Malam ini sungguh melelahkan. Namun, aku tetap tampan dan kata orang-orang mirip Reza Rahardian (itu kata mereka dan bukan kataku!). Akhirnya seluruh rangkaian acara telah usai. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing membuat lapangan seketika menjadi sepi. Hanya tampak satu dua kuli angkut sedang membongkari sound system dan panggung.
“Gimana, Wik, dapat saweran banyak?” tanya Kang Bambang sambil mengemasi kendang. Tapi Dewik tak menjawab, menoleh pun tidak. Gadis itu sedang sibuk menghitung uang dalam kotak.
“Ya jelas banyaklah,” kataku menyela, “Juragan Turah kalau lagi mabuk suka lupa sama uang. Hahahaa.”
“Berarti sekarang kita punya semboyan baru, Kir!
“Apa itu, Kang?”
“Mabukmu Rejekiku! Ya, tho?”
Aku tergelak. Kang Bambang orangnya memang suka bercanda, bahkan seringkali leluconnya berbau porno alias jorok. Apa mungkin di usia empat puluhan lelucon jorok memang lebih disukai? Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku tahu sekarang hanya Dewik masih diam saja di pojok panggung menghitung uang-uang saweran. Padahal biasanya dia yang paling heboh di antara kami bertiga.
“Sudah, Mas. Yuk pulang!” kata Dewik terburu sambil menyodorkan jaket padaku. Wajahnya agak murung.
“Yuk,” jawabku merasa heran.
Seperti biasa, selesai manggung kami tak langsung pulang. Kami pasti mampir dulu ke warung kopi Mbok Bariyah guna membagi penghasilan di sana. Kuboncengkan Dewik naik Motor Vespa warisan almarhum bapak. Sementara Kang Bambang memboncengkan kendangnya, sudah ngacir dulu di depan.
Kami melewati jalan desa yang sepi. Hawa dingin menyergap, dan suara jangkrik saling susul di tengah kebun-kebun kopi yang gelap. Dewik memelukku erat sekali. Mungkin dia takut. Tapi, kurasa dia memang sedang tidak mood hari ini.
“Capek, Wik?” tanyaku basa-basi.
“Lumayan, Mas.”
“Yasudah sini, nyandar aja ke pundakku,” godaku nakal sambil cengengesan. Maksudku, kalau boncengnya makin dekat pasti makin terasa itunya.
“Mas, boleh aku tanya sesuatu?”
“Hm?”
“Ya. Aku serius mau tanya sesuatu.”
Kaget rasanya aku. Tidak biasanya Dewik semurung ini. Biasanya dia itu ceria, bahkan boleh dibilang setengah edan. Dia suka ketawa-tawa nggak jelas mirip cabe-cabean, atau nyanyi-nyanyi sendiri di sepanjang jalan. Tapi tidak malam ini. Waduh, ada apa, ya?
“Soal apa, Wik?” tanyaku hati-hati.
“Menurut Mas Cukir, ada nggak laki-laki yang mau nikah sama biduan dangdut kayak aku?”
“Woo, ya jelas ada, Wik!” celetukku segera, tanpa pikir panjang. “Kamu ini kan cantik. Suaramu bagus, badanmu semok, bokongmu montok, dan juga aduh—”
Dewik mencubit pinggulku. “Bukan itu masalahnya, Mas!”
“Lha, terus?”
“Ya soal profesiku ini!”
“Biduan dangdut maksudmu?”
Dewik mengangguk. Dari kaca spion bisa kulihat ada sedih di matanya. Aku merasa harus segera menghiburnya.
“Begini, ya, Wik. Setahuku jodoh itu sudah diatur sama Tuhan. Jadi, kamu nggak perlu khawatir soal jodoh. Suatu hari pasti ada laki-laki baik hati yang betandang ke rumahmu melamarmu.”
“Begitukah?”
Aku mengangguk. “Ya lah. Tuhan pasti sudah menyiapkan jodoh yang terbaik buat kamu. Datangnya tidak mesti sekarang. Kalau kata pak ustad-ustad, jodoh akan datang di waktu yang tepat.”
“Kapan? Umurku sekarang sudah masuk dua lima. Harusnya sekarang sudah tepat.”
Kulirik lagi wajahnya dari balik kaca spion. “Tepat menurutmu belum tentu tepat menurut Tuhan,” kataku, dan sekarang aku sedang merasa seperti ustaz-ustaz berceramah di televisi yang gemar disetel emak pagi-pagi.
Dewik mendesah, terlihat tak yakin dengan dirinya sendiri. “Apa mungkin Tuhan menyayangi seorang biduan dangdut sepertiku?”
“Tentu!” Mantap sekali bicaraku, sampai-sampai kepalaku ikut mengangguk. “Sekarang kamu yakini saja, bahwa jodohmu pasti nanti datang di waktu yang tepat.”
“Tapi aku tidak yakin!”
“Ya harus yakin!” Kuangkat satu tanganku menghadap langit. “Tetaplah berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.” Alamak, belagu benar omonganku!
“Tapi, Mas, kalau jodohku tetap nggak datang-datang gimana?”
“Pasti datang, Wik!” Aku berusaha untuk terus meyakinkan. Capek juga lama-lama ternyata. Dasar betina!
“Sudah, kamu tenang aja, ya. Lihat itu. Kambing aja yang nggak pernah mandi bisa punya pasangan, masak kamu enggak?”
“Ya bisa saja Tuhan memang menggariskan aku nggak punya jodoh, kan?”
“Ya kalah dong berarti kamu sama kambing, aduh—”
Kembali tangannya mencubitku. Sejak tergabung dalam satu grup musik dangdut kami memang cepat akrab. Urusan cubit-mencubit sudah jadi makanan sehari-hari.
“Mas!”
“Opo maneh?” Kesal aku lama-lama. Dewik rewel sekali malam ini entah kenapa.
“Tapi, gimana kalau nanti jodohku tetap nggak datang-datang? Soalnya aku khawatir, profesi biduan dangdut ini kan selalu dipandang jelek di mata orang-orang!”
Diam aku sekarang. Kesal rasanya sudah. Bingung mau ngomong apa lagi buat meyakinkan dia.
“Mas Cukir!”
“Ya, ya, ya! Nanti kalau jodohmu nggak datang-datang biar akulah yang ngelamar kamu!”
“Apa?”
“Ha?”
“Bilang apa Mas Cukir barusan?”
Waduh goblok! Salah ngomong aku!
“Ee, anu, nggak ngomong apa-apa!” Aku langsung diam. Dewik juga ikut diam. Sejalan itu, perlahan, tangannya masuk ke dalam saku jaketku, lalu memeluk makin erat. Kepalanya kini disandarkan di pundakku. “Makasih ya, Mas,” bisikknya lirih, lirih sekali, tepat di lubang telingaku. Geli aku jadinya. Apalagi sekarang di bagian belakang punggungku semacam ada dua bongkah barang besar yang mengganjal!
Malam makin meremang.
Di satu sisi sebenarnya aku tak tahu, apakah aku menyayangi Dewik atau tidak; apakah aku mencintainya atau tidak? Karena tak bisa kupungkiri rasa cemburuku untuknya—terutama saat dia sedang disawer orang-orang—memang muncul secara tiba-tiba. Dan bukankah rasa cemburu seharusnya merupakan tanda cinta? O, tidak! Sebab bersama Dewik, aku sama sekali tidak merasakan getaran-getaran cinta, sebagaimana seharusnya orang-orang yang sedang jatuh cinta merasakannya.
Maka ini sungguh aneh. Aku mencemburuinya, tapi tidak mencintainya.
Perasaanku serupa perahu kertas yang terombang-ambing di tengah lautan. Kadang terbawa arus ke kanan, kadang terempas ke kiri. Ah, sudahlah. Sebaiknya tak perlu kupusingkan masalah ini. Barangkali memang hanya waktu yang mampu menjawabnya, suatu hari nanti.
Sesampai di warung kopi Mbok Bariyah langsung kupesan segelas kopi hitam sangat kental dan panas.
“Tanpa gula ya, Mbok!” kataku.
“Seperti biasa, Cah Bagus?”
“Yoi!”
Tanganku cepat meraih pisang goreng dua biji—makanan terlezat di dunia—lalu memasukkan ke dalam mulut sekaligus. Lapar sekali rasanya. Tadi sebelum manggung aku tak sempat makan.
Setelah semua memesan minum, Kang Bambang memulai obrolan. Tapi kali ini mimik mukanya serius.
“Sebenarnya aku punya 2 kabar buat kalian. Satu kabar baik, satu kabar buruk.” Aku dan Dewik langsung bertatap. Lalu Kang Bambang kembali melanjutkan, “Mana yang sebaiknya kuberitahu dulu?”
“Kabar baiknya dulu, Kang,” sambar Dewik cepat-cepat. Aku setuju.
“Baik. Kabar baiknya adalah selamat! Karena grup musik dangdut Tak Usah Kau Risau Rumput Tetangga Masih Hijau akan punya manajer!”
Melonjak aku seketika! Kuciumi tangan Kang Bambang bolak-balik. Kupeluk Dewik saking girangnya. Manajer baru, jelas keren sekali!
“Tapi sebentar, Kang,” sela Dewik tiba-tiba. “Ngomong-ngomong, manajer itu fungsinya buat apa, ya?”
Ketawalah aku mendengar pertanyaan polos itu! Soalnya, aku juga nggak tahu! Tapi bagiku itu nggak penting-penting amat. Bodolah mau buat apa, buat pajangan pun juga nggak masalah! Yang penting ada kata-kata “manajer” saja, buatku sudah terdengar keren. Profesional.
Kang Bambang menyulut kreteknya lalu mulai menjelaskan. “Manajer itu nanti fungsinya yang akan mengatur jadwal manggung kita. Dia juga yang akan nyariin job sekaligus. Jadi, aku nggak perlu repot-repot lagi ngatur jadwal. Soalnya, aku mau fokus bikin lagu.”
“Lagu?” Terkejut aku mendengarnya. Seperti tak percaya dengan yang barusan kudengar.
Kang Bambang mengisap kreteknya, lalu mengembuskan. “Ya, lagu. Untuk grup dangdut kita. Biar kita bisa cepat terkenal kayak artis-artis di ibu kota.”
“Maksud Kang Bambang jadi ..., kita mau bikin lagu sendiri?”
Mengangguk Kang Bambang seketika. “Direkam juga!” Berbinar mataku mendengarnya. “Bisa disetel di radio juga!” Hampir copot jantungku kali ini! “Dan lagi, Kir, kalau beruntung, kita bisa diundang manggung di acara tivi-tivi!”
Melonjak aku untuk yang kedua kali. Girang benar rasanya. Kuciumi tangan Kang Bambang lagi. Kupeluk Dewik lagi. Sepulang nanti, akan kuberitahu sama emak soal ini.
“Tapi Kang, apa bisa semudah itu?” Dewik menyela tiba-tiba.
“Nah, itu dia masalahnya,” ucap Kang Bambang sambil membuang puntung rokok ke asbak, lalu melanjutkan, “kabar buruknya adalah, kita nggak punya modal! Buat bayar manajer, buat biaya rekaman, belum nanti buat biaya ngurus legalitas karya dan administrasi lain-lain. Semua itu butuh modal yang nggak sedikit.”
“Memang berapa, Kang?”
“Banyak, Wik.”
“Iya, berapa kira-kira?”
Kulihat Dewik sangat antusias. Mungkin, inilah saat bagi dirinya untuk mengejar cita-cita menjadi penyanyi dangdut TOP papan atas nasional seperti Mbak Inul Daratista.
Kang Bambang tak lekas menanggapi pertanyaan Dewik. Sejenak, dia kembali mengisap kreteknya sangat dalam, sampai-sampai kulihat bara merah yang menyala.
“Jadi berapa duit, Kang?”
“Seratus juta rupiah!”
Meloncat pisang goreng dari mulutku.
Pukul tujuh lima-belas pagi, aku terbangun saat badanku terayun digoyang-goyang sesuatu.Rupanya emak sudah duduk di samping ranjangku. Kalau sudah begini, tidak ada urusan lain kecuali pasti minta jatah preman.“Semalem dapat duit berapa?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.“Lumayan, Mak.”“Mana sini!” Tangan emak menjulur. Bawa pisau pula. Ngeri aku melihatnya.“Tuh, di dompet semua,” jawabku malas. Kupeluk lagi selimut dan bantal, lalu bismika Allahumma ahya wa bismika ammut, kupanjatkan kembali doa tidur.Tanpa banyak bicara lagi emak langsung menggeledah dompetku mirip penyidik di kantor polisi. Diambil semua uang yang ada di dompetku tanpa sisa. Tapi, aku tak merasa keberatan dengan hal tersebut. Toh, semua juga untuk kebutuhanku—bayar listrik, beli beras, sayur, minyak goreng, kopi, gula, dan tak lupa buat bayar tunggakan rokokku di warung sebelah.Sebelum pergi meninggalkan kamarku emak bilang, “Kir, tadi habis subuh
Aku heran, kenapa di saat-saat krusial seperti ini si biduan dangdut itu malah muncul?Bukannya nggak suka, tapi waktunya aja yang nggak tepat! Lihat sekarang, dua perempuan itu sedang berdiri di depanku memandangku, menunggu responku—tentang apa yang akan kulakukan, apakah tetap masuk ke dalam rumah dan mengambil rantang untuk Aisyah ataukah malah melupakan rantang itu dan menyapa Dewik lalu berbincang-bincang dengannya?Dua pilihan yang sulit! Wahai Tuhan, kalau Engkau mau mencabut nyawaku, barangkali sekaranglah waktu yang tepat!“Mas, emak ada, kan? Aku sudah janji sama emak mau masakin sayur asem buat kamu.”“Iy-iya, Wik, emak ada di dalam. Masuk aja.”Dewik langsung menyelonong ke dekatku, dan mulutnya yang besar mirip ikan mujahir itu berbisik tepat di depan daun telingaku. “Mas, awas ya kalau kamu sampai suka sama ‘si kerempeng’ itu! Kugigit burungmu!”Waduh!Badanku langsung kaku mirip patung pulisi saat mendengarnya
Warung kopi Mbok Bariyah yang tadinya tenang-tenang saja kini jadi riuh seketika. Dewik terpingkal memukul-mukul meja, sementara Mbok Bayirah ikut pula cengengesan sambil membolak-balik pisang goreng di wajan. Dan aku? Ya, aku cuma bisa menggaruk-garuk kepala.“Nggak lucu, Wik!” kesal aku tak main-main. Kukira Dewik beneran hamil, ternyata itu cuma prank! Woalah, dasar kelakuan kayak ABG labil aja main prank-prank-an segala!“Ya habisnya Mas Cukir serius amat. Amat aja nggak serius kok.” Begitu godanya, sambil mencubit pinggangku.“Bodolah!”Demi mencari ketenangan, kucecap kopiku dua kali, lalu kulolos sebatang kretek dari bungkusnya dan menyalakan korek api. Tik! Asap bergelung seketika, berbentuk bulat-bulat, lalu memudar dibawa angin.“Jadi, cuma prank nggak berguna itu yang pingin kamu omongin ke aku?” kataku tanpa menoleh.“Enggak gitu juga, Mas.
Erte lima. Erwe tiga. Sepuluh, nomor rumahnya. Nama gangnya: Gang Asmara. Kalau kau mengira itu sebuah lirik lagu, maka salah besar, Kawan. Sebab itu adalah alamat rumah. Ya, rumah itu tepatnya berada di samping musala, bercat warna hijau muda, dan dengan pohon rambutan besar di depannya. Di atas rumah akan dijumpai papan nama: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau. Benar. Itulah rumah Kang Bambang, yang sekaligus menjadi markas kami. Setiap Hari Jumat, kami berlatih dangdut di sini, tepatnya di pelatarannya yang luas dan sudah diplester memakai semen. Saban bakda Salat Jumat, dan setelah jam makan siang tentunya, semua warga di sini sudah tahu, jika ada hiburan gratis dari kami! Kalau sedang berlatih, jangan ditanya lagi hebohnya. Aih, mirip-miriplah sedang ada unjuk rasa di depan gedung DPR. Ramai sekali. Tak kenal jabatan, status sosial, maupun usia. Mulai d
Di pelataran rumah Kang Bambang, ramai orang sedang bergoyang.Dan tahukah kamu, di antara semuanya yang ikut bergoyang melihat kami latihan itu, nyatanya menyelinap satu golongan yang tak henti-henti mengedip-ngedipkan mata dengan genit ke arahku? Golongan yang ganas, yang kata Kang Bambang, mereka tidak akan berhenti menggodaiku, bahkan—sumpah demi Tuhan—sampai nanti bumi ini kiamat kurang dua hari sekalipun, mereka tetap akan mengejar-ngejarku.Dan golongan itu bernama: emak-emak berstatus janda. Kesepian. Dan bergairah.Betul. Tepatnya mereka berjumlah 4 orang, dan semuanya sudah ditinggal cerai oleh suaminya. Dua di antaranya, kata Kang Bambang, menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan dua emak yang lainnya, menjanda karena dicerai suaminya hidup-hidup—konon, suaminya kepincut gadis perawan yang lebih muda, lebih ranum, dan lebih yahut.Aduhai, 4 orang emak-emak itu … duh Gusti, minta ampun deh pokokny
Sebelum bercerita, Kang Bambang masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah album foto. Dibukanya perlahan. “Dengar baik-baik,” katanya. “Setiap orang pasti punya masa lalu. Begitu juga denganku.”Aku dan Dewik saling berbagi tatap, belum sepenuhnya mengerti apa maksud Kang Bambang.“Jujur saja, sebelum jadi pemain kendang, aku adalah seorang preman.”Terkejut aku bukan buatan. “Maksud Kang Bambang apa? Bukankah sekarang yang menguasai pasar adalah Komandan Murdin? Apa dulu Kang Bambang juga anak buah Komandan Murdin?” tanyaku.“Bukan begitu. Tapi sebelum Komandan Murdi berkuasa seperti sekarang, akulah yang menjadi penguasa pasar.”Tambah terkejut aku. Seperti tidak percaya. Namun, Kang Bambang segera menunjukkan foto-foto di album yang dibawanya.“Lihat, yang pakai baju merah ini adalah masa mudaku.” Kang Bambang menunjuk seorang pemuda berbadan gelap yang tengah berfot
Menurut Kang Bambang, siang itu adalah penentuan segalanya. Jika dia menang berduel melawan Komandan Murdin, maka pasar akan tetap menjadi wilayah kekuasaannya. Dan sebaliknya, jika Komandan Murdin berhasil menghabisi Kang Bambang, maka wilayah pasar beserta seluruh pajak premannya akan menjadi kekuasannya.Di depan pintu pasar, Kang Bambang datang sendirian saja, karena anak buahnya sedang sibuk mengurusi anak buah Komandan Murdin yang makin menggila di dalam pasar.Sedangkan Komandan Murdin tetap dikelilingi anak buahnya. Meski begitu, perjanjiannya adalah duel satu lawan satu, pemimpin melawan pemimpin.“Berdoalah, Preman Baru, karena sebentar lagi akan kukirim malaikat maut mencabut nyawamu,” kata Kang Bambang. Muda dan berani.“Sebaiknya kau yang berdoa, Bambang! Karena siang ini adalah terakhir kali kau akan menginjakkan kaki di pasar. Jangan nangis seperti bayi!” balas Komandan Murdin ambisius.Setelah keduanya saling
Aku baru tahu, kenapa dia bisa dipanggil Agus Penyok. Karena sebagian mukanya, bagian kiri tepatnya, memang penyok seperti panci dipukuli besi. Menurut Kang Bambang, muka itu adalah bekas luka akibat dipukuli preman-preman saat Agus Penyok berusaha menyelamatkan nyawanya di hari penyerangan itu. “Aku banyak berhutang jasa sama Agus Penyok.” Begitulah ujar Kang Bambang.Hari ini kami manggung di acara kondangan. Yang menikah adalah putri Agus Penyok. Acara berlangsung meriah dari siang sampai sore, dan tugas kami adalah menghibur para tamu undangan.Tidak seperti biasanya, hari ini Dewik berpakaian cukup tertutup demi menghormati tamu-tamu undangan. Yang hadir kebanyakan pakai mobil-mobil bagus. Menurut informasi dari pembawa acara, sebagian tamu yang hadir adalah pejabat daerah, anggota DPR, dan terutama pengusaha rekan-rekan si empunya acara. Jadi nggak heran jika lagu-lagu yang kami bawa cenderung musik pop yang diubah menjadi dangdut.“Mbak,
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma