Ini ngga adil.
Ngga adil banget. Ngeselin.
Ya, Allah, aku pengen banting pintu, nendang meja, tapi kakiku nanti bengkak lagi.
Kutarik syal yang ngelilit kepala. Mantel panjang kulempar sembarangan ke kasur. Aku ngga ngerti semua ini. Sistem apa ini? Bener-bener ngeselin.
Hidupku baik-baik aja tanpa sistem ini. Trus kenapa musti ngikutin sistem, hah?
Kubanting badan sampe telungkup di atas kasur. Keluar dari sistem aja apa? Biar ngga usah repot?
Hah! Pusing! Aku mau jalan-jalan aja.
Kuraih hape buat googling amusement park di Maryland. Cum
Kututup pintu kamar dengan seluruh punggung. Benar-benar tak disangka, Alisha merespon berita ini lebih buruk dari dugaanku.Kuempaskan punggung ke kasur. Kata Ayah, Ibu dulu suka melakukan ini setiap kali tiba di kamar. "Kecuali waktu hamil kamu. Perutnya udah terlalu besar, jadinya Ayah yang disuruh menggantikan." Beliau menceritakannya sambil tertawa, padahal aku tahu kerinduan pasti meremas hatinya.Kuraih bantal dan kudekap erat. Alisha masih di kamar sebelah dan aku sudah merindukannya.Kupejamkan mata. Makin dipikirkan, makin berat terasa. Jangankan menjalani prosesi ijab kabul dengan makhluk itu, bertemu muka saja rasanya aku tak sanggup. Bukan karena takut, tetapi aku khawatir tergoda untuk membunuhnya.Aku ingin tahu, bagaimana pendapat Naila. Apakah dia bisa m
Makin lama di kamar, kayanya pikiran makin buntu, deh.Ah, ngeselin! Aku butuh udara segar!Kuambil mantel dan kulilitkan lagi syal di kepala. Ngeliat muka sendiri di cermin, jadi bertanya-tanya. Kenapa tadi aku mau ngikutin sistem ini? Sistem yang ngeselin ini? Hidupku baik-baik aja sebelum tau soal sistem ini. Udah ngikutin sistem ini malah jadi berantakan. Huh!Kubuka lagi syal yang udah ngelilit kepala. Rambutku jadi awut-awutan ketarik kain pure cashmere. Kurapiin rambut seadanya pake tangan.Hmmppft! Ngeselin.Liat lagi muka di cermin. Kenapa jadi ngerasa ada yang aneh di mukaku setelah syal dilepas?
Ha ha ha! Sembarangan si Alex. "Kirain aku lagi berhadapan sama calon suami orang."Dia ngebales dengan ketawa juga. "Soalnya cewek yang aku suka, ngga suka sama aku kalo aku lagi available."Aku tertegun. Dia bener. Kalo mau jujur, dia emang keliatan seksi banget sekarang, tapi aku udah tobat. Inget-inget lagi, gimana akibatnya kalo nekat ngga mau ngikutin sistem."Iya, kan?" katanya lagi, "atau Shasha udah berubah sekarang?"Kutarik napas dalam abis minum air mineral. "Alex, kita hidup yang lurus-lurus aja, deh, sekarang. Kamu mau nikah bulan depan. Ya, udah, jangan main api sekarang.""Kamu serius sama dia?"
Ingatanku seperti kabut. Semua samar-samar, seperti mimpi yang terlihat begitu nyata. Namun, terasa seperti kenyataan yang mengawang bagai mimpi.Aku terbangun dengan sakit kepala menusuk di kepala belakang, akibat getar ponsel yang beresonansi di telinga. "Hm?"Ada embusan napas lega di seberang sana. "Akhirnya. Kamu udah bangun?" Suara Alisha seperti gema di kepalaku.Kukucek mata. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai jendela. "Ya. Argh!""Kenapa?" Ada nada khawatir dalam suaranya."Ngga apa-apa." Kepalaku sakit sekali saat bergerak."Udah sarapan?"Kupijit tengkuk dan kujambak sedikit rambut di kepalaku. Ya, Allah, sakitn
Tuh, kan, dia pasti punya rencana, deh. "Apa?""Apanya?" Ih, malah ngeles."Rencananya," kataku ngga sabar.Dia narik napas, ngeliat aku dalem. "Belum matang."What the ...? "Hhh, kirain beneran udah ada."Dia masih ngeliatin aku. Peduli amat. Mendingan ngeliat pemandangan di luar. Pohon-pohon di trotoar udah jadi kuning semua. Orang-orang jalan kaki sambil masukin tangan ke dalam saku jaket, kayanya hari ini lumayan dingin.Cahaya matahari ketutup awan hitam, jangan-jangan bakal ada hujan angin lagi, aku lupa ngecek prakiraan cuaca. Suasana di luar mobil keliatan agak suram dan gelap. Pantes, katanya pas musim dingin banyak ya
Aku terpaksa meminta penjadwalan ulang wawancara dengan pihak kedutaan karena jam kerja telah berakhir ketika pesawat Alisha akhirnya mendapat izin lepas landas. Hari itu bisa dibilang bukan hari paling produktif dalam hidupku. Mungkin hari paling tidak produktif selama delapan tahun ini, dalam konteks menghasilkan sesuatu yang bersifat material. Namun, di sisi lain, setidaknya aku menghasilkan kesepakatan baru dengan Alisha.Hhh, bicara soal kesepakatan dengan Alisha, tampaknya aku harus bersabar. Seperti air, hubunganku dengan Alisha akan sangat bergantung pada wadahnya. Tak ada yang pasti di sini. Aku harus memastikan wadahnya dulu agar bentuknya pun menjadi jelas.Tak banyak yang kukerjakan setelah tiba di hotel. Memeriksa e-mail, menyimak laporan Arta tentang kondi
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."