Jangan lupa kasih like dan rate juga Gem nya ya kawan-kawan. Semoga bahagia selalu dan selamat membaca 🙏
"Apa yang kami katakan benar adanya loh, Mala," ucap Bu Usman lagi dengan yakin. Mala makin mendelik pada dua orang wanita dihadapannya. "Ya … Tuhan, apakah mereka tak punya empati padaku yang sedang hamil ini? Hingga begitu ringan mengatakan itu semua. Meski ada benarnya, tidak usah pula terlalu di yakinkan, bukankah yang melakukannya juga oknum, tidak semua PNS serta merta begitu," batin Mala bermonolog sendiri. Akhirnya ia permisi masuk dan tak meneruskan menyapu halaman. Tangisannya yang sejak tadi ditahan, pecah begitu saja ketika bokongnya menyentuh ujung kasur. Ia menangis sendirian dengan sesak yang teramat sangat. ———— Wanita 23 tahun itu entah berapa lama tertidur dengan tangisannya. Kini ia merasa pusing sekali, dunianya terasa berputar, kepala berdenyut. Saat matanya melirik benda bundar yang tergantung di dinding, ia terperanjat. Waktu telah menunjukkan pukul 10:25 wib. Bau masakan pun sudah menguar, suara orang ngobrol tidak begitu jelas di pendengarannya. Rasa penas
"Anda siapa? Minta nomor suami saya segala?" tanyaku, kesabaranku sudah habis rasanya. "Oh, saya Helen, Mantan pacar Rahman. Cinta pertama Rahman," ucapnya sambil menyodorkan tangan ke arahku, tapi aku tak tertarik bersalaman dengannya, pede sekali dia saat menyebutkan kata mantan dan cinta pertama suamiku. kubiarkan tangannya menggantung begitu saja hingga ia menarik kembali dan mulai menatap sinis. "Oh, MANTAN?!" ucapku dengan melihatnya dari atas ke bawah. Penampilan seperti yang mau konser saja. Dengan bulu mata yang cetar juga warna soflen yang mencolok. Ku akui wanita didepanku ini cantik. Bak seorang biduan yang akan manggung. Helen kembali duduk disamping Ibu, sedangkan aku meneruskan membuat teh hangat, kebetulan dapur dan ruang makan menyatu. Jadi percakapan apapun dimeja makan terdengar jelas."Jadi kamu sekarang pulang kampung, Len?" tanya Kak Eni. "Engga sih, di kota tidak ada teman, aku ingin disini dulu saja, aku gak bisa hidup disini lah, Kak," ujarnya sombong. "J
Sayup-sayup aku dengar suara Helen. "Kamu kangen aku gak sih?" Whaaaat? Dia sedang bertanya pada suamiku kah? Cih! Sungguh janda gak tau malu. Semakin ku tajamkan pendengaran, agar apa yang mereka bahas terdengar jelas."Nanti aku nyusul kamu kesana, ya. Kirim alamatmu saja," ucap Helen. Dan otakku sudah tak bisa mentolerir dia lagi. Wanita mana yang akan membiarkan suaminya digoda oleh mantannya. Aku bangkit dan menuju ke arah meja makan. Oh, ternyata mereka sedang video call. Mas Rahman juga awas saja! Berani-beraninya dia mengangkat telepon dari si pirang ini."Kamu masih ingat gak, waktu kita jalan, terus motornya mogok?" ucap helen, membuat hatiku semakin mendidih. Sungguh keterlaluan mereka semua. Kurampas ponsel mahal itu. Dan ku matikan panggilan video nya. Tak lupa kuhapus nomor Mas Rahman tentu saja setelah ku tampakan wajah pada suamiku tercinta. "Eeh, apa-apaan ini?" teriak Helen histeris saat aku merampas ponsel mahalnya. "Mala, kamu tidak sopan pada tamu, Ibu," ucap m
Terdengar dering ponselku begitu nyaring tapi hanya ku lirik sekilas. Ponsel yang sejak tadi tergeletak di nakas. Terus meraung-raung dan tertera nomor baru yang tidak tersimpan namanya. Siapa pula yang menelepon saya sore ini? Aku taknya dan memilih fokus pada layar laptop yang sedang menyala. Ya, Aku sedang mempelajari cara mengikuti tes CPNS minggu ini. Dan aku harus mempersiapkannya dengan matang. Aku tak ingin gagal kali ini. Sudah banyak yang aku korbankan hingga sampai di tempat ini. Bukan hanya biaya dan waktu, terutama Mala yang aku tinggalkan dalam keadaan berbadan dua. Akh, seketika aku rindu istriku itu. Dreet… dreet. Kembali ponselku bergetar dan tanda gagang teleponnya bergerak kesana-kemari. panggilan video dari nomor yang sama dengan tadi. Akh sudahlah, ku angkat saja. Siapa tau penting atau dari orang rumah yang memakai nomor baru. "Halo, assalamualaikum," ucapku saat telah ku geser tombol hijau yang menari-nari di layar ponselku. "Waalaikum salam, Rahman," panggi
Jam dinding menunjukan pukul 23:15 Wib. Tapi rasa kantuk tak jua datang menghampiri. Padahal besok pagi aku ada janji dengan Arif. Dan Mala juga belum bisa dihubungi dari tadi sore. Ada apa ini? [Man, sudah tidur] sebuah pesan masuk di aplikasi hijauku. [Belum, ini siapa, Ya?] [Helen, Man] Aku beringsut mendudukkan diriku sendiri diatas kasur. Seriuskah ini Helen? Mau ngapain juga dia menghubungiku. Bukankah dulu dia yang tak peduli padaku. Lebih memilih om-om itu dari pada berjuang bersamaku. [Ada apa?] Kucoba langsung to the point saja. Malas berbasa-basi. [Katanya kamu di Lampung? Aku juga sering dapat job kesana, kapan-kapan bisa ketemuan, ya, Man?] [Iya, aku di Lampung, lagi cari kerjaan, biar tidak disepelekan perempuan] lho aku kok, tiba-tiba ngegas pada Helen, mungkin amarahku yang dulu pada wanita itu belum hilang. [Maaf, Man. Dulu demi keluargaku, aku terpaksa meninggalkanmu. Kini suamiku sudah meninggal dan meninggalkan harta yang banyak untukku. Kita bisa memulai
Aku membanting pintu kamarku setelah mematikan video call yang sedang dilakukan oleh Helen pada Mas Rahman. sungguh hatiku terbakar emosi yang meletup-letup. Ingin rasanya ku cabik-cabik wanita berambut pirang itu.Bisa-bisanya dia malah menantang ku. Bu, juga. Ngapain dia begitu ramah dan baik pada mantan pacarnya suamiku. Sedangkan begitu ketus dan mulutnya mulutnya. setiap hari ada saja yang di omeli-nya. Beda sekali saat sedang bersama Helen. Keluarga macam apa ini? Pada yang jelas menantunya, begitu sinis dan tak berperasaan. Tapi pada orang lain bak malaikat dengan sebaik-baiknya. Dikira aku akan diam saja, oh tidak mungkin, aku NURMALA. Kata Bapak, tanggung jawabku. Jadi aku harus melawan siapapun yang akan menyakitiku apalagi mempermainkan kemungkinan. Jika sikap mereka masih dibatas ambang wajar, aku lebih baik diam saja. Karena bukan hanya aku menantu yang diremehkan. Banyak perempuan di luar sana bahkan lebih tragis nasibnya ketika tinggal dengan mertua. Tapi jika masala
"Uang tiga puluh ribu rupiah untuk jaman sekarang, memang tidak ada artinya, tapi cobalah menyesuaikan kondisi. Kita harus hemat," ucapku lagi sambil ngeloyor ke dapur, baru bangun sudah ada aja masalah."Hemat sih hemat, tapi tak begini juga kali," sungutnya sambil kembali mendudukan dirinya di kursi. Aku tak peduli dengan ocehan Ibu. Mau gimana lagi, hanya itu uang yang mampu aku keluarkan pagi ini. Kemarin saja uang 500.000 belum Ibu ganti, padahal akadnya pinjam. Dan aku sudah tahu tidak akan diganti. Tapi Ibu tak pernah menyadarinya kalau biaya di rumah ini, aku ikut andil. Selain uang yang keluarkan, mentalku juga jadi jaminan. Aku harus tetap waras dan tidak boleh stres demi kehamilan ini.———Pekerjaan rumah sudah selesai sepertinya, ku sapukan jari pada lantai dan sudah keset. Cucian piring di dapur juga sudah rapi. Tinggal masak untuk makan siang saja yang belum. Ini pasti kerjaan Ria, anak itu begitu mengerti dan memaklumi aku. Aku akan selalu mendoakan adik iparku itu aga
Aku harus menyelidiki siapa sebenarnya si Helen ini. Akh, sebaiknya ku tanya Tika saja deh, dia kan asli orang sini. Aku bangkit dan menuju keluar."Mau kemana kamu?" teriak ibu, sesaat aku telah ada di ambang pintu. Aku menoleh pada surga suamiku itu, sungguh tak ada yang patut ditiru dari perempuan setengah abad itu. "Cari angin, gerah dalam rumah," jawabku asal, tanpa memperdulikan keduanya. Ya, menantu mana yang akan diam saja jika menghadapi hal seperti aku sekarang ini? Aku kira cerita demikian hanya ada dalam sinetron saja , tapi ternyata kini aku mengalaminya. Entah dosa apa aku di masa lalu, hingga aku terjebak dalam keluarga yang sama sekali tak bisa menghargai orang lain. Sepagi ini aku akan ke rumah Tika, semoga saja suaminya sudah berangkat bekerja. Kulangkahkan kaki dengan tergesa. "Assalamualaikum." Ku ucap salam saat memasuki pekarangan rumah Tika, rumah sederhana yang terlihat asri dan damai. Meski bangunannya sudah mulai rapuh, tapi ku lihat ada ketenangan untuk
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda