Selagi Nita mencoba baju-baju barunya, kulihat Nisa murung. Bukan tanpa alasan, Nisa sepertinya iri melihat adiknya mendapatkan banyak baju, sedangkan dia tidak.
Aku mencoba memberi pengertian pada sulungku itu.
"Kakak kenapa?" tanyaku.
"Nisa iri bu sama Nita, Nita dapat baju, sedangkan Nisa enggak." Ucapnya dengan sedih.
"Nisa kan sudah besar, harusnya seneng dong liat Nita seneng. Tadi yang nyuruh Ibu, punya anak perempuan. Kebetulan usianya beda 2 tahun dengan Nita. Selama ibu bekerja, Nita main dengan anaknya. Ibunya liat baju Nita sudah pada sobek, makanya Ibu itu ngasih baju buat Nita, kalaupun Nisa mau bajunya gak akan cukup buat Nisa, Nanti kalo Ibu kerja lagi ibu janji Ibu bakal beliin baju buat Nisa." jelasku panjang lebar sambil memberi penjelasan.
"Kakak mau bajunya? Sini! Kakak pilih aja, kalo Kakak mau buat Kakak aja" Ucap Nita seraya menghibur kakaknya.
Dengan tersenyum, sepertinya Nisa mengerti dengan penjelasanku. Aku bersyukur mempunyai dua anak yang baik dan pengertian.
"Ini Nita di kasih mainan, Kakak mau ga main sama aku?" ajak si bungsu pada kakaknya.
"Mainnya sudah dulu ya, Kakak udah makan belum? Ibu ada sesuatu buat Kakak" Ucapku masih mencoba menghibur.
Aku membuka empat bungkus nasi itu.
"Asyikk ayam goreng! Nisa makan ayam hari ini.. Ibu dapet uang banyak kah hari ini? Ibu bisa beliin ayam buat makan." Teriak si Sulung dengan wajah yang tak terbayangkan ekspresinya.
" Ibu tadi di kasih dari tempat Ibu kerja, orangnya baik banget. Sampai-sampai pas ibu mau pulang dia ngasih uang buat jajan Kakak sama adek." jawabku.
Ayam goreng adalah makanan mewah bagi kami, setiap hari biasanya kami makan dengan telur atau gorengan, bahkan tak jarang kami makan hanya dengan nasi di taburi garam saja. Tapi alhamdulillah mereka tak pernah marah ataupun mengeluh. Mereka selalu makan apapun yang ku sediakan. Sering, jika tak punya uang untuk membeli beras , aku hanya merebus ubi ataupun singkong pemberian tetangga yang mempunyai kebun.
Walaupun begitu aku sangat bersyukur karena masih ada yang bisa kami makan."Bu, baju aku yang sobek biar buang aja, aku udah punya baju baru, banyak lagi!" ucap Nita
Memang baju mereka sudah sobek, bahkan lebih layak di sebut lap daripada baju. Baju mereka tak lebih dari empat setel saja, setiap habis mandi langsung cuci. Kalo sudah kering besok atau lusa di pakai lagi. Sering sekali waktu musim hujan kami tidak mengganti baju berhari-hari karena baju yang kemarin tak kunjung kering.
Musim hujan adalah hal yang sangat kami takutkan, karena saat musim hujan tiba, atap selalu bocor dimana-mana. Tempat tidur kami menjadi basah. Kami tidur di satu ruangan, hanya beralaskan papan kayu dan berselimutkan kain yang sudah menipis. Kami terbiasa tidur dalam satu ruangan berbagi tempat tidur dan selimut.
Meskipun begitu, aku merasa bahagia karena keluarga ku hangat akan kasih sayang.
Esok hari Nita bersemangat untuk bermain dengan temannya.
"Bu Nita mau main ya? Nita tidak sabar mau pake baju barunya. Nita sudah bosen di katain baju butut terus Bu, Nita mau tunjukkin baju baru Nita!" imbuh si kecil sembari berputar-putar sambil memegang ujung rok yang mekar.
"Kalau Nita mau main, main saja. Tapi ingat, Nita ga boleh ngomong begitu. Itu namanya sombong nak. Nita tidak lihat Kakak? Kasihan gak Nita sama Kakak?" ucapku sambil menasehati.
Kulihat Nisa tak bersemangat hari ini, dia lebih memilih diam di rumah menemani bapaknya. Sedih rasanya hati ini.
Keesokan harinya aku kembali ke rumah Bu Fika, karena dia memintaku untuk datang setelah 2 hari. Nita bersiap-siap karena dia ingin ikut.
"Bu Nita ikut lagi ya, kata Salsa kalau ibu ke rumahnya lagi, Nita harus ikut biar Salsa ada temen." katanya.
"Iya nak, boleh.. Kak, kakak di rumah ya, jagain bapak. Do'akan setelah ini, semoga ibu mendapat uang banyak. Supaya bisa beli baju untuk Kakak." hiburku pada si sulung.
Dalam hati aku berniat sepulang dari rumah bu Fika aku akan membelikan Nisa baju baru.
"Assalamu'alaikum.." sapaku
"Wa'alikum salam.. Eh ada Nita. Sini masuk, nak! Dari kemarin Salsa nanyain Nita terus." sapa Bu Fika pada Nita sembari mengajak masuk Nita.
"Nita mau makan ayam lagi? Tante buatin ayam lagi loh buat Nita." ajak Bu Fika pada Nita.
Seperti biasa, selagi aku bekerja Nita dan Salsa bermain. Mereka saling bercerita. Entah apa yang diceritakan, deru mesin cuci menyamarkan pendengaranku.
"Bu Sari, saya pamit ke luar sebentar ya. Biar Nita saya ajak." tiba-tiba Bu Fika pamit untuk keluar.
Mau kemana mereka?
Menjelang sore semua pekerjaanku selesai, tapi bu Fika belum juga kembali.
Tak beberapa lama kudengan deru mesin kendaraan di depan rumah, setelah ku lihat ternyata itu Bu Fika.
"Sudah selesai bu? Kalo sudah ayok saya antar pulang!" ajak bu Fika.
"Tidak usah bu, rumah kami deket kok. Saya tidak mau merepotkan ibu." tolakku dengan lembut.
"Tidak apa-apa kok, saya tidak repot, ayok bu masuk!" ajaknya lagi memaksa.
Saat di dalam mobil kulihat banyak kantong belanjaan. Sepertinya Bu Fika habis belanja. Nita terlihat kegirangan. Dalam perjalanan dia tak henti mengoceh.
"Bu tadi Nita masuk ke toko gede banget, tangga nya bisa jalan loh bu! Nanti Nita mau ke sana lagi ya, sama kakak, bapak juga ajak ya bu!" celotehnya.
"Iya sayang.. Nanti ya.." aku hanya mengangguk pelan.
Tadinya sepulang dari rumah Bu Fika aku akan mampir ke toko baju. Tapi Bu Fika memaksaku untuk di antar. Biar besok saja aku pergi ke tokonya.
"Itu tante rumah Nita yang paling ujung!" ucap Nita sambil menunjukkan arah rumahnya..
"Oh yang itu, sebentar yaa tante parkir dulu."
Setelah membuka pintu mobil Nita dan Salsa berlari menuju rumah.
Kukira bu Nita hanya mengantarku saja, tapi dia ingin mampir juga ke rumah bututku. Dia juga membawa kantong plastik besar.Malu rasanya, saat Bu Fika masuk ke dalam rumah. Rumah ku masih beralaskan tanah.
"Masuk bu, maaf ya rumah saya begini. Pakai saja sepatunya." kupersilahkan Bu Fika masuk, sambil membereskan tempat untuk duduk.
"Saya ambilkan air ya bu!"
"Tidak usah Bu Sari, saya sudah minum kok tadi. Ibu kan cape habis bekerja." imbuhnya.
"Bu ini, saya ada sedikit rezeqi untuk ibu dan keluarga, ada makanan juga. Ibu terima ya, saya tidak terima jawaban tidak!" katanya.
"Apa ini bu? Saya jadi tidak enak begini, ibu terlalu baik. Jangan buat saya merasa tak enak sama ibu."
"Ini bukan apa-apa. Anggap saja ini rezeqi dari Allah, ini upah ibu hari ini." dia memberikan sebuah amplop padaku.
"Tak usah bu, ini sudah cukup kok. Ini saya kembalikan!" sambil mengembalikan amplop pemberian Bu Fika.
"Ini untuk ibu, tidak usah di kembalikan. Saya pulang ya bu, sebentar lagi suami saya pulang." sambil berjalan menuju keluar.
"Saya antar ya bu?"
"Tidak usah, bu Sari istirahatlah.. Setelah dua hari datang lagi ya bu, sampaikan salam untuk suami ibu."
"Baiklah bu, nanti saya sampaikan."
Ku lihat Bu Fika keluar berjalan menuju mobil, sampai mobil itu melaju lalu hilang dari pandangan.
Kenapa Bu Fika sebaik ini pada keluargaku?Ya Allah terima kasih telah mempertemukanku dengan wanita yang baik ini..
Aku membuka kantong plastik itu, ternyata isinya baju untuk Nisa, ada sandal dan sepatu juga. Ada baju buat bapak dan juga aku. Tak terasa air mataku jatuh. Bahagia rasanya.
"Tadi aku main sama Salsa, terus bu Fika bertanya apa aku suka bajunya? Kubilang aku sangat suka, tapi aku kasihan sama kakak, karena kakak sedih melihatku dapet baju baru, banyak lagi! Mungkin kakak iri sama aku, saat ku suruh kakak memilih bajuku yang kakak suka kakak bilang buat aku saja, bajunya tidak muat untuk kakak." Nita bercerita padaku.
"Setelah itu kulihat mamanya Salsa menangis, aku ga tau kenapa. Lalu Mamanya Salsa mengajakku jalan-jalan. Seru banget. Aku diajak naik mainan, naik kuda bohongan yang bisa muter gitu, terus makan di tempat bagus. Terus mamanya Salsa nanya di rumah aku ada siapa aja, kubilang ada aku, ibu, kakak dan juga bapak. Kemuadian mamanya Salsa memesan empat bungkus makanan katanya buat aku bawa pulang. Setelah itu aku di ajak berkeliling. Tempatnya gedeee banget! Mamanya Salsa nanya emang kakaknya Nita kelas berapa, aku bilang gak tau kak Nisa udah gak sekolah. Terus mamanya Salsa memilih baju untuk kakak, ibu sama bapak. Tadinya aku juga mau di beliin tapi aku bilang buat kakak aja, aku udah dapet baju baru kemarin kataku." jelas Nita panjang lebar. Aku hanya bisa mendengarkan. Ternyata ini alasan Bu Fika memberikan ini semua.
Saat bapak bangun, ku ceritaka semua. Tangisan bapak pecah seketika.
"Maafkan bapak nak, bapak tidak bisa membelikan ini semua untuk kalian"
#BAJU_BEKAS_UNTUK_ANAKKU_3Setelah hari itu kulihat mereka sangat gembira.Setiap pagi mereka bersemangat untuk bangun. "Aku tak sabar pengen pakai baju bagus" katanya.Aku selalu tersenyum ketika mereka bangun, karena kini sudah tak ada rasa sedih lagi. Kini hari-hari ku jauh dari kata sedih.Terlihat ada harapan dan semangat baru.Tak terasa, sudah lebih dari 3 bulan aku bekerja di rumah bu Fika. Kini segala kebutuhanku tak pernah kurang.Malu rasanya karena sungguh tak masuk akal, pekerjaanku yang tak begitu banyak harus di bayar dengan uang yang tidak sedikit. Belum lagi saat pulang aku selalu dibekalkan apa pun yang kubutuhkan.Aku tak ingin disebut memanfaatkan keadaan, pernah suatu hari saat jadwalku bekerja, aku tak datang. Tapi bu Fika menyusulku. Aku malah semakin malu.***Deru mesin kendaraan terdengar sangat dekat di depan rumah, lalu berhenti.Tak lama ku dengar suara ketukan pintu. Saat ku buk
Pagi ini anak-anak bangun lebih awal. Bahkan semalam saja mereka tidak bisa tidur nyenyak. Sedikit-sedikit bangun. Katanya udah ga sabar nunggu pagi.Selagi aku menyiapkan sarapan, mereka segera mandi.Sarapan Kali ini aku tak perlu membeli gorengan, karena kemarin bu Fika memberi kami banyak bahan makanan.Beras satu karung, telur, minyak goreng, mie rebus. Dan banyak lagi. Entah mengapa mereka selalu baik pada kami. Apa mereka hanya bersimpati saja pada kami? Semoga saja begitu. Aku tidak boleh berfikiran negatif tentang mereka.Setelah sarapan siap, kami makan bersama."Kak, nanti kalau aku jalan-jalan lagi aku mau naik kuda bohongan yang bisa Muter lagi. Seruuu banget!" Sembari memakan makanannya dia tak henti-hentinya bercerita."Iya nanti cerita nya ya, sekarang Nita makan dulu" titahku."Bu, padahal ga usah sarapan, nanti juga aku bakalan di ajak makan lagi di tempat bagus" sambil memainkan sendok yang ada di tangannya.
Kudengar seseorang mengetuk pintu..tok tok tok"Ibu, buka bu. Ini Nita sama kak Nisa sudah pulang bu" teriak seseorang di balik pintu. Sepertinya si bungsu.Dengan langkah gontai aku terburu-buru membuka pintu, setelah kupastikan bahwa itu adalah kedua anakku, langsung ku peluk kedua anak perempuanku itu.Aku sangat bersyukur, ternyata semua dugaanku terhadap bu Fika memang salah. Seketika hati ini merasa lega.."Maaf bu, kami pulang terlambat. Kemarin kami.." ucapan Bu Fika terpotong"Sudahlah bu tak apa.. Mari masuk dulu. Saya buatkan sarapan. Pasti kalian semua belum sarapan 'kan?" ajakku pada mereka. Sambil mempersilahkan mereka masuk."Maaf bu, sebenarnya saya mau mampir. Tapi suami saya sudah terlambat untuk bekerja. Saya mohon maaf sekali lagi" tolak bu Fika dengan sangat pelan. Mungkin Bu Fika takut kalau aku tersinggung."Oh yasudah bu tidak apa-apa" ucapku."Kalau begitu saya pamit ya bu. Nita Nisa ibu pulang du
Setelah sarapan aku berniat menemui Bu Fika."Pak, ibu ke rumah mau bu Fika. Mau bicara masalah kemarin" aku berpamitan pada suamiku."Ibu mau ke mana? Ke rumah Salsa ya?" Nita gegas mendekatiku."Nita ikut boleh?""Nita di rumah saja ya, ibu gak lama kok" aku menolaknya sehalus mungkin."Em ya udah deh" Nita berbalik ke tempat semula ia bermain."Kak, ibu ke rumah bu Fika dulu ya, jangan ke mana-mana. Jagain bapak" aku pamit kepada si bungsu. Memanglah si bungsu sangat pengertian.Setelah tiba di rumah bu Fika.."Assalamu'alaikum, bu""Wa'alikum salam"Bu Fika mungkin keheranan dengan kedatanganku yang tiba-tiba, karena hari ini bukan jadwal saya bekerja."Silahkan masuk bu Sari" bu Fika menyambutku dengan ramah.Aku duduk di kursi, dan langsung bicara maksud kedatanganku."Maaf bu Fika.. Kemarin anak saya sudah di belikan perlengkapan sekolah. Waktu saya melihat nama sekola
Entahlah aku harus merasa senang, sedih atau marah?Karena pengakuan mereka membuatku tercengang."Mengapa ibu tidak bilang sejak dulu? Kalau begini rasanya saya sudah seperti menjual jiwa suami saya, dan menukarkan semuanya dengan segala kesenangan yang ibu berikan untuk kami" ucapku lirih."Maaf bu Sari, kami tak ingin membuat kalian kecewa. Saya berbuat begini anggap saja sebagai ucapan terima kasih kami untuk pak Rudi yang telah menyelamatkan anak kami. Semua yang kami lakukan tidak seberapa di bandingkan dengan pengorbanan pak Rudi untuk anak kami. Jadi saya mohon terima lah semua yang telah kami berikan untuk ibu Sari dan keluarga. Dan saya mohon ibu Sari jangan pernah menolak apa pun yang saya berikan. Karena dengan cara ini semoga saya bisa menebus rasa bersalah kami" ucap bu Fika sembari menangis dan memohon berlutut di depan kakiku.Aku hanya diam memandangi suamiku yang tak berdaya.Sulit bagiku setelah mengetahui semuanya."Bu, m
#FalshbackAku masih bingung, siapa sebenarnya yang menabrak suamiku. Aku juga tidak tahu harus bertanya pada siapa. Orang-orang mengatakan bahwa tidak ada yang tahu kejadian persisnya seperti apa. Dan lagi, tidak ada cctv yang merekam kejadian tersebut. Truk yang menabrak suamiku langsung kabur begitu saja. Mereka juga tidak sempat mencatat plat nomer kendaraan itu.Namun, seorang perawat yang berjaga di rumah sakit mengatakan bahwa ada dua orang yang menjadi korban. Suami saya, dan seorang siswa SMA. Namun, beberapa jam lalu pasien itu sudah dibawa ke rumah sakit lain untuk menjalani pengobatan lebih lanjut.Selain itu, dokter juga menyarankan agar suamiku dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Namun, lagi-lagi faktor ekonomi yang membuatku ragu. Untuk biaya pengobatan yang baru sebentar saja aku terpaksa menjual beberapa barang yang ada di rumah, yang mungkin masih bisa di jual. Itupun masih belum cukup untuk menutupi biaya pengobatan yang men
Sesosok wajah laki-laki muda terpampang jelas di layar ponsel Bu Fika. Siapa dia yang ingin berbicara denganku?"Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana sekarang keadaan Pak Rudi?" sapa laki-laki muda itu.Mengapa dia bertanya tentang suamiku? Apa jangan-jangan...."Saya Rafli. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya kepada Pak Rudi."Aku menatap nanar pada wajah itu. Seolah ingatanku kembali pada kejadian pahit beberapa tahun silam. Hatiku hancur, sebenarnya aku sudah memaafkan. Namun kejadian itu masih saja menghantuiku. Tak ada sepatah katapun terucap dari bibirku. Hanya air mata yang menjawab sapaan pemuda itu.Aku tahu, Rafli juga adalah korban. Dia sama sekali tak bersalah atas kejadian itu. Tapi andai saja kala itu Ia tak bermain sampai ke tengah jalan, mungkin suamiku tak akan seperti sekarang."Tak apa bila ibu tidak menjawabku. Tapi saya sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan Pak Rudi. Oh ya, lusa nanti saya akan pulang,
Tanganku bergetar seketika saat menyentuh surat itu. Apa ini hanya mimpi?Rafli bertekuk lutut dihadapan suamiku."Saya mohon, supaya Bapak dan Ibu mau menerima semua ini. Tolong, keluarkan aku dari rasa bersalah ini."Sebenarnya aku tak menampik bahwa telah lama kami mengidamkan rumah yang lebih baik daripada rumah yang kami tempati selama ini. Tapi bukan begini caranya.Suamiku mengusap pucuk kepala Rafli. Punggung suamiku bergetar menahan tangis."Bangunlah nak, kamu tak perlu melakukan ini. Bapak sudah ikhlas menerima keadaan ini." tolak suamiku."Bapak tetap ikhlas menerima keadaan Bapak saat ini. Namun saya juga tetap ingin memberikan rumah ini untuk bapak. Jadi tolong terimalah!""Baiklah, bapak akan menerima semua ini. Tapi setelah ini, bapak tidak ingin menerima apapun lagi.""Setelah ini, saya masih ingin tetap memberikan uang kepada Bapak dan keluarga untuk biaya pendidikan dan biaya sehari-hari. Coba Bapak pikir
PoV Bu Fika IISatu bulan setelah mengelola warisan dari papa, keadaan ekonomiku meningkat. Aku membeli sebuah rumah jaraknya cukup jauh dari rumah mertuaku. Rumahnya cukup besar, dan intinya aku tinggal terpisah dengan mertua dan iparku.Suamiku cukup telaten dalam mengelola perusahaan. Bahkan sebulan setelah mengelola perusahaan, keuangan perusahaan semakin meningkat.Ibu dan iparku selalu datang ke rumah, alasannya sih ingin melihat keadaan aku dan Mas Hermawan. Tapi ujung-ujungnya selalu tentang uang.Sampai sekarang pun aku tak pernah memberitahu perlakuan mereka pada suamiku. Aku tak ingin rumah tanggaku berantakan hanya karena masalah itu.Pernah suatu hari, ibu meminta uang dengan alasan untuk pergi berobat. Namun setelah ku transfer, tak lama iparku membuat sebuah status di aplikasi whatsapp bahwa mereka sedang makan malam di restaurant ternama. Tapi suamiku hanya berkata "biarkan saja, mungkin suami Mbak Dewi sudah mengirimkan uang." 
PoV Bu Fika#flashbackSetelah menikah, aku terpaksa tinggal dengan mertua juga iparku di rumah mereka, karena pekerjaan suamiku yang mengharuskannya pergi ke beberapa kota. Sebenarnya tak masalah bagiku, karena kini beliau adalah ibuku juga. Aku hanya harus beradaptasi saja.Mas Hermawan, adalah anak ke dua dari empat bersaudara. Mbak Dewi--kakak perempuannya sudah menikah, namun sama sepertiku suami Mbak Dewi sering bekerja di luar kota, sehingga lebih sering Mbak Dewi tinggal di rumah ini. Dua tahun menikah, namun Mbak Dewi masih belum dikaruniai seorang anak. Rinda, adik Mas Hermawan, Ia kuliah di Universitas ternama di kota ini. Mas Hermawan yang membiayai kuliah Rinda. Risa, adik bungsu Mas Hermawan masih duduk di bangku SMA, Mas Hermawan juga yang membiayai sekolah Risa.Seminggu setelah menikah, Mas Hermawan masih menjalani cuti, jadi Ia masih tinggal denganku di rumah mertuaku. Mereka sangat baik padaku, seriap hari aku tak diizinkan mengerjakan
Tanganku bergetar seketika saat menyentuh surat itu. Apa ini hanya mimpi?Rafli bertekuk lutut dihadapan suamiku."Saya mohon, supaya Bapak dan Ibu mau menerima semua ini. Tolong, keluarkan aku dari rasa bersalah ini."Sebenarnya aku tak menampik bahwa telah lama kami mengidamkan rumah yang lebih baik daripada rumah yang kami tempati selama ini. Tapi bukan begini caranya.Suamiku mengusap pucuk kepala Rafli. Punggung suamiku bergetar menahan tangis."Bangunlah nak, kamu tak perlu melakukan ini. Bapak sudah ikhlas menerima keadaan ini." tolak suamiku."Bapak tetap ikhlas menerima keadaan Bapak saat ini. Namun saya juga tetap ingin memberikan rumah ini untuk bapak. Jadi tolong terimalah!""Baiklah, bapak akan menerima semua ini. Tapi setelah ini, bapak tidak ingin menerima apapun lagi.""Setelah ini, saya masih ingin tetap memberikan uang kepada Bapak dan keluarga untuk biaya pendidikan dan biaya sehari-hari. Coba Bapak pikir
Sesosok wajah laki-laki muda terpampang jelas di layar ponsel Bu Fika. Siapa dia yang ingin berbicara denganku?"Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana sekarang keadaan Pak Rudi?" sapa laki-laki muda itu.Mengapa dia bertanya tentang suamiku? Apa jangan-jangan...."Saya Rafli. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya kepada Pak Rudi."Aku menatap nanar pada wajah itu. Seolah ingatanku kembali pada kejadian pahit beberapa tahun silam. Hatiku hancur, sebenarnya aku sudah memaafkan. Namun kejadian itu masih saja menghantuiku. Tak ada sepatah katapun terucap dari bibirku. Hanya air mata yang menjawab sapaan pemuda itu.Aku tahu, Rafli juga adalah korban. Dia sama sekali tak bersalah atas kejadian itu. Tapi andai saja kala itu Ia tak bermain sampai ke tengah jalan, mungkin suamiku tak akan seperti sekarang."Tak apa bila ibu tidak menjawabku. Tapi saya sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan Pak Rudi. Oh ya, lusa nanti saya akan pulang,
#FalshbackAku masih bingung, siapa sebenarnya yang menabrak suamiku. Aku juga tidak tahu harus bertanya pada siapa. Orang-orang mengatakan bahwa tidak ada yang tahu kejadian persisnya seperti apa. Dan lagi, tidak ada cctv yang merekam kejadian tersebut. Truk yang menabrak suamiku langsung kabur begitu saja. Mereka juga tidak sempat mencatat plat nomer kendaraan itu.Namun, seorang perawat yang berjaga di rumah sakit mengatakan bahwa ada dua orang yang menjadi korban. Suami saya, dan seorang siswa SMA. Namun, beberapa jam lalu pasien itu sudah dibawa ke rumah sakit lain untuk menjalani pengobatan lebih lanjut.Selain itu, dokter juga menyarankan agar suamiku dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Namun, lagi-lagi faktor ekonomi yang membuatku ragu. Untuk biaya pengobatan yang baru sebentar saja aku terpaksa menjual beberapa barang yang ada di rumah, yang mungkin masih bisa di jual. Itupun masih belum cukup untuk menutupi biaya pengobatan yang men
Entahlah aku harus merasa senang, sedih atau marah?Karena pengakuan mereka membuatku tercengang."Mengapa ibu tidak bilang sejak dulu? Kalau begini rasanya saya sudah seperti menjual jiwa suami saya, dan menukarkan semuanya dengan segala kesenangan yang ibu berikan untuk kami" ucapku lirih."Maaf bu Sari, kami tak ingin membuat kalian kecewa. Saya berbuat begini anggap saja sebagai ucapan terima kasih kami untuk pak Rudi yang telah menyelamatkan anak kami. Semua yang kami lakukan tidak seberapa di bandingkan dengan pengorbanan pak Rudi untuk anak kami. Jadi saya mohon terima lah semua yang telah kami berikan untuk ibu Sari dan keluarga. Dan saya mohon ibu Sari jangan pernah menolak apa pun yang saya berikan. Karena dengan cara ini semoga saya bisa menebus rasa bersalah kami" ucap bu Fika sembari menangis dan memohon berlutut di depan kakiku.Aku hanya diam memandangi suamiku yang tak berdaya.Sulit bagiku setelah mengetahui semuanya."Bu, m
Setelah sarapan aku berniat menemui Bu Fika."Pak, ibu ke rumah mau bu Fika. Mau bicara masalah kemarin" aku berpamitan pada suamiku."Ibu mau ke mana? Ke rumah Salsa ya?" Nita gegas mendekatiku."Nita ikut boleh?""Nita di rumah saja ya, ibu gak lama kok" aku menolaknya sehalus mungkin."Em ya udah deh" Nita berbalik ke tempat semula ia bermain."Kak, ibu ke rumah bu Fika dulu ya, jangan ke mana-mana. Jagain bapak" aku pamit kepada si bungsu. Memanglah si bungsu sangat pengertian.Setelah tiba di rumah bu Fika.."Assalamu'alaikum, bu""Wa'alikum salam"Bu Fika mungkin keheranan dengan kedatanganku yang tiba-tiba, karena hari ini bukan jadwal saya bekerja."Silahkan masuk bu Sari" bu Fika menyambutku dengan ramah.Aku duduk di kursi, dan langsung bicara maksud kedatanganku."Maaf bu Fika.. Kemarin anak saya sudah di belikan perlengkapan sekolah. Waktu saya melihat nama sekola
Kudengar seseorang mengetuk pintu..tok tok tok"Ibu, buka bu. Ini Nita sama kak Nisa sudah pulang bu" teriak seseorang di balik pintu. Sepertinya si bungsu.Dengan langkah gontai aku terburu-buru membuka pintu, setelah kupastikan bahwa itu adalah kedua anakku, langsung ku peluk kedua anak perempuanku itu.Aku sangat bersyukur, ternyata semua dugaanku terhadap bu Fika memang salah. Seketika hati ini merasa lega.."Maaf bu, kami pulang terlambat. Kemarin kami.." ucapan Bu Fika terpotong"Sudahlah bu tak apa.. Mari masuk dulu. Saya buatkan sarapan. Pasti kalian semua belum sarapan 'kan?" ajakku pada mereka. Sambil mempersilahkan mereka masuk."Maaf bu, sebenarnya saya mau mampir. Tapi suami saya sudah terlambat untuk bekerja. Saya mohon maaf sekali lagi" tolak bu Fika dengan sangat pelan. Mungkin Bu Fika takut kalau aku tersinggung."Oh yasudah bu tidak apa-apa" ucapku."Kalau begitu saya pamit ya bu. Nita Nisa ibu pulang du
Pagi ini anak-anak bangun lebih awal. Bahkan semalam saja mereka tidak bisa tidur nyenyak. Sedikit-sedikit bangun. Katanya udah ga sabar nunggu pagi.Selagi aku menyiapkan sarapan, mereka segera mandi.Sarapan Kali ini aku tak perlu membeli gorengan, karena kemarin bu Fika memberi kami banyak bahan makanan.Beras satu karung, telur, minyak goreng, mie rebus. Dan banyak lagi. Entah mengapa mereka selalu baik pada kami. Apa mereka hanya bersimpati saja pada kami? Semoga saja begitu. Aku tidak boleh berfikiran negatif tentang mereka.Setelah sarapan siap, kami makan bersama."Kak, nanti kalau aku jalan-jalan lagi aku mau naik kuda bohongan yang bisa Muter lagi. Seruuu banget!" Sembari memakan makanannya dia tak henti-hentinya bercerita."Iya nanti cerita nya ya, sekarang Nita makan dulu" titahku."Bu, padahal ga usah sarapan, nanti juga aku bakalan di ajak makan lagi di tempat bagus" sambil memainkan sendok yang ada di tangannya.