"Aku penulis lho, Mal," ucap Tika."Penulis apa?" "Cerbung," ucapnya. "Apa itu cerbung?" "Cerita bersambung, samacam novel. Aku nulis perhari satu part, dan aku up di aplikasi novel online," terangnya. Tapi aku tetap tidak mengerti dengan penjelasan Tika. "Aku boleh belajar?" tanyaku. Tika mengangguk dan mempersilahkan aku untuk datang kerumahnya kapan saja. Tika bilang setiap bulan dia dpt 1-2 juta rupiah dari dua aplikasi. bukan lumayan lagi itu mah. Tak terasa kami sudah sampai ke tukang sayur, disana sudah banyak ibu-ibu yang akan berbelanja. Dan si pirang juga kebetulan ada disana bersama ibunya. Mendadak lambungku mual ingin muntah dimuka si Ratu drama itu. "Eh, Mala. Bu Samirah tumben gak belanja?" tanya Bu Usman. "Iya, Bu," jawabku singkat."Sakit atau apa?" tanyanya lagi. Duh ini bestie nya Ibu, hilang sebentar aja, kaget dan panik. "Nggak, Bu Usman. Ibu sehat, mungkin lagi malas keluar?" sahutku. "Pasti si Mirah ada yang dirasa, yakin aku! Ya…sudah, hitung belanjaan
"Untung anakku gak jadi nikah sama si Rahman, bisa sengsara aku," ucapnya lagi. Aku yang mendengar suamiku dihina seperti itu langsung naik darah. Ketemu jarang, sekali ketemu bikin di mintagaruk pake cangkul juga rupanya. Gak anak gak ibu, sama-sama gil* bikin emosi orang aja. Aku mengumpat dalam hati. Ku tatap wajah ibunya Helen dengan pandangan garang, aku yang sejak subuh sudah menghadapi menghadapi ibunya mas Rahman. Kini disajikan dengan orang-orangan sawah yang dipakein nyawa. Astagfirullah. "Ibu jangan menghina suamiku, ya!" ucapku dengan lantang. Emosiku rasanya ingin meledak saja. "Hah, apa? Aku menghina suamimu? Ngaca Mala, ngaca! Lalu hitung gaji suamimu perbulannya. Mana bisa mencukupi anakku yang wah," sombong. "Lah, lagian ngapain mas Rahman harus mencukupi kebutuhan anak Ibu! Istri bukan, saudara bukan, ngarang aja, Ibu ini, ya!" ucapku dengan diiringi tawa. "Iya si Ibu mah, sok aneh. Kan istrinya Rahman, Neng Mala. Ngapain mencukupi kebutuhan Helen," bela Mamang s
"Dah, gak usah didengerin, nyok pulang." Tika menyeretku agar segera menjauh dari Mamang sayur. "Aku heran lho, Tik. Ini kampung di masa lalu kutukan atau apa sih? Kok, isinya orang-orang rempong semua," sungutku gak jelas. "Heh, sembarangan! Itu hanya segelintir warga saja, kebetulan ada beberapa yang suka heboh dan biang gosip, jadilah grup toxic cetar membahana," ucap Tika sambil terkekeh. "Kamu gak usah ladenin, Mal. Biar gak stroke," ucapnya lagi. Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Tika. Akhirnya kami berpisah karena aku sudah sampai, sedangkan Tika masih harus melewati dua rumah lagi. "Nanti aku main ya, kesana," teriakku saat Tika sudah agak jauh. "Oke, aku tunggu, jangan lupa bawa cemilan," katanya sambil nyengir. Aku pun tergelak. Kedua anak Tika sangat suka dengan kedatanganku karena pastinya setiap aku datang tak pernah dengan tangan kosong. Saat aku memasuki rumah, kudengar banyak orang di dalam, antara ruang tengah atau dari dapur. Bisa ku pastikan itu adalah Bu
Pov Rahman. Udara pagi ini begitu sejuk, dinginnya begitu terasa menusuk tulang. Aku mempercepat langkahku agar lekas sampai di rumah. Tanah yang basah bekas hujan semalam membuat langkahku sedikit terhambat. Jalanan disini belum semuanya tersentuh aspal. Tapi ini awal perjuanganku. Kata Arif, ini kota terdekat dari sekian puluh sekolah yang membutuhkan guru baru. Ya, aku bersyukur bisa punya teman sebaik dia. Anak pejabat yang juga jadi pejabat dan mau membantuku. Benar kata orang, jangan berhenti berbuat baik. Saat kita berbuat baik pada orang lain, itu sama artinya dengan kita berbuat baik kepada diri kita sendiri. Dan ternyata sekarang aku menuai dari apa yang aku lakukan dulu. Saat masih kuliah, aku sering membantu Arif. Aku tidak tahu kalau Arif itu adalah seorang anak pejabat di kota ini, karena penampilannya yang sederhana dan juga dia tidak sombong. Aku mengetahui siapa Arif sebenarnya saat wisuda, karena Ayah dan ibunya juga keluarga besarnya datang. Dan bulan kemarin Arif
POV Mala. Matahari begitu terik, hawa panas tak bisa diredakan oleh kipas angin. Apalagi suasana rumah yang masih riuh sejak pagi membuat tingkat kegerahanku makin meningkat. Ting…. Sebuah pesan masuk di aplikasi hijau. " Assalamualaikum, Kak, sehat? Ibu, Bapak dan kami juga sehat," pesan dari Melani adikku. Tak terasa air mata langsung saja berhamburan keluar saat menerima pesan itu, padahal mereka pun mengabarkan bahwa mereka baik-baik saja. Ku usap air mata yang tak bisa kutahan, dan ku tekan tanda gagang telepon di aplikasi hijau milikku. "Assalamualaikum," ucapku saat melihat gambar Ibu. Ya…Allah, di usianya yang sudah renta aku bahkan belum bisa membahagiakannya. {Waalaikum salam, sehat Nak?} "Alhamdulillah sehat, Bu," ucapku sambil mengusap lelehan airmata. Aku rindu tangan tua itu, aku rindu usapan lembutnya di kepalaku. Sejak mas Rahman merantau sebulan lalu, aku belum pernah pulang menengok mereka. Karena kondisi yang tidak memungkinkan. {Syukurlah kalau kamu sehat,
"Mala, Mala! Kamu ngobrol sama siapa? Rahman ya?" terdengar teriakan Ibu dari depan pintu. Ya…Tuhan, malang sekali nasibku ini. Apapun yang aku lakukan, mertuaku selalu tahu dan selalu ingin tahu. Huft. "Mala! Buka pintunya!" Ternyata Ibu masih menungguku membuka pintu, kukira dia akan pergi saat aku membiarkannya tadi. Pentang menyerah sekali nenek tua itu. "Iya, Bu. Sebentar." "Mas, udah dulu ya, nanti ku telpon lagi," ucapku pada Mas Rahman. {Aku mau ngomong sama Ibu, nggak apa-apa kan?} pintanya. Masa iya aku tidak perbolehkan. Anak sama ibu sama-sama tidak peka. Ya… Tuhaaaaaaan. "Baiklah, tunggu sebentar," Aku menekan tanda loudspeaker sebelum aku membuka pintu. "Lama amat, lagi ngomong sama siapa sih?" Semprot Ibu dengan wajah bengis. "Ini Mas Rahman yang telpon, Bu," ucapku dengan malas. "Berikan ponselnya, anakku telpon aja kamu gak boleh macam aku tau, menantu apa kamu itu?" gerutunya sambil menyambar ponsel yang aku sodorkan. Salah lagi, kan salah lagi. Aku menari
Kudengar suara berisik dari arah depan, siapa lagi ini yang datang. Tak pernah seharipun rumah ini tentram gitu. Selalu ada saja yang datang bikin kehebohan. Aku bergegas ke depan guna melihat ada apa disana. "Terus sekarang gimana?" tanya Ibu panik. "Susan, juga belum tahu, Bu. Katanya Bang Rahmat di Rumah Sakit Husada," jawab Mbak Susan sambil menangis. "Ada apa, Mbak?" tanyaku dengan hati berdebar setelah mendengar kata rumah sakit. Ada apa dengan Abang iparku itu. "Bapak si Wulan kecelakaan, Mal," ucapnya. "Ayok kita kesana," ajak Ibu, ia melangkah keluar dengan segala kekhawatiran yang terpancar dari wajahnya. "Bu, Bu, ganti baju dulu," teriakku. Saking paniknya, Ibu bahkan tak membawa dompet ataupun uang, ia hendak pergi begitu saja dengan penampilan berdaster dan bersandal jepit. "Allahu Akbar, sebentar, San," kata Ibu. Sambil kembali masuk ke dalam kamarnya. "Ini gimana kejadiannya, Mbak?" tanyaku penasaran. Aku kayak orang bingung yang panik karena mendengar bang
"La, buatin Bang Anton kopi dong," pintanya. "Kakak, sudah masuk, kenapa pula Mala yang harus bikin. Kakak istrinya kan? Ngapain pengen kopi buatan istri orang," ucapku cuek."Karena istri orang lebih nikmat," teriak Bang Anton dari depan. "Berhentilah bercanda, Bang, Mala nanti gak mau bikinin kopi buat Abang," sahut Kak Eni. Aku tak habis pikir dengan Kak Eni, suaminya ngomong begitu aku menanggapinya dengan santai. Aku yang hanya ngeri dan takut. "Ayolah, La. Bikinin abangmu kopi, Kakak mau ke rumah sakit, please," ucap Kak Eni lagi dengan mata memomohon. Ya...Allah, Ibu gak ada, datang lagi satu demit lebih parah. Dosa apa aku di masalalu, dikelilingi orang-orang yang gak beradab seperti ini. Akhirnya aku kedapur, dan membuat kopi untuk suami kak Eni. Pengangguran itu nambah kerjaan aku saja. Otaknya koslet kali, liat perempuan hamil malah nyuruh-nyuruh. Gak ikhlas banget aku bikin kopi ini untuknya. Jika saja tidak melihat Kak Eni yang sedang khawatir dengan kakaknya, tak sud
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda