Laura menunjukkan meja kerja Kara. "Di sini tempatnya, Siapa namamu?"
"Dia bertanya dengan nada merendahkan, Garvin sudah menyebutkan nama ku tapi sikapnya seakan itu bukan hal penting untuk di ingat", pikir Kara di saat bersamaan otaknya merespon menandai wanita molek di hadapannya.
"Nama saya ... Kara Garvita, Bu," jawab Kara dengan nada santun sedikit menundukkan kepala. Bersikap lemah akan mengurangi kewaspadaan belut listrik seperti ini untuk memangsanya.
"Kamu sudah tahu bukan pekerjaanmu? menyambut tamu," senyuman tertahan tersungging di wajah mulus tanpa noda milik Laura.
"Terserah apa istilah kamu untuk menyebutnya. Aku mendapatkan bayaran untuk ini", batin Kara sambil menyunggingkan senyuman manis sebelum menjawab, "Tapi bukan itu yang kami pelajari pada saat training, Ada...."
"Kamu tahu? Customer service di sini bertahan paling lama tiga bulan. Aku ingin melihat mu berapa lama bertahan...." potong Laura sambil berlalu dari hadapan Kara.
"Aku akan bertahan sama lamanya dengan kamu, sekretaris Laura". Kara mendengus sinis lalu menjatuhkan tubuh di atas kursi, sesaat kemudian dia tersadar. "Cih, tidak adakah yang membuat aku ID dan password untuk memasuki sistem karyawan."
Kara terpaksa melangkah ke ruangan sekretaris Laura yang berada di depan pintu masuk ruangan Garvin. Gadis itu kembali menggunakan topeng kesantunan kepada si belut listrik.
"Maaf, Bu Laura. Saya belum memiliki ID dan password untuk memasuki sistem karyawan. Apakah saya bisa memperoleh sekarang untuk mulai bekerja?"
"Hah, apakah kamu mau serius bekerja. Daniel seharusnya sudah memberikan, atau kamu lupa?"
"Bukan begitu, bu tadi Pak Garvin langsung menjemput saya sebelum sempat berbicara dengan pak Daniel,"
"Menjemput? katamu menjemput? kamu sadar siapakah yang di sebut di sini?" tanya Laura sambil berpura-pura kaget.
"Memuakkan, apakah untuk wanita elegan seperti ini harus berlagak senioritas pada karyawan baru," pikiran itu melintas di benak Kara, "baiklah, Saya akan bertanya dengan pak Daniel. Boleh tahu nomor telpon ruangan pak Daniel?" Kara memutuskan mencari tahu sendiri karena sepertinya sia-sia mencari tahu dari Laura.
"Kamu punya kaki bukan? gunakan untuk berjalan ke ruangan Daniel!"
"Oh astaga... manusia satu ini! maki Luna dalam hati, "baik, Bu," sahut Luna santun. Topeng kesopanan yang terpaksa kembali di gunakan untuk si belut listrik, Jika Kara sudah memasang perlawanan dari awal. Bisa dipastikan sekretaris Laura akan bersikap lebih keras untuk menunjukkan senioritasnya.
Kara melangkahkan kedua kaki jenjangnya, Dia telah tiba di lantai 14 dan memilih menuju ruangan Rani daripada manager Daniel. Gadis itu lalu menghela napas, Rani tidak ada di tempat. Akhirnya Kara menuju dan mengetuk ruangan Daniel.
"Selamat pagi, Pak Daniel. Maaf menganggu waktunya," sapa Laura pada pria maskulin di depannya, "Ah ... dia, tampan dan seksi." puji Luna dalam hatinya.
"Ada apa, Laura. Silakan duduk di sini?"
Kara menceritakan mengenai kebutuhannya tentang ID dan password karyawan miliknya. Senyuman tersungging di bibir Daniel. Seharusnya gadis ini masih lima hari lagi training, sebelum bertugas di tempat Gavin. Ada sesuatu yang menarik Gavin untuk merekrut cepat. Apakah karena dia rekomendasi dari bapak Agus? atau ada hal lain.
"Baiklah, tunggu sebentar." Daniel menekan nomor interkom terdengar dia berapa kali menyebut nama Bobby.
Daniel menutup telpon, "Bobby akan menghubungi mu segera, tunggu saja di meja mu dan untuk ke depannya tinggal menelpon saya saja, karena pak Garvin tidak suka staff-nya pergi tanpa alasan penting," kata Daniel sambil menunjukkan daftar nomor telpon seluruh pegawai yang terletak di sebelah telpon.
"Baik, Pak. Saya memahami, Terimakasih atas waktunya," Kara segera bergegas keluar ruangan, "Ah, Apes aku bahkan tidak memeriksa meja kerja untuk melihat daftar telpon" batinnya. Karena hal ini Daniel bersikap seakan Kara mencari alasan untuk bertemu.
Kara kembali ke lantai 40 hanya untuk melihat Garvin berdiri di depan meja kerjanya. Sorot lelaki tampan itu tajam sekali seakan hendak memakan Kara mentah-mentah. "Apakah dia seorang kanibal?" dia kembali membatin.
"Darimana?" tanyanya dingin. Di sebelah si belut listrik tersenyum anggun mempesona. Dia berdiri tegak dengan lengkungan tulang punggung menawan dalam setelan mahal. Sepadan sebagai sekretaris CEO. Kara menelan saliva, "suatu hari aku akan memilik setelan sama dengan punya Laura," lirih suara hatinya berkata.
"Di jam kerja tidak sebaiknya berkeliaran, Kara," ucap Laura dengan suara seakan memberikan sedikit pengarahan.
"Saya dari ruangan Pak Daniel, Hendak meminta ID Karyawan dan password..."
"Kamu bisa menghubungi Daniel di telpon tanpa harus ke ruangan dia," sela Laura. Sungguh mulutnya bercabang.
"Saya tidak suka karyawan pergi tanpa izin!" sentak Garvin dingin.
"Maaf, Pak. Saya sudah izin ke ibu Laura dan beliau..."
"Kara, saya pikir kamu cukup cerdas menangkap maksud yang disampaikan. Untuk meminta hal sekecil itu, Kamu cukup menelpon tanpa harus bertemu langsung,"
Dia menyiratkan bahwa itu hanya karena kesalahan menerima maksud dia, tidakkah Laura bermaksud mengatakan saya bodoh? pikir Kara. Dia belum sempat menjawab ketika terdengar dering telpon.
Garvin memberi kode untuk mengangkat telpon ketika dia mendengar Kara berbincang dengan Bobby dan mencatat ID serta password. Garvin beranjak meninggalkan Kara, terlihat Laura tampak tidak puas karena hanya itu tindakan yang di ambil Garvin.
Di gedung ini hanya ada dua lantai menggunakan customer service. Lantai pertama dan 40, Tempat di mana Garvin berada. Kara memasuki sistem karyawan dan memeriksa data kunjungan dan daftar client besar Paraduta Group. Dia memang bertugas menyambut clien utama Paraduta Group. Selanjutnya sekretaris Laura yang akan membantu keselurahan.
"Dengan sikap sekretaris Laura, wajar saja banyak customer service tidak dapat bertahan," gumam Kara sambil menyelipkan rambut yang menjuntai menutup wajahnya.
Garvin memijat keningnya, Dia masih menetralisir perasaang asing yang masuk. Sebuah rasa yang hampir hilang berapa tahun terakhir. Mengapa, Kara harus ke ruangan Daniel selagi dia bisa menelpon? apakah gadis itu berpura-pura agar bisa menyapa Daniel.
Bukan rahasia lagi ketika dia merekrut Daniel dari perusahaan lain tiga tahun lalu, Daniel berhasil menghipnotis para karyawan cantik. Kalau bukan karena integritas perusahaan, pasti hampir semua wanita di gedung ini menjadi kekasih Daniel.
"Siapakah pria yang bersama Kara kemarin? dia seperti bocah kemarin sore," Garvin mendengus kesal. Kemiripan Kara pada Amara meyingkirkan logikanya. Dia bukan orang yang sama, aura mereka berbeda. Amara memancarkan aura kelembutan. Berbeda dengan Kara, Dia memiliki aura yang tidak bisa ditebak.
Kemarin Garvin melihat Kara bersikap manis dan menggoda pria muda di hadapannya. Hari ini Kara bersikap seperti wanita dewasa, Sesaat Garvin sempat melihat tatapan tajam pada Laura. Dalam kedipan mata tatapan itu berubah menunjukkan kesantunan. 'Narcissus' ini seperti bunglon, berubah sesuai tempatnya.
Apakah hal itu aneh? Bukankah Garvin sendiri sering melakukan, Garvin menarik napas dan menghela kuat. Dia harus bertahan bersikap profesional dan menjaga wibawa-nya. Jika menuruti keinginan, Garvin akan menghampiri Kara sekarang juga mencari tahu langsung. Siapakah Kara sebenarnya?
Berapa menit kemudian senyuman Garvin merebak. Terlalu terpusat pada satu titik fokus, Melupakan hal lain. Tentang darimana gadis itu berasal, Bapak Agus Satya Yuda. Sahabat orangtua Garvin, dia dulu pemilik gedung Paraduta Group sebelum keluarganya membeli gedung ini.
Berapa waktu lalu bapak Agus menghubunginya. Menanyakan apakah ada posisi kosong di perusahaan. Salah seorang kenalannya membutuhkan untuk kerabatnya, Garvin meminta bapak Agus menghubungi Daniel karena customer service di lantainya sedang kosong, dan dia mengatakan agar Daniel menerimanya langsung.
Garvin menghubungi nomor telpon pak Agus, Tak banyak informasi yang di dapat. Selain Kara merupakan kerabat pak Agus dengan track record baik, dan terpenting Kara bisa di percaya.
Garvin menyimpulkan pak Agus hanya membantu merekomendasikan. Beliau sebatas tahu permukaan saja dan kelayakan Kara masuk ke Paraduta Group. Selebihnya pria tua itu menyerahkan kepada Paraduta Group untuk kinerja Kara.
Selanjutnya Garvin menekan nomor telpon, "Daniel kirimkan berkas lamaran Kara Garvita sekarang," perintah Duta.
Tidak membutuhkan waktu lama, Garvin sudah mencermati berkas lamaran Kara. Sama seperti Daniel ketika memeriksa berkas lamaran Kara. Garvin meneliti lamaran Kara, Gadis itu terlambat masuk kuliah tapi lulus dengan nilai terbaik.
Garvin kembali menekan nomor telpon, "Leonard, Selidiki tentang Kara Garvita," dia lalu menutup telpon, "aku semakin tak sabar mengetahui darimana kamu berasal."
Kara melirik arloji, Akhirnya yang di tunggu tiba. Jam istirahat, gadis itu segera menuju kafetaria. Kali ini dia mempelajari denah kantor tanpa perlu bertanya pada Laura. Kaki jenjangnya berayun Lincah. Kara telah memperhitungkan dengan cermat, uang warisan dari bu Mila cukup bertahan sampai gaji bulan depan. Leher jenjang Kara menjulur mencari keberadaan Feli. Dia telah berjanji dengan Feli untuk bertemu di kafetaria. Sebagai karyawan baru, mereka belum memiliki teman. Apalagi Kara, tidak mungkin berteman dengan Laura, berat. "Hei ... lehermu menyaingi jerapah," sapa Feli yang telah berdiri di samping Kara. "Aku bahkan tidak mendengar kedatanganmu," cibir Kara pura-pura merajuk yang di sambut tawa Feli. "Kita mengantri di sana, yuk," tanpa menunggu jawaban Kara. Feli menarik tangan Kara, beberapa karyawan pria melirik ke arah mereka berdua dengan minat. Dua karyawan baru yang menawan. Keduanya telah tiba di meja dengan makan siang yang
"Mengapa aku harus kehilangan sesuatu, saat aku berpikir sudah berada di genggaman," dengus Kara kesal. "Kehilangan? suatu hal yang harus mengajarkan arti menghargai," sahut Feli dengan bijak seakan menceramahi remaja yang baru putus cinta. "Huh... aku kesal sekali," sungut Kara, dia mengaduk-ngaduk spagheti tanpa minat. "Aku berani taruhan, kamu pasti segera mendapat ganti dengan mudah," "Hmmm..." Sejak pertemuan terakhir di kafe sore hari, Elang tidak pernah menghubungi Kara. Berapa kali Kara menghubungi Elang tapi tidak mendapatkan respon. Dia dan Feli juga mendatangi coffe shop Elang di mall 'Paradita' tetapi sudah tutup. Kara mendengus, Dia kehilangan kesenangan. Elang tampan, muda dan aromanya wangi. Jauh sekali dengan aroma Bastian. Seringkali bau keringat dan alkohol, Menyebalkan. "Mengapa. dia tidak pernah menghubungi ku lagi?" tanya Kara kembali. Feli memandang sesaat temannya lalu mengaduk teh di depannya.
"Pria itu seperti devil bertopeng angel. Mereka mengangkatmu tinggi ke angkasa lalu menghempasmu ke bumi, bahkan tanpa rasa ampun," kata Kara sinis. Di sebelahnya Feli menyimak sambil menikmati makan siang. Kafetaria ramai seperti biasa, Kara tak memperdulikan suaranya akan terdengar oleh pengunjung lain. "Jadi kamu keluar dari apartemen itu tadi malam?" tanya Feli dengan nada rendah. Dia mengamati wajah Kara yang tampak kesal. "Ya ... security apartemen mengatakan aku diminta keluar oleh penyewa, Arjuna bahkan memutuskan hubungan kami begitu saja. Apakah ciuman ku begitu buruk sampai dia mengambil keputusan ketika kami selesai berciuman?" "Menyedihkan," kata Feli mencoba bersimpati walau dia merasa geli. "mungkin Kara lupa menggosok gigi ketika mereka berciuman," batinnya dalam hati. "Padahal dia begitu tampan." ujar Kara sambil memegang kedua pipinya membuat Feli menggelengkan kepala melihat temannya. Feli memutar bola mata. "Kamu memang tak
"Dia terluka?" "Sedikit...." "Sedikit, katamu? dia sampai pingsan... bahkan siput pun bisa lebih lincah darimu, Leonard! sampai hal seperti ini harus terjadi," hardik Garvin membuat Leonard tertunduk. Tak ada kalimat pembelaan yang sudi di dengar Garvin dari mulutnya. "Maaf, Pak," mohonnya sekedar menyudahi kemarahan Garvin. "Cari rumah mantan suaminya, berikan pelajaran!" "Baik, Pak." Leonard bergegas keluar dari apartemen mewah tersebut, Dia menggerutu sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Dia berhasil menghajar suami Kara tapi justru di hajar Garvin, Hanya karena menggendong Kara yang pingsan masuk ke apartemen. "Aku memerintahmu menjemput Kara bukan menyentuhnya, Tolol!" maki Garvin. Garvin menatap cermat wajah rupawan yang terbaring tak berdaya. Edward, dokter pribadi Garvin baru saja memeriksa Amara dan tidak menemukan hal yang mengkhawatirkan. Garvin bernapas lega, dia tidak mau Kara terluka. Kara
Keesokan harinya Kara berangkat ke kantor lebih awal, dia memilih menggunakan ojek online. Pemandangan yang tidak biasa untuk penghuni Paradise Place menggunakan ojek online, Terlebih dalam balutan pakaian kerja. Tentu saja Kara harus berhemat karena jarak Paradise Place cukup lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. "Shit, dia memiliki pria lain lagi Leonard!" Leonard mengusap wajahnya ingin memaki, "Dia menggunakan ojek online, pak. Perhatikan jaket dan tulisan besar di jaket tersebut!" sebuah makian yang hanya sanggup keluar dalam benak. "Itu... ojek online, Pak," sahut Leonard sebelum Garvin menyuruhnya memberi perintah untuk menjauhkan pria tersebut dari Kara. "Atur penjemputan untuk Kara, besok!" "Maaf... apakah tidak terlalu mencolok bagi seorang karyawan baru, pak?" Garvin menatap sangar Leonard, membuat pria berkulit putih itu harus memutar otak mencari alasan, "lebih baik menggunakan jemputan komersil yang bisa di bay
"Mendiang istrimu?" Kara menatap Garvin, dia menuntut lebih dari sekedar jawaban kali ini. Garvin pernah bersumpah di depan makam Amara untuk menutup rapat hatinya, namun ketika melihat Kara. Dorongan untuk memilikinya merenggut setiap waktu dalam kesehariannya, dia tersiksa ketika gadis itu bersama pria lain. Keinginan itu semakin mencuat ketika Kara berada dalam apartemen bersama Arjuna. Kini dia harus mengambil keputusan, Garvin akan menikahi Kara. Dalam hatinya dia tidak melanggar sumpah tapi 'membangkitkan' Amara dalam diri Kara. Cintanya yang tak pernah pergi dalam hidup Prabu Garvin. "Ya, dia mirip sekali denganmu Kara," tangan Garvin terulur memegang dagu Kara, membelai dengan punggung tangan. Refleks Kara mundur, instingnya merasakan ada sesuatu berbeda yang di rasakan Garvin. Ruangan tempat Kara berada saat ini dalam suhu normal, tapi gadis itu bergidik merasakan ketakutan samar yang belum mampu dijelaskan. Bagaimana pun melihat orang lain y
"I won the jackpot." teriak Kara sekuat tenaga. Lamaran atau tawaran yang sebenarnya disampaikan Garvin tak menjadi soal bagi Kara. Bahkan tanpa cincin pengikat, Kara tak perduli. Detik berikutnya, dia melompat kegirangan di atas ranjang dalam kamarnya yang bernuansa modern di apartemen Paradise Place. Seperti menemukan Oase bagi pengembara yang telah di dera haus berjam-jam, perasaan Kara saat ini. 26 tahun hidup dalam serba kekurangan, hari ini deretan nol di belakang angka tertera di saldo rekening Kara. Tubuhnya bergetar karena serangan bahagia, perasaan ini tak pernah hadir sebelumnya. Aroma uang terasa menggelitik hidungnya, aku rasa sekarang terkena serangan panik. Aku tak sabar, tak sabar ingin menghamburkan uang. Berbelanja tanpa melihat price tag, selamat tinggal flash sale, diskon, apalah itu. Sekarang dia merasa asing dengan kata-kata yang dulu bagai kata keramat bagi dirinya. Selanjutnya Kara menyambar pouch makeupnya, "apakah Garv
"Apa? bertemu dengan orangtuamu?" mata Kara membulat. Detak jantungnya berpacu secepat kuda balapan. aduh, aku harus bersikap seperti apa? ah sudahlah, pernikahan selain mendatangkan suami maka sepaket dengan mertuanya. Semoga kali ini dia normal tidak sama dengan mertua Bastian. "Malam ini, aku akan menjemputmu pukul tujuh malam" bisik mesra Garvin di telinga Kara. Hembusan hangat dan wangi aroma Garvin membuat gadis itu merinding, dia menjulurkan kepala melihat meja Laura tapi si belut listrik tidak ada. Kara khawatir ada Laura atau Leonard yang mempergoki mereka berdua di kantor "Iya, pak," "Jangan panggil 'pak' jika kita hanya berdua, Amara biasa memanggil sayang atau honey," "Baik, sayang," jawab Kara. Panggilan sayang tanpa makna, dia tidak merasakan apapun selain suara yang berputar di kepalanya.Aku akan melakukan apa pun yang kamu minta, Jika itu syarat menjadi kaya. Selamat tinggal hidup serba kekurangan yang
Kara memandang kediaman mendiang Bastian. Ia tak menyangka akan kembali lagi ke sini. Bayangan masa lalu menghampiri kala diperlakukan bagai pembantu oleh keluarga suami pertamanya. Ibu mertua yang kerap menghina habis-habisan terlihat sedang menyapu teras rumah. Gerakan terhenti saat mobil Reinhard berhenti di depan pintu pagar rumah. "Parkir di sini saja, Sayang, kita hanya mengantarkan undangan untuk mantan mertuaku dulu," kata Kara yang diamini Reinhard yang memang tak berniat berlama-lama, tak ada kenangan yang menyenangkan bagi Kara di kediaman dengan cat yang mulai kusam.Reinhard turun pertama kali, tubuh tegap menjulang terlihat dari pagar sebatas pinggang, lantas ia membuka pintu mobil untuk Kara. Leher ibu Bastian memanjang melihat ke arah tamu yang datang, bola matanya nyaris keluar ketika melihat kedatangan mantan menantu dan calon suaminya, pria kaya yang terkenal di media. Gigi wanita itu gemertak menahan marah. Tangan ibu Bastian mengenggam sapu kuat, kebencian mengua
Reinhard memasang kancing lengan kemejanya. Tersenyum sendiri di depan cermin. Sebentar lagi dia tidak sendirian di pagi hari. Ada seorang istri yang akan menemani. Tergiang kembali kalimat yang keluar dari bibir Kara malam tadi, ketika mereka dalam perjalanan pulang.“Rein. Kamu malu tidak menjadi suamiku?”“Kenapa harus malu?”“Aku dua kali menjanda. Kasus terakhir bahkan berapa bulan bertengger menjadi headlines media. Selain itu orang-orang masih menganggap kamu sahabat Garvin. Belum lagi gosip yang meluas.”“Hidupku tidak disetir pendapat orang lain, Kara. Secara garis besar tidak mempengaruhi kehidupan keluarga kami.”Reinhard tahu Kara tidak mempercayai sepenuhnya. Memang Reinhard mengakui ada benar kekhawatiran sang calon istri, hanya saja Reinhard dan Jemmi sudah menganalisa secara bisnis. Tidak terlalu signifikan masalah yang timbul karena urusan pribadi.Selain memperkirakan pengaruh
Gosip tentang rencana pernikahan Kara dan Reinhard meluas. Pernikahan ketiga dirinya dengan bujangan sekaligus pengusaha sukses. Menjadi pembicaraan tanpa henti di kalangan banyak orang.Kara bukannya tidak tahu ketika nada-nada sumbang terdengar. Janda tanpa anak dengan dua kali kegagalan pernikahan. Begitu seksi untuk dibicarakan para wanita yang iri karena bukan mereka pendamping Reinhard. Bumbu mengenai pernikahan yang dijalankan juga menambah panas gosip. Termasuk juga kekerasan dalam rumah tangga yang dijalani.Entah darimana mereka mengetahui cerita, yang bisa Kara lakukan menggunakan kedua tangannya menutup telinga. Atau mencurahkan isi hati pada Feli ketika kekesalan mulai merambah. Seperti ketika dia membaca status di sosial media mantan iparnya, saudari Bastian.[Dua kali gagal di pernikahan dengan kasus sama. Alasan si K karena suami ringan tangan. Aduh harusnya ngaca ya, kalau sampai ke dua kali. Belum lagi tidak punya anak. Jangan-jangan dia yang m
Carol mengamati Kara seksama. Sebagai wanita, dia pun mengakui Kara memang cantik. Namun dalam penilaian Carol bukan itu poin pentingnya. Kara memiliki aura berbeda dengan kebanyakan wanita cantik.Dia mempunyai kemampuan membuat orang menyediakan waktu menoleh untuk mengagumi. Sudah terbukti juga dalam hidupnya Kara mendapatkan lelaki yang secara sosial jauh diatasnya. Meski harus diakui mereka juga menghancurkan hidup Kara.Begitulah alam bekerja, terkadang ada keistimewaan diri yang membuat hidup individu lebih mudah. Entah kekayaan, keberuntungan, kecerdasan atau kecantikan. Dalam hal ini Carol menganggap Kara beruntung memiliki wajah rupawan. Mirip dengan Amanda dalam aura berbeda.Mengenai nasib pernikahan Kara sendiri. Carol tak memahami sepenuhnya. Hanya saja dia mengambil kesimpulan. Kara menilai pasangan bukan dari kepribadian. Dia mengantungkan finansial pada pendamping hidupnya. Bisa jadi itulah ihwal masalah yang dibuat Kara. Butuh dua kali untuk Ka
Udara sejuk masih enggan beranjak. Berpadu matahari yang mulai menghangat. Di beranda teras sepasang suami istri dalam usia senjanya menatap ke jalanan.Mereka baru saja mendapatkan kabar mengenai keluarga calon suami putrinya. Anak pertama kebanggaan dalam keluarga.Di pundak perempuan itu harapan semua anggota keluarga berada. Bukan maksud mereka menempatkan Kara turut bertanggung jawab. Kadang keadaan memaksa seorang gadis belia berinisiatif membantu."Pak, Ibu harap kali ini suami Kara berbeda dengan Bastian dan Garvin.""Bapak juga berpikir sama, Bu. Dua kali gagal semoga kali ini yang terakhir.""Keluarga dan tetangga terus menerus membicarakan Kara. Kesal Ibu, Pak.""Sudah
Sorot mata Feli berkilauan. Dia tertular kebahagiaan mendengar kabar dari Kara. Sahabatnya sekarang menjalin hubungan dengan Reinhard. Artinya Kara telah berani melangkah keluar dari masa lalu dan Reinahard tak akan merongrong Feli lagi.“Wow, selamat Kara. Aku turut senang mendengar kabar ini. Selera Reinhard memang bagus. Berlian hitamnya persis dengan warna matamu.”“Seperti itulah yang dia katakan.”“Melihat proses perjalanan kalian mencapai sekarang. Kurasa tak lama lagi kabar gembira akan didengar.”Kara meletakkan cangkir kopi di meja. Dia dan Feli sedang duduk di balkon rumah Kara. Area yang di desain asri dengan penempatan pot tanaman, ayunan gantung serta rumput sintetis menutupi lantai.Dia tahu pertanyaan Feli merujuk pada jenjang lebih serius, pernikahan. Dua hal yang pernah gagal dalam hidup Kara. Meski dia menerima Reinhard, Kara masih merasakan kegamangan di hati.Apabila menikah dengan Rei
Pendingin udara gagal mengatasi aura panas di ruangan. Dua orang yang pernah sepakat menjalani komitmen saling tatap. Tidak seorang pun memulai percakapan. Ada riak keterkejutan di mata lelaki melihat lawannya tidak memalingkan wajah seperti biasa.Sudut mulut Garvin terangkat. Di luar dugaan Kara berani membalasnya. Sorot mata mantan istrinya jauh lebih tegas dari terakhir mereka bertemu. Garvin tahu dia harus menggunakan muslihat lain."Kara, aku paham kalau kamu membenciku atau mungkin tidak mau bertemu lagi."Deheman Kara lebih awal menjawab. "Diluar dugaan kamu menebak dengan baik apa yang kurasakan. Meski begitu aku akan meralat untuk bagian 'membencimu' ....""Jadi kamu tidak membenciku?" Sambar Garvin memotong pembicaraan."Benar semua kebencianku sudah hilang. Bagiku benci sama dengan toksin dan aku tidak tertarik menyimpannya.""Benar Kara ... kamu benar." Mata Garvin berkilat senang. Dia menatap liar wanita di hadapannya. Lebih be
“Tunggu … Papa rasanya pernah mendengar nama ‘Kara Garvita.” Pria dengan guratan ketampanan masa muda yang masih tersirat memejamkan mata. Menggali ingatan mendengar nama keluar dari mulut putranya.“Kara yang itu. Mantan istri Garvin Paraduta Group?” Lanjutnya setelah teringat pemberitaan yang ramai berapa bulan lalu. Aku semakin lekas lupa karena tua, batinnya dalam hati.“Benar, Papa. Dia lah pilihan putra tampanmu.”“Wajahnya mengingatkan pada Amanda.”“Papa berpikir karena itulah aku menaruh hati pada Kara?”“Coba katakan berapa alasan yang membuat Papa akan berubah pikiran.”Reinhard mencondongkan tubuh ke arah Jemmy, Papanya. Sejenak otak Reinhard berpikir memilah informasi yang akan diberikan.“Pertama iya pada awalnya karena kemiripan wajah dan keinginan melindungi. Papa tahu aku mencintai Amanda. Sempat terpuruk ketika dia meninggalkan
Reinhard mencoba membaca mimik Kara. Dia sudah terlatih memperhatikan perubahan setiap gerakan wajah. Hal tersebut memberinya gambaran perasaan lawan bisnis, kolega atau orang-orang terkait hubungan dengan dirinya.Dalam hal ini Reinhard hampir selalu bisa memperkirakan kepribadian orang lain. Membuatnya dapat menentukan sikap memperlakukan mereka. Hanya segelintir orang yang melesat atau tak bisa dia tebak, dan Kara merupakan segelintir orang tersebut.Jemari lentik Kara mengambil kotak cincin di atas meja. Menimang dengan senyuman menawan. Semua gerakannya dalam pengawasan Reinhard. Detak jantung pria itu berkali lipat lebih kencang. Mengalahkan kecepatan ketika maratahon.“Aku akan menyimpan cincin pemberianmu dan menggunakan setelah siap. Kamu tidak keberatan, kan?”“Ti-dak Kara … aku akan menunggu.”Kara menarik napas dalam. Meraih pouch hitam miliknya lalu menyimpan cincin berlian hitam. Dia memperlakukan dengan