Malam itu, kami semua memutuskan untuk menikmati jamuan makanan mewah di hotel yang belum lama resmi itu. Ada sebuah ruangan out door khusus untuk restorannya. Terdengar riuh ombak di depan sana, dengan gemerlap lampu di sepanjang jalananannya. Kami semua sudah duduk dan menghadap hidangan menu laut dengan perasaan tak sabar ingin mencicipi. "Makasih ya, Bang. Aku enggak tau lagi bagaimana caranya mengungkapkan." Aku menyentuh tangan berotot yang ada di atas meja itu. "Tunggu, Sayang! Masih ada kejutan lainnya. Semoga kamu bahagia menjadi istriku." Dia mulai menyuapiku dengan tangannya sendiri. Ketika yang lain sibuk dengan cucu mereka, aku dan Bang Juna terus fokus membuat hatiku meleleh. Kenapa tidak sejak dulu saja aku dekat dengannya. "Busui harus makan yang banyak. Jangan sampai kelaparan," ucapnya lagi sambil tertawa. Lelaki berkemeja putih itu sampai tak sempat makan untuk dirinya sendiri. Namun, sebagai istri akun tidak akan lupa diri. Aku menyuapinya ganti. "Eh, pedes,
Selesai pertemuan dengan petinggi maskapai, aku bergegas ingin segera pulang. Setelah berpamitan pada mereka, aku pun keluar dari ruangan meeting dalam gedung yang berseberangan dengan hotel tempat Nisa dan rombongan menginap. Saat melewati sebuah toko kue dan roti, aku jadi teringat istriku. Dia harus makan banyak. Kubeli beberapa bungkus roti dan cake all varian karena dia suka makan berbagai rasa. Tak hanya itu, olahan susu juga kubeli. Setelah itu aku keluar dari gedung tadi, dan hendak menyeberang. Namun, mataku tak sengaja melihat sekelebat sosok seperti Vania. Entah aku yang salah lihat atau memang benar Vania tadi. Dia terlihat masuk ke dalam hotel lalu menghilang. Dan aku pun, langsung menyeberang. Tiba masuk ke dalam lift untuk naik ke atas, tiba-tiba benar saja wanita yang dahulu dijodohkan denganku itu muncul laku masuk. Dia menatapku. "Mas ....""Vania ... kamu sama siapa?" tanyaku. "Aku ... aku sama Mas Revan dan mertuaku. Apa kabarmu?" Aku yang baru saja menekan to
"Yank!" Aku menggoyangkan pundak Nisa ketika dia sudah miring ke kanan karena menidurkan anak kami. "Yank, tidur ya? Abang enggak bisa tidur, nih." Ah, rupanya sudah tidur dia. Kulepaskan kaus yang sejak tadi kupakai dan hanya mengenakan celana selutut saja. Tumben, AC sudah nyala tapi kulit malah berkeringat terus. Nisa bergerak, dia mengubah posisinya. Dan aku pun langsung memeluknya. "Sayang, ngantuk ya?""Hem." Nisa membalas sekenanya. "Bisa enggak, temenin Abang sebentar? Abang enggak bisa tidur. Tadi minum kopi.""Merem aja, Bang!" kata Nisa sambil memejamkan matanya. Sudah kuganggu dia berkali-kali agar bangun menemaniku. Namun, Nisa tetap memejamkan mata. Sampai kupancing juga, dia tetap diam. Mungkin sakit lelahnya seharian banyak aktivitas. Biarlah dia tidur. Aku bangkit lagi, lalu membuka laptop. Ternyata, besok aku harus kembali ke Jakarta. Ada revisi skedul jadwal penerbangan yang mengharuskan aku kembali masuk. "Abang!" Nisa bangun rupanya. "Iya, Sayang. Kamu ba
Maju mundur aku memegang alat tes kehamilan itu untuk mengeceknya di kamar mandi. Khawatir hasilnya positif dan aku tidak sial akan hal itu. Belum selesai rasanya rasa sakit yang sempat kurasakan. Tapi, jika tidak mengeceknya, aku bakal terus penasaran dan susah tidur. Aku bakal kena tekanan dara4h rendah lagi. Ini saja kepalaku rasanya berat sebelah. Ditambah Humaira rewel. Akhirnya, kutidurkan bayi kecil itu lagi. Begitu dia terlelap, aku langsung pergi ke kamar mandi dengan tak bersemangat. Detik-detik pertama, aku tak berani menatap benda yang berjalan ke atas Itu. Entah sudah menit ke berapa, akhirnya kuberanikan diri untuk melihat hasilnya. Dan ....Kedua mataku melotot. Entah perasaan apa yang kini menyergap dadaku. Panas dingin kembali mencuat, melapisi kulit. Aku kembali ke tempat tidur dan meringkuk di sana. Kutekan kontak ponsel suamiku yang sedang bertugas. "Tuuuut." Karena tak tersambung, mungkin juga dia sedang berada di atas awan, akhirnya aku mengirim pesan saja.
"Mah, itu Bang Juna." Aku berharap memang benar yang datang Bang Juna. "Iya, Nak. Tunggu saja mereka masuk. Semoga papa datang bersama Juna."Setelah pintu terlihat ada dorongan dari luar, aku dan mama lantas berdiri. Pertama yang kulihat adalah sosok tampanku datang bersama peluh yang membuat wajahnya sedikit berminyak. Aku langsung berjalan mendekat laku memeluknya. Bang Juna menyambut dengan pelukan yang sama. "Maafin Abang, Sayang. Abang telat sedikit.""Abang kenapa ada di kantor polisi?" Aku sudah tak bisa menahan air mata ini. "Lebih baik ajak Juna ke kamar, Nak! Biar sekalian istirahat. Atau bahasnya besok saja. Dia pasti lelah," kata papa. "Iya, Pah." Langsung aku mengikuti apa kata papa. Kubawa Humaira ke kamar juga. Setelah itu pintu kututup lagi. Saking rindunya, aku terus memeluk pria itu. Dia belum sempat melepas seragam putihnya. Kami sama-sama dirundung rasa rindu yang begitu hebat. Seakan tak pernah bertemu satu tahun lamanya. "Maafkan Abang, Sayang. Abang ada u
"Apa yang kamu inginkan lagi, Vania? Aku sudah berusaha menjadi teman yang baik dan menganggapmu sudah berubah. Tapi, apa balasanmu?" Aku duduk berhadapan dengan Vania di sebuah restoran dekat rumah. Karena mama tidak mengizinkanku jauh-jauh. Mama juga menungguku di mobil. "Aku minta izin sama kamu buat ...." Dia terlalu bertele-tele. Sekarang juga sudah lepas hijab lagi. Sangat disayangkan. Bagaimana Revan tidak murka kalau dia sudah berusaha jadi suami yang baik tapi istrinya sendiri yang jadi ujiannya lagi. "Kenapa berhenti? Lanjutkan saja!" kataku lagi. "Tapi kamu jangan marah, ya. Aku hanya minta izin dan minta belas kasihan darimu saja." Aku makin malas sampai di sini. Dia terlalu basa-basi. "Aku mau kamu izinkan Juna buat nikahin aku. Aku hanya punya dia.""Punya dia? Memangnya dia mau sama kamu? Kepedean banget kamu, Vania. Aku kira kamu bisa jadi teman yang baik. Tapi nyatanya malah begini. Dia suamiku. Dan sampai kapan pun dia akan tetap beristri 1.""Tapi enggak ada la
"Nisa, sudah waktunya kami kembali, Sayang. Rumah sana kosong terus. Mama sama papa mau bersih-bersih di sana," ucap mama Ayu saat aku tengah santai di kamar mereka. Sementara papa sedang berduaan dengan cucunya sambil menonton televisi di kamar ini juga. "Nanti kalau Bang Juna kerja, Nisa sama siapa, Ma? Kenapa enggak di sini aja, sih? Kan Nisa jadi enggak ada temen ngobrol." Aku jadi merasa kehilangan kalau mereka mau pulang. "Kamu harus belajar dewasa, Nak! Kami tidak enak sama Juna karena kelamaan di sini. Humaira juga sudah bisa ditinggal-tinggal, kan. Kamu taruh aja dia di keranjang bayinya kalau mau ke kamar mandi." Aku tahu apa maksud mama itu. Mereka ingin aku mandiri. Dan, menghargai mereka juga menghargai Juna sebagai kepala rumah tangga. Tak ingin juga ke depannya ada salah paham atau apa karena memang kalau sudah berkeluarga, harus pisah dengan mereka. "Ya udah," balasku lagi. Siang itu mereka berpamitan. Kebetulan memang sudah ada pembantu juga sekarang. Pembantu p
Aku memang tidak bilang sama mama kalau akan liburan bersama Bang Juna. Tapi, perjalanan yang sudah direncanakan itu akhirnya batal karena anak kami sakit. Tapi, bukan itu inti masalahnya. Melainkan, sudah seperti isyarat untuk kami yang ditinggalkannya. Kedua orang tuaku datang bersama besannya. Mereka sama-sama memintaku untuk sabar selama kabar itu belum benar-benar terbukti kalau Bang Juna ikut tenggelam bersama cintanya. "Kamu harus tenang dulu, Sayang! Papa dan mertua kamu akan memastikan sendiri. Mereka akan ke sana," ujar mama Ayu saat itu. Aku terkulai lemas dan tak kuasa menjawab. Sementara Humaira kami titipkan pada seorang suster dadakan karena keadaan kami yang tidak memungkinkan untuk mengurusnya. Malam ini, bayi mungil yang masih kurang sehat itu tidur di kamar bersama pengasuh sementara. Sedangkan aku, bersama mama Ayu di kamar utama. "Sudahlah, tidur dulu, Nak! Kita tunggu kabar terbaru dari mereka." Mendengar mama bilang begitu, aku kembali menitikkan air mata.
Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir
"Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi
Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,
"Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak
"Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha
"Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A
"Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya
"Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb
"Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja