“Assalamuaikum semuanya! Siap goyang bersama?”
“Siaapp!!”
“Kang Bambang, yuk kasih kendangnya!”
Tung tak…
Tung tak…
Tung tak…
Joss!!
Musik pun bergema. Sepiker di kanan-kiri panggung bergetar. Lampu tembak menyala: merah, kuning, biru, paling terang warna ungu. Malam yang tadinya dingin berubah hangat. Penonton mulai mengangkat tangan sambil bergoyang, terbuai dalam alunan musik asli asal nusantara ini. Ingar-bingar musik dangdut seketika menggemparkan lapangan.
“Para penontooon …., bapak-bapak ibu-ibu semua yang ada di sini, hoi!!”
Aku tak heran, mengapa orang-orang lebih suka nonton dangdut daripada pengajian di tivi-tivi? Jelas saja, soalnya pengajian bikin ngantuk sementara musik dangdut bisa bikin mata melek. Apalagi kalau sudah biduannya punya bokong yang aduhai, besar menggoda.
Lihat saja goyangannya!
Serrr digoyang kanan, serrr digoyang kiri, mantap jiwa! Tak ada orang mengantuk di sini. Yang ada hanyalah semarak kemeriahan dan bau-bau anggur diiringi gelak tawa, bercampur di udara.
“Itu-itu, mas-mas yang pakai sarung! Burungnya jangan lupa dipengain, nanti bisa terbang, lho!” Penonton tertawa pecah!
Dewik, biduan kami, memang tak pernah mengecewakan. Perfomanya selalu memikat orang-orang dan penguasaan panggung sudah menjadi urusan di luar kepala. Tak hanya bermodal suara cengkok dan wajah elok, tapi sentilan-sentilan nakalnya juga selalu digandrungi para penonton. Beruntunglah aku bisa berada dalam satu grup musik dangdut dengan dirinya. Job kami jarang sepi. Bahkan sesekali orang-orang harus rela mengantri kalau mau memakai jasa hiburan kami. Sebab, kami punya biduan hebat luar biasa. Dan yang pasti, grup musik dangdut kami bukan kelas kacangan.
“Ada yang bilang, dangdut tak goyang, bagai sayur tanpa garam kurang enak kurang sedaap …, hoi!!
Nama Grup musik dangdut kami adalah: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau. Namanya memang panjang, tapi personilnya cuma tiga orang.
Yang pertama adalah Kang Bambang, si penabuh kendang. Dia merupakan yang tertua dan yang paling berpengalaman dalam hal musik dangdut di antara kami bertiga. Usianya kini berbilang empat puluh tahun, tapi penampilannya seolah-olah sudah seperti bapak-bapak lima puluhan tahun. Aku rasa mungkin karena faktor stres. Harap maklum, istri Kang Bambang itu jadi TKW di Arab Saudi dan sudah sepuluh tahun tak kunjung pulang juga.
Personil selanjutnya adalah Dewik, 25 tahun. Dia fans berat Mbak Inul Daratista. Cita-citanya tak tanggung-tanggung, dia ingin menjadi penyanyi dangdut TOP papan atas kelas nasional. Orang-orang menjulukinya Si Goyang Mujahir. Pernahkah kau melihat ikan mujahir saat di kolam dan sedang dilempari pakan? Nah, begitulah Dewik mendapat julukannya. Bokongnya yang besar itu mirip mulut ikan mujahir, cuap-cuap, dan akan bergetar saat dilempar duit-duit saweran. Pokoknya, makin banyak sawerannya, makin asyik Dewik bergoyang!
Personil terakhir adalah aku, Cukir, si pemain organ. Profesi ini sebenarnya kujalani bukan karena suka, tapi lebih karena desakan ekonomi keluarga. Padahal dulu, aku pernah mondok di Gontor—Jawa Timur, dan saat itu cita-citaku adalah menjadi seorang kiai yang besar. Tapi semua berubah, tepatnya saat bapak tiba-tiba wafat mendadak, tertimpa pohon saat sedang minum kopi di teras rumah. Nah, karena aku adalah anak tunggal sedangkan emak sudah tua dan sering marah-marah, terpaksa harus kugantikan peran bapak menjadi tulang punggung keluarga.
Emak pernah bilang bahwa warisan satu-satunya yang ditinggalkan bapak adalah alat musik organ ini. Awalnya aku menolak memainkannya, karena bagaimanapun aku masih ingin bercita-cita menjadi seorang kiai. Tapi mendengar itu emak langsung marah padaku.
“Kiai-kiai, gundulmu!” Aku langsung diam mirip patung berhala kalau emak lagi marah kayak gitu. Apalagi jika logat bataknya sudah keluar. Matanya merah menyala-nyala. “Sudah sana, Kir! Kau ini belajarlah main organ sama Kang Bambang! Cari duit buat beli beras!”
Karena takut jadi Maling Kundang versi II, kuturuti saja apa kemauan emak. Apalagi saat emak mengancamku. “Dengar! Malin Kundang saja dikutuk ibunya setelah jadi orang sukses. Nah, kalau kau? Masak belum sukses sudah mau kukutuk? Nggak lucu, Kir! Nggak lucu!”
“Iy-iya, Mak.” Larilah langsung diriku ke rumah Kang Bambang buat belajar organ. Sebulan kemudian, aku langsung diajakin manggung. Sehingga di sinilah aku sekarang, di atas panggung dangdut sambil memainkan organ, mencoba menikmati profesi ini.
“Penonton!”
“Woii!”
Lagu pertama telah usai dimainkan. Dan sejenak Dewik bercakap manja dengan para penonton.
“Penonton, lanjut tidak?”
“Lanjuuttt!!”
“Panas tidak?”
“Panass!!”
“Gerah tidak?”
“Gerahh!!”
“Oke Panitia, kasih dong airnya!”
Segera selang air disemprotkan ke udara, lalu airnya jatuh memercik ke tubuh para penonton. Mereka itu datang dari berbagai pelosok desa, bahkan tak jarang ada yang datang jauh-jauh dari luar kabupaten. Semuanya rela berdesak-desakan demi bisa menonton hiburan dangdut kami—seorang pemuda sampai terlihat membuka kaosnya, lalu naik ke pundak temannya.
“Kang Bambang, tarik lagi, yuk!”
Kang Bambang kembali menabuh kendang penuh semangat, sementara Dewik pun mulai beraksi di atas panggung. Satu kakinya naik ke sepiker, lalu bokong—yang mirip bibir ikan mujahir itu—digoyang ke kanan-kiri makin menjadi. Bunyi siul penonton susul-menyusul. Seksih!
“Penonton, yuk hitung bareng Dewik sama-sama!”
“Satu! Satu! Satu dua tiga, joss!”
Jreenggg!!
Lagu kedua dimulai, Goyang Dombret kali ini. Lagu-lagu milik Mbak Inul Daratista memang selalu jadi andalan kami. Perpaduan antara musik dangdut yang lembut dengan hentakan kendang mampu membuat penonton dimabuk kepayang.
Coba saja lihat panggung di bagian paling depan! Itu dia, Komandan Murdin, seorang preman desa yang paling ditakuti orang-orang. Tapi, segarang apa pun dia, saat dihadapkan musik dangdut habis sudah kegarangannya. Badannya memang boleh sangar, dengan tato bergambar ular, burung rajawali, serigala, gagak hitam, dan hewan-hewan lain hingga kupikir itu lebih mirip kebun binatang. Tapi sekarang lihatlah dia! Preman segarang itu pun bisa terhanyut ikut bergoyang sambil mabuk diputari anak buahnya, terbahak-bahak.
Masih di bagian depan panggung, Juragan Turah juga tak mau kalah. Padahal, dia itu seorang kepala desa yang harusnya punya wibawa. Tapi begitulah jika sudah terkena musik dangdut, lebih-lebih Dewik Si Goyang Mujahir yang menjadi biduannya. Mata Juragan Turah dibuatnya merem-melek mirip bayi minta susu. Mulutnya bau anggur, dan tangannya membawa segepok duit buat saweran nanti.
“Bang Mandoor, paliing ganteng. Saya demen abang, demen sekali.”
Dewik bernyanyi sampai berkeringat, terlalu bersemangat. Ingar-bingar musik dangdut menggema. Malam makin menggila. Kang Bambang makin bersemangat memainkan kendang, begitu pula denganku memainkan organ. Lampu panggung warna-warni berkerlip-kerlip, dan bendera merah putih berkibar. Hari ini merupakan tanggal 17 Agustus. Orang-orang merasa dirinya telah merdeka.
Musik demi musik terus digemakan. Lagu demi lagu terus dinyanyikan. Hingga tidak terasa, malam makin melarut. Dan kini tibalah pada puncak acara.
Musik pun berhenti.
"Penonton?"
"Woii!!"
"Sudah siap di puncak acara kita?"
"Siap!!" Penonton bersemangat, sebab inilah yang ditunggu-tunggu.
Anak-anak kecil langsung disuruh pulang begitu acara puncak ini dimulai. Sebab ini hanya untuk dewasa!
Aturannya sederhana. Nanti, hanya akan ada suara kendang yang berduet maut dengan Dewik yang bergoyang. Dan saat itu, siapa saja dibolehkan naik ke atas panggung buat nyawer. Makin banyak sawerannya, makin menggila Dewik akan bergoyang. Bahkan, jika sawerannya terlampau banyak, Dewik tentu tidak segan untuk menanggalkan separuh pakaian.
"Panitia, yuk redupin dong lampunya!"
Pertama, lampu panggung akan diredupkan. Ini tentu dimaksudkan agar membuat kesan seksi dan remang-remang.
"Kang Bambang, yuk mainkan dong tabuhan seksinya!"
Kedua, kendang pun dimainkan. Maka kini hanya ada bunyi kendang yang menghentak keluar dari mulut sound system!
"Penonton, yuk siapin dong sawerannya!"
Ketiga, Dewik menaruh mic dan mencopot sepatu hak tingginya. Ini agar dia bisa lebih leluasa untuk bergoyang.
Dan, inilah dia...
Selamat datang di acara puncak grup musik dangdut: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau!
Kedua tangan Dewik meliuk enerjik ke kanan-kiri diikuti suara kendang yang senada dengan gerakannya. Tiap kendang menghentak; tak! Dewik akan menghentakkan pula bokongnya sambil menatapi genit mata penyawer satu per satu dan sesekali mengedipkan mata.
Goyangannya itu, assoyy!! Bikin cenat-cenut celana. Tubuh putih padat berisi. Semok, tapi gerakannya tetap luwes nan seksi. Alamak, pantas saja hiburan ini sangat digandrungi. Lebih-lebih saat kulihat keringat Dewik mulai bermunculan di beberapa bagian tubuhnya yang sintal:
Di lehernya. Di dahinya. Di atas payudaranya. Di balik anak rambut dekat telinga. Juga di tengkuk lehernya. Dan air keringat itu mengilap rata di sekujur permukaan kulitnya. Dapat dipastikan siapa pun melihatnya akan ikut kepanasan.
Kubakar rokokku dan mengisap nikotinnya dalam-dalam, lalu membuang asapnya ke udara.
Puhh!!
Dari belakang organ sini kuamati segala hal yang terjadi. Suara kendang makin kencang. Dewik makin menggila disawer banyak orang. Dipegang tangannya. Disenggol tubuhnya. Bahkan sampai ada yang berani mencolek bokongnya.
Puhh!!
Melihat itu semua tiba-tiba ada api yang menyala dan membakar dada. Dan aku tidak tahu, kenapa aku harus cemburu?
Malam ini sungguh melelahkan. Namun, aku tetap tampan dan kata orang-orang mirip Reza Rahardian (itu kata mereka dan bukan kataku!). Akhirnya seluruh rangkaian acara telah usai. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing membuat lapangan seketika menjadi sepi. Hanya tampak satu dua kuli angkut sedang membongkari sound system dan panggung. “Gimana, Wik, dapat saweran banyak?” tanya Kang Bambang sambil mengemasi kendang. Tapi Dewik tak menjawab, menoleh pun tidak. Gadis itu sedang sibuk menghitung uang dalam kotak. “Ya jelas banyaklah,” kataku menyela, “Juragan Turah kalau lagi mabuk suka lupa sama uang. Hahahaa.” “Berarti sekarang kita punya semboyan baru, Kir! “Apa itu, Kang?” “Mabukmu Rejekiku! Ya, tho?” Aku tergelak. Kang Bambang orangnya memang suka bercanda, bahkan seringkali leluconnya berbau porno alias jorok. Apa mungkin di usia empat puluhan lelucon jorok memang lebih disukai? Entahlah, aku tidak tahu. Yang aku
Pukul tujuh lima-belas pagi, aku terbangun saat badanku terayun digoyang-goyang sesuatu.Rupanya emak sudah duduk di samping ranjangku. Kalau sudah begini, tidak ada urusan lain kecuali pasti minta jatah preman.“Semalem dapat duit berapa?” tanyanya langsung tanpa basa-basi.“Lumayan, Mak.”“Mana sini!” Tangan emak menjulur. Bawa pisau pula. Ngeri aku melihatnya.“Tuh, di dompet semua,” jawabku malas. Kupeluk lagi selimut dan bantal, lalu bismika Allahumma ahya wa bismika ammut, kupanjatkan kembali doa tidur.Tanpa banyak bicara lagi emak langsung menggeledah dompetku mirip penyidik di kantor polisi. Diambil semua uang yang ada di dompetku tanpa sisa. Tapi, aku tak merasa keberatan dengan hal tersebut. Toh, semua juga untuk kebutuhanku—bayar listrik, beli beras, sayur, minyak goreng, kopi, gula, dan tak lupa buat bayar tunggakan rokokku di warung sebelah.Sebelum pergi meninggalkan kamarku emak bilang, “Kir, tadi habis subuh
Aku heran, kenapa di saat-saat krusial seperti ini si biduan dangdut itu malah muncul?Bukannya nggak suka, tapi waktunya aja yang nggak tepat! Lihat sekarang, dua perempuan itu sedang berdiri di depanku memandangku, menunggu responku—tentang apa yang akan kulakukan, apakah tetap masuk ke dalam rumah dan mengambil rantang untuk Aisyah ataukah malah melupakan rantang itu dan menyapa Dewik lalu berbincang-bincang dengannya?Dua pilihan yang sulit! Wahai Tuhan, kalau Engkau mau mencabut nyawaku, barangkali sekaranglah waktu yang tepat!“Mas, emak ada, kan? Aku sudah janji sama emak mau masakin sayur asem buat kamu.”“Iy-iya, Wik, emak ada di dalam. Masuk aja.”Dewik langsung menyelonong ke dekatku, dan mulutnya yang besar mirip ikan mujahir itu berbisik tepat di depan daun telingaku. “Mas, awas ya kalau kamu sampai suka sama ‘si kerempeng’ itu! Kugigit burungmu!”Waduh!Badanku langsung kaku mirip patung pulisi saat mendengarnya
Warung kopi Mbok Bariyah yang tadinya tenang-tenang saja kini jadi riuh seketika. Dewik terpingkal memukul-mukul meja, sementara Mbok Bayirah ikut pula cengengesan sambil membolak-balik pisang goreng di wajan. Dan aku? Ya, aku cuma bisa menggaruk-garuk kepala.“Nggak lucu, Wik!” kesal aku tak main-main. Kukira Dewik beneran hamil, ternyata itu cuma prank! Woalah, dasar kelakuan kayak ABG labil aja main prank-prank-an segala!“Ya habisnya Mas Cukir serius amat. Amat aja nggak serius kok.” Begitu godanya, sambil mencubit pinggangku.“Bodolah!”Demi mencari ketenangan, kucecap kopiku dua kali, lalu kulolos sebatang kretek dari bungkusnya dan menyalakan korek api. Tik! Asap bergelung seketika, berbentuk bulat-bulat, lalu memudar dibawa angin.“Jadi, cuma prank nggak berguna itu yang pingin kamu omongin ke aku?” kataku tanpa menoleh.“Enggak gitu juga, Mas.
Erte lima. Erwe tiga. Sepuluh, nomor rumahnya. Nama gangnya: Gang Asmara. Kalau kau mengira itu sebuah lirik lagu, maka salah besar, Kawan. Sebab itu adalah alamat rumah. Ya, rumah itu tepatnya berada di samping musala, bercat warna hijau muda, dan dengan pohon rambutan besar di depannya. Di atas rumah akan dijumpai papan nama: Tak Usah Kau Risau, Rumput Tetangga Masih Hijau. Benar. Itulah rumah Kang Bambang, yang sekaligus menjadi markas kami. Setiap Hari Jumat, kami berlatih dangdut di sini, tepatnya di pelatarannya yang luas dan sudah diplester memakai semen. Saban bakda Salat Jumat, dan setelah jam makan siang tentunya, semua warga di sini sudah tahu, jika ada hiburan gratis dari kami! Kalau sedang berlatih, jangan ditanya lagi hebohnya. Aih, mirip-miriplah sedang ada unjuk rasa di depan gedung DPR. Ramai sekali. Tak kenal jabatan, status sosial, maupun usia. Mulai d
Di pelataran rumah Kang Bambang, ramai orang sedang bergoyang.Dan tahukah kamu, di antara semuanya yang ikut bergoyang melihat kami latihan itu, nyatanya menyelinap satu golongan yang tak henti-henti mengedip-ngedipkan mata dengan genit ke arahku? Golongan yang ganas, yang kata Kang Bambang, mereka tidak akan berhenti menggodaiku, bahkan—sumpah demi Tuhan—sampai nanti bumi ini kiamat kurang dua hari sekalipun, mereka tetap akan mengejar-ngejarku.Dan golongan itu bernama: emak-emak berstatus janda. Kesepian. Dan bergairah.Betul. Tepatnya mereka berjumlah 4 orang, dan semuanya sudah ditinggal cerai oleh suaminya. Dua di antaranya, kata Kang Bambang, menjanda karena ditinggal mati oleh suaminya. Sedangkan dua emak yang lainnya, menjanda karena dicerai suaminya hidup-hidup—konon, suaminya kepincut gadis perawan yang lebih muda, lebih ranum, dan lebih yahut.Aduhai, 4 orang emak-emak itu … duh Gusti, minta ampun deh pokokny
Sebelum bercerita, Kang Bambang masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah album foto. Dibukanya perlahan. “Dengar baik-baik,” katanya. “Setiap orang pasti punya masa lalu. Begitu juga denganku.”Aku dan Dewik saling berbagi tatap, belum sepenuhnya mengerti apa maksud Kang Bambang.“Jujur saja, sebelum jadi pemain kendang, aku adalah seorang preman.”Terkejut aku bukan buatan. “Maksud Kang Bambang apa? Bukankah sekarang yang menguasai pasar adalah Komandan Murdin? Apa dulu Kang Bambang juga anak buah Komandan Murdin?” tanyaku.“Bukan begitu. Tapi sebelum Komandan Murdi berkuasa seperti sekarang, akulah yang menjadi penguasa pasar.”Tambah terkejut aku. Seperti tidak percaya. Namun, Kang Bambang segera menunjukkan foto-foto di album yang dibawanya.“Lihat, yang pakai baju merah ini adalah masa mudaku.” Kang Bambang menunjuk seorang pemuda berbadan gelap yang tengah berfot
Menurut Kang Bambang, siang itu adalah penentuan segalanya. Jika dia menang berduel melawan Komandan Murdin, maka pasar akan tetap menjadi wilayah kekuasaannya. Dan sebaliknya, jika Komandan Murdin berhasil menghabisi Kang Bambang, maka wilayah pasar beserta seluruh pajak premannya akan menjadi kekuasannya.Di depan pintu pasar, Kang Bambang datang sendirian saja, karena anak buahnya sedang sibuk mengurusi anak buah Komandan Murdin yang makin menggila di dalam pasar.Sedangkan Komandan Murdin tetap dikelilingi anak buahnya. Meski begitu, perjanjiannya adalah duel satu lawan satu, pemimpin melawan pemimpin.“Berdoalah, Preman Baru, karena sebentar lagi akan kukirim malaikat maut mencabut nyawamu,” kata Kang Bambang. Muda dan berani.“Sebaiknya kau yang berdoa, Bambang! Karena siang ini adalah terakhir kali kau akan menginjakkan kaki di pasar. Jangan nangis seperti bayi!” balas Komandan Murdin ambisius.Setelah keduanya saling
Dua Tahun Kemudian.Kupandangi foto-foto pernikahan di dalam album. Lembar demi lembar kubuka perlahan, sesekali senyumku terbit. Hingga seketika ingatanku terseret kembali di hari pernikahan itu.Pagi itu, acara cukup meriah digelar di pelataran pondok. Tenda-tenda besar warna biru diberdirikan, lengkap dengan kursi dan meja dan tentunya pelaminan serba putih.Saat itu aku masih ingat, tamu udangan kebanyakan dihadiri oleh tamu dari Abah Yai, dan hanya sedikit sekali kawan-kawanku yang datang, paling-paling dari kawan-kawan Emak atau teman dari tetangga desa sebelah.Kang Bambang tentu saja tidak bisa pulang. Inces juga tidak hadir. Dan Dewik tentu saja tidak mungkin mendatangi acara tersebut. Meskipun ketiganya saat itu sudah kuberi undangan dan kabar, namun aku tahu jika mereka sedang sangat sibuk, mempersiapkan konser tour keliling Indonesia bersama Mbak Inul Daratista.Dan sekarang, 2 tahun sudah berlalu, tidak terasa.Pagi ini seperti
Seminggu Berlalu...Langit pagi yang cerah, sebagaimana cerah hati dan perasaanku. Hari ini adalah momentum bersejarah, sebab pada akhirnya, aku akan melamar seorang gadis anak Kiai, Aisyah.Sejak habis subuh, aku sudah sibuk mandi dan berdandan sangat rapi. Meskipun jarak rumah kami hanyalah selemparan batu, tapi aku tidak mau menyepelekan, apalagi kalau nanti sampai telat!Emak pun sudah ikut berdandan seraya mempersiapkan semua keperluan. Kotak-kotak yang berisi barang-barang seserahan, seperti jajanan pasar, baju-baju gamis, alat-alat mandi, roti, seperangkat alat rias, semua sudah tertata rapi di teras rumah, dibungkus kotak mika transparan serta diberi ikatan pita berwarna biru.Dan di antara kotak-kota besar itu, ada sebuah kotak kecil yang berisi cincin bbermata berlian biru. Mengilap terkena cahaya matahari pagi.Duh... cantiknya.Orang-orang mulai berdatangan di pagi yang masih ranum itu. Mereka adalah Pak Erte, Pak Erwe, serta beb
“Cincin siapa ini, Kir? Atau ini jangan-jangan mau diberikan ke Aisyah?” Emak berkata dengan masih menerawang cincin tersebut di bawah sinar matahari.Tampak berkilau dan terang, perhiasan itu jika ditilik sekilas memang sangat mahal.“Mmm, cincin itu sebenarnya punya Raline, Mak. Wanita itu yang memberikannya padaku. Dia bilang, suatau hari pasti akan berguna.”“Raline artis itu?”Aku mengangguk.Emak lanjut bicara dengan tertawa-tawa, “Woalah, ada-ada aja. Masak barang sebagus ini dikasihkan ke kamu?”“Memangnya itu bagus, Mak?”Emak mengendikkan kedua bahu. “Kalau pastinya ya Emak kurang tahu. Soalnya ini berlian. Tapi, Emak yakin harganya sangat mahal.”Tiba-tiba terbesit ide brilian. “Mak, pagi ini mau ke pasar nggak?”“Iya. Emak mau beli sayur buat masak.”“Yuk aku anterin, hehehehee. Sekalian manasin Vespa,
Awalnya aku tak ingin mengangkat. Lama telepon kubiarkan berdering. Tapi pada akhirya kuangkat juga panggilan tersebut.“Hallo?”“Mas...” suara Dewik serak, seperti baru saja menangis. “Kamu pulang tanpa pamit sama aku?”“Aku pikir kemarin kamu sedang sibuk.”“Tapi kalau sampai tidak pamit itu keterlaluan, Mas. Kita pergi ke Ibu Kota bersama, lalu sekarang kamu memutuskan untuk pulang dan menikai seorang gadis lain, aku terima! Tapi apakah berat mengucapkan pamit?”Sebentar aku diam. Suara seraknya semakin kentara.“Mas? Hallo?”“Aku tahu kamu sedang sibuk dengan seorang laki-laki muda pengusaha kaya raya. Sebab itulah aku sengaja tidak pamit. Aku taku ganggu.”“Astaga, Mas! Mas?”Telepon kututup. Singkat tapi padat, aku tak ingin bicara lagi dengan dia. Malam ini tidak tepat. Sebab aku ingin segera tidur, dan berharap m
Selepas shalat magrib aku langsung diajak Abah Yai menuju ke Ndalem. Memang benar ternyata, setelah shalat hatiku terasa lebih adem.Abah Yai mempersilakan aku duduk dan berkata, “Gimana? Sudah adem kan hatinya sekarang?”“Betul, Yai. Sudah enakan.”“Nah, makanya jangan pernah tinggalkan sholat, ya.”Aku hanya mengangguk.“Jadi gimana tadi, soal mau melamar Aisyah? Nak Cukir sudah janji sama Aisyah?”“Betul, Yai. Bahkan saya sekarang ini sudah tidak ikut ke grup dangdut lagi. Saya sudah keluar karena saya ingin melamar Aisyah.”Mendengarku bicara, Abah Yai membuang napas berat. Seperti ada penyesalan dalam dadanya.“Mmm, maaf, Nak Cukir. Aisyah sekarang sudah dilamar sama orang. Lebih tepatnya kemarin siang, rombongan teman Abah datang ke sini buat melamarkan putranya. Yah, sayang sekali. Padahal kalau Nak Cukir yang melamar duluan tentu saja Abah mau.”
Aku tiba di gang ujung desa saat hari hampir surup. Langit senja menguning keemasan, sebentar lagi pasti akan padam.Aku berjalan pelan dengan tangan membawa koper dan barang-barang serta sedikit oleh-oleh yang sengaja aku beli di stasiun tadi. Meski uangku telah habis, tapi membawa buah tangan adalah hal yang lumrah dan harus kulakukan.“Emak lagi apa, ya?” batinku girang merasa sudah rindu sekali dengan perempuan tua itu. Maka segera kakiku melangkah lebih melalui jalan desa yang becek, barangkali hujan baru saja reda.Begitu sampai di depan rumah, betapa aku kaget karena merasa asing dengan bangunan tersebut. Aku sampai mengucek-ngucek mata guna memastikan jika penglihatanku tidak keliru.“Apa benar ini rumahku?”Sebab rumah yang tadinya kurang layak pakai kini telah menjadi lantai dua. Emak pasti sudah memanggil tukang dan juga merehapnya. Semuanya di cat serba warna putih dan bahkan kami sekarang memiliki pagar da
Pagi yang cerah.Aku terbangun dengan mata masih berat, dan ternyata Kang Bambang tidur di sebelahku.Semalam dia ikut bantu-bantu mengemasi barang-barangku, dan sekarang, waktunya aku pulang ke desa untuk menemui Emak dan Aisyah.Ada perasaan sedih sebenarnya, mengingat bila selama ini perjalanan di Ibu Kota tidaklah mudah. Tapi, keputusanku sudah bulat sempurna, sehingga aku beranjak dari kasur kemudian mandi.Selesai mandi, aku menyisir rambutku agar rapi.“Kang, oi, bangun, Kang!” Badan Kang Bambang kugoyang-goyangkan, dan seketika matanya mengerjap.“Eh?”“Anterin aku ke stasiun, yuk!”“Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya sambil menguap.“Yakin lah.”“Nggak nunggu yang lainnya?”“Lainnya siapa?”“Dewik, Inces, atau Yudi Keling mungkin?”Kulihat di sekitar Markas. Sepi. Manusia-manusia yan
“Tolong berhenti di minimarket depan itu, Pak.”“Baik.”Setelah taksi merapat di bahu jalan, segera aku keluar dan mengambil 2 botol minuman. Satu untuk aku, satunya lagi untuk si supir.Namun ketika sampai kasir dan kuberikan kartu ATM, lagi-lagi ini eror.“Maaf, Pak, kartunya nggak bisa dipakai.”“Apa? Kenapa bisa begitu?”“Saya kurang tahu. Sepertinya ada yang memblokir kartu bapak.”“Mana mungkin, Mbak? Aku nggak pernah merasa memblokirnya.”Si kasir menyerahkan kartu tersebut dan berkata, “Kalau ada orang lain yang punya semua identitas bapak, mungkin saja dia yang melaukannya.”“Pasti ini ulah Inces!”“Maaf, Pak?”“Oh, nggak apa-apa. Mmm, kalau begitu saya bayar pakai uang tunai saja.”“Baik, Pak.”Dengan perasaan kesal aku menuju ke taksi dan langsung pulan
“Kenapa? Ada apa di meja VIP nomor tujuh?” tanyaku penasaran.Lita dengan wajah yang serius berkata, “Ada Mbak Dewik, Mas.”“Dewik?”“Iya. Sepertinya dia sedang mabuk berat. Barusan aku menyapa, tapi Mbak Dewik hanya ketawa-tawa seperti tidak mengenalku. Dan yang jelas, dia sedang bersama laki-laki muda yang mesum itu, berduaan saja,” pungkas Lita kemudian dia mengelap meja bar.Sial. Apa yang mesti kulakukan sekarang? Apakah aku harus pergi ke meja VIP nomor tujuh kemudian membawanya pulang? Atau aku biarkan saja dia, toh sekarang kami punya kehidupan sendiri-sendiri? Bingung. Aku benar-benar bingung.Malam semakin ramai. Pengunjung makin banyak memadati club, dan satu per satu mereka memesan minuman. Ada yang datang berdua membawa pasangan. Namun kebanyakan mereka atang sendirian, dan nanti berharap sepulang dari sini mereka akan membawa pasangan dalam keadaan mabuk kemudian melakukan kencan satu ma