Share

Bab 63

last update Last Updated: 2025-01-27 21:13:32

"Mbak?"

"Mbak? Hello?"

Pria itu menjentikkan jarinya di depanku karena aku tak sadar sudah menikmati wajah itu dengan diam-diam. Namanya juga sedang rindu suami sendiri, tapi dia bukan suamiku.

"Eh, iya, Mas. Gimana?" tanyaku setelah itu.

"Yee, Mbaknya malah melamun. Ngelamunin apaan sih, Mbak?" Dia terlihat santai sekali. Aku terus menyadarkan diri lagi kalau dia bukan Bang Juna.

"Enggak, Mas. Oh ya, Mas-nya namanya Azzam, kan?"

"Loh, kok tau?"

"Waktu di pesawat kan Masnya bilang sendiri. Saat mama saya juga mengira kalau Mas adalah menantunya."

"Wah, apa semirip itu, Mbak? Ternyata, wajah saya pasaran, ya." Dia tertawa sambil mengusap wajahnya.

Aku membalasnya dengan senyuman.

"Mau pesen minum apa, Mbak? Kita bahas kerja samanya santai aja ya, Mbak. Masih pagi soalnya."

"Iya, Mas."

"Itu anaknya, Mbak? Lagi tidur?" Pria itu menunjuk putriku yang masih kugendong.

"Iya. Habis mandi, biasanya memang tidur."

"Lucu banget." Tatapan mata pria itu mengarah pada Humaira.

Andai di
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 64

    "Nisa ... dia ...." Mama mertuaku tampak tak percaya. Berkali-kali mengusap mata dan tampak tegang urat lehernya. "Iya, Mah. Dia Mas Azzam. Yang Nisa ceritakan. Tapi, sepertinya dia bersama seseorang yang dekat dengannya," balasku dengan dada sedikit kecewa. Entah kenapa. Padahal juga dia bukan Juna. "Benar-benar di luar nalar. Dia itu Juna, Nisa! Mama yakin banget kalau dia itu Juna, suami kamu." Mama tampak memegangi kepalanya sambil gemes-gemes membayangkan pria tadi. "Kalau dia Bang Juna, kenapa dia enggak kenal Mama Papa? Aneh, kan? Masa iya lupa sama orang tua sendiri." Aku jadi kepikiran lagi karena mereka bicara begitu. "Masih jadi misteri. Kalau gitu, Papa akan cari tau soal dia. Ini sangat enggak masuk akal," imbuh papa. Akhirnya, malam itu mobil berhenti di depan rumahku. Mereka hanya mengantarkan sampai depan rumah. Selepasnya, aku melambai dan masuk ke dalam setelah mobil tiada. Kutidurkan Humaira di atas ranjang, lalu aku ganti baju dengan piyama tidur. Karena tak

    Last Updated : 2025-01-27
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 65

    Saat pria itu hampir sampai pada kami, tiba-tiba dia ambruk lagi. Sampai kopiah yang ada di kepalanya pun terlepas, jatuh tak jauh darinya. "Mas Azzam!" Sontak lisanku menyebut namanya. Semua orang pun seperti hendak mendekatinya. Namun, pihak kedua mempelai langsung mengangkat pria itu dan membawanya ke dalam mobil. Tak hanya diam saja, kamu pun buru-buru mengikuti mereka membawa ke mana pria itu pergi. Dan ternyata, mobil mengarah ke rumah sakit. Tubuh Mas Azzam pun diletakkan pada ranjang datar, dibantu oleh perawat membawanya ke dalam. Kami pun lekas mengikutinya. Ternyata, langsung masuk ke ruangan IGD dan kami diminta untuk menunggu di luar. Sesaat keadaan mulai tenang, kami semua menghela napas panjang sambil harap-harap cemas. Mana Humaira mulai rewel, aku pun mencoba membujuknya dan mencari kursi paling belakang untuk menidurkannya. Saat tengah mengasi, tiba-tiba pria yang dipanggil bapak oleh Mas Azzam itu menghampiri papa mertuaku. Pria itu menunduk pilu. Sambil melepa

    Last Updated : 2025-01-27
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 66

    "Yank, Abang peluk dong!" Aku melihat Nisa lagi setelah rasanya lama sekali aku tidur. "Abaaaang!" Nisa memelukku dengan air mata yang berderai. Entah apa yang sudah terjadi, sampai rasanya kepalaku begitu berat dan kedua orang tuaku ada di sini menatapku dengan wajah sendu. "Kangen." Aku membisik sambil memeluk dan merasakan aroma tubuhnya yang sudah lama tidak kuhirup. "Alhamdulillah, Abang sudah ingat sama Nisa? Abang udah kembali? Ini beneran Abang?" Nisa menepuk pipiku malahan. "Aduh, sakit, Yank." Padahal tidak sakit, biar saja aku bilang sakit. Biar dia makin perhatian. "Maaf ya, Bang. Nisa saking bahagianya soalnya. Abang akhirnya kembali juga." Dia kembali memelukku. "Jangan peluk doang, cium juga, kek." Mereka semua tertawa saat aku bilang begitu. Entah di mana lucunya. Yang penting, aku dapat kecupan dari Nisa. Tak peduli di depan kedua orang tua pun. Andai aku sudah kuat, kuhujani dia dengan kecupan. Awas saja nanti di rumah. Mereka semua mulai bercerita soal dirik

    Last Updated : 2025-01-28
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 67

    "Bang, aku lagi enggak bisa. Lagi halangan," kata Nisa malam itu. Padahal aku sudah siap-siap. Sudah menidurkan Humaira, sudah menutup pintu utama, pintu kamar dan mematikan lampu. Tapi, ternyata dia sedang tidak bisa kuajak berbagi cinta. Aku pun menghela napas panjang, lalu merebahkan diri di sebelahnya. "Maaf ya, Bang. Maaf banget," ucapnya saat itu. Sambil mengusap dadaku. Mungkin maksud dia biar aku bisa sabar. Tapi, malah makin panas rasanya. AC di ruangan ini kuturunkan lagi suhunya. Jantungku makin berdegup kencang saja ketika dia memelukku. "Iya, enggak apa-apa," balasku. Padahal sebenarnya apa-apa. "Gimana kalau kita cerita saja? Selama Abang lupa dengan kami semua, Abang ingatnya siapa aja?"Aku tidak dengar apa yang dia katakan itu karena fokusku pada meredam keinginan dalam dada ini. Aku berusaha menghalau nafsu yang diridhoi ini, daripada nanti dilanjutkan malah khilaf dan bikin masalah. "Abang! Eh, kenapa malah melamun begitu?" "Eng ... enggak ada. Abang cuman ..

    Last Updated : 2025-01-28
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 68

    Dia membawaku ke sebuah tempat yang di mana di tempat itu terdapat banyak sekali perhiasan mewah. Dari berbagai model dan ukuran. "Pilihlah apa yang kamu mau!" katanya sambil terus menggenggam tanganku. "Bang, aku sudah punya kamu. Enggak perlu perhiasan begini," balasku setelah hanya aku dan dia saat itu yang pergi berdua. "Ini hanya sedikit hadiah anniversary kita, Sayang. Ada kejutan lain yang masih menunggu di rumah.""Hah? Di rumah?" Aku kaget mendengarnya. Tadi dia tidak bilang apa-apa. "Mama kuminta tolong untuk mempersiapkan. Sekarang, kita cari berlian." Dan kamu pun, dihadapkan dengan beberapa pilihan. Sulit untukku memilih diantara permata indah itu. Tapi, Bang Juna memaksa. Kalau tidak, katanya dia bakal marah. Terdengar konyol tapi aku suka gayanya. "Gimana kalau ini?" Bang Juna menunjuk salah satu di dalam etalase itu. "Bagus. Pasti mahal." "Buatku, yang mahal itu kamu." Aku tertawa mendengarnya. Sampai pegawai toko perhiasan mewah itu tersenyum melihat kami. "R

    Last Updated : 2025-01-28
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 69

    "Ada apa sih, Ma?" tanyaku pada mama setelah Tante Maya pergi. "Biasa, dulu ngajak besanan. Sekarang ngajak belanja bareng. Katanya Revan mau nikah lagi. Tapi kali ini gadis baik-baik insyaallah," balas mama sambil mengaduk minuman hangat pagi itu. "Ooohhh ...." Aku manggut-manggut. "Mana Humaira? Masa mertuamu dari tadi enggak keluar kamar?" Mama melirik ke arah kamar yang masih tertutup itu. "Ada, kok. Suaranya rame. Tawa Humaira sampai terdengar tadi pas Nisa lewat.""Ya udah, kalau begitu berikan minuman ini pada mereka. Ajak sarapan juga!" kata mama lagi. Aku mengangguk lalu membawa dua cangkir teh hijau itu ke kamar mertuaku. Setelah kuketuk, mereka langsung mengizinkan masuk. Kuminta mereka untuk menikmatinya. "Mah, biarkan Humaira mandi dulu sama Nisa, ya. Mama sama papa sarapan dulu! Udah ditunggu di meja makan," kataku. "Oke, Sayang. Kami akan ke sana nanti," balas mama Aida. Kugendong Humaira ke kamar. Menyiapkan air hangat, lalu memandikannya. Sebentar lagi dia jug

    Last Updated : 2025-01-28
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 70

    Aku terdiam sambil melihat benda kecil di tangan itu. Debaran jantung sudah tak mampu kuatur, gelisah, khawatir dan semuanya campur aduk. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya terlihat juga garis merah itu. Benar apa dugaan mama. Dia garis merah muncul dengan jelas. Saat kuingat-ingat, ternyata aku sudah telat hampir dua bulan. Karena terlalu memikirkan Humaira yang suka rewel tiba-tiba, aku sampai lupa kalau sudah telat datang bulan. Kubuka pintu kamar mandi dengan wajah tertunduk. Kulihat juga wajah suaminya meminta penjelasan. Dia rela menunggu demi bisa melihat hasilnya. "Gimana, Sayang?" Kedua tanganku dia genggam. Lantas, kuberikan benda itu padanya. Bang Juna yang sudah memakai seragam putih itu tercengang melihatnya. "Maasyaallah. Alhamdulillah, kamu hamil lagi?" Dia terlihat bahagia sekali. Tubuhku dia angkat ke udara sambil berputar. "Kamu harus makan yang banyak habis ini. Badan lebih ringan rasanya.""Ih, masa sih? Bukannya bagus? Aku dengar itu laki-laki di luar s

    Last Updated : 2025-01-28
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 71 Wijaya Prasetya

    ~Wijaya Prasetya~"Saya terima nikah dan kawainnya Humaira binti Junaid dengan mas kawin tersebut, tunai!" Ucap seorang lelaki di hadapan papa saat aku baru saja pulang dari rumah sakit. Buku di tangan seketika terjatuh. Aku yang baru saja sampai, kini berdiri di ambang pintu pun langsung tercengang. Siapa yang menikah? Tidak mungkin adikku, kan? Dia kan laki-laki. Atau, ada yang numpang nikahan di sini? Tapi, bukannya barusan yang disebut itu namaku?"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya seorang pria lain yang duduk bersebelahan dengan papa itu. "Sah.""Sah.""Sah. Alhamdulillah," serentak mereka mengucapkan hamdalah. Gemetar tanganku sampai berair saat melihat mama juga duduk di sana. Wajah mereka semua berseri setelah itu mengangkat tangan untuk berdoa. Aku merasakan sentuhan dari belakang. Dan, ternyata oma yang setelah itu mengajakku maju ke depan. "Ayo, Sayang!" "Oma, ini ada apa? Mai aja baru pulang.""Diamlah! Ikuti saja apa kata papa dan mama kamu!" "Tapi, Oma ...."Aku ta

    Last Updated : 2025-01-30

Latest chapter

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 99

    "Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 98

    "Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 97

    "Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 96

    "Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status