Tama memeluk erat tubuh sang Bunda, menciuminya lembut sampai Rubi membuka matanya perlahan. Mata itu masih terlihat sembab, ya Rubi menangis semalam. Banyak hal yang dia pikirkan termasuk kehidupan Tama nanti."Hei," sapa Rubi dengan suara serak bangun tidur."Bunda tidurnya nyenyak?" tanya Tama menatap mata sang Bunda.Rubi mengangguk, membalas pelukan Tama sama eratnya."Tama pagi ini latihan baske, kan?" Rubi baru teringat Minggu pagi ini jadwal pertama kalinya Tama mengikuti club basket."Minggu depan aja, Bun. Tama mau temenin Bunda seharian ini," ujar lelaki kecil yang masih memakai piyama tidur bergambar Spongebob."Bunda udah nggak kenapa-kenapa, Bunda udah sehat udah seger kok. Jadi, Tama hari ini tetap harus latihan basket. Ingat, kemarin Tama kan yang minta, jadi Tama harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang Tama mau," ujar Rubi."Tapi Tama boleh kan peluk Bunda sebentar lagi," ucap Tama."Oh anak Bunda, udah gede masih manja," ujar Rubi tersenyum lalu menggoyang-goyangk
Tok tok tok Rubi cepat-cepat melepaskan tautannya, merapikan rambut serta pakaiannya. Mbok Inah berdiri di samping mobil Regantara dengan daster kebesaran."Mbok," sapa Rubi saat pintu mobil terbuka."Tak kira ngopo kok yo ora medun-medun (turun-turun)," kata Mbok Inah."Oh itu—""Mbok Inah, pulang dulu ya," ujar Regantara dari dalam mobilnya."Nggih, Mas Regan ... ati-ati," jawab Mbok Inah."Ayo Mbok, kita masuk," ajak Rubi lalu melemparkan senyum terkulum pada Regantara.*****Regantara baru tiba malam itu di Jakarta, kedua anaknya sudah terlelap tidur. Baru saja dia akan membuka pintu kamarnya, Irma muncul dari kamar miliknya bersama Wahyu."Regan," sapa Wahyu. "Baru sampai?""Iya, Pa ... baru saja, Papa sama Mama belum tidur?""Belum, sengaja nunggu kamu. Kamu ada waktu sebentar untuk kita bicara?" tanya Wahyu."Iya, Pa." Regan mengikuti langkah kaki Wahyu ke ruang kerjanya bersama Irma. Sudah lama sekali Regantara tak menapaki kakinya ke ruangan kerja mertuanya itu, dulu biasa
"Sakit, Tante," rengek Arsa. "Sakitnya cuma sebentar, besok sudah sembuh," ujar Rubi sambil membersihkan luka Arsa. "Tante tiup, ya?" Arsa pun mengangguk. "Kayma sama Tama ayo, gantian mandi," ujar Yanti pada dua anak yang lainnya. "Arsa nanti mandi nya gimana? kan sakit kalo kena air." Lagi-lagi Arsa merengek sambil memegangi lututnya yabg terluka. "Mau Tante mandiin?" tanya Rubi sambil melirik Regantara yang menahan senyumnya. "Tapi jangan kena air ya, Tante." "Nanti Tante coba, ya. Sekarang ayo kita mandi," ujar Rubi beranjak dari tempat duduknya mengantarkan Arsa. Setengah jam berkutat dengan tiga anak sekaligus ternyata membuat wanita itu cukup kelelahan. Regantara datang ke kamar Rubi yang sudah penuh dengan gelak tawa anak-anak mereka. "Papa order in nasi goreng tuh, pada makan yuk," ujar Regantara mendapati kamar itu sudah seperti kapal pecah sementara wajah Rubi sudah di hiasi bedak bayi oleh Kayma. "Masa Tante kalah lagi," kata Rubi dengan wajah cemberut. "Wes Mbak
Hari semakin sore, enggan rasanya Regantara berlama-lama duduk di ruangannya bersama seorang wanita yang baru beberapa kali bertemu. Kenal dekat pun tidak, bahkan almarhumah istrinya saja hanya sepintas lalu mengenalkannya pada Regantara. "Permisi, Pak." Pak Dadang masuk dengan membawa satu gelas jus tomat dan kopi yang Rubi buatkan sekalian untuk Regantara tadi saat Pak Dadang datang meminya jus. "Kopi untuk Pak Regan, dan jus tom— ya ampun, maaf Bu." Gelas berisi jus tomat terlepas begitu saja dari tangan Pak Dadang. "Astaga!" pekik Ayu terkejut dan berdiri dari tempat duduknya. "Maaf Bu, maaf saya nggak sengaja," ucap Pa Dadang ketakutan. Regantara memberikan tisue pada Ayu agar dia membersihkan bajunya. "Sudah Pak Dadang bisa keluar sekarang," ujar Regantara memberikan kode pada office boy tua itu untuk pergi dari ruangannya. "Bersihkan di toilet saja, Yu," titah Herman Hendarso sang Ayah. "Ayu permisi dulu," ucap wanita bertubuh proposional itu. "Maafkan karyawan s
"Lauknya mau pakai apa?" tanya Rubi siang itu saat melayani karyawan untuk makan siang. "Ayam goreng aja, Mbak Rubi," ujar gadis itu. "Mbak Rubi ...." "Iya?" "Denger-denger, Mbak Rubi lagi deket ya sama Pak Regan? Duh, seneng banget pasti ... jadi pengen," ujar gadis itu tersenyum malu-malu. "Biasa aja," kata Rubi pun tersenyum. "Tau nggak Mbak, banyak loh yang suka lirik-lirik Pak Regan di kantor. Sayangnya Pak Regan itu cuek, dingin banget. Kalo ngomong sama bawahan yang cewek aja jarang banget saling tatap," katanya lagi. "Mbak ... antri di belakang udah rame," celetuk Bono. "Eh iya, maaf ya. Eh Mbak Rubi, jangan kasih kendor ya ... pepet terus, langka loh dapet duda, kaya, ganteng, mapan, setia lagi ... duh, aku kok mau ya," ujarnya mengelus dadanya. "Bisa aja, ayo ... antriannya sudah panjang, Mbak." Rubi ikut tertawa kecil. Rubi masih sibuk melayani para karyawan, meski satu per satu dari mereka sudah ada yang kembali ke ruangan masing-masing. "Sstt, Mbak." Bono memang
Siang itu Regantara bergegas masuk ke ruang meeting, dia baru saja tiba di Jakarta. Semalam Wahyu memberitahukan untuk datang ke Jakarta karena mendadak akan diadakan rapat petinggi perusahaan termasuk Regantara diantaranya. "Selamat siang, maaf terlambat," ujar Regantara. Semua mata memandang padanya, hanya dia yang terlambat masuk ke ruangan itu. Meeting sudah berjalan sekitar setengah jam yang lalu. Regantara mengikuti rapat yang membahas tentang kepemilikan saham yang di revisi oleh Wahyu serta keterlibatan investor baru untuk kemajuan perusahaan mereka. "Sempat waktu itu saya mengatakan pada keluarga saya untuk menjual perusahaan ini, karena saya lelah. Saya pikir sudah waktunya saya istirahat di rumah, tapi bagaimana saya akan istirahat dan menikmati masa tua saya jika perusahaan yang saya dirikan selama 30 tahun ini ternyata belum kokoh berdiri," jelas Wahyu. "Dengan adanya investor baru, mudah-mudahan membawa kemajuan untuk perusahaan ini," tambahnya lagi. "Oleh sebab itu
"Ibu tiri? Siapa?" Irma muncul dari balik pintu rumah."Mama?" Regantara terkejut saat Irma muncul dari dalam rumah. Tangan Regantara masih menggenggam tangan mungil Kayma, besar harapannya gadis kecilnya itu tidak mengatakan apapun pada sang nenek. Karena waktunya memang belum tepat untuk Regantara jujur pada keluarga istrinya."Oma ...." Kayma lari ke pelukan Irma."Kay, kenapa?" tanya Irma sedikit membungkuk."Kay lapar," ujar bibir mungil itu.Regantara bernapas lega saat mendengar ucapan Kayma."Loh tadi nggak makan sama Papa?" Irma melirik pada Regantara."Enggak, tadi belum lapar sekarang lapar," ujar Kayma menyunggingkan senyuman."Kamu itu ... ayo." Irma tertawa kecil lalu menggandeng Kayma masuk ke dalam rumah.Pukul sembilan malam, Kayma dan Arsa baru saja terlelap. Regantara meraih ponselnya di atas nakas, membuka pintu kaca penghubung teras balkon, sejak tiba di Jakarta Regantara belum sempat menghubungi Rubi."Halo," ucap Regantara lembut saat sambungan telepon itu terj
Rubi mendesah kala Regantara mulai menciumi lembut puncak dadanya. Rubi bergerak tak beraturan merasai setiap sentuhan di setiap titik sensitifnya dari Regantara. Rasanya baru setengah jam yang lalu dia berdiri di depan pintu apartemen Regantara sambil membawa tempat makan malam. Regantara menariknya masuk, memberikan ciuman bertubi-tubi pada wajah dan merebahkannya di atas sofa.Napas mereka saling terengah, Regantara melepaskan kaos putih yang dia kenakan, sementara kancing kemeja Rubi sepenuhnya sudah terbuka. Mata Rubi menatap Regantara, tubuh lelaki itu begitu sempurna baginya. Regantara kembali membungkukkan tubuhnya, menautkan kembali bibirnya dengan bibir Rubi. Tangan Rubi kembali melingkar di leher kekasihnya itu. Dengan satu kali gerakan, Regantara berhasil membawa Rubi duduk di atas pangkuannya.Tangan Regantara membelai lembut punggung belakang Rubi dan seketika melepaskan pengait bra milik Rubi. Perlahan satu per satu kemeja serta bra Rubi jatuh ke lantai. Mata Regantara
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H