Untung saja kami bisa secepatnya menghentikan perkelahian Rani dan Raya. Sebelum para tetangga dengar dan berkerumun di depan rumah seperti dulu. Mereka pasti akan membuat suasana semakin ricuh. Wulan mau memberi uang untuk Rani agar dia tenang. Sementara aku menyeret Raya keluar rumah. Untuk menghindari amukan Rani pada Raya."Adik kamu bar-bar banget sih Mas. Kenapa dia harus marah saat kamu menikah lagi? Padahal dulu Mbak Wulan nggak pernah sampai main fisik padaku. Pasti nggak di didik dengan baik." Kata Raya sebal begitu kami duduk di kursi teras."Tabiat Rani memang seperti itu. Sudahlah jangan di ambil hati. Apa kamu datang kesini hanya untuk menanyakan uang bulanan orang tuamu?" Tanyaku mengalihkan percakapan. Walaupun aku merasa aneh kenapa Raya bisa datang ke rumah Wulan secepat ini. Padahal jarak dari rumah kos Raya kesini memerlukan waktu sekitar lima belas sampai dua puluh menit. Ah sudahlah. Mungkin kebetulan saja Raya ingin datang menemuiku. Di tambah lagi dengan lapora
Tiga hari sudah Mas Harun menginap di rumah kontrakan bersama Raya dan Ibu. Aku tidak mendengar kabar tentang uang kuliah Rani lagi. Biarlah itu jadi urusan mereka. Kehidupan harus tetap berjalan. Aku tetap menjalankan tugasku sebagai Ibu rumah tangga sekaligus wanita karir. Walaupun tanpa kehadiran Mas Harun.Anak-anak juga masih bisa berkomunikasi dengan Ayah mereka melalui telpon yang di pegang Alana. Aku hanya memberi mereka waktu memegang hp di jam tertentu. Tidak ada lagi kesedihan yang terpancar di wajah putri sulungku. Dia sudah bisa mengerti semuanya. Sudah bisa menerima bahwa waktu Mas Harun tidak akan bisa seutuhnya untuk kami lagi.Sejak aku bertemu dengan Mas Harun untuk memberinya bukti rekaman kamera CCTV, tidak ada lagi gangguan yang terjadi di rumah ini. Aku justru mendapat kabar dari adik sepupuku disana yang benama Sinta jika Paklek Dar jatuh sakit. Badannya panas dingin menjelang waktu maghrib. Sudah dua hari ini Paklek Dar sering mengalami kejang. Keluarga serta p
Mas Harun terpaksa memeluk anak-anak yang sudah menghambur ke arahnya. Mengabaikan keberadaan Raya yang sudah berdiri mematung tidak percaya melihat adegan yang ada di depan mata. Belum lagi dengan bisik-bisik para tetangga yang melihat semua kejadian tadi. Sudah pasti akan ada berita negatif tentangnya. Aku yakin banyak pertanyaan yang akan di layangkan pada Raya selepas kepergian kami nanti.Ibu juga sudah keluar melihat keberadaan Alana dan Syifa. Matanya berbinar bahagia saat melihar mobilku. Hal yang tidak pernah di lakukan Ibu sebelumnya. Mungkin dia bahagia karena sebentar lagi bisa kembali tinggal di rumah mewahku. Bukan di rumah kontrakan yang ukurannya sama seperti rumahnya dulu.Kaki ini melangkah menuju teras rumah. Menyalami tangan Mas Harun dan Ibu. Lalu, yang terakhir menyalami tangan Raya. Aku menyunggingkan senyum penuh kemenangan padanya. Menatap wajah Raya yang kesal sambil mengepalkan tangannya penuh amarah. Jika tidak ada para tetangga yang melihat, mulutnya pasti
“Paklek Dar sakit? Kenapa kamu nggak bilang sama aku Mas?” Tanyaku pura-pura terkejut. Seolah belum tahu tentang musibah yang menimpa keluarga Raya itu. Kutatap Mas Harun sambil tersenyum tanpa dosa.Tubuh Mas Harun sudah terlonjak kaget. Dengan tangan gemetar dia memasukan hpnya ke dalam saku. Kepalanya terus menunduk. Tidak berani memandang wajahku. Terdengar helaan nafas beratnya beberapa kali. Baru Mas Harun bisa memandangku sambil tersenyum.“Iya. Aku juga baru tahu sore ini waktu pulang kerja tadi. Raya memintaku untuk mengantarnya pulang ke rumah orang tuanya. Tapi, aku tidak bisa karena hari ini sudah waktuku untuk pulang ke rumahmu.” Jawab Mas Harun yang sudah tenang. Aku menganggukan kepala pura-pura mengerti. Aku ingin lihat sejauh mana kebohongannya akan bertahan.“Oh begitu. Ya sudah. Besok kita jenguk Paklek Dar bersama ya. Hanya saja kamu harus pura-pura. Karena beberapa keluarga dari pihak Ibu belum tahu kalau kalian sudah menikah. Jadi, kamu harus terus menempel padak
POVAku yang terlahir dari keluarga kelas menengah kerap kali iri dengan kehidupan orang lain. Termasuk iri dengan kehidupan Paklek Narto, adik pertama Ibu yang sukses jadi pengusaha bersama istrinya. Mereka bisa hidup enak bergelimang harta. Tanpa harus memikirkan uang yang cukup untuk membeli barang. Hanya Paklek Narto yang sukses di antara semua keluarga Ibu. Sedangkan semua saudara Bapak hanya petani miskin yang hidupnya jauh lebih terpuruk dari keluargaku.Saat aku duduk di bangku SD, Ibu memberi kabar jika kakak perempuannya yang tinggal di kabupaten sebelah meninggal. Aku sudah kenal dengan anak Budeku itu. Namanya Mbak Wulan. Umurnya tiga belas tahun lebih tua dariku. Kami tidak akrab karena jarak rumah yang jauh. Selain itu aku juga tidak ingin dekat dengannya yang sama-sama miskin. Lebih baik dekat dengan Sinta, anak Paklek Narto. Karena aku sering mendapat jajanan gratis dari toko mereka.Satu tahun kemudian tepat saat hari raya idul fitri Mbak Naya datang berkunjung ke kab
Untuk kedua kalinya rencanaku dan Mas Harun gagal. Ini semua karena Mas Harun memintaku untuk memakai baju pengajian milik Mbak Wulan. Karena tidak ada baju Mbak Wulan yang lain di dalam mobil. Hingga salah satu tetangga yang melihat kami melaporkan hal ini pada kakak maduku itu. Dia berteriak memanggil anak-anak lalu mengambil semua barang belanjaanku. Nasib. Kini aku harus menaiki motor Mbak Wulan. Bukannya duduk di dalam mobil agar tidak kepanasan. Begitu tiba di rumahnya, anak-anak di suruh naik ke lantai dua dulu. Aku dan Mas Harun di sidang untuk yang kedua kalinya. Semua barang belanjaanku di sita Mbak Wulan. Belum lagi dengan uang tabungan anak-anak yang sudah terpakai. Wajib di ganti dengan gaji Mas Harun kelak.Setelah itu, Mas Harun hendak mengantarku pulang ke kos. Tapi, kami sudah di hadang oleh para tetangga. Mereka terus mengataiku sebagai pelakor atau perebut laki orang. Mbak Wulan berhasil menenangkan para tetangganya karena masih ingin merahasiakan hal ini dari anak-
Aku yang sudah panik memutuskan untuk pulang ke rumah sekarang juga. Memasukan dompet dan hp ke dalam tas. Belum lagi hari ini aku terpaksa hari ini ambil cuti kerja. Demi bisa menemani Bapak. Sepanjang perjalanan hatiku sama sekali tidak tenang. Begitu sampai ke rumah rupanya sudah ada Mbah Dukun yang selesai mengobati Bapak. Kondisi Bapak sudah jauh lebih baik. Beliau terbaring di atas tempat tidur. Sedangkan Ibu sibuk membersihkan muntahan darah tadi.Mbah Dukun tidak banyak bicara. Tubuhnya terlihat lemas. Dengan wajah pucat dan mata cekung. Pertanda tidak tidur semalaman. Ibu mengantar Mbah Dukun keluar. Samar-samar aku bisa mendengar mereka masih bicara. Kemudian Ibu masuk lagi ke dalam kamar. Baru aku sadari jika wajah Ibu juga terlihat sanga kuyu dan kelelahan.“Apa Bapak sudah baik-baik saja?” Tanyaku sambil menggenggam tangan tuanya.“Bapak sudah sembuh. Cuma lelah saja karena sejak tadi muntah. Mbah dukun sudah memastikan jika tulah yang di kirim pada anak-anak Wulan gagal.
Tidak ada cara lain yang bisa di lakukan. Mbah dukun sudah angkat tangan untuk mengobati Bapak. Aku hanya bisa pasrah saat keesokan harinya harus kembali ke rumah di kota sebelah untuk bekerja. Meninggalkan Bapak yang masib terkapar di atas tempat tidur. Dengan Ibu yang setia menemani. Setidaknya aku bisa sedikit bernafas lega karena para saudara mau membantu mengirim makanan dan membereskan rumah. Meskipun mereka terus menyuruh membawa Bapak ke rumah sakit untuk segera di obati. Namun, Ibu tidak mau langsung melakukannya. Ibu masih mencari orang pintar yang bisa mengobati Bapak tanpa mengetahui jika Bapak sudah mengirim guna-guna.Hari itu aku tetap pergi bekerja seperti biasa. Berangkat pagi lalu pulang pada siang harinya untuk mengambil keperluan. Tadi, aku sudah ijin ke pengawas pabrik dengan alasan merawat Ibu mertua yang sakit. Aku terpikir cara lain untuk membuat Bapak sembuh. Yaitu dengan mencari foto Mbak Wulan, Alana atau Syifa di dalam sisi lemari tempat baju Mas Bayu tersi
Pov Orang KetigaSurat panggilan sidang dari pengadilan agama akhirnya datang juga ke rumah megah Ardi. Dia termenung menatap kurir yang mengantar surat itu. Tangannya sudah meremas surat tanpa membalas sapaan kurir yang berlalu pergi. Ardi menutup pintu rumahnya dengan kasar hingga membuat Bu May yang sedang memasak di dapur jadi terlonjak kaget.Ia masuk ke dalam kamar lalu duduk di tepi tempat tidur. Menyobek amlopnya dan membaca gugatan Desi yang tertera dalam surat tersebut. Di surat itu menyebutkan tentang sikap kasar Ardi pada Desi dan anak-anak selama ini yang di sebut kekerasan secara verbal. Walaupun tidak ada kekerasan secara fisik. Mata Ardi semakin membulat saat ia membaca isi gugatan berikutnya dimana Ardi sudah berselingkuh dengan Sarah. Hanya nama Sarah yang di sebutkan. Tidak ada nama Raya sebagai selingkuha Ardi. Desi mengklaim jika dia punya semua bukti yang akan ia bawa ke pengadilan saat sidang pertama kelak."Desi si*"*****." Seru Ardi marah dengan suara men
"Sebenarnya dimana Desi dan anak-anak? Kenapa kamu sampai tidak tahu keberadaan mereka, Ardi?" Seru Mama jengkel yang membuatku keringat dingin. Sedangkan Papa hanya diam saja sambil menatapku tajam.Aku sangat tahu karakter orang tuaku yang lebih sayang dengan Desi. Tidak mungkin jika aku mengarang cerita jelek tentang Desi. Bukannya percaya Mama justru akan sangat marah padaku. Rasanya pikiranku buntu di tatap sedemikian tajam oleh orang tuaku "Aku nggak tahu Ma. Seharian ini aku bekerja di kantor jadi aku nggak tahu keman Desi dan anak-anak pergi. Tadi siang Bu May sempat telpon kalau Desi sedang tidak enak badan sehingga tidak bisa rewang di rumah tetangga. Jadi, Bu May yang menggantikannya. Aku izinkan karena tidak enak dengan tetangga kami jika tidak ada yang rewang. Baru saja aku pulang sore ini bersamaan dengan Papa dan Mama, mereka sudah pergi. Aku baru saja hendak mencari mereka. Tolong jangan marah padaku dulu." Jelasku pelan dengan suara bergetar. Ya ampun kenapa aku tida
Siang itu aku berkenalan dengan anak Bu May yang bernama Raya. Wajah cantik, tubuh seksi dan sikap yang ramah langsung memikatku saat itu juga Entah kenapa aku bisa langsung jatuh cinta pada Raya. Bukan hanya rasa tertarik seperti yang aku rasakan pada Sarah dan dua mantan kekasihku yang lain. Karena masih ingin mengobrol dengan Raya lebih banyak lagi, aku mengajaknya dan Bu May untuk menemaniku duduk di meja makan. Mumpung Desi dan anak-anak sedang tidak ada di rumah. Hampir saja kami ketahuan oleh Desi yang tiba-tiba saja sudah pulang ke rumah. Untungnya dia tidak curiga sama sekali dengan kedekatanku bersama Raya. Apalagi ini pertama kalinya aku mengijinkan pembantu untuk duduk di meja makan yang sama denganku. Setelah Desi pergi aku bisa menghela nafas lega.Di tengah kelumit hubunganku dengan Sarah yang sedang berada di masa membosankan, rasanya sangat menyenangkan bisa menjalnin hubungan dengan wanita baru seperti Raya. Dia jauh lebih pengertian dan baik daripada Sarah. Raya tid
Pov ArdiMenikah ternyata sangat membosankan. Apalagi jika istri sudah melahirkan bayi. Membuat penampilan fisik menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Wajahnya jadi sayu karena kurang tidur akibat begadang mengurus bayi. Tidak ada lagi badan seksi milik Desi yang bisa kulihat. Namun, di sisi lain aku juga menuntutnya untuk melahirkan sebanyak empat kali. Hingga kami memiliki tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki. Aku ingin memiliki anak sebanyak mungkin yang bisa di jadikan pewaris perusahaan Papa. Sekaligus anak yang bisa mengurusku di masa tua nanti.Pelayanan yang di berikan Desi di atas ranjang juga tidak bisa maksimal lagi. Sehingga membuatku sering mencari pelampiasan pada wanita lain. Yang sudah aku uji kebersihannya melalui peemeriksaan kesehatan di rumah sakit. Setelah memastikan jika wanita yang aku pilih sehat dan bebas dari penyakit menular baru kami melanjutlan hubungan. Aku bisa memberikan banyak uang pada wanita simpananku setiap mereka mau melayani dengan
Rasanya badanku sangat letih saat pulang ke rumah bersama Andi dan Tika yang menyusul ke bimbel. Sedangkan Raka berada di rumah bersama Salma dan Salwa. Beruntung si kembar mau membantu dengan mengambil alih dapur dengan memasak untuk membuat menu makan malam kami kali ini. Mereka juga mau membantu pekerjaan rumah seperti menyapu dan mencuci piring. Bahkan untuk urusan seragam sekolah, anak-anak dengan terampil menyetrika. Tentu saja dengan di dampingi oleh si kembar. "Pokoknya Ibu tenang saja. Urusan pekerjaan rumah serahkan pada kami. Ibu juga nggak perlu lagi memasak biar nggak kecapekan. Fokus saja bekerja di bimbel. Kalau adik-adik mau menyusul kami yang akan mengantarkan." Kata Salma pagi ini saat kami tengah berkutat untuk membuat sarapan di dapur. Sedangkan Salwa dan Tika sudah membagi tugas untuk menyapu halaman depan dan rumah. Raka dan Andi masih sibuk membereskan tempat tidur dan buku yang akan mereka bawa ke sekolah."Terima kasih sayang. Kamu dan Salwa juga nggak perlu
Meskipun merasa sedih setelah melihat pesan balasan Wulan, aku berusaha untuk menenangkan diri. Mungkin untuk saat ini aku harus membiarkan Mama dan Papa berspekulasi sesuai dengan fitnah yang sudah di katakan Bu May pada mereka. Karena aku tidak ingin sembarangan memberikan bukti sebelum persidangan di mulai. Teringat dengan pesan Pak Hendra agar aku selalu berhati-hati terkait dengan barang bukti yang sudah di berikan ke pengadilan agama.[Biarkan saja Lan. Biar Papa dan Mama melihat sendiri di pengadilan bukti-bukti yang sudah aku serahkan. Aku takut jika memberikan bukti itu sekarang Mas Ardi akan punya bahan untuk mengelak. Bisa saja dia akan menyiapkan sangkalan mengingat Mas Ardi bisa melakukan segalanya dengan uang.]Balasku cepat. Aku tahu jika kemungkinan besar orang tua Mas Ardi akan tahu lebih cepat. Hanya saja hatiku tetap merasa sedih karena harus pergi begitu saja tanpa ijin pada mereka. Aneh sekali. Padahal ini keputusanku. Tapi, aku juga yang merasa sedih. Mungkin kar
Jarum jam sudah menunjukkan setengah empat sore saat kami sampai di rumah ini. Langit jingga mulai terlihat menjelang malam. Aku meminta anak-anak untuk menunggu di teras. Sementara aku pergi ke rumah pemilik kontrakan yang jaraknya hanya dua rumah saja dari sini. Saat bertemu Bu Marni langsung menyerahkan kunci rumah padaku lalu kami masuk ke dalam. Ruangan tampak bersih karena ada yang rutin menyapu selama dua bulan ini. Tidak ada perabotan di ruang tamu dan dapur. Tapi, setidaknya sudah ada tempat tidur dan lemari di setiap kamar yang di beli Ratna setelah aku mentransfer uang padanya. Saat Ratna dan keluarganya menginap di rumah ini. Dua koper besar yang dulu di bawa Ratna sudah ada di kamar utama. Sedangkan satu koper lagi aku kirim lewat jasa travel dan di letakan di dapur. Baru aku kirim beberapa hari lalu setelah anak-anak selesai ujian akhir sekolah atau yang biasa di sebut dengan UAS.“Kita sholat jamaah di ruang tengah dulu ya. Baru pasang seprai di kasur terus istirahat se
POV DesiSatu minggu lebih aku berusaha menghindari jebakan Mas Ardi walaupun obat terlarang itu sudah di tukar dengan teg biasa. Kadang kala aku menyanggupi keinginannya untuk minum teh di ruang makan atau berdua saja di dapur. Aku merasa gugup karena bingung harus menunjukkan reaksi apa setelah minum teh itu yang di yakini Mas Ardi mengandung obat terlarang. Namun, tidak ada reaksi apapun dari Mas Ardi selain ekspresi heran. Dia juga tidak curiga sama sekali. Setidaknya aku merasa sangat lega karena selalu berhasil lolos. Kesibukanku bersama anak-anak membuat Mas Ardi tidak bisa menjebakku untuk tidur bersama pria lain. Selain itu, dia juga harus sibuk bolak-balik dari rumah Sarah ke rumah ini karena harus membagi waktu setelah mereka resmi menikah secara siri. Membuatku bisa dengan mudah memasukan obat tidur setiap dia akan menjalanklan rencana untuk menghubungi temannya yang akan ikut dalam rencana untuk memfitnahku. Membuat Mas Ardi merasa bahwa ia terlalu kelelahan hingga bisa t
POV RayaLiburan selama tiga hari ke Bali bersama Mas Ardi sungguh menyenangkan dan menakjubkan. Karena ini kedua kalinya aku bisa liburan ke Bali setelah study tour saat SMA dulu. Ada banyak tempat yang lebih bagus sudah kami kunjungi. Di tambah dengan banyaknya oleh-oleh yang sudah kubeli dengan harga ratusan juta. Membuat aku membeli banyak baju, tas, sepatu dan masih banyak barang yang bagus dan sangat mahal. Tidak lupa juga aku membelikan untuk Ibu dengan jumlah yang sangat banyak.Dia sangat pengertian mengajakku pergi tanpa perlu bertanya dimana keberadaan suamiku. Setelah aku cerita Mas Ardi memang tidak pernah bertanya secara detail tentang sosok Mas Harun. Membuatku merasa sangat lega karena mereka bedua sudah saling mengenal sebagai rekan kerja di kantor. Aku takut jika Mas Ardi akan memilih mundur sebelum semua rencanaku dan Ibu terlaksana. Di sisi lain aku juga banyak menguping percakapan Mas Ardi dengan Sarah di kamar hotel tempat kami menginap. Dia selalu mengira jika a