CEO perusahaan ini?" tanya Kara kepada petugas lift.
"Benar sekali, Bu. Lift pribadi Pak Garvin sedang rusak. Sehingga beliau harus menggunakan lift karyawan,"
Ting
Lift telah menyentuh lantai basement, Kara keluar dengan pikiran mengenai Garvin. "Sepertinya bukan atasan yang baik," keluhnya dalam hati.
Untuk pertama kali menginjakkan kaki di gedung Paraduta Group. Kara merasa tidak nyaman, tapi tak apalah, Demi angka-angka menjanjikan yang tertera dalam surat perjanjian kerja. Dia bertekad untuk bertahan. Kehidupannya dulu bahkan lebih buruk dari ini. Pengalaman bekerja di Paraduta Group akan menjadi kartu AS, Jika Kara ingin bekerja di tempat lain.
Garvin berbalik arah, terlambat. Lift telah menutup membawa wanita yang menyeretnya kembali ke masa lalu. Wanita yang memiliki kemiripan sekali dengan mendiang istrinya, Amara. Sosok yang pergi meninggalkan dunia, membawa separuh hidup Garvin.
"Apakah hari ini, Kamu tidak bisa mengantar ku ke perayaan pernikahan Albert dan Riana?" tanya Amara pada suatu sore lima tahun lalu,"
"Maafkan, Honey. Klien ku mengajak bertemu pada hari ini, aku sungguh menyesal tidak bisa menemani mu,"
"Bukankah ini hari minggu, honey?"
"Iya, memang bukan pertemuan formal tapi pertemuan ini penting untuk meningkatkan hubungan aku dengan tuan Austin,"
"Kamu selalu sibuk, hon," bibir Amara manyun menggemaskan. Membuat Garvin tak tahan ingin mencumbunya seperti malam panas yang sering mereka lalui. Dia tentu saja harus mengurungkan niatnya karena Amara sedang dalam kondisi merajuk.
"Pekan depan aku berjanji akan mengajak mu liburan, bagaimana honey?"
"Kamu berjanji?"
"I'am promise, honey." Amara memeluk Garvin erat, mereka tertawa ketika perut Amara menghalangi dekapan yang terjalin.
Amara sedang mengandung empat bulan saat kecelakaan itu terjadi. Sebuah truk kontainer menerobos dari jalur lain, hujan lebat yang turun membuat jalanan licin. Seorang pengendara motor yang menyalip truk secara tiba-tiba. Membuat sopir truk kehilangan kendali sehingga memasuki jalur tempat dimana Amara berada dalam kendaraan.
Truk menghantam tepat di sisi Amara duduk, sopir keluarga mereka selamat. Tidak dengan Amara dan calon buah hatinya, dia tewas seketika. Hari saat kecelakaan itu terjadi adalah hari menghilangnya senyum kebahagiaan dalam diri Prabu Garvin.
Janji pada Amara tak akan pernah dia tepati, sebuah janji yang membuat jiwa lelakinya menangis. Meratapi penyesalan mengapa tak mengantar Amara pada hari kecelakaan itu. Hari-hari Garvin selanjutnya dihabiskan dalam pekerjaan. Dia seakan tak puas bekerja, Jiwanya haus untuk menyelesaikan semua proyek dan tender.
Kesibukan menyita pikirannya untuk memberi ruang akan kepergian Amara. Dia selalu bersikap seakan Amara masih ada. Lima tahun dengan bekerja dan bekerja, Garvin berhasil membesarkan Paraduta Gruop. Membuka banyak lapangan pekerjaan dan mengukuhkan perusahaan ini di level atas.
Keringat mengalir dalam kening Garvin, Pendingin udara di mobil tetap tak berhasil mendinginkan gejolak dihatinya. Wanita itu sangat mirip dengan Amara. Jika saja dia sedang tidak terburu-buru menghadiri jamuan salah satu kolega. Garvin pasti memilih mengejar wanita dalam lift tadi.
"Apakah dia salah satu karyawan? mengapa aku tak pernah melihatnya, apakah karyawan lain tidak ingat betapa miripnya dia dengan mendiang Amara, mengapa tidak pernah aku mendengar ada yang membicarakan hal ini" batin Garvin terus bertanya-tanya. Selanjutnya dia mengusap wajahnya mencoba menenangkan diri.
Sudah lima tahun berlalu, karyawannya sudah banyak berganti. Siapa juga yang berani mengusik kehidupan pribadi Garvin, terlebih bila menyangkut mendiang Amara.
Mobil Garvin melesat menembus jalanan, Melewati mobil mungil wanita berparas cantik dengan tatapan kelam di dalamnya. Kara sedang menuju ke suatu tempat, dimana dia merasa harus menceritakan suatu kisah di tempat itu.
Kara berhenti di toko bunga membeli dua buket mawar, Dulunya buket mawar ini selalu menghiasi sudut ruang keluarga bapak Abi dan bu Mira. Perkebunan bunga milik pasangan tua itu selalu rutin mengirimkan kepada pasangan baik budi ini. Sekarang perkebunan bunga itu dihibahkan kepada sebuah yayasan yang berada tidak jauh dari perkebunan. Yayasan yang membantu anak-anak disabilitas untuk sekolah.
Keluarga yang tak pernah dilihat Kara berbondongan datang ke pemakaman. Mereka meratapi kepergian pada hari pemakaman, selanjutnya bersitegang memamerkan urat di leher masing-masing. Mengaku memiliki hubungan darah dengan pak Abi dan bu Mira. Beberapa dari mereka terkesiap ketika seseorang yang mereka anggap pembantu mendapatkan sedikit bagian dan sebuah mobil mungil.
Perjanjian berlandaskan hukum yang melindungi peruntungan Kara. Memberi dia kehidupan untuk bertahan. Warisan yang telah disahkan secara hukum membuat mereka yang mengaku keluarga tidak bisa mengambil apa yang telah menjadi hak Kara.
Langkah kaki Kara menapak tanah pemakaman. Dia meletakkan sebuket mawar pada masing-masing makam. Hatinya merindu pada dua sosok yang hadir pada empat tahun terakhir dalam kehidupan Kara. Mereka yang menghembuskan kehidupan baru dan membangkitkan kepercayaan diri yang sempat menghilang.
"Terimakasih bantuannya bu Mira dan pak Abi. Semoga mendapatkan tempat terbaik," Lirih suara Kara.
Dia akan selalu ingat pada kalimat ketus bu Mira, memaksa dirinya kuliah kala itu. Ketika harga diri dan kepercayaan pada kemampuan diri sendiri menghilang. Kata-kata pedas itu mencambuk dirinya. Memecut semangat untuk bangkit. Kara berdiri dan menerima tantangan bu Mira dan pak Abi. Dia melanjutkan kuliah, bergabung dengan mahasiswa yang lebih muda. Memacu diri berkompetisi untuk mendapatkan nilai terbaik.
Bu Mira selalu memecut dirinya dengan kata pedas tapi bermakna. Membuat Kara selalu menanti setiap petuah dari bu Mira. kepercayaan diri Kara kembali, dia tahu sekarang kalau dirinya berharga. Kekerasan dalam rumah tangga akan terus menjadi bagian dari masa lalu.
Bahkan Kara baru menyadari dia mengalami KDRT dari bu Mira, Selama pernikahan Kara merasa pantas diperlakukan demikian atas ketidakbecusan menyenangkan suami. Melihat pernikahan bu Mira dan pak Abi serta mengenang kembali orangtuanya. Mira tahu dia tidak pernah salah, Bastian lah yang salah.
Di pemakaman ini juga, Kara mengabarkan kepada orangtuanya bahwa dia telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tahun ini adik keduanya akan menempuh bangku kuliah dengan penghasilan sekarang, Kara yakin dia bisa membiayainya.
Suara bahagia bapak dan ibunya menyiram subur bunga di hatinya. Kata-kata mereka lah yang menjadi api penyemangat bagi hidup Kara. Hari mulai menanjak sore ketika dia berdiri dari posisi duduk di sebelah makam pak Abi dan bu Mira. Kara akan segera pulang
Langkah jenjang kaki Kara semakin percaya diri, Dia harus siap menyongsong hari besok. Menegakkan dagu dan tidak membiarkan siapapun menyakiti lagi. Dia harus kuat karena seorang Kara adalah wanita berharga. Dia mengulang kalimat yang selalu diucapkan bu Mira, ya dia sangat berharga.
Jam dinding menunjukkan pukul 23:45 ketika Garvin tiba di rumah, dia melonggarkan dasi dan membuka kancing atas kemeja. Matanya menatap nanar ke foto pernikahan dia dan Amara yang terpasang di dinding. Foto yang enggan Garvin turunkan, seakan dia berharap keajaiban terjadi. Amara mengetuk pintu rumah dan mengatakan bahwa bukan dirinya yang mengalami kecelakaan. Garvin masih merasakan kehangatan pelukan dan tawa Amara sebelum dia pergi ke pernikahan sahabatnya. Dia masih melihat Amara memasuki mobil dan melambaikan tangan. Sulit baginya menerima kenyataan, ketika dua jam kemudian menerima kabar Amara tewas dalam kecelakaan. Amara Bunga Kayla, perempuan yang dikenalnya semasa kuliah. Amara merupakan sepupu Ben, sahabat Garvin dari bangku sekolah menengah pertama. Garvin yang menghabiskan pendidikan di universitas terbaik di Amerika Serikat. Kala itu pulang liburan ke Indonesia, dia mengunjungi Ben. Pertemuan pertama dengan Amara terjadi di rumah Ben, getaran pe
Kara melepaskan rol rambut, mengunci dengan hair spray. Merapikan menggunakan jemari lentiknya. Memberi efek rambut bergelombang seksi. Dia memoleskan lipstik nude, menyapukan blush on berwarna coral terakhir, dia menggunakan sikat khusus untuk menimbulkan efek serat pada alisnya. Aktivitas Kara belum berakhir, Dia menggantikan dress dengan kemeja boyfriend warna putih. Memadupadankan dengan jeans dan sepatu kets berwarna putih. Tas sling bag di sematkan pada bahunya. Santai membuat penampilan diri tampak lebih muda dari usianya, Paling penting menyembunyikan fakta dia seorang janda dengah kisah rumah tangga suram. "Sempurna," decaknya kagum pada diri sendiri. 13:15 Wib Lebih cepat dari waktu yang dijanjikan ketika Kara tiba di mall. Dia mengisi waktunya dengan memanjakan mata melihat barang mewah di etalase. Entah kapan Kara bisa memasuki tempat itu. Harga satu barang saja bisa menghabiskan berapa bulan gaji Kara. Jika dia mengin
Leonard mengejar Garvin, wajah tampan yang menampilkan ekspresi tidak bersahabat. Rahang Garvin tampak mengeras. Ada kemarahan tak tersalurkan, Leonard memilih diam. Bukan saat tepat untuk mengeluarkan pendapat. Leonard mengakui kemiripan yang tak terelakkan dari raut gadis di restoran tadi, tapi untuk mengatakan itu orang yang sama. Jelas mustahil, Amara meninggal lima tahun lalu saat berusia 27 tahun. Sekarang jika dia masih ada maka usia Amara adalah 32 tahun. Gadis itu tampak jauh lebih muda. "Pak, Apakah anda jadi menemui manager mall?" tanya Leonard ketika mereka berada di lift. Mall 'ParaDita' termasuk dalam Paraduta Group. Rencananya hari ini Garvin akan berkunjung, Ada yang ingin di sampaikan terkait kepulangan dari eropa. "Batalkan!" perintah Garvin. "Baik, Pak. Apakah perlu di jadwalkan kembali ke tempat kita?" "Iya, Sampaikan pada Laura untuk mengirim surel!" Leonard segera melakukan perintah Garvin, Dia tidak suka seseoran
Laura menunjukkan meja kerja Kara. "Di sini tempatnya, Siapa namamu?" "Dia bertanya dengan nada merendahkan, Garvin sudah menyebutkan nama ku tapi sikapnya seakan itu bukan hal penting untuk di ingat", pikir Kara di saat bersamaan otaknya merespon menandai wanita molek di hadapannya. "Nama saya ... Kara Garvita, Bu," jawab Kara dengan nada santun sedikit menundukkan kepala. Bersikap lemah akan mengurangi kewaspadaan belut listrik seperti ini untuk memangsanya. "Kamu sudah tahu bukan pekerjaanmu? menyambut tamu," senyuman tertahan tersungging di wajah mulus tanpa noda milik Laura. "Terserah apa istilah kamu untuk menyebutnya. Aku mendapatkan bayaran untuk ini", batin Kara sambil menyunggingkan senyuman manis sebelum menjawab, "Tapi bukan itu yang kami pelajari pada saat training, Ada...." "Kamu tahu? Customer service di sini bertahan paling lama tiga bulan. Aku ingin melihat mu berapa lama bertahan...." potong Laura sambil berlalu dari hadapan
Kara melirik arloji, Akhirnya yang di tunggu tiba. Jam istirahat, gadis itu segera menuju kafetaria. Kali ini dia mempelajari denah kantor tanpa perlu bertanya pada Laura. Kaki jenjangnya berayun Lincah. Kara telah memperhitungkan dengan cermat, uang warisan dari bu Mila cukup bertahan sampai gaji bulan depan. Leher jenjang Kara menjulur mencari keberadaan Feli. Dia telah berjanji dengan Feli untuk bertemu di kafetaria. Sebagai karyawan baru, mereka belum memiliki teman. Apalagi Kara, tidak mungkin berteman dengan Laura, berat. "Hei ... lehermu menyaingi jerapah," sapa Feli yang telah berdiri di samping Kara. "Aku bahkan tidak mendengar kedatanganmu," cibir Kara pura-pura merajuk yang di sambut tawa Feli. "Kita mengantri di sana, yuk," tanpa menunggu jawaban Kara. Feli menarik tangan Kara, beberapa karyawan pria melirik ke arah mereka berdua dengan minat. Dua karyawan baru yang menawan. Keduanya telah tiba di meja dengan makan siang yang
"Mengapa aku harus kehilangan sesuatu, saat aku berpikir sudah berada di genggaman," dengus Kara kesal. "Kehilangan? suatu hal yang harus mengajarkan arti menghargai," sahut Feli dengan bijak seakan menceramahi remaja yang baru putus cinta. "Huh... aku kesal sekali," sungut Kara, dia mengaduk-ngaduk spagheti tanpa minat. "Aku berani taruhan, kamu pasti segera mendapat ganti dengan mudah," "Hmmm..." Sejak pertemuan terakhir di kafe sore hari, Elang tidak pernah menghubungi Kara. Berapa kali Kara menghubungi Elang tapi tidak mendapatkan respon. Dia dan Feli juga mendatangi coffe shop Elang di mall 'Paradita' tetapi sudah tutup. Kara mendengus, Dia kehilangan kesenangan. Elang tampan, muda dan aromanya wangi. Jauh sekali dengan aroma Bastian. Seringkali bau keringat dan alkohol, Menyebalkan. "Mengapa. dia tidak pernah menghubungi ku lagi?" tanya Kara kembali. Feli memandang sesaat temannya lalu mengaduk teh di depannya.
"Pria itu seperti devil bertopeng angel. Mereka mengangkatmu tinggi ke angkasa lalu menghempasmu ke bumi, bahkan tanpa rasa ampun," kata Kara sinis. Di sebelahnya Feli menyimak sambil menikmati makan siang. Kafetaria ramai seperti biasa, Kara tak memperdulikan suaranya akan terdengar oleh pengunjung lain. "Jadi kamu keluar dari apartemen itu tadi malam?" tanya Feli dengan nada rendah. Dia mengamati wajah Kara yang tampak kesal. "Ya ... security apartemen mengatakan aku diminta keluar oleh penyewa, Arjuna bahkan memutuskan hubungan kami begitu saja. Apakah ciuman ku begitu buruk sampai dia mengambil keputusan ketika kami selesai berciuman?" "Menyedihkan," kata Feli mencoba bersimpati walau dia merasa geli. "mungkin Kara lupa menggosok gigi ketika mereka berciuman," batinnya dalam hati. "Padahal dia begitu tampan." ujar Kara sambil memegang kedua pipinya membuat Feli menggelengkan kepala melihat temannya. Feli memutar bola mata. "Kamu memang tak
"Dia terluka?" "Sedikit...." "Sedikit, katamu? dia sampai pingsan... bahkan siput pun bisa lebih lincah darimu, Leonard! sampai hal seperti ini harus terjadi," hardik Garvin membuat Leonard tertunduk. Tak ada kalimat pembelaan yang sudi di dengar Garvin dari mulutnya. "Maaf, Pak," mohonnya sekedar menyudahi kemarahan Garvin. "Cari rumah mantan suaminya, berikan pelajaran!" "Baik, Pak." Leonard bergegas keluar dari apartemen mewah tersebut, Dia menggerutu sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Dia berhasil menghajar suami Kara tapi justru di hajar Garvin, Hanya karena menggendong Kara yang pingsan masuk ke apartemen. "Aku memerintahmu menjemput Kara bukan menyentuhnya, Tolol!" maki Garvin. Garvin menatap cermat wajah rupawan yang terbaring tak berdaya. Edward, dokter pribadi Garvin baru saja memeriksa Amara dan tidak menemukan hal yang mengkhawatirkan. Garvin bernapas lega, dia tidak mau Kara terluka. Kara
Kara memandang kediaman mendiang Bastian. Ia tak menyangka akan kembali lagi ke sini. Bayangan masa lalu menghampiri kala diperlakukan bagai pembantu oleh keluarga suami pertamanya. Ibu mertua yang kerap menghina habis-habisan terlihat sedang menyapu teras rumah. Gerakan terhenti saat mobil Reinhard berhenti di depan pintu pagar rumah. "Parkir di sini saja, Sayang, kita hanya mengantarkan undangan untuk mantan mertuaku dulu," kata Kara yang diamini Reinhard yang memang tak berniat berlama-lama, tak ada kenangan yang menyenangkan bagi Kara di kediaman dengan cat yang mulai kusam.Reinhard turun pertama kali, tubuh tegap menjulang terlihat dari pagar sebatas pinggang, lantas ia membuka pintu mobil untuk Kara. Leher ibu Bastian memanjang melihat ke arah tamu yang datang, bola matanya nyaris keluar ketika melihat kedatangan mantan menantu dan calon suaminya, pria kaya yang terkenal di media. Gigi wanita itu gemertak menahan marah. Tangan ibu Bastian mengenggam sapu kuat, kebencian mengua
Reinhard memasang kancing lengan kemejanya. Tersenyum sendiri di depan cermin. Sebentar lagi dia tidak sendirian di pagi hari. Ada seorang istri yang akan menemani. Tergiang kembali kalimat yang keluar dari bibir Kara malam tadi, ketika mereka dalam perjalanan pulang.“Rein. Kamu malu tidak menjadi suamiku?”“Kenapa harus malu?”“Aku dua kali menjanda. Kasus terakhir bahkan berapa bulan bertengger menjadi headlines media. Selain itu orang-orang masih menganggap kamu sahabat Garvin. Belum lagi gosip yang meluas.”“Hidupku tidak disetir pendapat orang lain, Kara. Secara garis besar tidak mempengaruhi kehidupan keluarga kami.”Reinhard tahu Kara tidak mempercayai sepenuhnya. Memang Reinhard mengakui ada benar kekhawatiran sang calon istri, hanya saja Reinhard dan Jemmi sudah menganalisa secara bisnis. Tidak terlalu signifikan masalah yang timbul karena urusan pribadi.Selain memperkirakan pengaruh
Gosip tentang rencana pernikahan Kara dan Reinhard meluas. Pernikahan ketiga dirinya dengan bujangan sekaligus pengusaha sukses. Menjadi pembicaraan tanpa henti di kalangan banyak orang.Kara bukannya tidak tahu ketika nada-nada sumbang terdengar. Janda tanpa anak dengan dua kali kegagalan pernikahan. Begitu seksi untuk dibicarakan para wanita yang iri karena bukan mereka pendamping Reinhard. Bumbu mengenai pernikahan yang dijalankan juga menambah panas gosip. Termasuk juga kekerasan dalam rumah tangga yang dijalani.Entah darimana mereka mengetahui cerita, yang bisa Kara lakukan menggunakan kedua tangannya menutup telinga. Atau mencurahkan isi hati pada Feli ketika kekesalan mulai merambah. Seperti ketika dia membaca status di sosial media mantan iparnya, saudari Bastian.[Dua kali gagal di pernikahan dengan kasus sama. Alasan si K karena suami ringan tangan. Aduh harusnya ngaca ya, kalau sampai ke dua kali. Belum lagi tidak punya anak. Jangan-jangan dia yang m
Carol mengamati Kara seksama. Sebagai wanita, dia pun mengakui Kara memang cantik. Namun dalam penilaian Carol bukan itu poin pentingnya. Kara memiliki aura berbeda dengan kebanyakan wanita cantik.Dia mempunyai kemampuan membuat orang menyediakan waktu menoleh untuk mengagumi. Sudah terbukti juga dalam hidupnya Kara mendapatkan lelaki yang secara sosial jauh diatasnya. Meski harus diakui mereka juga menghancurkan hidup Kara.Begitulah alam bekerja, terkadang ada keistimewaan diri yang membuat hidup individu lebih mudah. Entah kekayaan, keberuntungan, kecerdasan atau kecantikan. Dalam hal ini Carol menganggap Kara beruntung memiliki wajah rupawan. Mirip dengan Amanda dalam aura berbeda.Mengenai nasib pernikahan Kara sendiri. Carol tak memahami sepenuhnya. Hanya saja dia mengambil kesimpulan. Kara menilai pasangan bukan dari kepribadian. Dia mengantungkan finansial pada pendamping hidupnya. Bisa jadi itulah ihwal masalah yang dibuat Kara. Butuh dua kali untuk Ka
Udara sejuk masih enggan beranjak. Berpadu matahari yang mulai menghangat. Di beranda teras sepasang suami istri dalam usia senjanya menatap ke jalanan.Mereka baru saja mendapatkan kabar mengenai keluarga calon suami putrinya. Anak pertama kebanggaan dalam keluarga.Di pundak perempuan itu harapan semua anggota keluarga berada. Bukan maksud mereka menempatkan Kara turut bertanggung jawab. Kadang keadaan memaksa seorang gadis belia berinisiatif membantu."Pak, Ibu harap kali ini suami Kara berbeda dengan Bastian dan Garvin.""Bapak juga berpikir sama, Bu. Dua kali gagal semoga kali ini yang terakhir.""Keluarga dan tetangga terus menerus membicarakan Kara. Kesal Ibu, Pak.""Sudah
Sorot mata Feli berkilauan. Dia tertular kebahagiaan mendengar kabar dari Kara. Sahabatnya sekarang menjalin hubungan dengan Reinhard. Artinya Kara telah berani melangkah keluar dari masa lalu dan Reinahard tak akan merongrong Feli lagi.“Wow, selamat Kara. Aku turut senang mendengar kabar ini. Selera Reinhard memang bagus. Berlian hitamnya persis dengan warna matamu.”“Seperti itulah yang dia katakan.”“Melihat proses perjalanan kalian mencapai sekarang. Kurasa tak lama lagi kabar gembira akan didengar.”Kara meletakkan cangkir kopi di meja. Dia dan Feli sedang duduk di balkon rumah Kara. Area yang di desain asri dengan penempatan pot tanaman, ayunan gantung serta rumput sintetis menutupi lantai.Dia tahu pertanyaan Feli merujuk pada jenjang lebih serius, pernikahan. Dua hal yang pernah gagal dalam hidup Kara. Meski dia menerima Reinhard, Kara masih merasakan kegamangan di hati.Apabila menikah dengan Rei
Pendingin udara gagal mengatasi aura panas di ruangan. Dua orang yang pernah sepakat menjalani komitmen saling tatap. Tidak seorang pun memulai percakapan. Ada riak keterkejutan di mata lelaki melihat lawannya tidak memalingkan wajah seperti biasa.Sudut mulut Garvin terangkat. Di luar dugaan Kara berani membalasnya. Sorot mata mantan istrinya jauh lebih tegas dari terakhir mereka bertemu. Garvin tahu dia harus menggunakan muslihat lain."Kara, aku paham kalau kamu membenciku atau mungkin tidak mau bertemu lagi."Deheman Kara lebih awal menjawab. "Diluar dugaan kamu menebak dengan baik apa yang kurasakan. Meski begitu aku akan meralat untuk bagian 'membencimu' ....""Jadi kamu tidak membenciku?" Sambar Garvin memotong pembicaraan."Benar semua kebencianku sudah hilang. Bagiku benci sama dengan toksin dan aku tidak tertarik menyimpannya.""Benar Kara ... kamu benar." Mata Garvin berkilat senang. Dia menatap liar wanita di hadapannya. Lebih be
“Tunggu … Papa rasanya pernah mendengar nama ‘Kara Garvita.” Pria dengan guratan ketampanan masa muda yang masih tersirat memejamkan mata. Menggali ingatan mendengar nama keluar dari mulut putranya.“Kara yang itu. Mantan istri Garvin Paraduta Group?” Lanjutnya setelah teringat pemberitaan yang ramai berapa bulan lalu. Aku semakin lekas lupa karena tua, batinnya dalam hati.“Benar, Papa. Dia lah pilihan putra tampanmu.”“Wajahnya mengingatkan pada Amanda.”“Papa berpikir karena itulah aku menaruh hati pada Kara?”“Coba katakan berapa alasan yang membuat Papa akan berubah pikiran.”Reinhard mencondongkan tubuh ke arah Jemmy, Papanya. Sejenak otak Reinhard berpikir memilah informasi yang akan diberikan.“Pertama iya pada awalnya karena kemiripan wajah dan keinginan melindungi. Papa tahu aku mencintai Amanda. Sempat terpuruk ketika dia meninggalkan
Reinhard mencoba membaca mimik Kara. Dia sudah terlatih memperhatikan perubahan setiap gerakan wajah. Hal tersebut memberinya gambaran perasaan lawan bisnis, kolega atau orang-orang terkait hubungan dengan dirinya.Dalam hal ini Reinhard hampir selalu bisa memperkirakan kepribadian orang lain. Membuatnya dapat menentukan sikap memperlakukan mereka. Hanya segelintir orang yang melesat atau tak bisa dia tebak, dan Kara merupakan segelintir orang tersebut.Jemari lentik Kara mengambil kotak cincin di atas meja. Menimang dengan senyuman menawan. Semua gerakannya dalam pengawasan Reinhard. Detak jantung pria itu berkali lipat lebih kencang. Mengalahkan kecepatan ketika maratahon.“Aku akan menyimpan cincin pemberianmu dan menggunakan setelah siap. Kamu tidak keberatan, kan?”“Ti-dak Kara … aku akan menunggu.”Kara menarik napas dalam. Meraih pouch hitam miliknya lalu menyimpan cincin berlian hitam. Dia memperlakukan dengan