PERINGATAN HANYA UNTUK 18+
BAB INI BERISI ADEGAN RANJANG!
JIKA TIDAK BERKENAN KALIAN BISA MELEWATINYA!
KAMI PASTIKAN KALIAN AKAN TETAP MENGIKUTI ALUR CERITA NOVEL INI DENGAN BAIK MESKI TANPA MEMBUKA BAB INI!
TERIMA KASIH.
****
“Aku masih menunggu jawabanmu, Cukir.” Jamilla menatapku. “Mana yang lebih kamu sukai, apakah wanita berdada padat dan besar, ataukah wanita bertubuh ramping dengan dada yang kecil?”
“A-ku … aku suka keduanya.”
“Oh, jawabanmu menarik.” Wanita cantik berdarah campuran itu tersenyum. Lalu wajahnya mendekat ke wajahku seraya berkata, “Sekarang komentarilah mengenai tubuhku!”
“Eh?”
“Kenapa? Kamu keberatan?”
Aku mengerjabkan mata. “Bukan begitu … maksudku, apa aku pantas melakukannya?”
“Apa yang menjadikannya tidak pantas?”
<Di Kolam Renang Hotel Lantai Paling Atas.“Kok cepat sekali, Kir?”Mereka semua heran saat mendapati aku sudah pulang. Waktu masih menujukkan pukul 11.00 siang. Aku hanya tertawa-tawa, sambil kukibas-kibaskan selembar kertas warna emas di depan wajah mereka.“Yaiyalah. Cukir gitu lho!” Dengan bangga dadaku membusung. Aku menepuk-nepuknya seperti gorilla yang sedang menunjukkan keperkasaannya.“Aneh ya. Padahal aku kemarin tes wawancara dari pagi sampai malam.” Kang Bambang menatapku curiga.“Ya beda lah, Kang. Itu kan kamu. Kalau aku ya beda. Semua orang kan punya nasib yang beda-beda,” ucapku membela diri.“Memangnya Mas Cukir tesnya gimana?” ucap Dewik menatapku.“Ya wawancara gitu lah. Ditanya-tanya soal visi misi, strategi, dan tujuan jika grup musik dangdut kita jika keterima di Manajemen Laskar Cinta.”“Udah begitu aja?” Dewik tak percaya.
Rabu Pagi.Sesuai jadwal yang telah ditentukan, hari ini Dewik akan menjalani tes wawancara tahap tiga. Ini merupakan tes penentuan bagi karir grup dangdut kami, jika betina itu bisa pulang dengan membawa lembaran kertas berwarna emas, maka kami akan masuk ke jajaran manajemen artis Laskar Cinta. Dan itu artinya akan ada masa depan cerah untuk perjuangan kam selama ini.Dewik bangun pagi-pagi, sekitar pukul 06.00 lalu dia menciumku dan lekas mengambil handuk masuk kamar mandi. Sayup-sayup aku membuka mata, dan kudengar wanita itu sedang bernyanyi-nyayi, bersiul-siul, bersenandung bersemangat di dalam kamar mandi, di antara bunyi percikan air shower yang mengucur.Sempat terbesit olehku untuk ikut masuk ke dalam sana, lalu menggodanya untuk bercinta, namun semua keinginan itu kuurungkan sebab aku tidak ingin mengganggu acaranya hari ini.“Oh, kamu sudah bangun, Mas?” tanyanya setelah keluar dari kamar mandi. Lama sekali dia mandi. Dia men
Selepas Dewik berangkat, aku memutuskan duduk sebentar di Resto Hotel. Kepada pelayan aku memesan secangkir kopi dan kentang goreng, kemudian duduk di meja smooking area.Aku mengambil ponsel dan langsung menghubungi Aisyah.“Assalamualaiku, Aisyah. Apa kabar?”“Waalaikumsallam, Mas. Alhamdulillah baik. Tumben Mas Cukir telpon. Mau bicara sama Emak ya pasti?”Rasanya lega sekali mendengar suara Aisyah. Lembut. Pelan. Serta menimbulkan kesan tenang. Wanita sholehah memang berbeda. Ada getaran-getaran yang tak bisa aku ungkapkan. Kata ustad-ustad di televisi, suara orang yang gemar mengaji akan memunculkan aura yang tidak biasa.“Iya, Aisyah. Emak ada lagi di pondok nggak, ya?”“Mmm, dari tadi belum kelihatan tuh. Aisyah panggilin aja, ya?”“Wah, nggak usah deh. Nanti ngrepotin kamu.”Asiyah cekikikan. “Enggaklah, Mas. Ngrepotin apa sih? Kebetulan aku juga nggak la
Semakin hari aku semakin sadar, jika ada banyak hal belum bisa aku mengerti dari kehidupan di Ibu Kota ini. Banyak orang miskin yang ingin menjadi kaya dengan menghalalkan segala cara. Banyak orang tak berada ingin mencari pengaruh dengan menghalalkan segala cara. Namun, ketika mereka sudah mendapatkan banyak harta, kaya, berpengaruh, mereka malah tidak bahagia.Apa yang salah sebenarnya dengan Ibu Kota? Penyihir mana yang telah mengutuk para penduduknya hingga sampai kerap kali melakukan perbuatan keji?Inilah pertanyaan terbesar dari hidupku, yang merupakan seorang pendosa.****Di kamar hotel, aku hanya berguling-guling tidak menentu, berusaha melupakan semuanya dan berusaha memejam mata.Tapi tidak bisa. Bayangan suara Dewik yang mendesah di telepon barusan bagiku sangatlah menganggu.Aku bukan seseorang yang egois. Aku bukan seseorang yang munafik. Aku mengakui jika aku juga pernah berselingkuh bahkan d
Dia tidak segan menggandeng tanganku saat berada di Mall, dari lantai satu hingga sampai lantai tujuh.Di lantai satu lebih banyak diisi outlet-outlet makanan. Bau roti semerbak menyelinap di hidungku, wangi, dan terasa manis.“Kamu mau yang mana, Mas?”“Terserah kamu.”“Donat?”Aku mengangguk.“Roti-roti kering begini apakah Emak suka?”Aku mengangguk.“Roti tawar Emak suka juga?”Lagi-lagi aku hanya mengangguk.“Oh, ayolah, Mas? Kenapa kamu jadi pendiam begitu?”Aku tak menjawab. Dia lalu mengambil keranjang dan mengisinya dengan banyak roti yang dia pilih untuk Emak. Sepertinya dia tak begitu peduli, mengapa sikapku mendadak menjadi pendiam begini. Bahkan dari semalam dia tidak pernah menanyakan “mengapa kamu jadi pendiam begitu”, atau “apa ada yang salah dengangku”, atau pertanyaan lain semacam itu.Mu
18+HANYA BERISI ADEGAN RANJANG!ANDA BISA MELEWATI BAB INI TANPA AKAN KEHILANGAN JALAN CERITANYA!TERIMA KASIH!****Dewik segera menarik tanganku begitu kita turun dari taksi. Dia menyerahkan semua tas belanjaan kepada pelayan hotel untuk dibawakan ke kamarnya.Sesampai di kamar hotel, dan setelah pelayan hotel meletakkan semua barang belanjaan, Dewik memberinya tips dan menyuruhnya pergi. Sebelum menutup pintu betina itu menggantungkan tanda ‘Jangan Diganggu’ pada ganggang pintu di luar kamar kami.“Mandi dulu, Mas.” Dia mendorongku masuk ke kamar mandi, tanpa sebelumnya membawa handuk atau melepas baju. Wanita itu langsung menghidupkan shower begitu saja hingga membuat seluruh pakaian kami basah dibuatnya.“Kenapa kamu jadi pendiam, Mas?” tanyanya di antara suara kucuran air shower. Matanya menyempit-nyempit menerima guyuran air tersebut.“Jawab!&r
Di Stasiun Kereta.Akhirnya kami di sini, menunggu kereta kami yang akan mengantar ke kampung halaman. Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, aku akan pulang dengan Dewik untuk waktu hanya 3 hari.“Ingat! Jangan sampai lebih dari 3 hari atau kontrak kita akan batal semua!” ucap Inces hari lalu dengan sungguh-sungguh.Itu memang benar. Karena setelah pulang ke kampung halaman, kami harus cepat-cepat kembali ke Ibu Kota karena ada acara peresmian sebagai keluarga besar manajemen artis Laskar Cinta. Dan kabarnya, Ahmad Deddy akan banyak mengundang wartawan.“Mas, aku ke toilet dulu ya. Nitip barang-barangku.”“Oke siap, Boss!”“Nah, aku suka kamu udah kembali banyak omongnya gini. Nggak kayak kemarin. Serem di jalan, serem juga pas di ranjang.” Dewik tertawa dan berlalu menuju ke toilet.Baiklah, bagaimanapun aku harus berdamai dengan keadaan ini. Aku nggak bisa berlama-lama mendiamkan
“Assalamualaikum,” ucapku pelan.Tapi tidak ada jawaban. Rumah begitu lengang dan sepi. Padahal biasanya ada suara siaran radio atau televisi, tapi tidak kali ini, aku melihat ke kanan-kiri dan tetap sepi. Aku mengucap salam sekali lagi dan tetap tidak ada sahutan dari dalam.Kemana Emak?Tok Tok Tok…Aneh.Apa mungkin Emak sedang di pondok? Kulirik jam tangan dan waktu menunjukkan pukul 17.30 petang. Ah, rasanya tidak mungkin Emak ke Pondok di waktu-waktu seperti ini.Kakiku melangkah hati-hati ke belakang rumah, karena siapa tahu Emak sedang ada di kamar mandi. Tapi tidak ada ternyata. Sehingga kuputuskan untuk masuk rumah lewat pintu belakang yang kebetulan tidak dikunci.“Assalamualaikum, Mak?”Aku menolah-noleh ke seisi rumah, tapi Emak tidak kelihatan. Dan barulah saat aku pergi ke kamar Emak, rupanya wanita tua itu sedang tidur terlelap di kasurnya.“Oh, ketiduran rupanya,&rdqu
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma