"Aaaaaa! Heh, dibilangin malah diem aja! Ngapain di kamarku enggak pake baju begitu!" Untung saja aku tidak punya riwayat penyakit jantung. Kalau punya, bisa struk lihat begituan. "Aku cuman mau ganti baju," balasnya. "Lagian, auratku ketutup, kok. Dari pusat sampai mata kaki pun tidak kelihatan." Lelaki berlekuk tubuh atletis itu seperti tidak peduli dengan ucapanku. "Ya ngapain harus di situ juga? Kenapa enggak di kamar mandi sana?" Aku yang berdiri di ambang pintu kamar ini masih terus nyerocos. "Cuman ganti kaus saja bisa di mana aja. Lagian juga kamu kan sudah jadi istriku. Terus, Ngapain kamu terus menatapku seperti itu? Penasaran?" "Hah!" Seketika aku langsung sadar. Tak sengaja sejak tadi malah memandangi separuh tubuhnya. Mentang-mentang suspek, gerutuku terus dalam hati. Ish, menyebalkan sekali dia. Belum apa-apa saja sudah buatku naik pitam. Bagaimana nanti? "Aku mau ambil baju sekalian ganti. Bisa enggak kamu keluar?" "Kenapa harus keluar?" Setelah memakai kaus hitam
"Stop, Mas!" Aku melepaskan tangannya yang sejak tadi merangkul. Dia menghela napas panjang. "Maaf kalau kamu enggak nyaman. Tadi itu ibuku.""Udah tau! Sebenarnya Mas ini siapa, sih? Enggak ada angin enggak ada hujan, kenapa papa meminta Mas untuk nikahin aku? Sakit tau, Mas, digituin. Aku punya hak untuk memilih.""Aku Jaya Prasetya, bukannya kamu udah tau namaku?" "Ck, bukan itu. Maksudnya Mas ini siapanya papa? Kenapa mau aja menikahiku tanpa persetujuanku dulu?""Awalnya papamu datang ke rumahku dan bilang kalau kamu itu dekat dengan seorang pria. Papamu khawatir, lantas memintaku untuk menikahimu. Waktu itu kan baru rencana.""Memangnya ada hubungan apa antara papa sama Mas? Terus, kenapa Mas-nya mau aja, sih?" "Papamu teman dekat bapakku. Sebelum bapak meninggal, papamu janji bakal menjodohku denganmu.""Astaga." Mendadak kepalaku sakit. "Kenapa sih, papa begitu. Enggak tau apa kalau anaknya ini sakit banget karena perbuatannya.""Papamu juga yang banyak bantuin keluargaku
Akhirnya, aku pulang dengan pria itu. Dia memboncengku di belakang dengan kecepatan tinggi. Sampai jantungku ingin copot rasanya. Apakah dia marah karena kejadian tadi? "Pelan-pelan aja kenapa, sih? Bahaya tau naik motor kenceng begini," protesku. Sebenarnya aku takut kalau dia mengamuk nanti. Apalagi sudah berkali-kali dia mengingatkanku kalau aku sudah bersuami. Tapi sepertinya pria itu tidak mendengarkan apa pun yang kukatakan. Dia terus melajukan kendaraan roda dua itu dengan kencang. Namun, tiba-tiba mengerem mendadak sampai aku reflek memeluknya. "Heh!" Aku hendak protes lagi, tapi dia memberhentikanku di depan tenda abang-abang nasi goreng. "Turun!" Satu kata saja yang keluar dari mulutnya. Lelaki berjaket hitam itu lantas melepas helm di kepalanya lalu menarikku untuk duduk di dalam tenda itu. "Mas, nasi goreng dua, ya!" "Oke, Mas," jawab penjual nasi goreng itu. "Aku enggak mau nasi goreng!"Dia tidak menjawab saat aku bicara begitu. Melainkan hanya diam dan menunggu p
"Kerja! Ngapain lagi kamu kira?" Dia berdecak. "Ya udah buruan bangun! Masuk ke kamar sana! Jangan di sini!" "Nyuruh doang! Nolongin kagak. Hih, suami macam apa begitu." Aku dan dia bagai kucing dan tikus sekarang. Sejak pertama masuk ke rumah ini, tidak pernah ada kalimat yang terdengar pelan atau lembut. Selalu saja bicara dengan otot tegang. Bagaimana bisa aku bertahan kalau begini. "Hem." Dia mengulurkan tangannya. Saat aku tarik, tapi dia malah ikut terjatuh. Kami sama-sama tercengang, tapi malah saling diam. Bukannya langsung bangun, malah saling tatap-tatapan. Dia tidak seburuk itu ternyata saat kuperhatikan. "Kenapa melihatku begitu?" "Dih, siapa yang melihat Mas? Mas-nya aja yang sengaja ngejatuhin diri, kan! Sengaja cari kesempatan." Aku langsung berdiri sambil mengibas tangan. "Besok kamu libur, kan? Aku mau ajak ke pasar.""Ngapain?" "Kamu pikir aja sendiri ngapain."Pria itu langsung pergi meninggalkanku ke kamar. Ruangan kamar cukup lebar dan juga ranjangnya mema
Aku hanya melihat saja kegiatan pria itu selama di pasar. Duduk di belakang dia yang sibuk berjualan sayuran. Tak jarang dia digoda oleh ibu-ibu yang tengah beli dagangannya. Tapi, Mas Jaya sepertinya sudah kebal. Beberapa kali dia hanya menanggapi dengan senyuman. Aku tahu, dia pasti risih. Terlebih saat sikapnya yang reflek menolak sentuhan dari mereka. "Duh, Mas, udah kayak artis aja. Ganteng-ganteng jualan sayur. Otw belanja terus, nih, saya." Wanita berkerudung biru dengan bibirnya dipoles gincu merah itu sempat menoal lengan Mas Jaya. Aku yang terkejut hanya bisa diam dan heran. Bisa-bisanya, lelaki itu masih sopan saja. Apa dia tidak merasa dil3cehkan? "Dek, kamu haus?" tanya lelaki itu. "Enggak. Cuman bosan. Aku enggak tau apa yang harus aku lakukan.""Coba kamu kiloin itu timun!" "Hah?" Aku mendelik. Kenapa harus timun, sih? Sayuran yang paling aku tidak suka. "Iya. Itu!" Tunjuknya lagi ke depan dengan dagu. "Mas enggak ada yang bantuin apa di sini? Jualan sendirian be
~Wijaya Prasetya~"Sudah dapat senyumannya, cuman belum dapat hatinya aja.""Mas, kamu insinyur?" Kedua mata hazel itu melebar. Dan aku, selalu menikmatinya. Kubiarkan dia terus bicara sampai lelah sendiri. Jujur, sejak pertama melihatnya di rumah sakit itu, aku langsung jatuh hati. Herannya lagi, Allah langsung memberikan jalan dengan takdir yang tak pernah kuduga sebelumnya. Aku menikahinya setelah 40 hari menyebut namanya dalam tahajud. Sebegitu inginnya aku memiliki dia, sampai berambisi dan langsung meminta pada pemiliknya. Ternyata, dia anak sahabat bapak. Yang kerap sekali dulu datang belanja. Hingga akhirnya, sekarang dia menjadi milikku. Setiap gerakan bibirnya, aku tersenyum. Membayangkan, bagaimana kelak aku punya anak darinya. "Mas!" Dia membuatku kaget kali ini. "Hah?" "Aku tanya!""Apa, sih, Dek?""Kamu insinyur? Kamu arsitek?""Ya gitu lah. Kenapa memang?" "Kenapa enggak bilang?""Lah, memangnya kenapa harus bilang?""Ya dari awal aneh aja ka
"Kamu itu kalau ngasih kejutan kenapa kayak gini, Mai? Aku salah apa?" Aku sudah tak bisa menahan air mata saat Dean berkata begitu di depanku langsung. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sampai akhirnya, dia membenciku saat ini. "Aku bisa jelaskan, De. Aku ...." "Halah! Aku kecewa sama kamu, Mai. Aku sudah berkorban banyak buat kamu. Tapi, apa balasan kamu? Malah menikah sama orang lain!" Dia benar-benar marah. Bahkan untuk mendengar penjelasan dariku yang mungkin hanya butuh waktu lima menit saja, dia tidak mau. Dia terlanjur marah dan benci padaku. Saat kusentuh tangannya, dia menghempaskan langsung. "Sekarang, jangan hubungi aku lagi. Anggap saja kita tidak pernah kenal. Dan aku, akan segera pindah dari sini. Kamu tidak perlu menyembunyikan lagi dariku jika pria itu datang." Dia hendak pergi. Lalu aku bergegas bicara lagi. Tentunya dengan nada tinggi agar dia mengerti. "Dean! Kamu hanya salah paham. Kamu harus dengarkan aku dulu!""Lupakan aku, Mai!" pintanya. Setel
"Papa minta maaf kalau sudah buat kamu kecewa, Nak. Tapi, ini semua Papa lakukan semata-mata untuk menyelamatkan kamu.""Iya, Pah. Mai juga sudah menerima ini semua. Ternyata, Mas Jaya orangnya baik.""Alhamdulillah kalau kamu sudah menerima dia. Bagaimana soal kerjaan kamu? Lancar?" "Mai keluar, Pah. Ada sesuatu yang membuat Mai ingin keluar. Sekarang, memutuskan untuk istirahat dulu.""Enggak apa-apa. Yang penting kamu bahagia. Kalau butuh apa-apa, bilang ke Jaya dulu. Kalau dia tidak bisa, cepat telpon Papa!""Iya, Pah. Makasih banyak. Mai sayang Papa, mama. Salam buat mama ya, Pah.""Iya, Sayang."Setelah panggilan diputus, aku terdiam beberapa saat. Hari sudah larut malam, Mas Jaya masih di kamar ibunya. Dia memintaku tidur duluan, katanya. Bicara apa saja sih mereka? Sampai semalam ini. Aku menarik selimut, baru saja menutup diri, mendadak pintu dibuka. Aku langsung bangkit lagi karena kaget. "Kamu belum tidur, Dek?" tanya Mas Jaya sambil tersenyum. Setiap lelaki itu masuk ka
Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir
"Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi
Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,
"Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak
"Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha
"Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A
"Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya
"Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb
"Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja