"Siapa yang pingsan, Lisa?" tanya mama saat melihatku dan Lidia datang."Nanti Lisa ceritakan, Ma. Lisa bawa dia ke kamar dulu ya," jawabku sambil terus membawa Ria ke kamar.Mama lalu meminta tolong bik Inah untuk membantuku dan Lidia membawa Ria menuju kamar."Tolong ambilkan minyak kayu putih, Bik," suruh Lidia."Baik, Non," jawab bik Inah yang kemudian langsung beranjak.Mama juga ikut masuk dam melihat keadaan Ria. Mama tidak banyak bertanya soal Ria. Dia pasti menungguku menjelaskannya.Setelah di olesi minyak kayu di putih di bagian bawah hidungnya, Ria pun akhirnya sadarkan diri."Di mana saya sekarang?" tanya Ria yang terlihat kebingungan."Tenang, Ria. Kamu di tempat yang aman," jawab Lidia."Tolong buatkan teh manis, Bik," pintaku pada bik Inah. "Baik, Non," jawab bik Inah. Dia lalu pergi ke dapur dan membuatkan teh manis untuk Ria.Setelah teh manis di minum oleh Ria, mama lalu memberikan isyarat padaku untuk keluar dari kamar. Dia pasti ingin bertanya soal Ria. Siapa dia
Hari ini aku akan pergi ke pangadilan agama untuk mengajukan gugatan perceraian. Papa yang awalnya ragu denganku dan masih sedikit mempercayai mas Riko pun akhirnya mau percaya denganku setelah kubawa Ria ke rumah. Dia mendukungku sepenuhnya. Dia juga akan memecat mertuaku dari pekerjaan secepatnya.Aku menghubungi Kinan pagi ini. Kali ini aku akan pergi ke pengadilan bersama dengan Kinan. "Halo, Nan. Sudah siap?" tanyaku "Sudah, Lis. Sebentar lagi aku jemput ya," ujar Kinan.Kinan sengaja mengambil cuti hari ini demi mengantarku. Aku sangat beruntung mempunyai dua sahabat yang selalu ada di saat aku membutuhkan mereka. "Oke. Aku tunggu ya," jawabku.Kinan adalah orang yang paling cerdas di antara kita bertiga. Aku memintanya untuk menemaniku karena dia pasti paham soal hukum dan soal pengadilan. Walaupun dia mengambil jurusan kedokteran saat kuliah, namun bukan berarti dia tidak belajar soal hukum. Setelah panggilan Kinan ku akhiri, sebuah panggilan pun masuk kembali ke ponselku.
"Ada apa, Lis?" tanya Kinan. "Ria pergi dari rumah, Nan," jawabku. "Pergi? Bagaimana bisa, Lis? Bukankah di rumahmu banyak penjaganya?" tanyaku. "Entahlah, Nan. Aku juga tidak mengerti bagaimana bisa dia pergi. Sekarang ke rumah mama saja ya. Aku pengin tahu cerita yang sebenarnya," ujarku. Kinan langsung menghidupkan mesin mobil dan mengantarku ke rumah mama. Mobil melaju dengan cepat, hanya membutuhkan waktu seperempat jam kita pun sampai di rumah mama. Aku langsung turun dan masuk ke dalam rumah. Menemui mama yang sedang berjalan ke sana-kemari di ruang tamu. "Ma," sapaku. "Lisa. Ria menghilang," ujar mama dengan sangat panik. "Bagaimana bisa Ria kabur, Ma? Apa jangan-jangan Riko yang menculiknya?" tanyaku. "Mama juga tidak tahu, Sayang. Namun kata pak Rudi, tadi dia minta ijin keluar. Katanya ada keperluan sebentar," jelas mama. Mendengar penjelasan mama aku langsung menemui pak Rudi. "Kenapa pak Rudi mengijinkan Ria untuk pergi, Pak?" tanyaku. "Maafkan saya, Non. Say
Ria adalah anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya masih duduk di bangku SMP. Sedang Ibunya ternyata sudah meninggal dunia. Melihat kedatangan kami membuat ayah Ria kemudian menyuruh Ria untuk kembali ke rumahku. Dia tidak mau jika mas Riko sampai menemukannya. "Titip anak saya ya, Bu Lidia. Saya tidak mau jika nak Riko menemukannya. Saya tahu jika selama ini Ria menderita. Dia hanya terpaksa menikah dengan Riko demi nama baik saya. Demi nama baik keluarga," ujar ayah Ria. "Tapi, Pak? Bagaimana dengan Bapak? Bapak masih membutuhkan Ria di sini. Ria tidak mau meninggalkan Bapak di saat seperti ini," jawab Ria. "Tidak papa, Nak. Bapak sudah membaik. Lagian ada Rania juga kan di sini. Dia bisa mengurus Bapak. Bapak juga akan aman di rumah sakit ini," ucap ayah Ria. "Bagaimana kalau mas Riko datang lagi dan melukai Bapak?" "Tidak mungkin, Nak. Dia tidak akan bisa melukai Bapak di sini. Banyak dokter dan juga perawat di sini," tambah ayah Ria. Dengan berat hati Ria pun akhirnya
Setelah mengantar Ria ke rumah mama, Lidia pun kemudian mengantarku pulang."Bukankah itu mobil Riko, Lis?" ucap Lidia saat kita hampir sampai di rumahku. Terlihat mobil mas Riko sudah terparkir di depan rumah."Benar, Lid. Mau apa dia ke sini?""Pasti dia sedang mencari Ria. Jangan-jangan dia juga sudah ke rumahku," Lidia melanjutkan. "Apa sebaiknya kita pergi saja dari sini sekarang untuk menghindarinya, Lid?""Jangan, Lis. Kita hadapi saja Riko. Aku juga ingin sekali melihat bagaimana ekspresinya setelah tahu kita berhasil membawa Ria pergi," tambah Lidia."Boleh juga, Lid. Aku juga ingin mengetahuinya," jawabku.Lidia kembali menjalankan mobilnya sampai di depan rumahku. Kita berdua turun dari mobil dan langsung bertemu dengan mas Riko di teras. Dia masih merasa bebas keluar masuk di rumahku, namun hanya sampai di teras saja. "Kamu sembunyikan di mana, Ria?" tanya mas Riko saat melihatku datang. "Kenapa, Mas? Kamu ketakutan ya jika Ria tidak bersamamu? Kamu takut jika dia akan
Surat panggilan dari pengadilan yang kutunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Itu artinya tiga hari lagi aku akan melaksanakan sidang perceraian dengan mas Riko. "Sebentar lagi aku akan resmi berpisah dari mas Riko. Biarlah aku jadi janda yang penting aku sudah tidak terikat dengan laki-laki seperti mas Riko," gumamku.Ponselku berdering saat aku sedang termenung sendirian di depan ruang tv. Ternyata panggilan masuk dari mas Riko. Dia pasti akan memberitahuku soal surat panggilan sidang. "Halo. Ada apa lagi, Mas?" "Aku dapat surat panggilan dari pengadilan. Apa kamu yakin ingin berpisah dariku, Lisa?!" "Kenapa kamu tanya seperti itu, Mas? Aku yang menggugatmu, itu artinya aku sudah sangat yakin dengan keputusanku," jawabku."Kamu siap untuk jadi janda??" "Kenapa mesti takut, Mas? Aku lebih suka jadi janda dari pada tetap menjadi istri monster sepertimu!" jawabku."Aku tanya padamu sekali lagi. Ini untuk yang terakhir, Lisa. Kamu yakin mau berpisah dariku??""Yakin seyakin-yakinn
Aku tahu jika sebenarnya Ria menyembunyikan sesuatu dariku. Ini pasti ada kaitannya dengan mas Riko. Namun aku tidak akan memaksanya. Aku tidak berhak memaksa Ria untuk melaporkan mas Riko pada polisi. Di sini aku hanya berhak meminta dia untuk menjadi saksi dalam kasus perceraianku saja."Aku tidak akan memaksamu untuk melaporkan mas Riko ke polisi, Ria. Itu semua terserah kamu. Semua keputusan ada di tanganmu. Jika memang kamu tidak akan melaporkannya tidak masalah juga untukku. Tapi pikirkan baik-baik ya, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari," tuturku.Ria hanya diam. Dia lalu meminta ijin padaku untuk pergi ke kamar mandi setelah itu."Oh ya Ria, Jangan lupa makan nanti ya. Kata mama tadi kamu nggak makan siang," ujarku sebelum Ria keluar dari kamar."Iya, Bu. Tadi saya masih merasa kenyang," jawab Ria."Jika ada masalah lebih baik diceritakan ya, Ria. Jangan di pendam sendiri, tidak baik untuk kesehatan batinmu," sambungku. Ria hanya mengangguk kemudian melanjutkan langk
Hari ini aku akan melaksanakan sidang yang pertama. Kuharap mas Riko juga akan datang ke persidangan agar semua berjalan dengan baik."Bu, nanti saya datang bareng bu Lisa kan?" tanya Ria."Iya, Ria. Nanti berangkat bareng aku," jawabku."Tapi sepertinya saya langsung pulang ke rumah setelah ini ya, Bu," tambah Ria."Loh kenapa Ria? Kamu tidak akan kembali ke sini lagi?" tanya mama yang tiba+tiba muncul dari dalam."Saya sudah merepotkan bu Lisa dan keluarga selama ini. Sudah cukup saya menerima kebaikan dari keluarga kalian," sambung Ria."Kita tidak merasa direpotkan sama sekali, Ria. Kita malah senang bisa membantumu, melindungimu," tambahku."Tapi saya yang merasa nggak enak. Kalian bahkan membantu saya dengan tulus walaupun tahu jika saya adalah istri siri mas Riko," kata Ria."Kamu memang istri sirinya. Namun dia memperlakukanmu juga dengan sangat tidak baik. Kami hanya merasa kasihan denganmu, Ria," jawabku.Ria tetap bersikeras untuk pulang ke rumahnya. Entah apa sebenarnya ya
Hari ini sepulang dari salon, aku pergi ke rumah Mila. Aku merasa khawatir dengan salah satu karyawan salonku itu. Tidak bisanya dia begini. Dia selalu menghubungiku jika ada urusan ataupun saat dia sakit. Tapi kenapa kali ini tidak? Hari ini aku akan menyelesaikan dulu soal Mila. Lebih baik aku menghubungi bapaknya mas Riko dan mengatakan apa yang sedang anaknya itu perbuat pada istri sirinya. Ku ambil ponselku kemudian menghubungi nomer pak Beni. Nomer yang sengaja tidak kuhapus sampai saat ini. Tut...tut...tut... Panggilanku segera terhubung ke ponsel mantan bapak mertuaku itu. Tak perlu menunggu waktu lama, bapak segera menjawab panggilan dariku. "Halo, Lisa. Ada apa? Tumben sekali kamu menghubungi bapak. Pasti ada hal yang penting kan?" tanya bapak. "Iya, Pak. Ada sesuatu yang harus bapak tahu," balasku. "Apa, Lisa? Apa ini ada hubungannya dengan Riko?" "Iya, Pak. Mas Riko menyekap tante Laras, istri siri bapak," lanjutku. "Kamu serius, Lisa? Bukankah Laras bilang akan
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih seperempat. Kubuka pintu gerbang rumah kemudian mengeluarkan motor butut kesayanganku. Hari ini aku akan pergi ke salon. Sudah lama aku tidak ke salon semenjak proses perceraianku dengan mas Riko. Kunyalakan motor butut itu kemudian langsung berangkat menuju salon. Tiga puluh menit perjalanan akhirnya aku sampai juga di salon. Kulihat salon sudah ramai pelanggan. "Selamat pagi, Bu," sapa Eni. "Pagi, En." Aku melihat karyawan salonku satu persatu. Namun aku tidak melihat Mila sama sekali. "Di mana Mila, En?" tanyaku pada Eni. "Mila nggak datang, Bu." "Loh sejak kapan?" "Dua hari yang lalu," jawab Eni. "Loh kok nggak ada yang kasih tahu saya? Apa dia sakit?" tanyaku. "Saya nggak tahu, Bu. Dia nggak menghubungi saya juga soalnya," balas Eni. "Oh begitu, makasih ya, En." "Iya, Bu. Kalau begitu saya lanjut kerja lagi ya," kata Eni. Aku segera masuk ke dalam ruanganku untuk menghubungi Mila. Gara-gara banyak masalah yang terjadi
"Hai, Tante," sapaku pada tante Laras. "Halo, Sayang," balas tante Laras. "Maaf ya udah bikin tante menunggu," lanjutku. "Nggak papa, Sayang. Tante juga baru saja datang kok. Justru tante yang minta maaf karena sudah menganggu waktumu," ujar tante Laras kemudian."Aku nggak merasa terganggu sama sekali, Tante. Aku justru senang jika tante berkenan menceritakan masalah tante padaku," jawabku. Tante Laras kemudian mulai menceritakan hubungannya dengan pak Beni. "Apa menurutmu hubungan tante dengan mas Beni harus diakhiri saja ya, Lis?" tanya tante Laras padaku."Kenapa diakhiri, Tante? Bukankah kalian sama-sama saling menyayangi?" "Itu benar. Tapi tetap saja pernikahan kita hanyalah pernikahan siri yang tidak diakui oleh negara. Tidak lebih dari itu," ungkap tante laras."Memangnya apa salahnya menikah siri jika kalian sama-sama merasa nyaman?" kataku berusaha membuat tante Laras tetap semangat. Bukan membenarkan pernikahan siri ini, namun aku hanya tidak ingin membuatnya sedih. A
Ponselku berdering saat aku hendak memejamkan mata. Saat kulihat ternyata sebuah panggilan masuk dari tante Laras. "Ada apa dia menghubungiku malam-malam begini?" gumamku.Merasa penasaran kenapa dia menghubungiku malam-malam begini, aku pun langsung menjawab panggilan dari tante Laras."Halo, Tante," kataku memulai obrolan."Hai, Lis. Lagi ngapain?" tanya tante Laras."Lagi mau tidur nih, Tante. Ada apa Tante menghubungiku malam-malam begini?" tanyaku kemudian."Tante ganggu ya?" tanya tante Laras."Nggak kok, Tante. Tenang saja," sambungku."Sebenarnya Tante mau cerita sama kamu. Apa kamu nggak keberatan dengerin cerita Tante?" tanya tante Laras setelah itu."Cerita soal apa, Tante?" tanyaku."Soal hubungan tante dengan mas Beni," jawab tante Laras setelah itu."Kenapa memangnya dengan hubungan kalian?""Tante mau kita ketemu saja ya besok. Bisa nggak kira-kira, Lis?" tanya tante Laras."Em sebenarnya aku mau ke salon sih, Tante. Tapi nggak papa deh. Ke salonnya bisa lusa saja," j
"Kamu seharusnya bersyukur bisa menjadi istri Riko. Dia sudah banyak membantumu dan keluargamu kan selama ini?!" terdengar suara Ibu membentak Ria."Beruntung bagaimana ya? Dia diperkosa oleh mas Riko, itu apa sebuah keberuntungan?!" sahutku yang tiba-tiba masuk ke ruang rawat Ria dan membuat ibu mas Riko kaget."Lisa! Ngapain kamu di sini. Jangan ikut campur kamu?! Urusanmu dengan Riko sudah selesai kan? Jangan malah menambah masalah baru!!" gertak ibu mas Riko."Memang benar urusanku dengan mas Riko sudah selesai. Tapi urusan mas Riko dengan Ria belum selesai. Di sini aku hanya berusaha membela Ria. Perempuan yang sangat menderita setelah menjadi istri siri mas Riko!" gertakku balik.Ayah Ria dan Ria hanya diam saja mendengarku dan ibu mas Riko saling beradu mulut."Menderita kamu bilang?! Ria sangat bahagia hidup dengan Riko selama ini, bukan begitu, Ria?" tanya Ibu mas Riko seraya menatap ke arah Ria.Ria tidak menjawab pertanyaan ibu mas Riko. Dia hanya diam saja tanpa mengatakan
"Halo, Lis," kata Lidia melalui sambungan telepon."Hai, Lid. Ada apa?" tanyaku."Bagaimana Ria? Dia jadi dioperasi kan?""Jadi kok. Ini sudah selesai dan dia sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa," jelasku. "Syukurlah jika begitu. Berarti Kinan bisa meyakinkan dokter Indra dong kalau begitu?" tanya Lidia."Iya. Jika kuperhatikan sepertinya Kinan dan dokter Indra ada sesuatu deh," ucapku membuat Lidia kaget."Masa sih? Nggak mungkin lah. Kamu kaya nggak kenal Kinan aja. Dia kan susah sekali di dekati," kata Lidia kemudian."Kali ini beda, Lid. Sepertinya Kinan yang menaruh hati pada dokter Indra deh," tebakku."Ah masa sih?" kata Lidia masih belum percaya."Iya sepertinya. Nanti jika kita bertemu Kinan kita tanya saja langsung padanya," sambungku. "Sip deh. Oh iya, ada berita penting nih, Lid" lanjut Lidia membuatku penasaran. "Berita apa?" tanyaku penasaran."Riko di bebaskan dari tuntutannya. Polisi bilang tidak ada bukti kuat yang bisa memenjarakan Riko," kata Lidia."What???
Dengan desakan yang dilakukan oleh Kinan akhirnya Ria berhasil juga di operasi. Dia sudah siuman dan juga sudah dipindahkan ke kamar rawat biasa satu jam yang lalu."Kenapa kamu nggak pernah cerita padaku jika perutmu sering sakit?" tanyaku pada Ria."Saya tidak ingin membuat bu Lisa ataupun yang lain khawatir," jawab Ria."Tapi pasti sakit banget kan?"Ria hanya menganggukkan kepalanya. "Untunglah kamu tinggal di rumah jadi mama tahu jika kamu demam dan segera membawamu ke rumah sakit. Coba kalau tidak, nyawamu jadi taruhannya, Ria," sambungku."Iya, Bu. Terimakasih sudah menolong saya. Saya sangat bersyukur bisa mengenal keluarga kalian. Orang-orang yang sangat baik dan tidak membeda-bedakan orang lain," kata Ria selanjutnya."Semua manusia itu sama, Ria. Jadi untuk apa di beda-bedakan. Hanya saja kami memang tidak menyukai orang jahat," jawabku seraya tertawa."Pokoknya terimakasih banyak ya bu Lisa atas pertolongannya selama ini. Saya sudah banyak merepotkan keluarga bu Lisa," s
Ternyata masih ada plasenta yang masih tertinggal dalam rahim Ria. Sepertinya saat itu mas Riko dan Ibunya tidak begitu memperhatikan Ria setelah tahu jika bayi mereka meninggal dunia."Lalu apa yang harus kita lakukan, Dok?" tanyaku kemudian."Dia harus menjalani operasi dengan segera guna mengambil plasenta yang tertinggal," jawab dokter.Apakah selama ini Ria tidak merasakan ada keanehan atau rasa sakit dalam perutnya? Kenapa dia tidak mengatakannya??"Baik, Dok. Lakukan apapun itu asalkan dia bisa kembali sehat," ucapku pada akhirnya."Baiklah jika begitu. Saya harus mendapatkan tanda tangan dari suaminya terlebih dahulu," lanjut dokter."Suami, Dok? Suaminya nggak ada. Bolehkah jika ayahnya saja yang tanda tangan?" tanyaku."Boleh boleh saja. Tapi saya lebih menyarankan jika suaminya saja yang menandatanganinya," tambah dokter."Tapi suami dia sedang berada di kantor polisi saat ini, Dok. Bisakah diwakilkan saja?" tanyaku lagi."Aduh saya tidak berani memgambil tindakan jika buka
Aku menemui tante Laras seperti janjiku lewat telepon kemarin. Entah apa yang sebenarnya ingin dia katakan padaku."Hai, Lisa," sapa tante Laras yang baru saja datang."Hai, Tante," sapaku."Maaf ya udah bikin kamu nunggu," lanjut tante Laras. "Nggak kok, Tante. Aku juga baru saja datang," jawabku.Tante Laras kemudian memesan minuman dan makanan untuknya dan juga untukku."Mau makan apa, Lisa?" tanya tante Laras."Aku sudah makan, Tante. Aku pesan minum saja," jawabku.Setelah memesan makan dan minum tante Laras kemudian duduk dan berbicara serius denganku."Ini soal istri sahnya mas Beni. Dia nggak mau diceraikan, Lisa," kata tante Lisa."Hah???? Yang bener, Tante?" tanyaku kaget."Iya, Lisa. Padahal mas Beni sudah mengatakan jika dia lebih memilih Tante dari pada istri sahnya itu, namun dia tetap saja kekeh tidak mau diceraikan," lanjut tante Laras."Kok ada ya perempuan seperti itu. Sudah tahu kita disakiti sama pasangan, eh tetep saja mau mempertahankan rumah tangganya," ujarku