Farah menutup telepon, lalu kembali ke ruangan Lana untuk menemani Arya Kusnadi menunggu kedatangan Lana.Lana dan Farah bertemu dengan Arya di ruangan Lana. Pria itu berusia sekitar akhir lima puluhan, mengenakan kemeja lusuh dan celana panjang yang terlihat kebesaran. Rambutnya mulai memutih, dan ia tampak gugup, mengusap-usap telapak tangannya terus-menerus."Lana Priadi, saya penyelidik kasus ini. Terima kasih sudah datang," kata Lana sambil menjabat tangan Arya.Arya mengangguk, wajahnya tegang. "Saya mendengar tentang kasus ini dari berita. Saya pikir saya harus memberitahu Anda sesuatu yang penting.""Silakan, Pak Arya. Kami mendengarkan," kata Farah, mencoba menenangkan suasana.Arya menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Lima belas tahun yang lalu, saya adalah seorang kolektor barang antik. Saya membeli cermin itu di sebuah lelang pribadi. Pada awalnya, saya tidak tahu apa-apa tentang sejarahnya. Saya hanya terpikat oleh keindahan bingkainya yang dihiasi ukiran emas.
Setelah menemukan foto lama Arya di ruang kerjanya, Lana dan Farah kembali memeriksa seluruh rumah dengan lebih teliti. Mereka mencoba mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan Arya sebelum ia menghilang. Farah, dengan senter kecilnya, menerangi setiap sudut ruangan. Sementara itu, Lana membuka laci-laci meja di ruang kerja, berharap menemukan sesuatu.“Lana, lihat ini,” Farah memanggil dari dekat jendela ruang tamu. Ia menemukan sebuah jejak tangan yang samar, seolah-olah ada seseorang yang menempelkan tangannya di kaca. Anehnya, jejak itu terlihat lebih kecil dari ukuran tangan pria dewasa seperti Arya.“Jejak tangan ini... Sepertinya bukan milik Arya. Kau pikir ini ada hubungannya dengan cermin itu?” tanya Farah, suaranya bergetar sedikit.Lana mendekat dan mengamati jejak tersebut. “Bisa jadi. Apalagi dengan cerita Arya tentang suara yang ia dengar dari cermin. Ini semakin menegaskan bahwa ada sesuatu yang tak biasa di sini.”Farah memalingkan pandangannya dari jendela dan meliha
Mereka bertiga berangkat menuju lokasi dengan mobil Lana. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam, melewati jalanan yang semakin sepi dan terpencil. Rumah tua itu terletak di pinggiran kota, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang memberikan kesan suram.Ketika mereka tiba, matahari sudah hampir tenggelam, menciptakan bayangan panjang yang menutupi rumah tersebut. Bangunan itu tampak usang, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang sebagian besar pecah.“Kesan pertamaku: tempat ini menyeramkan,” ujar Farah dengan nada bercanda, meskipun jelas ia merasa tidak nyaman.Raka memeriksa sekeliling dengan saksama. “Tempat ini sudah lama tidak dihuni. Tapi aku bisa merasakan... sesuatu.”Lana membuka bagasi mobil untuk mengambil senter dan peralatan lain. “Baiklah. Kita masuk dan lihat apa yang bisa kita temukan. Jangan terlalu terpencar, dan beri tahu jika kalian merasa ada sesuatu yang aneh.”Saat mereka ma
Mereka berhasil mencapai tangga, tetapi saat menuruni anak tangga, sebuah suara keras terdengar dari atas. Mereka melihat cermin yang tadi berada di ruangan itu kini bergerak sendiri, meluncur perlahan menuju tepi tangga, seolah-olah mengejar mereka.“Cerminnya bergerak!” Farah berteriak panik.Lana, meskipun masih dipenuhi rasa takut, memimpin jalan keluar. Mereka berlari melintasi ruang tamu, tetapi pintu depan yang tadi mereka gunakan kini tertutup rapat.Raka meraih liontin pelindungnya dan mulai melafalkan mantra, suaranya tegas meskipun situasi semakin genting. “Dengan kekuatan cahaya dan perlindungan, kami memerintahkanmu untuk membiarkan kami pergi!”Pintu itu bergetar, dan akhirnya terbuka. Mereka bertiga langsung menerobos keluar, mengabaikan apa pun yang ada di belakang mereka.Ketika mereka mencapai mobil, mereka langsung masuk dan mengunci pintu. Farah, yang masih gemetar, memandang Lana dan Raka dengan wajah pa
Lana Priadi menatap layar ponselnya, matanya menyipit membaca pesan yang baru saja masuk. Di layar tertulis nama atasan yang sudah dikenalnya dengan baik, Inspektur Arief. “Lana, segera ke universitas. Ada kasus aneh. Mahasiswa ditemukan tewas di dekat sebuah cermin antik. Tolong kau yang menangani kasus ini.” Dengan cepat, Lana menyimpan ponselnya ke dalam tas, mengenakan jaket kulitnya, dan melangkah keluar dari kantor kecilnya yang sesak dengan dokumen – dokumen berkas kasus. Setiap harinya, Lana terbiasa dengan rutinitas sebagai detektif muda di divisi Kriminalitas. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini, sebuah perasaan aneh yang mulai merayap dalam dirinya begitu dia membaca pesan dari atasanya tersebut. Kematian seorang mahasiswa, tergeletak dekat cermin antik, sesuatu tentang itu terasa sangat ganjal. Di dalam mobil, Lana menyalakan mesin dan mulai mengemudi. Selama perjalanan menuju Universitas Seni dan Sejarah, pikirannya melayang pada berkas yang telah diberikan
Di bawah langit mendung, Lana memarkir mobilnya di depan sebuah rumah tua di kawasan Jakarta Selatan. Rumah itu adalah milik Mira Adiningrum, ibu dari Dimas Hartanto. Meski tidak terlalu besar, rumah itu memiliki suasana yang teduh dan nyaman, dengan taman kecil yang dipenuhi tanaman hijau. Di balik jendela, Lana bisa melihat siluet seorang perempuan yang menunggunya.Lana mengatur napas sejenak sebelum mengetuk pintu. Pertemuan ini akan menjadi momen yang sulit—tidak hanya bagi Mira, tetapi juga bagi dirinya. Di balik wajah profesionalnya, ada perasaan empati terhadap orang-orang yang telah kehilangan orang yang mereka cintai. Dan kali ini, Mira Adiningrum telah kehilangan anak semata wayangnya.Pintu terbuka, dan seorang perempuan paruh baya dengan rambut yang disanggul rapi berdiri di hadapannya. Mata perempuan itu terlihat lelah dan sedih, lingkaran hitam terlihat jelas di bawahnya.“Selamat siang, Bu Mira. Saya Lana Priadi, detektif yang menangani kasus Dimas,” Lana memperkenalka
Lana tengah memeriksa laporan tambahan di mejanya, tiba – tiba terdengar ketukan di pintu ruangannya. Ia mendongak dan melihat seorang pria dengan penampilan yang agak tak biasa masuk tanpa diundang. Dengan setelan serba hitam yang sudah tampak usang, mata tajam yang menyorot keingintahuan, dan senyum tipis yang seolah menyimpan rahasia, pria itu tampak tidak seperti orang kebanyakan. Di lehernya tergantung kalung dengan batu berwarna merah tua yang terlihat sangat antik.Lana menatap pria itu dengan heran, kemudian bangkit dari kursinya. “Maaf, Anda siapa ya? Saya sedang sibuk dan tidak menerima tamu tanpa janji.”Pria itu tersenyum simpul. “Namaku Raka Pradipta. Aku seorang ahli paranormal dan mungkin sedikit eksentrik menurut sebagian orang. Aku di sini untuk membantumu dalam kasus kematian Dimas Hartanto.”Lana mengangkat alis. “Ahli paranormal?” Di satu sisi, ia merasa skeptis. Namun, kehadiran Raka tampak tak biasa. Dia berbicara seolah – olah memiliki informasi yang relevan dan
Setelah malam yang panjang dan penuh dengan rasa penasaran di tempat kejadian, Lana kembali ke kantor polisi keesokan paginya dengan kepala yang dipenuhi berbagai pertanyaan. Pikirannya terus berputar, mencoba menghubungkan setiap petunjuk kecil yang telah dia temukan mengenai cermin antik, kematian Dimas, dan kehadiran Raka Pradipta yang penuh misteri. Sebagai seorang detektif yang mengandalkan bukti dan logika, sulit bagi Lana untuk sepenuhnya menerima cerita kutukan yang diungkapkan Raka, tapi nalurinya mengatakan bahwa ada kebenaran yang terselubung dalam legenda itu.Saat Lana berjalan menuju mejanya, seorang rekannya menghampiri. “Lana, ada seorang wartawan yang ingin berbicara denganmu. Namanya Farah Anjani.”Lana menghela napas. Ia tahu bahwa dalam kasus aneh seperti ini, perhatian media pasti akan semakin intens. Namun, ia tidak menduga bahwa jurnalis investigatif yang terkenal gigih seperti Farah Anjani akan langsung datang mencarinya.Farah Anjani adalah nama yang sudah cuk
Mereka berhasil mencapai tangga, tetapi saat menuruni anak tangga, sebuah suara keras terdengar dari atas. Mereka melihat cermin yang tadi berada di ruangan itu kini bergerak sendiri, meluncur perlahan menuju tepi tangga, seolah-olah mengejar mereka.“Cerminnya bergerak!” Farah berteriak panik.Lana, meskipun masih dipenuhi rasa takut, memimpin jalan keluar. Mereka berlari melintasi ruang tamu, tetapi pintu depan yang tadi mereka gunakan kini tertutup rapat.Raka meraih liontin pelindungnya dan mulai melafalkan mantra, suaranya tegas meskipun situasi semakin genting. “Dengan kekuatan cahaya dan perlindungan, kami memerintahkanmu untuk membiarkan kami pergi!”Pintu itu bergetar, dan akhirnya terbuka. Mereka bertiga langsung menerobos keluar, mengabaikan apa pun yang ada di belakang mereka.Ketika mereka mencapai mobil, mereka langsung masuk dan mengunci pintu. Farah, yang masih gemetar, memandang Lana dan Raka dengan wajah pa
Mereka bertiga berangkat menuju lokasi dengan mobil Lana. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam, melewati jalanan yang semakin sepi dan terpencil. Rumah tua itu terletak di pinggiran kota, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang memberikan kesan suram.Ketika mereka tiba, matahari sudah hampir tenggelam, menciptakan bayangan panjang yang menutupi rumah tersebut. Bangunan itu tampak usang, dengan cat yang mengelupas dan jendela-jendela yang sebagian besar pecah.“Kesan pertamaku: tempat ini menyeramkan,” ujar Farah dengan nada bercanda, meskipun jelas ia merasa tidak nyaman.Raka memeriksa sekeliling dengan saksama. “Tempat ini sudah lama tidak dihuni. Tapi aku bisa merasakan... sesuatu.”Lana membuka bagasi mobil untuk mengambil senter dan peralatan lain. “Baiklah. Kita masuk dan lihat apa yang bisa kita temukan. Jangan terlalu terpencar, dan beri tahu jika kalian merasa ada sesuatu yang aneh.”Saat mereka ma
Setelah menemukan foto lama Arya di ruang kerjanya, Lana dan Farah kembali memeriksa seluruh rumah dengan lebih teliti. Mereka mencoba mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan Arya sebelum ia menghilang. Farah, dengan senter kecilnya, menerangi setiap sudut ruangan. Sementara itu, Lana membuka laci-laci meja di ruang kerja, berharap menemukan sesuatu.“Lana, lihat ini,” Farah memanggil dari dekat jendela ruang tamu. Ia menemukan sebuah jejak tangan yang samar, seolah-olah ada seseorang yang menempelkan tangannya di kaca. Anehnya, jejak itu terlihat lebih kecil dari ukuran tangan pria dewasa seperti Arya.“Jejak tangan ini... Sepertinya bukan milik Arya. Kau pikir ini ada hubungannya dengan cermin itu?” tanya Farah, suaranya bergetar sedikit.Lana mendekat dan mengamati jejak tersebut. “Bisa jadi. Apalagi dengan cerita Arya tentang suara yang ia dengar dari cermin. Ini semakin menegaskan bahwa ada sesuatu yang tak biasa di sini.”Farah memalingkan pandangannya dari jendela dan meliha
Farah menutup telepon, lalu kembali ke ruangan Lana untuk menemani Arya Kusnadi menunggu kedatangan Lana.Lana dan Farah bertemu dengan Arya di ruangan Lana. Pria itu berusia sekitar akhir lima puluhan, mengenakan kemeja lusuh dan celana panjang yang terlihat kebesaran. Rambutnya mulai memutih, dan ia tampak gugup, mengusap-usap telapak tangannya terus-menerus."Lana Priadi, saya penyelidik kasus ini. Terima kasih sudah datang," kata Lana sambil menjabat tangan Arya.Arya mengangguk, wajahnya tegang. "Saya mendengar tentang kasus ini dari berita. Saya pikir saya harus memberitahu Anda sesuatu yang penting.""Silakan, Pak Arya. Kami mendengarkan," kata Farah, mencoba menenangkan suasana.Arya menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Lima belas tahun yang lalu, saya adalah seorang kolektor barang antik. Saya membeli cermin itu di sebuah lelang pribadi. Pada awalnya, saya tidak tahu apa-apa tentang sejarahnya. Saya hanya terpikat oleh keindahan bingkainya yang dihiasi ukiran emas.
“Raka, aku mengerti kau khawatir, tapi aku tidak bisa hanya diam. Jika cincin ini adalah petunjuk, aku harus memastikan apa yang bisa kita pelajari darinya. Bukankah itu tujuan kita?” Lana mencoba membela tindakannya.Raka mendesah panjang, matanya menatap Lana tajam. “Lana, tujuan kita memang mengungkap misteri ini, tapi ada batasannya. Kau harus ingat, kita bukan hanya berurusan dengan fakta logis. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Dunia yang tidak bisa kita kendalikan dengan akal sehat.”“Tapi kita juga tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikan penyelidikan ini,” bantah Lana, suaranya sedikit meninggi.“Kau salah paham,” kata Raka tegas. “Ini bukan soal rasa takut, tapi soal kehati-hatian. Kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Aku sudah mengalami hal-hal aneh sejak aku mendekati cermin itu, dan aku yakin cincin ini adalah bagian dari teka-teki yang berbahaya.”Raka mengangkat tangannya, menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. “Dengar, Lana. Dalam penglihatanku tadi malam, a
Ketika mereka akhirnya keluar dari area hutan dan menuju jalan raya, perasaan tertekan sedikit mereda. Namun, keheningan di antara mereka masih terasa berat.“Farah,” kata Lana, memecah keheningan. “Aku akan membawa cincin ini ke ahli forensik besok. Mungkin kita bisa mendapatkan informasi lebih banyak tentang asal-usulnya.”Farah mengangguk. “Aku akan mencoba mencari lebih banyak catatan sejarah tentang cermin itu. Jika cincinnya ditemukan di makam Ratu Sekar Sari, mungkin ada kaitan langsung antara mereka.”Lana tersenyum tipis. “Kerja tim yang baik. Tapi pastikan kamu berhati-hati, Farah. Aku punya firasat buruk bahwa semakin dalam kita menggali, semakin berbahaya ini.”Farah membalas senyuman itu. “Aku selalu berhati-hati. Dan kamu juga, Lana. Jangan mengambil risiko yang tidak perlu.”Lana menurunkan Farah di apartemennya. Farah berterima kasih sebelum masuk ke dalam gedung, tetapi dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa seseorang sedang mengawasinya. Dia melirik ke sekelilin
Matahari masih malu-malu menampakkan diri ketika Lana tiba di kantor polisi. Udara pagi terasa segar, tetapi pikirannya sudah diselimuti ketegangan. Dia harus memastikan perjalanan mereka ke lokasi kuburan mendapatkan izin resmi, terutama karena area tersebut merupakan tanah adat yang dijaga ketat oleh masyarakat setempat.Atasan Lana, Inspektur Arief, memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu saat dia memaparkan permintaannya.“Kuburan? Apa ini ada hubungannya dengan kasus kematian Indra dan Dimas?” tanya Inspektur Arief sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.“Ya, Pak,” jawab Lana dengan tegas. “Ada petunjuk yang mengarah ke lokasi itu. Saya yakin ini penting untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.”Inspektur Arief menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi ingat, jangan bertindak gegabah. Ini adalah wilayah yang sensitif, dan kita harus menjaga hubungan baik dengan masyarakat setempat.”Lana merasa lega mendapatkan persetujuan itu. Dia segera keluar dari kantor dan
Malam semakin larut saat Lana dan Farah keluar dari perpustakaan. Langit gelap dihiasi bintang yang jarang terlihat di kota, memberikan sedikit ketenangan di tengah pikiran mereka yang penuh misteri. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas.“Kita sudah melakukan yang terbaik untuk malam ini,” kata Farah sambil menguap kecil. “Aku harus pulang dan mencoba mengolah semua informasi ini. Mungkin aku bisa menyusun laporan tentang ini.”Lana mengangguk sambil menarik jaketnya lebih rapat. Udara dingin menusuk kulit, seolah-olah malam itu mengingatkan mereka pada sesuatu yang lebih menyeramkan daripada sekadar hawa dingin.“Aku juga perlu waktu untuk mencerna semuanya,” balas Lana. “Aku akan meninjau kembali peta lokasi kuburan Ratu Sekar Sari. Besok pagi kita bisa memutuskan langkah berikutnya.”Farah mengangguk, mengeratkan tas selempangnya. “Jaga dirimu, Lana. Jangan terlalu larut memikirkan ini.”“Aku akan mencoba.” Lana tersenyum kecil, meskipun rasa cemas di hat
Keesokan harinya, Lana bertemu Farah di ruang kerjanya. Jurnalis itu membawa map tebal yang penuh dengan artikel dan dokumen lama.“Apa yang kau temukan?” tanya Lana, sambil mempersilakan Farah duduk.Farah membuka mapnya dan mengeluarkan beberapa artikel. “Aku menemukan pola kematian yang mirip dengan kasus Indra dan Dimas. Semua melibatkan orang-orang yang memiliki cermin antik yang sama. Tapi ada sesuatu yang lebih menarik.”Farah menyodorkan salah satu artikel kepada Lana. Artikel itu memuat berita tentang seorang kolektor seni bernama Johannes Kadar yang tewas secara misterius lima tahun lalu. Cermin itu disebut sebagai salah satu koleksi terakhirnya sebelum kematiannya.“Ini sudah terjadi sebelumnya?” Lana mengernyit, membaca artikel tersebut dengan saksama.“Bukan hanya sekali,” jawab Farah. “Setidaknya ada empat kasus lain yang tercatat. Korbannya selalu mengalami mimpi buruk, perubahan