Menghadapi teriakan dari Qaila, Afkar membentak dengan suara dingin, "Diam! Mau bunuh atau nggak, kamu nggak berhak merintahin aku!"Mendengar ucapannya, Qaila langsung marah. "Kalau kamu nggak mau bunuh dia, kami nggak akan bayar!"Reno juga ikut menimpali, "Kamu sendiri sudah bilang kamu kerja untuk orang yang membayarmu. Kalau kamu nggak bunuh dia, dia bakal kembali mencelakakan keluarga kami!""Berani nggak bayar? Coba saja!" Afkar memicingkan matanya yang menyiratkan kilatan dingin. Kemudian, dia bertanya sambil tertawa sinis. "Kalau begitu aku nggak mau uangnya lagi, kalian saja yang bunuh sendiri!"Qaila dan Reno langsung ketakutan mendengarnya dan mundur beberapa langkah.Yang benar saja? Jika Afkar tidak peduli lagi, Mateo tetap bisa menghancurkan keluarga mereka meski hanya dengan satu tangan yang tersisa."Ja ... jangan!" seru Reno sambil buru-buru melambaikan tangan.Pada saat ini, Namis tidak lagi memedulikan istri dan anaknya. Dia menatap Mateo dengan ekspresi ragu-ragu d
"Apa? Kamu bilang waktu Cantika putus denganku, dia sudah hamil? Ka ... kamu anakku?" Namish bergegas berlari ke arah Mateo.Mateo menatap Namish yang mendekat dengan tatapan galak. Dia sontak mencekik leher Namish. "Kamu ini manusia sialan! Aku akan membunuhmu!"Matanya Mateo merah dan penuh niat membunuh, seolah-olah dia akan segera mengakhiri hidup Namish. Namun, dia tidak mengambil tindakan selanjutnya.Ekspresinya berubah beberapa kali. Pada akhirnya, Mateo menendang Namish hingga terjatuh dan memekik, "Pergi sana! Aku bukan anakmu! Kamu nggak pantas jadi ayahku!"Namish bangkit, lalu menatap Qaila dengan emosional. "Aku nggak pernah menyuruh orang untuk membunuh Cantika! Nggak pernah! Siapa yang melakukannya? Qaila, beri tahu aku siapa orangnya. Apa itu kamu?"Namish memekik dengan marah dan putus asa. Mata Qaila berkedip beberapa kali. Dia merinding mendengar bentakan Namish. Pada akhirnya, dia menjawab dengan murka, "Ya! Aku! Kenapa? Siapa suruh jalang itu hamil anakmu!""Kalau
Setelah meninggalkan vila Keluarga Manggala, Afkar melihat sosok yang kesepian berjalan di depannya. Lengan kanan sosok itu terkulai lemas.Saat mendengar langkah kaki di belakangnya, Mateo menoleh. Ekspresinya berubah drastis."Kamu datang untuk membunuhku?" Mateo memaksakan diri untuk berwaspada. Dia menatap Afkar dengan marah."Nggak kok!" Afkar menggeleng."Oh ya? Kamu sangat kejam sampai membuatku cacat. Kupikir kamu akan mengejarku untuk membunuhku." Seketika, tatapan Mateo menjadi suram. Ketika memikirkan lengan kanannya yang lumpuh, amarah berkecamuk di hatinya.Afkar mengangkat alisnya karena merasakan emosi Mateo. Kemudian, dia tersenyum dan bertanya, "Apa rencanamu yang selanjutnya? Kamu masih mau menghancurkan keluarga mereka?""Aku nggak punya rencana apa-apa, juga nggak bisa kembali ke sekte lagi. Guruku menganggapku bodoh dan mengusirku. Kalau menghancurkan keluarga mereka, hehe ... apa gunanya ...."Afkar cukup terkejut mendengarnya. Mateo yang kelihatannya berusia 30-a
Setelah menggoyangkan lengannya, Mateo merasa lengannya bukan hanya sembuh, tetapi juga menjadi lebih kekar dan kuat! Ternyata kekuatannya ...."Ini ... aku sudah mencapai tahap revolusi? Bukan cuma sembuh, tapi juga menerobos?" Mateo membelalakkan matanya dengan ekspresi tidak percaya!Detik berikutnya, matanya memerah karena gembira. Air matanya mulai mengalir! Dia menangis karena terharu!"Terima kasih, Pak! Mulai hari ini, kamu adalah guruku! Aku akan menuruti perintahmu!" Mateo tiba-tiba berlutut di hadapan Afkar. Suaranya serak dan emosional.Afkar memanyunkan bibirnya dan merasa geli di dalam hati. Kenapa pria ini cengeng sekali? Dia menyahut, "Aku bukan gurumu. Sebaiknya kamu bekerja untukku!""Tapi ingat, aku bukan cuma bisa meningkatkan kekuatanmu, tapi juga bisa membuatmu cacat lagi! Kalau kamu berkhianat dariku, kamu tahu akibatnya!" Afkar melambaikan tangan dengan serius, lalu memberi peringatan.Usia Mateo lebih tua beberapa tahun darinya. Afkar tidak mungkin menerimanya
Pukul sembilan malam, Afkar tiba di Hotel Royal. Hotel ini milik Fadly dan bukan bagian dari aset Keluarga Safira.Fadly datang bersama dua orang kepercayaannya, yaitu Jarel dan Elang, yang sudah menunggu di depan."Kak Afkar!""Pak Afkar!"Begitu melihat Afkar, mereka langsung serentak menyapa."Gimana hotel ini? Suka nggak?" tanya Fadly yang menghampiri dan merangkul bahu Afkar."Bagus, cukup bagus." Afkar mengangguk."Kalau begitu, hotel ini untukmu! Mulai sekarang, kamu pemiliknya!" Fadly tertawa dan mengayunkan tangannya.Afkar tampak terkejut. "Untukku? Aku nggak mau! Aku nggak punya waktu untuk mengelolanya dan aku juga nggak bisa.""Memangnya aku menyuruhmu mengelolanya sendiri? Untuk apa ada manajer di sini? Kamu cuma perlu duduk dan menunggu uang mengalir!""Aku nggak mau tahu! Kamu harus terima! Kalau nggak ... aku akan bilang ke kakakku kamu diam-diam pergi ke tempat pijat!" ucap Fadly dengan tegas."Dasar berengsek! Kenapa kamu jadi jahat begini?" maki Afkar sambil tertawa
Wanita ini bernama Verica. Dia juga teman sekelas Afkar saat SMA. Sejak dulu, dia memandang rendah Afkar. Atau lebih tepatnya, sebagian besar teman sekelas saat itu meremehkan Afkar.Saat berusia 18 tahun, orang tua Afkar menghilang sehingga sumber keuangan terputus. Untuk membiayai sekolah dan hidupnya, Afkar menjadi pesuruh mereka. Bahkan celana dalam, sepatu kotor, dan kaus kaki beberapa siswa laki-laki pun dicuci olehnya. Hal ini membuat banyak teman sekelas memandang Afkar dengan sebelah mata.Namun, hal ini tidak berlaku untuk Wulan. Saat itu, Wulan tidak merendahkan Afkar dan malah sering membelikannya makanan. Itu sebabnya, ada rumor yang mengatakan Wanda tertarik pada Afkar.Namun, Afkar sangat minder saat itu. Meskipun diam-diam menaksir Wulan, dia sama sekali tidak berani menunjukkannya."Mungkin Jatmiko lupa! Afkar, kita teman sekelas, ikut saja. Sudah lama sekali kita nggak bertemu. Lagian, jarang-jarang bisa kumpul begini!" ajak Wulan dengan antusias. Tatapannya yang inda
"Nggak apa-apa! Aku tentu harus ikut reuni yang diadakan oleh Jatmiko," ucap Afkar sambil menggeleng dan tersenyum.Ketika mendengar itu, Verica tertawa terbahak-bahak. "Ada apa, Afkar? Kamu juga ingin cari muka sama Jatmiko karena dia semakin sukses ya? Pintar juga kamu. Kalau nanti kamu bisa buat Jatmiko senang, mungkin kamu bisa jadi petugas kebersihan di perusahaannya. Lagian, dulu kamu sering kerja kayak gitu. Pasti jago, 'kan? Hahaha ...."Verica berkata dengan nada mengejek dan pada akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tertawa."Hehe, ya. Aku juga ingin lihat seberapa hebat Jatmiko sekarang! Tapi, lihat dari gayamu, sepertinya kamu nggak jauh beda ya? Apa kamu sudah menyenangkannya sampai di tempat tidur?" Afkar mengangguk dan tersenyum.Begitu mendengarnya, Verica langsung marah dan malu. "Persetan kamu! Afkar, sudah beberapa tahun kita nggak bertemu, kenapa pikiranmu jadi jorok begini?"Dalam hati, Verica menggeram, 'Kamu cuma sampah, tapi mau cari muka sama Jatmiko? Mau men
Setelah masuk dan melihat pemandangan ini, Wulan tidak bisa menahan diri untuk mengerutkan dahinya. Dia merasa reuni ini sudah berubah menjadi ajang pamer kekayaan, perbandingan, dan mencari koneksi."Eh, primadona kita sudah datang?" Saat ini, seseorang melihat Wulan dan langsung berteriak.Mata Jatmiko langsung berbinar-binar. Dia menarik tangannya dari tubuh Bilqis dan menghampiri Wulan. "Wulan, akhirnya kamu datang juga! Aku rindu sekali sama kamu!"Ketika mendengar kalimat ambigu itu, Wulan tersenyum tanpa merespons.Saat ini, seseorang melihat Afkar. "Eh? Bukannya itu Afkar? Sekarang dia kerja apa?"Begitu mendengarnya, semua orang langsung memandang ke arah Afkar yang berdiri di belakang Wulan. Ekspresi semua orang tampak berbeda-beda. Dulu, Afkar dikenal sebagai anak miskin di kelasnya sehingga semua orang ingat padanya."Nggak kerja," jawab Afkar dengan wajah datar."Nggak kerja? Berarti pengangguran dong?""Aku punya kaus kaki. Kamu bantu cuci saja. Aku kasih 200 ribu, gimana
"Oke. Aku juga ingin tahu apa yang ingin kamu bicarakan," sahut Afkar.Freya memandang Afkar dengan tatapan agak rumit. Kemudian, dia berjalan di depan.Afkar mendengus, lalu membawa Shafa dengannya. Dia ingin tahu apa yang ingin dilakukan wanita ini.Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sekitar TK Asri, di sebuah kompleks perumahan tua berlantai enam.Entah Freya sengaja menjauh agar tidak menjadi bahan gosip atau karena ada alasan lain."Mau bilang apa? Langsung saja ke intinya," ucap Afkar dengan ekspresi datar. Dia menggenggam tangan Shafa dan berdiri bersama Freya di depan gedung."Afkar, tolong beri aku satu kesempatan lagi ya? Beberapa hari lalu, aku baru sadar aku nggak bisa hidup tanpamu dan Shafa. Aku selalu memikirkan kalian di siang hari dan memimpikan kalian di malam hari."Freya terisak-isak. Matanya berkaca-kaca. Kemudian, dia berjongkok dan hendak meraih tangan Shafa. "Shafa, apa kamu rindu Mama?"Afkar langsung menarik Shafa ke belakangnya dan menegur dengan dingin,
Sore hari saat Afkar pergi menjemput Shafa, dia melihat wali kelas Shafa sudah digantikan oleh seorang guru wanita yang masih muda. Nia yang matre itu seharusnya sudah dipecat.Ketika Afkar membawa Shafa keluar, dia melihat seseorang yang sangat tidak ingin ditemuinya di gerbang."Afkar ...." Sebuah suara yang terdengar penuh dengan perasaan campur aduk mencapai telinga Afkar. "Cucuku, sini peluk Kakek!"Itu adalah Freya, Anita, dan Gordon. Gordon berjongkok sambil menepuk tangannya kepada Shafa untuk menunjukkan kasih sayangnya.Namun, Shafa malah menggenggam tangan Afkar dan mundur sedikit saat melihat mereka. Terutama saat melihat Freya, dia merasa agak takut.Shafa tidak akan melupakan kejadian terakhir saat Freya membawanya ke tempat sepi dan berniat menyerahkannya kepada orang tak dikenal."Shafa, ada apa? Kamu sudah lupa pada kami?" tanya Anita dengan penuh kasih sayang.Afkar menatap pemandangan di depan dengan ekspresi jijik. Dia mendengus, lalu bertanya, "Freya, kamu mau apa
"Hubungi saja aku kalau punya waktu. Kapan-kapan aku perkenalkan istriku kepadamu. Kalian berdua pasti bisa jadi teman baik!" ucap Afkar dengan ramah. Namun, ada sedikit makna tersirat dari ucapannya.Begitu mendengarnya, Wulan termangu sejenak. "Istri? Bukannya ... kamu sudah cerai?""Aku nikah lagi," jawab Afkar sambil tersenyum."Oh." Tatapan Wulan terlihat suram untuk sesaat. Ternyata Afkar sudah menikah lagi. Dia sudah berpikir terlalu jauh. Lagi pula, Afkar sudah sukses. Bagaimana mungkin dia kekurangan wanita?"Ya sudah, nanti aku hubungi," ujar Wulan yang memaksakan senyuman.Afkar memandang Wulan, gadis yang dicintainya dulu. Dia bisa melihat mata Wulan yang agak merah, bahkan merasakan kelelahan pada dirinya."Oke. Kalau ada masalah, kamu boleh hubungi aku kapan saja. Mungkin, aku bisa membantumu," ucap Afkar.Wulan mengangguk dan mengiakan, lalu berpamitan dengan Afkar. Entah dia benar-benar mendengar ucapan Afkar atau tidak.Dua jam kemudian, Bilqis, Verica, dan Jerry akhir
Ketika ketiga orang itu berharap mereka bisa lolos, mereka malah dipanggil Afkar. Bilqis, Verica, dan Jerry pun memucat dan gemetaran."Afkar ... tadi aku cuma bercanda. Kita 'kan teman sekelas. Kamu nggak mungkin menganggap serius perkataanku, 'kan?" ucap Verica dengan terbata-bata."Afkar, sejak awal aku sudah tahu kamu yang akan paling sukses. Sekarang terbukti, 'kan? Bagaimanapun ... aku pernah jadi gurumu ...." Bilqis memaksakan senyuman sambil membujuk Afkar.Orang-orang yang suka menjilat dan membedakan orang berdasarkan status sosial, paling cepat berubah di situasi seperti ini. Bagaimanapun, mereka ketakutan setengah mati dipanggil Afkar."Kalian ... cepat bantu aku bicara!" ujar Bilqis dengan panik. Air matanya hampir berlinang.Sayangnya, tidak ada yang berani berbicara. Bagaimanapun, mereka tidak ingin terlibat. Semuanya fokus melarikan diri.Wajah Bilqis menjadi pucat melihatnya. Tatapannya saat tertuju kepada Afkar pun dipenuhi rasa takut dan cemas."Afkar, aku gurumu. Ka
Jerry tercengang! Bilqis tampak tidak percaya! Verica ternganga ....Ternyata yang dikatakan Afkar memang benar? Hotel ini memang benar miliknya? Selain itu, kakak sepupu Jatmiko yang katanya sangat terkenal di dunia hitam adalah bawahan Afkar? Ini sungguh mengejutkan!Saat ini, Kenil tersenyum minta maaf kepada Afkar. "Apa yang sebenarnya dilakukan adik sepupuku? Beri tahu saja aku. Aku akan memberinya pelajaran.""Hehe, adik sepupumu terlalu ramah. Dia ingin aku mencicipi rasa minuman di sepatunya," sahut Afkar dengan dingin sambil melepaskan rambut Jatmiko."Minuman di sepatunya?" Kenil termangu sejenak sebelum akhirnya memahami apa yang terjadi. Seketika, sudut matanya berkedut.Saat berikutnya, Kenil langsung menyerbu ke arah Jatmiko. Dia mengambil botol anggur di atas meja, lalu menghantam kepala Jatmiko dengan keras."Kamu ini cari mati! Akan kuhabisi kamu! Jatmiko, kamu rasa kamu bisa mengendalikan seluruh Kota Nubes cuma karena punya sedikit uang?""Ayahmu cuma punya beberapa
"Sialan! Afkar, kamu benaran sudah gila! Kamu kira kamu sudah bisa menentang siapa saja karena punya sedikit uang? Riwayatmu akan tamat! Beraninya kamu menyerang Jatmiko!" pekik Jerry sambil memegang wajahnya.Orang lain juga merasa Afkar akan mendapat masalah besar kali ini. Siapa suruh dia bertindak gegabah seperti ini?"Dasar pecundang! Kamu nggak punya otak ya? Kamu nggak pikirin konsekuensinya dulu?" bentak Bilqis."Sekarang kamu merasa puas karena menampar Jatmiko. Tapi, nanti kamu bakal dihabisi oleh keluarganya!" ujar Verica dengan dingin."Sebentar lagi kakak sepupu Jatmiko juga akan sampai. Ajal si miskin ini sudah dekat!" ejek seorang wanita.Meskipun begitu, tidak ada satu pun yang berani menghentikan saat Afkar terus menampar Jatmiko. Bagaimanapun, Afkar terlihat sangat mengerikan!Hanya Wulan yang meraih lengan Afkar dan membujuk, "Sudahlah, jangan sampai dia kenapa-napa. Kamu nggak bisa mengusik keluarganya. Cepat pergi dari sini sebelum terlambat.""Nggak apa-apa," sahu
Setelah mendengarnya, Jatmiko tertegun sejenak. Kemudian, dia membanting gelasnya hingga anggurnya terjatuh ke lantai."Sialan! Berani sekali kamu sok hebat di sini! Kalau kamu masih nggak mau pergi, jilat sepatuku sampai bersih! Setelah itu, aku bakal traktir kamu makan sebagai teman sekelasmu!""Ayo! Dulu waktu sekolah, kamu 'kan paling jago cuci kaos kaki dan sepatu! Itu 'kan keahlianmu! Hahaha!""Kalau performamu bagus, aku juga bisa kasih kamu pekerjaan lho!"Ucapan ini sontak membuat semua orang tertawa terbahak-bahak. Wulan tidak tahan lagi. Dia lantas membentak Jatmiko, "Jatmiko, jangan keterlaluan ya!"Kemudian, Wulan meraih tangan Afkar. "Afkar, kita pergi dari sini! Nggak ada gunanya ikut reuni seperti ini!"Ketika melihat situasi ini, tatapan Jatmiko menjadi sangat suram dan dipenuhi kecemburuan. Sepertinya yang dikatakan Verica benar. Wulan punya perasaan kepada Afkar si miskin ini."Mau ke mana? Cepat, tahan bocah miskin ini! Aku mau pakai wajahnya buat lap sepatu!" Hari
Afkar menatap Jerry dengan dingin. Kini, dia akhirnya tahu seperti apa wajah asli dari orang yang dulunya disebutnya sebagai sahabat!Ketika mendengar ejekan di sekelilingnya, Afkar tetap tidak menunjukkan ekspresi, seolah-olah dia sama sekali tidak terlibat dalam hal ini."Kenapa kalian jahat sekali? Masa mengolok-olok penderitaan orang lain?" Hanya Wulan yang benar-benar membela Afkar.Afkar menariknya sedikit, lalu menggeleng untuk memberi isyarat bahwa tidak perlu berbicara terlalu banyak dengan orang-orang ini.Kini, sudut pandang Afkar berbeda dari orang-orang yang ada di ruangan ini. Seekor naga yang terbang tinggi di langit, tidak akan peduli dengan semut-semut di tanah yang menyebutnya diri sendiri sebagai serangga besar."Sudah cukup tertawanya? Kalau sudah, silakan pergi!" ucap Afkar dengan dingin. Suara Afkar tidak keras, tetapi bisa didengar jelas oleh setiap orang di ruangan itu.Setelah dia mengatakan itu, tawa ejekan kembali terdengar."Pergi? Aku nggak salah dengar? Pe
Setelah masuk dan melihat pemandangan ini, Wulan tidak bisa menahan diri untuk mengerutkan dahinya. Dia merasa reuni ini sudah berubah menjadi ajang pamer kekayaan, perbandingan, dan mencari koneksi."Eh, primadona kita sudah datang?" Saat ini, seseorang melihat Wulan dan langsung berteriak.Mata Jatmiko langsung berbinar-binar. Dia menarik tangannya dari tubuh Bilqis dan menghampiri Wulan. "Wulan, akhirnya kamu datang juga! Aku rindu sekali sama kamu!"Ketika mendengar kalimat ambigu itu, Wulan tersenyum tanpa merespons.Saat ini, seseorang melihat Afkar. "Eh? Bukannya itu Afkar? Sekarang dia kerja apa?"Begitu mendengarnya, semua orang langsung memandang ke arah Afkar yang berdiri di belakang Wulan. Ekspresi semua orang tampak berbeda-beda. Dulu, Afkar dikenal sebagai anak miskin di kelasnya sehingga semua orang ingat padanya."Nggak kerja," jawab Afkar dengan wajah datar."Nggak kerja? Berarti pengangguran dong?""Aku punya kaus kaki. Kamu bantu cuci saja. Aku kasih 200 ribu, gimana