“Ibu Inggit sudah dibunuh orang.” Inggit langsung terisak. Lalu, Bu Rohaya mendengarkan semua cerita Inggit, sambil mencoba menenangkan.Inggit sangat terhenyak, berarti saat berkunjung tempo lalu, sebelum kejadian gancet Arya dan Anya. Itu hari terakhir dirinya bertemu dengan orang tuanya. Kesedihan sangat kentara, membuat Bu Rohaya mencoba menenangkan Inggit, dan menawarkan untuk makan. Namun, Inggit menolaknya. Ia sudah hilang selera. Bu Rohaya lantas meninggalkan untuk Inggit kembali istirahat. Ia juga berkata ingin menengok Arya di kamar sebelah. Di tengah tangisnya, tubuh Inggit tiba-tiba ambruk pingsan. Keadaan yang tidak dapat ia panggul sendiri, ditambah masalah yang terus dihadapi, membuat kondisi tubuh Inggit melemah. Bu Rohaya segera membawa Inggit ke rumah sakit. Dia khawatir terjadi sesuatu dengan tetangganya. Mereka ke rumah sakit dengan bantuan beberapa tetangga. Sesampainya di rumah sakit, beberapa tetangga, dan peraw
“Iya, Bu semoga saja. Tapi, aku yakin Mbok Ratih tidak berniat jahat, katanya juga Mas Heru, sudah pernah menangani kasus seperti ini.”“Alhamdulillah, semoga ini jawaban atas doa kamu. Semoga saja Arya beneran berubah setelah semua ini terjadi.”Setelahnya sedikit membaik tubuh Inggit, ia mencoba keluar kamat untuk menengok suaminya. Kedatangan Inggit disambut dengan tatapan mereka yang penuh penyesalan. Keduanya sama-sama mengutarakan kata maaf. “Maap, dek, sekali lagi Mas minta maaf.”“Anya juga, Mbak ... maap,” timpal Anya. Hal itu membuat Inggit tak kuasa menahan haru. Memang ia terasa sakit hati. Namun, tak pantas rasanya bila mengacuhkan mereka, dan menuntut kesalahan mereka terus menerus. “Sayang, kapan ruqyah itu dilakukan? Semoga Mas bisa lepas, dan kita bisa bersama lagi, seperti dulu,” kata Arya. “Nanti malam, Mas,” balas Inggit, ia lantas keluar kamar. Bagaimanapun ia harus mele
“Celaka apa? Kenapa?” sahut Inggit. Agam bag mikir, lalu berkata, “Begini, aku baru ingat....” “Keluarganya Arya dan Anya?” dokter itu celingak-celinguk. Memotong ucapan Agam. Lalu, Inggit mendekat, dan dokter menjelaskan setelah penanganannya. Ternyata mereka hanya pingsan biasa dan tubuh mereka kekurangan tenaga. Dokter menyarankan untuk dirawat secara intensif dulu di rumah sakit sampai kondisi sedikit pulih. Karena badan mereka juga lemas akibat masalah psikis dan badan lemas. Sekarang juga Inggit untuk memberitahukan keluarga Anya agar kiranya mereka datang untuk menjenguk. Tanpa terasa hari berlalu. Esok harinya keluarga Anya datang untuk menjenguk. Yang ditakutkan Inggit terjadi. Yaps, kekacauan antara keluarga Anya dan Anya. Kemudian, Arya sempat menanyakan keberadaan ponselnya. Inggit jelas bingung menjawabnya, karena ponsel itu masih berada di tangan Agam. Untung saja, Inggit berdalih bahwa ponsel Arya hilang, di saat kejadian gancet itu pertama kali. “Haduw, aku panik
Arya menelan ludahnya saat Bu Rohaya duduk tepat di sampingnya sehingga membuatnya semakin terpancing dengan aura Ibu montok ini. Terlebih ketika melihat dua buah dadanya yang lumayan besar, dan jelas sangat kenyal karena suaminya juga jarang pulang. Kulitnya juga tampak bersih, sungguh Arya ingin menggerakkan jeli itu dengan kedua tangannya. “Nak, kamu baik-baik saja kan?” “Iy-iya, Bu.” Arya membenarkan posisi duduknya. “Kenapa Nak?” Bu Rohaya melihat celana Arya yang mengembung. Nalurinya berbicara ada yang tidak beres dengan Arya. “Dah malam, apa nak Inggit gak mencari kamu?” “Enggak kok, Bu. Kan sudah aku bilang, Inggit sekarang di sentuh aja sudah gak mau.” “Duh, kasian juga kamu, Nak ... duh, Ibu bingung juga dengan masalah kamu.” “Ibu bisa bantu aku, Bu ... pliss.” “Bantu apa, Nak?” “Tapi janji jangan bilang kepada siapa pun, Bu?” “Iya, bantu apa?” “Bantu aku menyalurkan hasrat ini, Bu ... aku mohon.” Bu Rohaya langsung melotot ketika mendengar ucapan Arya. Kumat bel
“Tidak, Nak.” “Atau Ibu mau aku bunuh! Seperti yang akan Inggit alami.” Arya mulai kasar, karena diliputi rasa gairahnya. Arya dengan paksa meloloskan pakaian yang dikenakan Bu Rohaya, sehingga payudaranya terpampang jelas. “Jangan munafik, Bu. Hmm, payudara Ibu ternyata masih kencang, ini efek jarang disentuh, bodoh banget suami Ibu.” Bu Rohaya memberontak. Arya tak memedulikan, ia meremet, dan memainkan kedua buah dada itu secara bersamaan sehingga membuat pemiliknya mendesah. “Ah, Nak.” “Nyusu boleh, kan. Iya boleh lah, masa enggak!” “Jangan, Nak.” Arya pun langsung menghisap puting payudara milik Bu Rohaya. Sambil meremas. “Sudah, Nak! Nanti Ibu laporkan kamu!” “Lapor saja! Setelah ini aku akan membunuh Ibu, lalu Inggit, seperti rencanaku sebelumnya!” Setelah itu, Arya yang sudah tak kuat menahan hasrat gilanya. Menghisap kuat pucuk buah dada itu secara bergantian. Bahkan sempat menggigit karena gemes, membuat Bu R
Inggit terkesiap saat merasakan jemari Arya yang mengoyak bagian intimnya dengan penuh nafsu dan buas. Detik itu juga Inggit merasakan rasa perih karena Arya menggerakkan itu tanpa rasa sayang. Arya menggerakkan jemari tengahnya dengan seenaknya. “Cukup, Mas,” pekik Inggit sembari mendorong tubuh Arya dengan sekuat tenaga. Namun, Arya hanya terdorong. Tangannya masih bergerak memberikan rasa sakit yang menyambar dari bagian intim yang dimainkan kasar oleh Arya. “Ingat tugas seorang istri, sayang?!” seru Arya yang terpicu rasa kesalnya karena mendapatkan penolakan dari Inggit. Arya dengan cepat menangkap tangan Inggit dan menahannya dengan tangannya di atas kepala Inggit, sedangkan tangan lainnya terus bergerak keluar masuk di bagian inti Inggit. Inggit menjerit keras saat merasakan gigitan di bagian puting yang masih terbalut piyama. Harapan Arya hal ini memicu Inggit terangsang akan tetapi yang Inggit rasakan hanya rasa sakit yang menghanta
“Kalau gak mau ke rumah sakit, Mas pergi dulu, ya!” potong Arya. Ia sudah rapi. Bersiap untuk keluar mengurus berkas dan menghubungi rekan kerjanya. Rekan yang bertugas membunuh Bu Rohaya. Kenapa wanita itu bisa lepas!Dan belum mati! Tak lama setelah mobil Arya pergi, Mbok Ratih bangkit dan mengambil P3K lalu melihat luka Bu Rohaya. Meski ada rasa pusing, tapi ini demi kemanusian Mbok Ratih dengan berani mencoba memeriksa. Setelah itu ia tidak bersuara. Barulah setelah lima belas menit, pamit untuk meletakkan kembali P3K. Saat Mbok Ratih berdiri, Inggit melihat wajah dan tubuh Bu Rohaya yang sudah diberi obat dan perban. “Pe-pembunuh.” Bu Rohaya mengutarakannya dengan terbata-bata. “Siapa, Bu?” Inggit bingung maksud dari ucapan tersebut. Bu Rohaya seperti ingin menyampaikan sesuatu, tetapi Inggit cegah. Sepertinya Bu Rohaya berbicara lantur. “Bu, Inggit mohon jangan banyak bi
Samar-samar terdengar percakapan dua orang wanita, membuat Inggit mengerjapkan mata. Kepalanya terasa sakit. “Syukurlah, dia sudah sadar.”“Apa bener, Bu?”“Iya, Den ... tadi Ibu lihat ia mulai membuka mata.”Inggit perlahan memandang orang yang berjalan ke arahnya. Lalu, ia rasakan sentuhan di dahi serta anggota tubuh yang lain.“Nduk sudah siuman?” tanya orang yang sangat asing menurut Inggit. Inggit belum menjawab karena ia terfokus dengan seorang lelaki gagah yang berjalan ke arahnya. Lelaki itu lantas duduk di pojok ranjang. “Ini di mana?”“Ini di rumah, Ibu,” balas Ibu paruh baya. “Mbak ditemukan saat Ibu Sari mencuci baju di sungai,” sambung si lelaki muda. Inggit tercengang. “Astaghfirullah.”“Untung bisa selamat, Mbak udah dua hari pingsan.”“Apa benar selama itu, Bu?”Ibu itu hanya tersenyum. “Iya, Nak, yang terpenting sekarang kamu harus sehat ya.”Inggit mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Ia hanya
Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan
Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni
“Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi
Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende
“Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya. “Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan. “Inggit....”“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”“Inggit, maksud Mas bu....”“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.
Inggit terdiam. Sendoknya yang sudah nyaris sampai ke mulut kembali turun. “Iya, Bu ... terima kasih sudah mengingatkan,” balas Inggit dengan raut muram. “Bagaimana dengan tujuanmu yang kemarin?”“Aku tidak akan berubah pikiran, aku akan tetap untuk ke kota kelak ... bila waktunya sudah tiba,” balas Inggit. “Nak, jangan sampai menceritakan masa lalu kamu dengan siapapun? Dan jangan bertindak ceroboh, kasihan Pak Djarot bila tau semua ini....”Suara deretan langkah di lantai, membuat Inggit dan Bu Sari langsung terdiam. “Pak Djarot,” bisik Bu Sari. Ia lalu berbalik dan melihat Pak Djarot baru menyibak tirai pintu. “Pak, rendangnya sudah masak. Sudah saya pisah buat Bapak.” Bu Sari berdiri menuju lemari mengambil piring yang sudah dipisah. Matanya melebar ketika Pak Djarot duduk di kursi dan melipat tangannya memandang Inggit. Inggit terdiam. Pak Djarot sekarang duduk berhadapan dengan tatapan yang resah. Inggit mel
Inggit mengernyit dahi. Ia mengenali mimik wajah Denny yang sudah mulai mesum. Lidahnya pun keluar membasahi setiap sudut bibirnya yang terasa kering. “Hallo, Bu ... aku lagi sibuk, maaf ... duh sinyal juga jelek ... gak kuat sinyalnya. Sebentar aku cari sinyal dulu.” Denny tetap meletakkan ponselnya di pipi dan melangkah menuju pintu. “Mas aku jadi makan di sini aja, deng! Tolong ambilin ya, aku masih lemas banget nih,” unar Inggit memelas. Seraya melemparkan tatapan memohon. Denny berhenti dengan tangan sudah berada di knop pintu. Satu tangan lagi melihat layar ponsel yang masih tersambung. “Tadi katanya—““Duh, aku lemes banget Mas.” Inggit menarik selimut dan meringkuk. “Sebentar, ya.” Denny menggeser ponselnya sedikit jauh, supaya Bu Patmi tidak terlalu jelas terdengar percakapannya. “Lapar Mas, dingin.” Inggit mengeluarkan nada seperti orang yang kedinginan. Bergetar. Inggit merasa D
Terdengar suara pintu terbuka. “Aku kira udah selesai,” kata Denny. “Cepet buat teh buat istri kamu,” perintah tukang urut. Inggit sibuk menarik sarung yang sudah melorot untuk menutup bagian dadanya. Tak lama kemudian, Inggit dikerok oleh mbah urut, dan Denny datang dengan segelas teh hangat. Inggit melirik Denny yang meletakkan teh di sebelahnya. Mata Denny berkedip nakal pada Inggit sesaat Mbah urut berkata, “Den, liat punggung istrimu merah semua.” “Iya, Mbah, biar nanti aku oles dengan minyak angin nanti malam.” Denny menatap pemandangan punggung Inggit. Denny lelaki biasa, melihat itu membuat darahnya berdesir, hangat. “Kalau gitu, aku keluar dulu ya, Mbah,” pamit Denny. Inggit hanya terdiam pasrah, sesaat tubuhnya menjadi pemandangan untuk Denny. Sepulang tukang urut, Denny menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Inggit, berharap wanita itu berselera makan. “Aku masuk, kamu udah pakai baju belum,” seru Denny di depan pint
“Apa iya, Den?” tanya Mbah urut memecahkan pikiran Denny yang termenung. Denny menggelengkan kepala seakan menolak keluar kamar. “Tuh, suami kamu katanya tidak sibuk.”“Kata Pak Djarot kamu di suruh belah kayu,” tegas Inggit sembari membenarkan sarung yang membalut tubuhnya. Wanita paruh baya itu menatap Denny yang tak lepas memandang tubuh Inggit, celananya juga terlihat mengembung. “Pengantin baru emang seperti itu, terkadang udah gak tau waktu, tuh istrimu sampai demam,” kata Mbah urut tersenyum kepada Inggit dan Denny. Denny membenarkan celananya. Dia menggelengkan kepala mengusir pikiran nakalnya. “Iya, Mbah ... Eh, iya aku ada kerja ... kalau begitu aku permisi dulu,” ucap Denny terburu-buru keluar kamar takut tersulut gairahnya yang mulai bergelut di dalam darahnya. Brutal.Setelah Denny keluar menutup pintu, Inggit duduk kasur yang sudah dibentang oleh Denny barusan. Tangan meraba pengait bra untuk melepas