Bantu Chida dengan meninggalkan bintang 5 ya lalu komen apalagi vote ... Love you
Ayu duduk di hadapan Rubi dengan wajah yang lesu, terlihat pucat dan tak bersemangat. Wajah wanita yang biasanya full dengan make up itu nampak sangat polos. "Sudah berapa lama di Semarang?" tanya Rubi sambil menerima satu gelas jeruk hangat untuk Ayu. "Silahkan di minum," tawarnya. "Baru kemarin sampai," jawab Ayu. "Oh ... Hhmm, kamu sedang sakit?" tanya Rubi hati-hati. Bono dan Inggit yang masih berada di toko memperhatikan dari kejauhan. "Bon, kok aku koyo ngerasa dia beda, yo," ujar Inggit seraya berbisik. "Ojo suudzon, Mbak ... mungkin sakit," jawab Bono dengan berbisik. "Sstt ... kita denger in dulu." Bono menempelkan jari telunjuk di bibirnya alih-alih meminta Inggit untuk tenang, Bono malah mendapatkan pukulan di pundaknya dari Inggit. Ayu merogoh clutch bag nya. "Aku hamil," ujar Ayu memberikan alat testpack dan selembar kertas yang menunjukkan keakuratan jika memang benar dirinya hamil. Rubi terkejut, di bacanya hasil dari pemeriksaan dokter yang menyebutkan wanita it
"Aku hamil," ujar Ayu. "Aku hamil anak kamu, Dimas." Ayu mengusap air matanya. Dimas diam membisu, wajahnya memerah bukan karena dia tidak senang mendengar kabar kehamilan Ayu tetapi banyak hal yang harus dia pikirkan. Bagaimana kehidupan Ayu selanjutnya, bagaimana dengan anak yang dia kandung jika mengetahui ayahnya adalah seorang bajingan, cukup berhenti pada Tama sebutan itu, dia tidak ingin lagi menyakiti hati suci seseorang. "Dimas." Rubi membuyarkan lamunan Dimas. "Ah, iya." "Ayu mengandung anak kamu, gimana rencana kamu selanjutnya," kata Rubi hati-hati. "Aku—" "Aku hanya ingin kamu mengakuinya," ujar Ayu. "Biarkan aku merawatnya jika memang kamu tidak menginginkan dia." Ayu menatap tajam pada Dimas. "Bukan ... bukan itu maksud aku," jawab Dimas. "Hanya saja—' "Dimas, Ayu sampai di sini dengan meninggalkan semua yang dia punya. Perlu kamu ketahui, dia rela meninggalkan semua yang biasa dia dapat demi janin yang ada di kandungannya. Aku hanya mengingatkan, jangan lagi me
Rubi memberikan secangkir teh hangat pada Regantara, lalu ikut duduk di sebelah kekasihnya sambil melihat Tama yang sedang asyik dengan game barunya. "Rencananya besok aku mau cari souvernir pernikahan kita, kamu mau ikut?" tanya Rubi. Regantara menyesap teh hangat beraroma melati itu. Dia hanya mengangguk menjawab pertanyaan Rubi. "Menurut kamu, apa Ayu bisa bertahan hidup dengan kondisi dia yang sekarang?" Rubi merubah posisi duduknya hingga berhadapan dengan Regantara. "Dia sudah menerima konsekuensinya, Bi. Biarkan saja dia memperbaiki dirinya dulu." "Iya aku tau, tapi kan dia sedang hamil, Mas. Kasian ... coba kamu bayangkan kalo aku hamil terus kamu nggak ada, nggak ada di samping aku dalam jangka waktu yang lama dengan kondisi keuangan yang pas-pasan, tega?" "Hhmm ...." Regantara mengacak rambut Rubi. "Maksud kamu pasti ... meminta Ayu untuk kerja di kantor aku, kan?" "Boleh?" Rubi menunjukkan wajah memohon. "Enggak ...." Regantara beralih memandangi Tama. "Kalo bukan di
Beberapa tamu berdatangan ke rumah bergaya klasik jaman Belanda itu. Rumah itu kembali ramai untuk kedua kalinya, hal yang pernah terjadi sekitar lebih dari 10 tahun yang lalu. Rubi duduk di antara dekorasi yang penuh dengan bunga, bahkan rambut di kepalanya saja sudah di hiasi dengan melati-melati kecil.Setelah melakukan upacara memohon doa restu kepada orang tua dan yang dituakan, Rubi akan melaksanakan upacara siraman sesuai adat Jawa. Tadinya, Rubi keberatan untuk melakukan ritual ini mengingat ini adalah pernikahan keduanya, namun dari pihak keluarga Ibu Widya meminta tetap harus di lakukan. Prosesi siraman berlangsung dengan khidmat, beberapa kali terlihat Rubi dan Ibu Widya sama-sama saling meneteskan air mata. Penantian panjang Rubi yang akhirnya mendapatkan sosok lelaki untuk menemani hidupnya sampai tua nanti. Serta lelaki yang akan membimbing dan menjadi tauladan bagi anak-anaknya kelak."Mbak Inggit apa ndak mau kayak gitu?" tanya Bono yang berdiri tidak jauh dari tempat
Cuaca sore itu sungguh cerah, bangunan joglo dengan hamparan taman yang luas sudah di hadiri kolega serta keluarga dari kedua mempelai. Alunan lagu Jawa menggema, mendayu-dayu begitu indah hingga mendukung acara yang sebentar lagi akan di mulai. Aroma terapi khas seolah menghipnotis para tamu untuk duduk dengan khidmat menyaksikan perhelatan janji suci itu terucap. Rubi berjalan menyusuri karpet yang sudah di taburi banyak kelopak bunga dengan begitu anggun. Kebaya putih yang dia kenakan begitu serasi di tubuhnya, riasan wajah yang tidak mencolok mempu memikat semua mata yang melihatnya, tatanan rambut yang hanya di sanggul sederhana menambah kecantikan wanita itu. Rubi tersenyum seolah mengucapkan terimakasih pada semua yang datang hari itu. Kakinua melangkah pasti menuju ke arah Regantara yang sudah berdiri menunggu kedatangannya. Dia berdiri gagah dengan mengenakan setelan jas berwarna putih. Janji suci pernikahan keduanya terucap, mereka saling berjanji untuk menemani hingga se
Satu per satu hiasan bunga yang melekat di kepala Rubi, dia lepaskan. Wajah yang penuh dengan polesan make up itu sekarang sudah kembali seperti semula. Gemericik air dari dalam kamar mandi pun tak lagi terdengar itu menandakan bahwa Regantara telah selesai membersihkan dirinya. Rubi beranjak dari tempat duduknya, membuka satu per satu kancing kebaya yang dia kenakan. Ekor matanya melirik Regantara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Kebaya yang Rubi kenakan pun akhirnya luruh ke lantai. Tangan Rubi berusaha menggapai pengait longtorso yang berada di belakang tubuhnya namun dia cukup kesulitan untuk menggapainya. "Kalo butuh bantuan bilang," bisik Regantara dari belakang tubuh Rubi membuat bulu-bulu halus di tubuh Rubi meremang. Regantara melepaskan perlahan pengait longtorso berwarna putih itu. Bukan hanya melepaskannya, Regantara menyempatkan mencium pundak polos istrinya. "Mas ...," lirih Rubi. Regantara yang hanya mengenakan handuk di pinggangnya itu semakin mendekatkan t
Tubuh Rubi terasa sakit, entah berapa kali mereka melakukan hubungan badan semalam. Rubi menatap lelaki yang berada di sisinya saat ini, hidungnya yang mancung, alis yang tebal, bibir yang sedikit tebal, serta rahang yang tegas itu sekarang sudah sepenuhnya menjadi milik Rubi. Rubi mengecup sekilas bibir Regantara, rasanya terlalu gemas jika dia lewatkan kesempatan untuk memberikan ciuman pagi hari pada Regantara. Diangkatnya tangan kekar itu dari atas dadanya, Rubi menarik selimut tipis berwarna putih itu lalu dia lilitkan di tubuhnya. Rambut panjang yang terurai itu dia gulung menjadi cepolan kecil hingga leher panjang itu terlihat semakin jenjang. Rubi beranjak dari tempat tidur, membuka tirai jendela kamar mereka hingga cahaya pagi itu masuk ke dalam. Di seduhnya air di dalam water heater agar dia bisa membuatkan secangkir teh untuk Regantara pertama kalinya dengan status sudah menjadi suami dan istri. Setelah membuatkan secangkir teh hangat untuk Regantara, Rubi melangkah memb
Ini hari pertama Rubi dan Regantara beraktivitas sejak kepulangan mereka dari Bali beberapa hari yang lalu. Rutinitas terbaru Rubi semenjak tinggal bersama Regantara adalah menyiapkan lelaki itu sarapan pagi hingga menyiapkan pakaian kerja untuk Regantara. Setelahnya Rubi akan menelpon Tama menanyakan apakah dia sudah siap ke sekolah, makan dan perlengkapan sekolah semua sudah siap. Tama memang belum mau ikut tinggal bersama Rubi dan Regantara, sedangkan Regantara merasa tak enak hati jika harus tinggal lagi bersama dengan mertua seperti saat dia menikah dengan Debby. Kata Regantara saat itu, dia hanya tidak ingin merepotkan ibu Widya."Kalo begitu Bunda tutup teleponnya ya, nanti siang Bunda jemput Tama kita makan di tempat biasa, mau?""Oke Bunda, itu supir Papa Regan sudah datang. Tama jalan dulu ya," ucap Tama di seberang sana.Baru saja Rubi meletakkan ponselnya, Regantara sudah memeluknya dari belakang."Siapa?" tanya Regantara."Tama, biasa aku cuma pastikan semua perlengkapan
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H