Malam Minggu.
Ibu Kota terasa lebih hidup, lebih bergairah.
Di sepanjang jalan aku lihat muda-mudi berboncengan, berpelukan, berbicara entah apa seraya tersenyum dan tertawa. Si perempuan yang membonceng mencubit pinggang pacarnya, dan pacarnya menggeliat. Jari mereka menunjuk-nujuk bintang, menunjuk-nunjuk gedung, menunjuk-nujuk lampu jalanan, hingga pada waktu yang tepat kedua sejoli itu saling menunjuk-nujuk hidung.
Tak berhenti sampai di situ, ketika mobil ini melewati sebuah taman, aku mendapati lebih banyak sejoli yang sedang bermesraan. Mereka duduk di bangku taman, si wanita menyandarkan kepalanya ke pacarnya, lalu mungkin pacarnya sedang berbicara mengenai rencana masa depan yang cerah, secerah matahari, hingga membuat si wanita kepayang.
Aku menduga, setelah itu mereka pasti akan pergi menghabiskan malam berkeliling kota mengendarai sepeda motornya. Serta sesekali mereka akan berhenti membeli kacang rebus, es krim, atau makanan-makanan ringan, a
Selesai penampilan malam ini kami berkumpul di belakang panggung. Inces menghitung semua uang saweran dengan disaksikan kami dan juga perwakilan pihak club. Sesuai kesepatakan, dari uang saweran akan dibagi 70:30. Bagian terbesar untuk kami adalah 70%, sedang sisanya yang 30% untuk pihak club.“Dua puluh satu juta!”Kami semua terenyak saat mendengar perkataan Inces itu! Dua puluh satu juta? Astaga, aku tidak menyangka jika saweran akan sebanyak ini. Semuanya adalah lembar seratus ribuan atau paling kecil adalah lima puluh ribuan. Beda sekali dengan di kampung yang kebanyakan hanya uang lima ribuan.Semua uang tersebut kemudian diserahkan kepada perwakilan club, dan nanti bagian kami akan diberikan melalui transfer. Petugas club pergi membawa uang-uang tersebut, kemudian kami sedikit berbincang kemudian memutuskan pulang.Di depan gedung clun Si Jon sudah menunggu kami. Taksi besar berwarna kuning itu bahkan tidak perlu dihubungi, dia su
Aku mendapat kabar jika Temu masuk rumah sakit. Kabar tersebut datang melalui pesan singkat Aisyah yang dikirim ke ponselku.Seketika aku syok! Bocah yang terlahir tanpa kasih sayang Ibu Bapaknya itu sakit apa? Betapa malang. Betapa kabar ini mengejutkan.Segera kuambil ponselku dan mencoba menghubungi Aisyah. Tapi telepon hanya berdering tanpa ada tanda-tanda jawaban dari seberang. Aku mondar-mandir ke sana-sini di dalam kamar hotel seraya terus mencoba menghubungi Aisyah. Tapi sayang sepertinya gadis itu sedang terlalu sibuk untuk menjawab panggilanku.“Kenapa, Mas?” Dewik yang baru saja keluar dari kamar mandi ikut bingung melihat tingkahku. Biasanya aku tenang, bahkan cenderung cuek serta tidak memikirkan apa-apa. Tapi kali ini berbeda.“Mas?”“Temu masuk rumah sakit,” jawabku pendek.“Astaga, kenapa dia? Sakit apa bocah itu?”“Aku tidak tahu.”“Dari si
Malam harinya, aku, Dewik, dan bersama Si Bencong manajer kami berencana membahas soal izin pulang kampung bulan depan. Kami sepakat untuk membicarakan masalah ini di Resto Hotel lantai bawah.Pukul 19.00.Setelah rampung bercinta, aku dan Dewik mengenakan pakaian santai lalu pergi ke Resto Hotel yang berada di dekat lobi.Suasana cukup ramai. Orang-orang sedang dinner, ditemani dengan anggur atau secangkir kopi bersama keluarganya. Namun masih seperti kebiasaan orang kota lainnya, mereka jarang mengobrol satu sama lain, dan malahan hanya memandangi gadget masing-masing.Dewik memesan steak dan air putih dingin. Sedangkan aku ingin makan nasi goreng dan secangkir kopi. Inces belum terlihat. Maka kami memutuskan menunggu si bencong itu di ruang smooking area.“Rencananya besok kita pulang naik kereta api, Mas?”“Memangnya apa lagi? Helikopter? Mau mendarat di kebun?” Aku mencoba melucu.“Ya nggak gitu juga
Aku masih mematung ketika mobil Jeep hitam meninggalkan area Hotel. Banyak yang sedang aku pikirkan sekarang. Tapi tak lama kemudian sebuah mobil putih berhenti di depan pintu hotel, tepat di depanku.“Ngapain kamu di sini, Kir?” Kang Bambang langsung menyapaku begitu keluar dari mobil putih itu.“Lho, Kang? Anu, aku ya lagi nungguin kamu kok d sini. Hehhehe..” Aku menggaruk-garuk kepala.Si supir mobil putih pamit pergi. Kang Bambang menyilakan. “Terima kasih udah nganterin muter-muter tadi, ya,” ucap Kang Bambang. Si supir mengangguk, menutup jendela, lalu mobil mewah itu meninggalkan kami. Di kaca belakang mobil tertulis jelas, Laskar Cinta.“Yuk masuk!” ajak Kang Bambang dengan wajah yang terlihat letih.“Yuk.”Kami berdua masuk dan langsung menuju ke Resto Hotel, tempat dimana Inces dan Dewik sedang duduk di sana. Dewik senang melihat Kang Bambang yang sudah pulang. Tapi Inces
- 05.00 pagi aku terbangun karena alarm menjerit keras.- 05.05 aku mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.- 05.45 aku keluar kamar mandi, dan ternyata Dewik sudah menghadangku dengan semyuman mautnya.- 06.45 aku berbaring lemas di atas ranjang dengan Dewik yang berada di pelukanku tanpa mengenakan selembar pun baju.- 06.50 aku kembali masuk kamar mandi.- 07.15 aku keluar kamar mandi, dan Dewik meminta jatah lagi, tapi kali ini kutolak dengan tegas.- 07.40 aku telah siap berpakaian, mengenakan baju hem lengan pendek yang rapi dan celana jeans warna biru tua. Jaket kesayanganku tak lupa kukenakan. Dewik juga membekaliku dengan kacamata hitam yang kemudian kucantelkan ke saku baju.- 07.50 aku menunggu di depan pintu depan hotel, menanti jemputan supir Ahmad Deddy tiba. Kunyalakan rokok. Aku berdiri di sana, mengobrol ringan dengan petugas hotel yang juga menunggu pengunjung yang tiba.- 08.00 tepat, mobil putih mewah dat
“Sudah sampai, Mas Cukir,” ucap sang supir itu. Mobil kami telah masuk gerbang di kediaman Ahmad Deddy.Setelah mengucapkan terima kasih aku pun turun. Seorang pembantu rumah tangga terlihat sedang menyapu latar, tersenyum padaku.“Sudah ditunggu daritadi, Mas,” ucapnya ramah.“Iya, maaf, soalnya barusan macet.”“Nggak apa-apa, Ibu Kota kalau nggak macet malah aneh.”Kami tertawa kecil. Kemudian aku izin untuk masuk ke ruang tamu.Betapa terkejut saat aku masuk ke ruang tamu dan ternyata sudah ada Jamilla di sana. Sepertinya dia sudah menungguku dari tadi. Dia mengenakan pakaian seksi, dengan tank top warna hitam dan celana pendek, bahkan kedua pahanya sampai bisa kulihat. Putih sekali. Seperti daging kelapa muda.“Hai,” sapanya ramah. Barisan giginya rapi tertata. “Aku udah nunggu lama, lho. Macet ya pasti barusan?”Aku mengangguk-angguk seperti orang bodo
PERINGATAN HANYA UNTUK 18+BAB INI BERISI ADEGAN RANJANG!JIKA TIDAK BERKENAN KALIAN BISA MELEWATINYA!KAMI PASTIKAN KALIAN AKAN TETAP MENGIKUTI ALUR CERITA NOVEL INI DENGAN BAIK MESKI TANPA MEMBUKA BAB INI!TERIMA KASIH.****“Aku masih menunggu jawabanmu, Cukir.” Jamilla menatapku. “Mana yang lebih kamu sukai, apakah wanita berdada padat dan besar, ataukah wanita bertubuh ramping dengan dada yang kecil?”“A-ku … aku suka keduanya.”“Oh, jawabanmu menarik.” Wanita cantik berdarah campuran itu tersenyum. Lalu wajahnya mendekat ke wajahku seraya berkata, “Sekarang komentarilah mengenai tubuhku!”“Eh?”“Kenapa? Kamu keberatan?”Aku mengerjabkan mata. “Bukan begitu … maksudku, apa aku pantas melakukannya?”“Apa yang menjadikannya tidak pantas?”
Di Kolam Renang Hotel Lantai Paling Atas.“Kok cepat sekali, Kir?”Mereka semua heran saat mendapati aku sudah pulang. Waktu masih menujukkan pukul 11.00 siang. Aku hanya tertawa-tawa, sambil kukibas-kibaskan selembar kertas warna emas di depan wajah mereka.“Yaiyalah. Cukir gitu lho!” Dengan bangga dadaku membusung. Aku menepuk-nepuknya seperti gorilla yang sedang menunjukkan keperkasaannya.“Aneh ya. Padahal aku kemarin tes wawancara dari pagi sampai malam.” Kang Bambang menatapku curiga.“Ya beda lah, Kang. Itu kan kamu. Kalau aku ya beda. Semua orang kan punya nasib yang beda-beda,” ucapku membela diri.“Memangnya Mas Cukir tesnya gimana?” ucap Dewik menatapku.“Ya wawancara gitu lah. Ditanya-tanya soal visi misi, strategi, dan tujuan jika grup musik dangdut kita jika keterima di Manajemen Laskar Cinta.”“Udah begitu aja?” Dewik tak percaya.
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma