Selamat Berpuasa
Pukul delapan malam, Dimas baru sampai di rumah sewaannya. Pagi tadi dia meminjam mobil Ayu untuk mengurus sesuatu di Semarang, karena Ayu menolak ikut Dimas memutuskan pergi sendiri. Membutuhkan waktu hampir dua jam dari Boyolali untuk sampai ke Semarang, niat yang tadinya hanya untuk mengurus sesuatu namun nyatanya keinginan untuk melihat putra semata wayangnya begitu kuat.Semesta berpihak pada Dimas saat melintas di depan rumah Rubi dia melihat Tama berada di depan pagar menunggu seseorang. Tanpa pikir panjang, Dimas turun dan menghampiri putranya itu."Tama," panggilnya. Sebusuk apapun kelakuan Dimas, namun kerinduan pada anak semata wayangnya itu tak dapat di pungkiri. Darahnya mengalir di tubuh Tama, anak lelakinya buah cintanya bersama Rubi dulu."Ayah," ujar Tama lalu menoleh ke kanan dan ke kiri melihat situasi di sekitarnya."Nak," ucap Dimas memeluk Tama yang tidak sedikitpun membalas pelukannya. "Kamu sehat?" tanya Dimas menatap lamat bola mata yang belum berdosa itu.Ta
"Selamat pagi, Tama," sapa Ayu dari ruang makan saat dia sedang meletakkan piring berisi telur mata sapi yang di minta Dimas tadi.Dengan wajah bangun tidurnya, Tama hanya bisa mengerutkan keningnya melihat sosok wanita yang baru saja dia temui."Ayah kamu lagi keluar sebentar, dia bilang kamu harus sarapan dulu sebelum pulang ke Semarang," ujar Ayu. "Ayo, duduk sini." Ayu menarik kursi untuk Tama. "Kamu mau sarapan apa? ada nasi goreng, telur mata sapi, atau roti isi mesis aja? Oh iya ini susu coklat hangat buat kamu, udara di sini dingin jadi enak kalo pagi-pagi menghangatkan perut dengan susu," ujar Ayu berusaha mencairkan suasana."Tante ini siapa?" tanya Tama membuat Ayu terdiam sebentar."Oh, Tante ini—""Sudah bangun, Tama?" Dimas datang dengan membawa bingkisan yang dia berikan pada Tama. "Karena kamu nggak bawa baju ganti, tadi Ayah belikan di toko. Sebelum pulang mandi dulu, ya." Dimas mengacak lembut kepala Tama."Iya, Ayah." Tama meneruskan sarapan paginya.Dimas ikut dudu
"Laporan tindak pidana atas dasar penganiayaan tidak dapat di cabut, begitu prosedurnya. Oleh karena itu, kami tetap akan memprosesnya," ujar polisi berbadan tegap itu.Ya, Rubi bermaksud ingin mencabut laporan atas perlakuan Dimas pada Bono beberapa bulan yang lalu hingga membuat Bono harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Atas permohonan Tama, Rubi rela menurunkan ego nya pada lelaki yang sudah seringkali menyakiti hatinya itu."Penangguhan hukuman atau berupa jaminan juga tidak bisa?" tanya Regantara."Sayangnya tidak, Pak. Laporan sudah masuk sejak saat pertama kali di buat, jadi walaupun di selesaikan secara kekeluargaan tetap proses hukum berlanjut.""Penangguhan pun—" Rubi belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika Dimas mengangkat tangannya. "Kalian tidak usah repot-repot untuk itu, dengan kalian berusaha seperti ini saja aku tau kalian tulus," ucap Dimas. "Biarkan aku menyelesaikan apa yang sudah aku mulai," ujar Dimas lalu menunduk.Ayu yang berdiri tidak ja
Pagi itu suasana kembali normal, Rubi sudah di sibukkan kembali dengan kegiatan cateringnya. Bono pun sudah mondar mandir membawa perlengkapan catering yang berisi makanan untuk hari itu."Pagi, Mbak," sapa Bono saat Rubi datang setelah mengantar Tama ke sekolahnya."Pagi, Bon." Rubi mematikan mesin motor matic-nya. "Sudah beres?""Sedikit lagi, Mbak ... buah-buahan belum selesai di packing Mbok Inah," ujar Bono."Oh gitu, aku masuk dulu ya ... ganti baju," ujar Rubi sambil melepaskan jaket yang dia kenakan."Mbak ikut mobil box?" tanya Bono hati-hati."Iya lah, emang kenapa?""Oh, aku kira di jemput Pak Bos," kata Bono sambil menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal."Oh ... enggak. Aku mau berangkatnya sama kamu aja," ujar Rubi melangkah masuk ke dalam."Ya Tuhan, syukurlah semua kembali normal," ucap Bono lega.Tepat pukul sembilan pagi seperti biasa Bono dan Rubi sudha berada di kafetaria, Yanti pun sudah berada di sana terlebih dahulu."Bon, lontongnya itu kan sudah di potong-po
Sofa itu saksi panasnya mereka pagi tadi, tapi tetap saja sepanas apapun yang mereka lakukan, Rubi tetap bisa menahan keinginan Regantara. Normalnya manusia yang sudah lama ditinggalkan pasti akan merasakan gejolak hasrat yang luar biasa. "Kenapa senyum-senyum," tanya Regantara dengan wajah cemberut masih tergeletak di atas sofa. "Sabar ya," goda Rubi beranjak dari sofa sambil memasang kancing kemeja yang dia kenakan. "Jangan di pake." Regantara menahan tangan Rubi mengancingkan kemejanya. "Eh." "Jangan, biar begini aja." Buru-buru Regantara menyembunyikan rok 7/8 milik Rubi ke balik tubuhnya. "Mas ... masa aku kayak gini?" Rubi berdiri menatap dirinya yang hanya memakai pakaian dalam satu set berbalut kemeja tanpa dikancingkan. "Begitu aja,"ujar Regantara tersenyum menatap tubuh kekasihnya. "Terserah kamu deh." Rubi melangkah ke dapur melihat isi lemari pendingin mencari bahan yang bisa dia olah. "Masak apa?" Regantara memeluk tubuh Rubi dari belakang, menciumi leher jenjang
Satu bulan berlalu, Rubi disibukkan mengurus segala sesuatu untuk pernikahan mereka. Memang bukan sebuah pernikahan yang mewah, Rubi hanya meminta pada Regantara sebuah acara pernikahan yang sederhana namun sakral. Pernikahan mereka akan diadakan di Semarang, Regantara dan Rubi sepakat sementara waktu, mereka akan tinggal di apartemen Regantara. Sedangkan Kayma memilih untuk tinggal bersama Oma dan Opa nya di Jakarta, Arsa ikut dengan Rubi di Semarang bersama Regantara dan Tama jika rumah Regantara selesai di bangun. "Tinggal fitting baju pengantin," ujar Inggit mencentang daftar yang ada di buku catatannya. "Iya, rencana besok sama Mas Regan, kamu ikut ya," ucap Rubi. "Besok aku nggak bisa, biasalah Marchel datang ... dia baru pulang dari Bali. Sebelum dia berangkat ke Belanda, dia mampir kemari," ujar Inggit dengan wajah bersemu. "Hhmm ...." Rubi mencebikkan bibirnya. "Kalian sendiri kapan nikah?" "Ah jangan di tanya lah, masih enak kayak gini. Lagian proses cerainya Marchel j
Ayu duduk di hadapan Rubi dengan wajah yang lesu, terlihat pucat dan tak bersemangat. Wajah wanita yang biasanya full dengan make up itu nampak sangat polos. "Sudah berapa lama di Semarang?" tanya Rubi sambil menerima satu gelas jeruk hangat untuk Ayu. "Silahkan di minum," tawarnya. "Baru kemarin sampai," jawab Ayu. "Oh ... Hhmm, kamu sedang sakit?" tanya Rubi hati-hati. Bono dan Inggit yang masih berada di toko memperhatikan dari kejauhan. "Bon, kok aku koyo ngerasa dia beda, yo," ujar Inggit seraya berbisik. "Ojo suudzon, Mbak ... mungkin sakit," jawab Bono dengan berbisik. "Sstt ... kita denger in dulu." Bono menempelkan jari telunjuk di bibirnya alih-alih meminta Inggit untuk tenang, Bono malah mendapatkan pukulan di pundaknya dari Inggit. Ayu merogoh clutch bag nya. "Aku hamil," ujar Ayu memberikan alat testpack dan selembar kertas yang menunjukkan keakuratan jika memang benar dirinya hamil. Rubi terkejut, di bacanya hasil dari pemeriksaan dokter yang menyebutkan wanita it
"Aku hamil," ujar Ayu. "Aku hamil anak kamu, Dimas." Ayu mengusap air matanya. Dimas diam membisu, wajahnya memerah bukan karena dia tidak senang mendengar kabar kehamilan Ayu tetapi banyak hal yang harus dia pikirkan. Bagaimana kehidupan Ayu selanjutnya, bagaimana dengan anak yang dia kandung jika mengetahui ayahnya adalah seorang bajingan, cukup berhenti pada Tama sebutan itu, dia tidak ingin lagi menyakiti hati suci seseorang. "Dimas." Rubi membuyarkan lamunan Dimas. "Ah, iya." "Ayu mengandung anak kamu, gimana rencana kamu selanjutnya," kata Rubi hati-hati. "Aku—" "Aku hanya ingin kamu mengakuinya," ujar Ayu. "Biarkan aku merawatnya jika memang kamu tidak menginginkan dia." Ayu menatap tajam pada Dimas. "Bukan ... bukan itu maksud aku," jawab Dimas. "Hanya saja—' "Dimas, Ayu sampai di sini dengan meninggalkan semua yang dia punya. Perlu kamu ketahui, dia rela meninggalkan semua yang biasa dia dapat demi janin yang ada di kandungannya. Aku hanya mengingatkan, jangan lagi me
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H