Pov. Yudha"Yudha ... bangun! Dasar pemalas!" teriak ibuku memekakkan telinga. Aku yang sedang bergulung di dalam selimut, tak memperdulikan teriakan sumbangannya itu.Byurr!"Banjir!" teriakku tercekat saat merasakan dingin mengguyur wajah serta kepalaku. Seketika aku terbangun, memandang ke arah ibu yang menatapku marah dengan ember kosong di tangannya."Bangun pemalas! Apa kamu nggak lihat hari sudah siang!" teriak Ibu. Aku mengusap wajahku yang basah. "Iya ... ini Yudha sudah bangun. Bangunin anak nggak ada manis-manisnya sih, Bu. Udah seperti Ibu tiri aja," gerutuku. Namun bukannya kasihan, Ibu justru menjewer telingaku. "Aduh Bu ... aduh, sakit," aku meringis. Ibu melepas tangannya dari telingaku. Ku usap daun telingaku yang pasti memerah. "Sakit? Kalau tahu sakit, makanya bangun! Cepat kamu bangun, lalu pergi cari kerja sana!" perintah Ibu. Ibu menghentakkan kakinya dan pergi keluar meninggalkanku yang basah kuyup di atas kasur. Untung saja seprai yang kugunakan adalah sep
"Mukamu kenapa, Yud? Asem banget seperti jeruk purut gitu," ledek Anton padaku. Aku meliriknya tajam. Sekarang aku duduk di pos kamling yang berada di dekat lapangan di ujung gang. Duduk bersila sambil menikmati sepiring siomay. Untung saja di saku celanaku ada uang sepuluh ribu, sisa membeli rokok kemaren.Walau tidak bisa membuatku kenyang, tapi setidaknya mampu mengganjal rasa laparku untuk sementara waktu. Membuat pikiranku kembali jernih."Kesal aku," jawabku singkat. Aku mengarahkan suapan terakhir ke mulutku. Lalu menyerahkan piring kosong yang bersih hingga tetes terakhir pada penjual siomay, kemudian meminum air putih di gelas itu hingga habis. Kenyang yang aku rasa nanggung, tapi apa boleh buat. Seberapa nian porsi sepuluh ribu. "Kesal kenapa?" tanya Anton kembali. Sedangkan Udin justru asik main game online di ponsel pintarnya. "Bagi rokok, Ton. Kecut mulutku habis makan, nggak ngerokok." Pintaku. Namun lebih tepatnya menodong. Tanpa ia kasih pun bakal aku rampas dari ta
"Yang benar kamu, Yud? Nanti temanmu itu cuma bohong saja padamu," ujar Ibu seakan tak percaya. Sore hari aku duduk bersama Ibu dan Mbak Intan di ruang tamu. Aku menceritakan semua yang aku dengar dari teman-temanku tentang Zalia. Ibu dan Mbak Intan terlihat begitu terkejut."Benar, Bu. Nggak mungkin Anton berbohong padaku. Apalagi mertuanya kan tinggal satu kampung dengan mertuaku. Tentu dia tahu pasti tentang Zalia," jawabku. Aku menghidupkan sebatang rokok, menghisapnya dalam dan menghembuskan asap itu hingga mengepul."Wah ... kalau Zalia punya toko sembako besar, berarti sekarang ia sudah punya banyak duit dong. Lumayan itu, Yud. Jika kamu dan dia balikan. Hitung-hitung ada tempat kita untuk meminta uang," sahut Mbak Intan. Aku mengangguk setuju, toh ... selama ini juga Zalia patuh dengan apa yang kami pinta."Jadi rencana kamu sekarang apa?" tanya Ibu. Aku menyipitkan mataku pada satu titik, memutar otak memikirkan cara apa yang pas, untuk alasan aku bisa datang ke sana. Namun m
"Yudha! Kamu meminjamnya lima juta sekalian. Yang tiga jutanya untuk Ibu dan Intan. Lagian nanti, Zalia juga yang akan membayarnya. Bukan kamu," pinta Ibu. Aku cuma bisa menggaruk pelipisku sambil nyengir kuda. Giliran uang saja cepat banget responsnya. "Tapi Bu, iya kalau Zalia mau membayarnya, kalau tidak?" sahut Mbak Intan. Ia seperti ragu dengan usul yang diberikan Ibu. Tentu saja ia khawatir karena yang menjadi taruhan adalah harta miliknya. Kalau aku mah ... bodoh amat. Ketebus syukur, nggak ketebus ya sudah. Lagi pula selama ini semua hutang ayang aku buat, Zalia yang melunasi. Mengingat kehidupanku yang dulu membuatku semakin tak sabar untuk menjemputnya kembali. Semenjak tak ada dirinya, hidupku luntang-lantung tak jelas. Makan tak teratur dan kebutuhan biologisku tak terpenuhi. Sebenarnya wanita banyak di luaran sana. Tapi uangnya yang tak ada. Mana mau wanita cantik dengan aku yang pengangguran ini. Walau wajahku masih masuk kategori tampan sebenarnya."Pasti mau! Lagi
"Iwan, tolong bantu Ibu nak. Tolong ambilkan mentega palm*a di gudang! Ajak Mas Budi, biar nggak berat mengangkatnya seorang diri!" pintaku pada bocah delapan tahun itu. Sebenarnya aku tak tega melihatnya di usia ini bekerja. Namun apa yang dapat aku perbuat. Iwan selain cekatan dia juga sangat rajin. Membuat semua yang ada di toko ini menyukainya. Begitu pun aku. Entah kenapa setiap melihat wajahnya, aku menjadi begitu sayang padanya. Ada kedekatan diantara kami yang tak dapat aku artikan."Siap Bu'de," jawab Iwan ceria. Aku memang memintanya memanggilku dengan sebutan bu'de. Biar berasa dekat saja.Drett! Drett! Drett!Getar ponsel di saku gamisku mengagetkanku. Aku merogoh saku dan melihat nama siapa yang muncul di layar. "Ibu, tumben jam segini menelpon. Apa ada sesuatu yang terjadi di rumah? Apa Alia membuat ulah lagi?" gumamku pada diri sendiri. Sebab tak biasanya meneleponku di jam segini. Jam sepuluh pagi.Aku menekan tombol hijau di layar. "Assalamualaikum, ada apa Bu?" "Za
Sesampainya di rumah dan mengucap salam. Aku melihat Ibu duduk di hadapan Mas Yudha. Sedangkan Alia tak tampak diantara mereka. Mungkin saja gadis kecilku itu main di kamarnya bersama pembantu di rumah ini.Alia memang tidak pernah dekat dengan Mas Yudha. Salah Mas Yudha sendiri, ia tidak pernah menyayangi anaknya. Ia kerap membentak dan memarahi anaknya, jika mereka bersama.Melihat kedatangan Mas Yudha, hati ini sedikit terenyuh. Tubuhnya yang dulu berisi kini mulai kurus. Namun aku tahu betul bagaimana sifat Mas Yudha. Dia tidak mungkin datang menjemputmu jika tidak ada sesuatu yang ia inginkan dariku." Dek, apa kabar?" sapa Mas Yudha saat melihatku. Aku memilih duduk di samping Ibu. Sedangkan Paman duduk di kursi singgle, tentunya paman menolak bersalaman dengan Mas Yudha. Setiap melihat Mas Yudha paman seolah ingin menelannya hidup-hidup. Sebegitu bencinya paman pada lelaki yang pernah menjadi suamiku itu."Seperti yang kamu lihat, Mas. Sangat baik," jawabku dingin. Aku memang t
"Loh ... memang kenyataannya seperti itu, kan, Dek. Kamu marah dan merajuk pulang kerumah Ibu. Karena Mas marah padamu. Karena kamu melalaikan tugasmu sebagai seorang istri! Menyiapkan makan dan kebutuhan suami itu adalah tugas istri, Dek!" kilah Mas Yudha cepat. Ibu dan paman terkejut.Sungguh sangat pintar lelaki ini memutar balikkan omongan. Ingin sekali aku bertepuk tangan, atas kepiawaiannya berekting. Jika ia seorang aktor mungkin sudah banyak piala Oscar yang ia dapatkan."Jika mengurus rumah, menyiapkan makan suami dan kebutuhan suami adalah kewajibanku. Lalu apa kewajibanmu sebagai suami, Mas? Makan, tidur dan bermain game! Apa kamu memberikan nafkah yang layak padaku? Tidakkan!" sungutku. Aku mulai terpancing emosi dengan apa yang Mas Yudha katakan. Selama ini aku selalu diam di depan keluargaku untuk menghindari keributan dan menjaga marwahnya sebagai suami. Tapi kali ini tidak lagi. Begitu entengnya ia membahas tentang kewajibanku. Padahal kewajibannya sebagai suami saja
"Mas benar-benar tidak mengerti Zalia. Jika kamu masih mau di rumah ibumu, Mas mengerti. Mas akan menemani kamu di sini. Tapi Mas mohon kita kembali lagi seperti dulu. Menjadi keluarga yang utuh!" pinta Mas Yudha. Mencoba merayu. Mencoba mengambil simpati Ibu dan paman Ja'far."Tidak Mas. Aku sudah tak sanggup lagi hidup bersamamu. Aku sudah lelah dengan pernikahan ini, hatiku sakit, Mas." balasku. Karena memang begitu lah kenyataannya. Aku sudah tak ada gairah lagi untuk melanjutkan pernikahan kami."Tidak sayang. Mas Janji, Mas akan berubah. Mas akan giat bekerja untuk kamu dan Alia. Beri Mas Kesempatan untuk berubah! Mas Mohon!" ucapnya berusaha meyakinkanku. Namun sayang, hatiku ini sudah dingin. Mati rasa."Maaf Mas. Aku sudah tak sanggup lagi. Rasa ini juga sudah tak ada lagi untukmu, tertutup rapat oleh rasa sakit yang kamu ciptakan untukku." Aku melihat raut wajah Mas Yudha gelisah. Keringat dingin muncul di pelipisnya. Sepertinya ada yang menjadi beban berat untuknya. Apa se
Pov. IwanAku ulurkan tanganku pada wanita cantik yang kini telah sah menjadi istriku. Wanita yang tutur sapanya begitu lembut serta sabarnya yang tak terbatas. Tangan lembut itu meraih tanganku, mencium punggung tanganku penuh khidmat sebagai penghormatan padaku yang kini telah sah menjadi pemimpin dalam hidupnya. Nahkoda yang membawa kapal yang kami tumpangi untuk berlayar.Wajah bersemu merah malu-malu itu membuat hatiku terpesona. Semua yang hadir mengucapkan Alhamdulillah dan memberikan ucapan selamat pada kami. “Alhamdulillah kalian sudah sah menjadi suami-istri, Nak!” ujar Ibu yang membesarkanku itu dengan haru. Aku menyalaminya dengan penuh rasa sykur dalam hidup karena telah bertemu dengannya yang penuh kasih. Andai aku tak bertemu dengannya, aku tak akan pernah tahu akan jadi apa diriku ini. Entah bagaimana rasa sakit dan kekosongan dalam diriku jika tanpa adanya kasih sayanganya yang mengobati. Ibu memelukku dengan erat, ia menangis dalam pelukanku sambil menepuk punggu
“Eh jaga ucapanmu ya! Jangan samakan kami dengan kalian berdua!” balas Puput tak terima dengan apa yangbak Rini ucapkan. Wajahnya memerah menahan amarah dan rasa malu. Pengunjung toko ini mulai ramai, dan sepertinya pemilik toko ini tampak tak ingin melepaskan mereka berdua sebelum mereka membayar sejumlah uang atas pakaian yang mereka ambil.“Ada apa sih ribut-ribut begini? Ada pencuri?”“Nggak tahu juga, tadi pas kesini juga sudah ramai.”“Ada apaan sih?”“Iya, bikin penasaran aja!” Bisik-bisik Ibu yang berbelanja mulai terdengar membicarakan Puput dan Risma. Bahkan mereka ada yang slah paham hingga mengira Puput dan Risma ketahuan emncuri pakaian di toko itu. “Bukan Ibu-ibu, sini saya bisiskkkan!” ujar Mbak Rini yang mendekat pada kumpulan wanita berbeda usia itu. AKu sampai tercengang melihatnya, entah sejak kapan kakak Iparku itu pergi dariku. Ia sudah seperti seorang biang gosip yang ingin menyampaikan berita terhot dan terpopuler saat ini. “Huhhh … sombong ternyata kere!” s
“Eh eh, main nyomot aja ini maksudnya bagaimana? Itu kan Fitri duluan yang pilih, kenapa main comot aja sih!” sentak Mbak Rini kesal. Aku juga kesal melihatnya.“Loh, baju ini kan belum di bayar, jadi boleh donk dibeli oleh siapa saja. Dan aku suka bajunya jadi aku yang bayar!” jawab Puput dengan santainya. Benar-benar ini orang, sepertinya ia memang sedang mencari masalah denganku. Entah ada dendam apa ia sama aku, suka sekali menyenggolku. “Iya, seperti sanggup beli saja! Mantan babu mana ada uang!” timpal Risma tak kalah mencibirku. Aku sudah tak tahan lagi.“Nggak usah nyindir status pekerjaan ya Mbak Risma yang terhormat. Adik ipar aku memang mantan pembantu, tapi aku rasa masih terhormat di bandingkan mantan biduan tempat karaoke yang menikah dengan suami orang!” ucap Mbak Rini tak kalah pedasnya. Tampaknya ia sudah tak tahan lagi mendengar ucapan Risma yang menjatuhkanku. Bersama Mbak Rini aku berasa bersama dengan kakak kandung perempuanku sendiri. Selalu ada di garda terde
“Kamu kenapa Nduk, berlari seperti dikejar setan gitu?” tanya Mbok dengan raut bingung melihat aku masuk ke dalam rumah tergesa-gesa. Nafasku naik-turun dengan degup jantung yang melompat-lompat. Aku duduk pada kursi panjang dari bamboo yang ada di ruang tamu. Meletakkan plastic gorengan yang aku pegang dan mengambil gelas yang ada pada namapan yang selalu Mbok sediakan di atas meja, menuang air pada cerek yang tebuat dari guci tananh liat itu. Dinginnya air yang masuk ke dalam tenggorokan menyegarkan. Rasa dinginnya mermbat hingga ke ubun-ubun, jantungku yang berpacu kenca perlahan-lahan mulai normal dengan nafas yang mulai teratur.Mbok dudukk di hadapanku, ia masih menugggu jawaban dari mulutku, ras penasaran tergambar jelas di wajah keriputnya itu. “Sebenarnya ada apa? Kamu bikin Mbok cemas saja Nduk?” tanyanya lagi. “Tadi Fitri ketemu sama Mas Hendra MBok. Ia maksa Fitri untuk nikah dengannya, Mbok. Aku kan jadi takut kalau dipaksa seperti itu,” jelasku. Mbok tersenyum tipis
“Ah Teh Wida bisa saja, aku jadi malu. Teteh juga makin cantik,” balasku tersenyum ramah. Aku pun juga tersenyum ramah dengan Mbak Puput. Balasan yang ia berikan membuatku menyesali tindakanku barusan. Sombong sekali istri Mas Indrawan ini.“Mau beli apa, Fit?” tanya Bu Nisa ramah padaku. “Gorengan saja Buk’de. Sepuluh ribu campur, ya!” pintaku. Bu Nisa mengangguk, ia mengambil capit dari stenlis itu lalu mengambikan apa yang aku pinta. Selain gorengan, wanita paruh baya itu juga menjual pecel dan juga mie ayam serba lima ribu. Porsinya cukup untuk mengganjal perut yang lapar walau tidak sampai pada batas mengenyangkan. “Calon istri orang kota yang kaya kok beli gorengan cuma sepuluh ribu. Hemat apa pelit itu mah,” cibir wanita dengan titik hitam di sudut bibirnya tipisnya.“Puput, nggak boleh ngomong gitu! Jangan bikin masalah baru ah!” bisik Mbak Wida menegur Puput. Aku menoleh dan menatap wajahnya. Pandangan mata itu tak hanya sinis, namun syarat akan permusuhan. Aku tak merasa
Pernikahanku akan diadakan bulan depan. Mas Radit membantuku untuk mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahanku ke kantor urusan agama (KUA). Rencananya ijab kabul akan diadakan di rumahku sedangkan acara resepsi akan diadakan di kota. Di sebuah hotel karena Mas Iwan mengundang banyak sanak-saudara serta teman-teman kerjanya. Aku juga sudah mengatakan semua itu pada keluargaku dan mereka semua setuju terutama Mbak Sinta. Walau ia terkadang sering bertentangan denganku, entah kenapa kali ini ia menjadi orang yang paling bersemangat dengan persiapan pernikahanku ini. Saking semangatnya hingga kado-kado dan parsel yang dibawakan Mas Iwan saat acara lamarannya padaku kemarin, semuanya dibuka olehnya. Ia fotokan satu persatu sambil berceloteh mengira-ngira berapa harga barang-barang tersebut layaknya tukang review di televisi. Mbak Rini saja sampai menggelengkan kepala melihat tingkah iparnya yang sedikit aneh itu. Hingga akhirnya ia meminta satu buah tas yang m
Malam harinya Mas Iwan kembali menelponku di kala kebimbangan hati ini kian merajai hati. Bukan bimbang karena hubungan kami, melainkan apa yang akan dilakukan Mas Hendra padaku nantinya. Tentu saja aku gelisah, karena lelaki itu tidak sesimple yang terlihat. Ia lelaki yan menyimpan dendam. “Kamu kenapa Fit? Dari tadi aku ajak bicara kamu lebih banyak diam. Apa ada masalah?” Aku bingung harus menjawab apa atas pertanyaannya itu. Aku tak mungkin menceritakan apa yang terjadi di rumah ini padanya. Apa tanggapannya nanti padaku? “Tidak ada apa-apa Mas, aku hanya sedang ingin mendengarkan suaramu saja. Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin merusak moodku dengan membahas masalah itu kembali. “Tumben manis ucapannya, biasanya kalau dekat menghindar terus dariku,” balas Mas Iwan di seberang sana. Nada suaranya datar, namun dapat membuat hatiku berbunga-bunga. Aku pun tersenyum. Langkah kakiku mendekat pada jendela kamar yan
“Mbak Sinta marah, Mbak. Apa aku yang keterlaluan ya?” tanyaku pada Mbak Rini. Walau bagaimanapun aku tak mau terjadi keributan saat kami kumpul bersama seperti ini. Tak enak sama Mas Wahyu, aku takut Mbak Sinta ngadu yang tidak-tidak pada suaminya itu.“Sudah jangan dipikirkan, memang dasar Sinta saja yang tak punya otak. Asal jeplak saja, barang orang mau tetapi barang ia meditnya bukan main. Lagi pula apa pantas ia meminta hadiah pertunanganmu. Tadi saja ia menghina kamu matre!” kata Mbak Rini penuh dengan kekesalan terhadap Mbak Sinta. Kedua iparku ini sifatnya saling bertolak belakang. 180% berbeda satu sama lain.“Bagaimana kalau ia ngadu yabg tidak-tidak sama Mas Wahyu. Kasihan Mbok, Mbak.”“Sudah, kamu jangan khawatir. Masmu itu cukup bijak untuk menilai mana masalah yang perlu dibesar-besarkan dan mana masalah yang perlu diredam. Lagi pula aku gedek melihat gayanya yang sok kaya itu. Seakan-akan ialah nyonya besarnya. Padahal dari keluarga yang biasa-biasa saja ia. Bukan yan
Jam menunjukkan pukul dua siang. Semua anggota keluarga sudah selesai makan siang. Mas Wahyu beserta anak-istrinya belum diizinkan Mbok untuk pulang. Walau mereka tinggal di kampung sebelah, kesibukan membuat mereka jarang bisa berkunjung di rumah ini.Berbeda dengan Mas Radit yang memang orangnya santai dan jarak rumah juga sangat dekat dengan rumah Mbok. Namun kali ini, Mbok menginginkan anak-anak berkumpul menjadi satu di rumah ini walau hanya sehari. Anak-anak pada main di luar, Mas Radit dan Mas Wahyu memancing di kolam belakang sambil bercerita, mengenang masa kecil mereka. Bahkan saat aku hendak memetik daun singkong di pinggir kolam untuk lalapan makan malam, aku tak sengaja mendengar mereka juga membahas masalah para mantan mereka. Ya … setidaknya tak terdengar oleh Mbak Sinta. Jika tidak mungkin akan terjadi perang dunia ke tiga. “Fit! Fitri!” teriak Mbak Sinta memanggilku. “Iya Mbak, aku di dapur!” jawabku. Aku yang baru masuk ke dalam rumah meletakkan daun singkong mud