Tama masih berdiri menatapi punggung Rubi hingga gadis itu masuk ke dalam salah satu tenda. Sudut bibirnya masih mengembang, ingin membohongi diri sendiri namun kenyataannya, rasa itu tetap ada. "Tama," panggil Casey dari arah belakang tubuh Tama. Tama memutar tubuhnya, gadis berambut panjang itu pun mendekatinya. "Darimana aja, aku nungguin dari tadi," kata Casey. "Ngeliatin Kayma, tapi sekarang udah selesai acaranya." "Ya ampun, Kayma kan sudah besar. Lagian rame orang nggak mungkin juga dia kenapa-kenapa," ujar Casey. "Ya kan memang tujuan aku kesini di suruh Bunda untuk liatin Kayma. Kalian darimana?" tanya Tama. "Kita dari toilet, ya udah aku duluan ya," ujar Laura meninggalkan Tama dan Casey berdua. "Lama banget sih, Tam. Aku kan ikut kemah ini karena ada kesempatan bedua sama kamu, eh kamu malah ngurusin adik kamu itu," ujar Caset dengan wajah cemberut. "Aku sendiri nggak tau kalo kamu ikut, lagian ngapain sih kamu nggak terbiasa kemah-kemah begini." "Apa salahnya Ta
"Hoodie kamu?" Casey menatap Tama lalu bergantian menatap Kayma yang kebingungan karena berada di antara dua orang yang salah satunya sedang dalam keadaan cemburu buta."Mas balik ke kemah ya, nanti kalo ada apa-apa kasih tau, Mas," ujar Tama lalu pergi melangkah meninggalkan tenda Kayma.Casey yang merasa di acuhkan mengejar Tama diikuti dua temannya yang lain, yang sebelum meninggalkan Kayma mereka sempat melemparkan pandangan sinis."Tama!" Casey mengejar langkah Tama, lalu menarik lengan lelaki itu. Tama menghentikan langkahnya, dia tarik napasnya panjang."Apa, Cas?""Maksud kamu apa sih sebenarnya?" "Maksud yang mana?" Tama semakin tak suka dengan cara Casey seperti menuduhnya."Kamu ada di tenda Kayma!""Memang kenapa? salah?""Ya salah ... jelas salah! Aku nunggu in kamu di tempat kita ternyata kamu malah asik-asik di dalam tenda sama Kayma.""Kayma adik aku, Cas ...!" jawab Tama geram."Tapi kalian nggak sedarah, ingat itu Tama ... kalian hanya saudara tiri, tidak ada hubung
"Kay." Suara Rubi membuat Kayma memutuskan pandangan matanya ke arah Tama. Kayma masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu teras balkon. "Iya, Bun." "Bunda kira Kay tidur." Rubi duduk di sisi tempat tidur Kayma di susul oleh gadis itu pula sambil memeluk guling. "Bunda bawain scrub dan masker buat Kay, biar kulit wajahnya jadi lembab dan nggak kusam lagi." Rubi memberikan dua benda itu pada Kayma. "Untuk kulit Kay nggak bahaya?" "Enggak, ini ringan kok hanya scrub dan masker." "Makasih, Bunda," ucap Kayma. "Kay, Bunda boleh tanya sesuatu sama Kay." "Tentang apa, Bunda?" "Teman Tama tadi, kenapa Kayma keliatannya nggak begitu suka dengan Casey?" "Oh ...." "Kalian pernah ribut?" "Enggak Bun, enggak ada apa-apa cuma saja Kay risih kalo liat Casey sama Mas Tama. Casey suka atur-atur Mas Tama. Masa Mas Tama deket-deket Kay nggak boleh. Kan aneh," ujar Kayma. "Kok gitu?" "Enggak tau, aneh emang," celetuk gadis itu. "Kay sudah punya pacar di sekolah?" "Ya ampun, Bun ... mana
"Di siksa?""Perasaan," ucap Tama dengan tatapan mata yang begitu dalam."Siapa?" tanya Kayma.Tama hanya diam dan menunduk, hingga bakso dan minuman yang mereka pesan datang pun Tama masih terdiam."Mas Tama suka sama cewek lain?" Pertanyaan yang semakin membuat hati Kayma sakit."Iya," jawab Tama sambil mengaduk es teh di hadapannya."Yaah ...." Suara kecewa itu terdengar lirih."Kenapa?" tanya Tama."Kok Mas Tama gitu, harusnya kalo suka cewek lain selesaikan dulu sama Casey, nggak bisa langsung gitu aja. Itu namanya menyakiti hati wanita," ujar Kayma."Masalahnya Mas nggak tau harus gimana, Kay. Mas juga nggak tau perasaan Mas ini benar-benar atau hanya sekedar suka. Mas juga nggak tau apa cewek itu juga suka sama Mas," ucap Tama."Mas harus yakin diri Mas dulu, sebenarnya Mas gimana sama dia dan jangan lupa Mas harus selesaikan dengan Casey atau Mas bakal nyakitin hati dua orang cewek sekaligus," ucap Kayma sambil menelan ludahnya kasar dan dengan sadar hatinya seperti teriris."
Rubi menanggalkan pakaiannya, dia merangkak naik ke atas tubuh Regantara yang sudah tertidur pulas. Saat dia tinggalkan sebentar untuk membacakan Qiara dongeng,, Regantara masih asyik mengerjakan pekerjaan di laptop. Mungkin terlalu lama menunggu, Regantara memutuskan untuk tidur lebih dulu.Regantara tersadar saat dia merasakan basah di bibirnya, serta sentuhan hangat Rubi menelusuri lekuk tubuhnya. Mata Regantara terbuka mendapati istrinya sudah duduk di atas tubuhnya dengan tubuh tanpa sehelai benangpun.Regantara tersenyum, dilihatnya istrinya dengya tubuh polos begitu mengundang hasrat kelakiannya. Tangan Regantara naik ke atas paha mulus milik Rubi, Rubi mengikat tinggi rambutnya hingga leher jenjang itu semakin membuat Regantara tak dapat menahan rasa di bagian sensitifnya. Dada Rubi menegang kala Regantara menyentuh lembut, kepala Regantara terangkat, tangannya menangkup dada sang istri, sesekali menyesap puncak dada itu secara bergantian. Rubi mendesah, tangan Regantara meny
"Bunda kemana, Uti?" tanya Kayma siang itu saat mereka baru saja pulang sekolah. "Bunda ke rumah sakit," jawab Widya. "Bunda sakit?" tanya Tama yang muncul dari balik tubuh Kayma. "Bulek Yanti, melahirkan ... jadi Bunda kalian buru-buru ke rumah sakit. Ganti baju sik ... lalu makan, Uti mau tidur siang dulu," ujar Widya berjalan pelan dengan tongkatnya. "Iya, Uti," jawab keduanya. Kayma dan Tama menaiki tangga menuju kamar mereka, sementara suara Arsa dan Qiara berada di balkon teras lantai dua sedang bermain. "Mas, ngapain ikutin Kay?" tanya Kayma saat membalikkan tubuhnya Tama masih berada di belakang Kayma. "Emang nggak boleh ngikutin kemana pacarnya pergi," ujar Tama membuat Kayma tersipu malu. "Pacar apaan." Kayma menunduk malu, Tama tertawa kecil lalu meraih tangan Kayma masuk ke kamar gadis. Bukan satu dua kali Tama berada di kamar Kayma. Tama sering ke kamar ini jika sedang bersama-sama dengan kedua orangtuanya atau sekedar menemani Qiara atau Arsa bermain di sini. Ta
Bono memandangi wajah malaikat kecil di dalam dekapannya. Bayi mungil dengan bulu mata yang lentik, hidung yang mancung itu meluluhkan hatinya ketika tiga jam yang lalu hadir ke dunia ini. "Cantiknya," ucap Rubi ikut memandangi bayi perempuan itu. "Selamat ya, Bon. Selamat jadi Bapak.""Makasih, Mbak ....""Menik sedang menemani Yanti di ruang recovery, kamu nggak mau nemenin gitu?" "Nanti aja, Mbak. Masih mau di sini," ujar Bono."Kepincut ya?" Rubi tersenyum lalu menepuk pundak Bono dan meninggalkan lelaki itu. Wajah murni tanpa dosa, mana mungkin Bono bisa menolaknya."Aku sudah lihat," ucap Bono saat menemui Yanti setelah masuk ke ruang rawat inap."Kamu sudah lihat? Cantik, kan?" Menik menatap Bono, Bono tersenyum dia mengangguk dan merangkul Menik."Kasih aku tiga bulan ya, Bon," lirih Yanti."Aku nggak akan menahan-nahan anakmu, Yan ... kamu ibunya, kamu berhak atas dia dan kapan pun kamu ingin bersamanya.""Aku akan melakukan yang terbaik untuk kita bertiga," ujar Yanti meng
"Papa ...." Tama mendapati Regantara berada di dapur sedang memakan kudapan di tengah malam."Tama? Belum tidur?" "Besok libur, Pa ... kan tanggal merah, Tama mau ambil susu," ujar Tama membuka lemari pendingin. "Papa baru pulang?""Setengah jam lalu, Bunda udah tidur tapi Papa kelaparan." Begitulah Regantara, dia tak akan tega membangunkan istrinya hanya untuk sekedar menyiapkan makanan untuknya. " Duduk sini, temani Papa.""Pa, besok Tama ajak Kayma ke apartemen Ayah, boleh?""Boleh dong ... oh ya, sudah di pikirkan tawaran ayah Dimas?""Sudah, Pa ....""Semoga keputusannya tepat, ya. Papa hanya bisa mensupport Tama, memberikan kepercayaan untuk Tama. Masa depan itu Tama yang menentukan.""Iya, Pa ... untuk saat ini Tama memilih tetap tinggal di Indonesia, sama Papa sama bunda dan adik-adik.""Oh, jadi Tama memutuskan untuk meneruskan sekolah di sini?""Iya, Pa."Regantara mengangguk-angguk, tak di sangkanya Tama akan memilih meneruskan kuliah di Indonesia dan menolak tawaran Dimas
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus puā""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapiā""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapiā"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H