#BAJU_BEKAS_UNTUK_ANAKKU_3
Setelah hari itu kulihat mereka sangat gembira.Setiap pagi mereka bersemangat untuk bangun. "Aku tak sabar pengen pakai baju bagus" katanya.
Aku selalu tersenyum ketika mereka bangun, karena kini sudah tak ada rasa sedih lagi. Kini hari-hari ku jauh dari kata sedih.
Terlihat ada harapan dan semangat baru.
Tak terasa, sudah lebih dari 3 bulan aku bekerja di rumah bu Fika. Kini segala kebutuhanku tak pernah kurang.
Malu rasanya karena sungguh tak masuk akal, pekerjaanku yang tak begitu banyak harus di bayar dengan uang yang tidak sedikit. Belum lagi saat pulang aku selalu dibekalkan apa pun yang kubutuhkan.
Aku tak ingin disebut memanfaatkan keadaan, pernah suatu hari saat jadwalku bekerja, aku tak datang. Tapi bu Fika menyusulku. Aku malah semakin malu.
***
Deru mesin kendaraan terdengar sangat dekat di depan rumah, lalu berhenti.
Tak lama ku dengar suara ketukan pintu. Saat ku buka ternyata Bu Fika dengan Salsa sedang berdiri di balik pintu. Tapi kali ini bu Fika membawa suaminya.
Kupersilahkan mereka untuk masuk. Bu Fika membawa sebuah parsel berisi buah-buahan. Sekarung beras dan beberapa makanan untuk anak-anak.
"Assalamu'alaikum bu Sari, maaf saya datang tidak mengabari terlebih dulu. Kami sengaja, karena tidak ingin merepotkan ibu. Dan perkenalkan ini suami saya"
"Wa'alikum salam, kenapa mendadak begini?" sambil mempersilahkan masuk.
"Maksud kedatangan kami ke sini, karena suami saya sudah mendengar cerita dari Salsa. Setelah itu Salsa minta katanya mau ke rumah Nita. Sekalian ini ada beberapa sembako. Tolong terima ya bu"
Sungguh aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.. Aku hanya bisa menangis, kemudian bu Fika memelukku. Aku menangis di pelukkan bu Fika.
"Bu jangan membuat saya semakin tidak enak sama ibu, ibu sudah begitu baik pada kami" ucapku sambil terisak.
"Bu, ini semua rezeqi dari Allah untuk ibu. Saya akan senang jika ibu mau menerima ini" bu Fika menepuk pundakku.
"Tapi ini semua sudah berlebihan bu, saya sudah tidak bisa menerima pemberian ibu" beberapa kali aku mencoba menolaknya, namun bu Fika juga memaksa untuk aku menerima pemberian mereka.
"Nisa, Nita.. Kemari nak ! Ibu mau bicara" imbuhnya dengan lembut sambil menepuk kedua tempat yang kosong di sebelah bu Fika.
Nisa dan Nita menghampiri dan duduk di sebelah bu Fika.
"Nisa sama Nita mau sekolah?" tanya bu Fika dengan sangat hati-hati.
Serentak mereka memandang wajahku dan wajah bu Fika secara bergantian. Senyum mereka mengembang kala mendengar penuturan bu Fika.
"Mau bu, mau! Tapi.." ucapnya terpotong.
"Bu, Nisa mau sekolah boleh?" Ucap nisa.
"Nita juga mau, boleh ya..boleh yaa?" susul Nita.
Aku tak kuasa menolak permintaan mereka, tapi bagaimana ? Aku tak punya biaya. Mulutku rasanya seketika membisu. Aku hanya bisa menunduk.
"Bu, tolong izinkan mereka.." ucapan bu Fika seketika terpotong.
"Tapi.."
"Bu Fika tak usah memikirkan apapun.. Biar saya yang mebiayai, asal mereka mau dan ibu mengizinkan" imbuhnya.
"Bu, saya sudah malu. Ibu sudah banyak membantu kami. Jangan membuat saya mempunyai hutang budi yang sangat banyak sehingga saya tidak bisa membayarnya" aku tak bisa memandang wajah bu Fika secara langsung.
"Biar suami saya yang menjelaskan dan meminta izin pada suami ibu" kulihat suami bu Fika sedang berbincang dengan bapak.
Dan sepertinya suami bu Fika sudah bercerita perihal kedatangan mereka, karena ku lihat bapak sedang menangis. Kedua tangannya menutupi wajah. Sama halnya denganku, mungkin bapak juga kaget dengan maksud mereka.
"Kalau mau sekolah besok ibu jemput ke sini ya? Ibu akan ajak kalian jalan-jalan sambil melihat sekolahnya, mau? Kalian sudah punya seragam?" tanya bu Fika.
Mereka berdua menggelengkan kepala pelan.
"Kalau begitu besok sekalian ya kita beli perlengkapan sekolah"
Seketika senyuman mereka kembali mengembang.
Aku tak banyak bicara. Aku hanya mengangguk tanda menyetujui semua yang bu Fika tanyakan.
Tak terasa hari mulai sore.
Mereka semua berpamitan pulang.
"Besok ibu jemput jan 10 ya, kangan lupa" bu Fika mengingatkam kedua anakku.
Aku tak bisa menolak, karena semakin aku menolak semakin bu Fika memaksa untuk menerimanya.
"Bu, nanti kalau jadi sekolah Nita mau ibu yang antar kami ya bu"
"Nisa juga, tapi.. Nisa malu bu. Nisa kan sudah lama tidak bersekolah"
Aku hanya diam, tak ku hiraukan perkataan mereka.
Ya Allah apakah ini hanya mimpi?
Tak henti aku mengucap banyak syukur kepada Allah swt. Karena Allah sudah memberikan kebahagiaan yang tak terhingga seperti sekarang ini.
Pagi ini anak-anak bangun lebih awal. Bahkan semalam saja mereka tidak bisa tidur nyenyak. Sedikit-sedikit bangun. Katanya udah ga sabar nunggu pagi.Selagi aku menyiapkan sarapan, mereka segera mandi.Sarapan Kali ini aku tak perlu membeli gorengan, karena kemarin bu Fika memberi kami banyak bahan makanan.Beras satu karung, telur, minyak goreng, mie rebus. Dan banyak lagi. Entah mengapa mereka selalu baik pada kami. Apa mereka hanya bersimpati saja pada kami? Semoga saja begitu. Aku tidak boleh berfikiran negatif tentang mereka.Setelah sarapan siap, kami makan bersama."Kak, nanti kalau aku jalan-jalan lagi aku mau naik kuda bohongan yang bisa Muter lagi. Seruuu banget!" Sembari memakan makanannya dia tak henti-hentinya bercerita."Iya nanti cerita nya ya, sekarang Nita makan dulu" titahku."Bu, padahal ga usah sarapan, nanti juga aku bakalan di ajak makan lagi di tempat bagus" sambil memainkan sendok yang ada di tangannya.
Kudengar seseorang mengetuk pintu..tok tok tok"Ibu, buka bu. Ini Nita sama kak Nisa sudah pulang bu" teriak seseorang di balik pintu. Sepertinya si bungsu.Dengan langkah gontai aku terburu-buru membuka pintu, setelah kupastikan bahwa itu adalah kedua anakku, langsung ku peluk kedua anak perempuanku itu.Aku sangat bersyukur, ternyata semua dugaanku terhadap bu Fika memang salah. Seketika hati ini merasa lega.."Maaf bu, kami pulang terlambat. Kemarin kami.." ucapan Bu Fika terpotong"Sudahlah bu tak apa.. Mari masuk dulu. Saya buatkan sarapan. Pasti kalian semua belum sarapan 'kan?" ajakku pada mereka. Sambil mempersilahkan mereka masuk."Maaf bu, sebenarnya saya mau mampir. Tapi suami saya sudah terlambat untuk bekerja. Saya mohon maaf sekali lagi" tolak bu Fika dengan sangat pelan. Mungkin Bu Fika takut kalau aku tersinggung."Oh yasudah bu tidak apa-apa" ucapku."Kalau begitu saya pamit ya bu. Nita Nisa ibu pulang du
Setelah sarapan aku berniat menemui Bu Fika."Pak, ibu ke rumah mau bu Fika. Mau bicara masalah kemarin" aku berpamitan pada suamiku."Ibu mau ke mana? Ke rumah Salsa ya?" Nita gegas mendekatiku."Nita ikut boleh?""Nita di rumah saja ya, ibu gak lama kok" aku menolaknya sehalus mungkin."Em ya udah deh" Nita berbalik ke tempat semula ia bermain."Kak, ibu ke rumah bu Fika dulu ya, jangan ke mana-mana. Jagain bapak" aku pamit kepada si bungsu. Memanglah si bungsu sangat pengertian.Setelah tiba di rumah bu Fika.."Assalamu'alaikum, bu""Wa'alikum salam"Bu Fika mungkin keheranan dengan kedatanganku yang tiba-tiba, karena hari ini bukan jadwal saya bekerja."Silahkan masuk bu Sari" bu Fika menyambutku dengan ramah.Aku duduk di kursi, dan langsung bicara maksud kedatanganku."Maaf bu Fika.. Kemarin anak saya sudah di belikan perlengkapan sekolah. Waktu saya melihat nama sekola
Entahlah aku harus merasa senang, sedih atau marah?Karena pengakuan mereka membuatku tercengang."Mengapa ibu tidak bilang sejak dulu? Kalau begini rasanya saya sudah seperti menjual jiwa suami saya, dan menukarkan semuanya dengan segala kesenangan yang ibu berikan untuk kami" ucapku lirih."Maaf bu Sari, kami tak ingin membuat kalian kecewa. Saya berbuat begini anggap saja sebagai ucapan terima kasih kami untuk pak Rudi yang telah menyelamatkan anak kami. Semua yang kami lakukan tidak seberapa di bandingkan dengan pengorbanan pak Rudi untuk anak kami. Jadi saya mohon terima lah semua yang telah kami berikan untuk ibu Sari dan keluarga. Dan saya mohon ibu Sari jangan pernah menolak apa pun yang saya berikan. Karena dengan cara ini semoga saya bisa menebus rasa bersalah kami" ucap bu Fika sembari menangis dan memohon berlutut di depan kakiku.Aku hanya diam memandangi suamiku yang tak berdaya.Sulit bagiku setelah mengetahui semuanya."Bu, m
#FalshbackAku masih bingung, siapa sebenarnya yang menabrak suamiku. Aku juga tidak tahu harus bertanya pada siapa. Orang-orang mengatakan bahwa tidak ada yang tahu kejadian persisnya seperti apa. Dan lagi, tidak ada cctv yang merekam kejadian tersebut. Truk yang menabrak suamiku langsung kabur begitu saja. Mereka juga tidak sempat mencatat plat nomer kendaraan itu.Namun, seorang perawat yang berjaga di rumah sakit mengatakan bahwa ada dua orang yang menjadi korban. Suami saya, dan seorang siswa SMA. Namun, beberapa jam lalu pasien itu sudah dibawa ke rumah sakit lain untuk menjalani pengobatan lebih lanjut.Selain itu, dokter juga menyarankan agar suamiku dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Namun, lagi-lagi faktor ekonomi yang membuatku ragu. Untuk biaya pengobatan yang baru sebentar saja aku terpaksa menjual beberapa barang yang ada di rumah, yang mungkin masih bisa di jual. Itupun masih belum cukup untuk menutupi biaya pengobatan yang men
Sesosok wajah laki-laki muda terpampang jelas di layar ponsel Bu Fika. Siapa dia yang ingin berbicara denganku?"Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana sekarang keadaan Pak Rudi?" sapa laki-laki muda itu.Mengapa dia bertanya tentang suamiku? Apa jangan-jangan...."Saya Rafli. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya kepada Pak Rudi."Aku menatap nanar pada wajah itu. Seolah ingatanku kembali pada kejadian pahit beberapa tahun silam. Hatiku hancur, sebenarnya aku sudah memaafkan. Namun kejadian itu masih saja menghantuiku. Tak ada sepatah katapun terucap dari bibirku. Hanya air mata yang menjawab sapaan pemuda itu.Aku tahu, Rafli juga adalah korban. Dia sama sekali tak bersalah atas kejadian itu. Tapi andai saja kala itu Ia tak bermain sampai ke tengah jalan, mungkin suamiku tak akan seperti sekarang."Tak apa bila ibu tidak menjawabku. Tapi saya sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan Pak Rudi. Oh ya, lusa nanti saya akan pulang,
Tanganku bergetar seketika saat menyentuh surat itu. Apa ini hanya mimpi?Rafli bertekuk lutut dihadapan suamiku."Saya mohon, supaya Bapak dan Ibu mau menerima semua ini. Tolong, keluarkan aku dari rasa bersalah ini."Sebenarnya aku tak menampik bahwa telah lama kami mengidamkan rumah yang lebih baik daripada rumah yang kami tempati selama ini. Tapi bukan begini caranya.Suamiku mengusap pucuk kepala Rafli. Punggung suamiku bergetar menahan tangis."Bangunlah nak, kamu tak perlu melakukan ini. Bapak sudah ikhlas menerima keadaan ini." tolak suamiku."Bapak tetap ikhlas menerima keadaan Bapak saat ini. Namun saya juga tetap ingin memberikan rumah ini untuk bapak. Jadi tolong terimalah!""Baiklah, bapak akan menerima semua ini. Tapi setelah ini, bapak tidak ingin menerima apapun lagi.""Setelah ini, saya masih ingin tetap memberikan uang kepada Bapak dan keluarga untuk biaya pendidikan dan biaya sehari-hari. Coba Bapak pikir
PoV Bu Fika#flashbackSetelah menikah, aku terpaksa tinggal dengan mertua juga iparku di rumah mereka, karena pekerjaan suamiku yang mengharuskannya pergi ke beberapa kota. Sebenarnya tak masalah bagiku, karena kini beliau adalah ibuku juga. Aku hanya harus beradaptasi saja.Mas Hermawan, adalah anak ke dua dari empat bersaudara. Mbak Dewi--kakak perempuannya sudah menikah, namun sama sepertiku suami Mbak Dewi sering bekerja di luar kota, sehingga lebih sering Mbak Dewi tinggal di rumah ini. Dua tahun menikah, namun Mbak Dewi masih belum dikaruniai seorang anak. Rinda, adik Mas Hermawan, Ia kuliah di Universitas ternama di kota ini. Mas Hermawan yang membiayai kuliah Rinda. Risa, adik bungsu Mas Hermawan masih duduk di bangku SMA, Mas Hermawan juga yang membiayai sekolah Risa.Seminggu setelah menikah, Mas Hermawan masih menjalani cuti, jadi Ia masih tinggal denganku di rumah mertuaku. Mereka sangat baik padaku, seriap hari aku tak diizinkan mengerjakan
PoV Bu Fika IISatu bulan setelah mengelola warisan dari papa, keadaan ekonomiku meningkat. Aku membeli sebuah rumah jaraknya cukup jauh dari rumah mertuaku. Rumahnya cukup besar, dan intinya aku tinggal terpisah dengan mertua dan iparku.Suamiku cukup telaten dalam mengelola perusahaan. Bahkan sebulan setelah mengelola perusahaan, keuangan perusahaan semakin meningkat.Ibu dan iparku selalu datang ke rumah, alasannya sih ingin melihat keadaan aku dan Mas Hermawan. Tapi ujung-ujungnya selalu tentang uang.Sampai sekarang pun aku tak pernah memberitahu perlakuan mereka pada suamiku. Aku tak ingin rumah tanggaku berantakan hanya karena masalah itu.Pernah suatu hari, ibu meminta uang dengan alasan untuk pergi berobat. Namun setelah ku transfer, tak lama iparku membuat sebuah status di aplikasi whatsapp bahwa mereka sedang makan malam di restaurant ternama. Tapi suamiku hanya berkata "biarkan saja, mungkin suami Mbak Dewi sudah mengirimkan uang." 
PoV Bu Fika#flashbackSetelah menikah, aku terpaksa tinggal dengan mertua juga iparku di rumah mereka, karena pekerjaan suamiku yang mengharuskannya pergi ke beberapa kota. Sebenarnya tak masalah bagiku, karena kini beliau adalah ibuku juga. Aku hanya harus beradaptasi saja.Mas Hermawan, adalah anak ke dua dari empat bersaudara. Mbak Dewi--kakak perempuannya sudah menikah, namun sama sepertiku suami Mbak Dewi sering bekerja di luar kota, sehingga lebih sering Mbak Dewi tinggal di rumah ini. Dua tahun menikah, namun Mbak Dewi masih belum dikaruniai seorang anak. Rinda, adik Mas Hermawan, Ia kuliah di Universitas ternama di kota ini. Mas Hermawan yang membiayai kuliah Rinda. Risa, adik bungsu Mas Hermawan masih duduk di bangku SMA, Mas Hermawan juga yang membiayai sekolah Risa.Seminggu setelah menikah, Mas Hermawan masih menjalani cuti, jadi Ia masih tinggal denganku di rumah mertuaku. Mereka sangat baik padaku, seriap hari aku tak diizinkan mengerjakan
Tanganku bergetar seketika saat menyentuh surat itu. Apa ini hanya mimpi?Rafli bertekuk lutut dihadapan suamiku."Saya mohon, supaya Bapak dan Ibu mau menerima semua ini. Tolong, keluarkan aku dari rasa bersalah ini."Sebenarnya aku tak menampik bahwa telah lama kami mengidamkan rumah yang lebih baik daripada rumah yang kami tempati selama ini. Tapi bukan begini caranya.Suamiku mengusap pucuk kepala Rafli. Punggung suamiku bergetar menahan tangis."Bangunlah nak, kamu tak perlu melakukan ini. Bapak sudah ikhlas menerima keadaan ini." tolak suamiku."Bapak tetap ikhlas menerima keadaan Bapak saat ini. Namun saya juga tetap ingin memberikan rumah ini untuk bapak. Jadi tolong terimalah!""Baiklah, bapak akan menerima semua ini. Tapi setelah ini, bapak tidak ingin menerima apapun lagi.""Setelah ini, saya masih ingin tetap memberikan uang kepada Bapak dan keluarga untuk biaya pendidikan dan biaya sehari-hari. Coba Bapak pikir
Sesosok wajah laki-laki muda terpampang jelas di layar ponsel Bu Fika. Siapa dia yang ingin berbicara denganku?"Assalamu'alaikum, Bu. Bagaimana sekarang keadaan Pak Rudi?" sapa laki-laki muda itu.Mengapa dia bertanya tentang suamiku? Apa jangan-jangan...."Saya Rafli. Tolong sampaikan ucapan terima kasih saya kepada Pak Rudi."Aku menatap nanar pada wajah itu. Seolah ingatanku kembali pada kejadian pahit beberapa tahun silam. Hatiku hancur, sebenarnya aku sudah memaafkan. Namun kejadian itu masih saja menghantuiku. Tak ada sepatah katapun terucap dari bibirku. Hanya air mata yang menjawab sapaan pemuda itu.Aku tahu, Rafli juga adalah korban. Dia sama sekali tak bersalah atas kejadian itu. Tapi andai saja kala itu Ia tak bermain sampai ke tengah jalan, mungkin suamiku tak akan seperti sekarang."Tak apa bila ibu tidak menjawabku. Tapi saya sangat bersyukur karena telah dipertemukan dengan Pak Rudi. Oh ya, lusa nanti saya akan pulang,
#FalshbackAku masih bingung, siapa sebenarnya yang menabrak suamiku. Aku juga tidak tahu harus bertanya pada siapa. Orang-orang mengatakan bahwa tidak ada yang tahu kejadian persisnya seperti apa. Dan lagi, tidak ada cctv yang merekam kejadian tersebut. Truk yang menabrak suamiku langsung kabur begitu saja. Mereka juga tidak sempat mencatat plat nomer kendaraan itu.Namun, seorang perawat yang berjaga di rumah sakit mengatakan bahwa ada dua orang yang menjadi korban. Suami saya, dan seorang siswa SMA. Namun, beberapa jam lalu pasien itu sudah dibawa ke rumah sakit lain untuk menjalani pengobatan lebih lanjut.Selain itu, dokter juga menyarankan agar suamiku dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Namun, lagi-lagi faktor ekonomi yang membuatku ragu. Untuk biaya pengobatan yang baru sebentar saja aku terpaksa menjual beberapa barang yang ada di rumah, yang mungkin masih bisa di jual. Itupun masih belum cukup untuk menutupi biaya pengobatan yang men
Entahlah aku harus merasa senang, sedih atau marah?Karena pengakuan mereka membuatku tercengang."Mengapa ibu tidak bilang sejak dulu? Kalau begini rasanya saya sudah seperti menjual jiwa suami saya, dan menukarkan semuanya dengan segala kesenangan yang ibu berikan untuk kami" ucapku lirih."Maaf bu Sari, kami tak ingin membuat kalian kecewa. Saya berbuat begini anggap saja sebagai ucapan terima kasih kami untuk pak Rudi yang telah menyelamatkan anak kami. Semua yang kami lakukan tidak seberapa di bandingkan dengan pengorbanan pak Rudi untuk anak kami. Jadi saya mohon terima lah semua yang telah kami berikan untuk ibu Sari dan keluarga. Dan saya mohon ibu Sari jangan pernah menolak apa pun yang saya berikan. Karena dengan cara ini semoga saya bisa menebus rasa bersalah kami" ucap bu Fika sembari menangis dan memohon berlutut di depan kakiku.Aku hanya diam memandangi suamiku yang tak berdaya.Sulit bagiku setelah mengetahui semuanya."Bu, m
Setelah sarapan aku berniat menemui Bu Fika."Pak, ibu ke rumah mau bu Fika. Mau bicara masalah kemarin" aku berpamitan pada suamiku."Ibu mau ke mana? Ke rumah Salsa ya?" Nita gegas mendekatiku."Nita ikut boleh?""Nita di rumah saja ya, ibu gak lama kok" aku menolaknya sehalus mungkin."Em ya udah deh" Nita berbalik ke tempat semula ia bermain."Kak, ibu ke rumah bu Fika dulu ya, jangan ke mana-mana. Jagain bapak" aku pamit kepada si bungsu. Memanglah si bungsu sangat pengertian.Setelah tiba di rumah bu Fika.."Assalamu'alaikum, bu""Wa'alikum salam"Bu Fika mungkin keheranan dengan kedatanganku yang tiba-tiba, karena hari ini bukan jadwal saya bekerja."Silahkan masuk bu Sari" bu Fika menyambutku dengan ramah.Aku duduk di kursi, dan langsung bicara maksud kedatanganku."Maaf bu Fika.. Kemarin anak saya sudah di belikan perlengkapan sekolah. Waktu saya melihat nama sekola
Kudengar seseorang mengetuk pintu..tok tok tok"Ibu, buka bu. Ini Nita sama kak Nisa sudah pulang bu" teriak seseorang di balik pintu. Sepertinya si bungsu.Dengan langkah gontai aku terburu-buru membuka pintu, setelah kupastikan bahwa itu adalah kedua anakku, langsung ku peluk kedua anak perempuanku itu.Aku sangat bersyukur, ternyata semua dugaanku terhadap bu Fika memang salah. Seketika hati ini merasa lega.."Maaf bu, kami pulang terlambat. Kemarin kami.." ucapan Bu Fika terpotong"Sudahlah bu tak apa.. Mari masuk dulu. Saya buatkan sarapan. Pasti kalian semua belum sarapan 'kan?" ajakku pada mereka. Sambil mempersilahkan mereka masuk."Maaf bu, sebenarnya saya mau mampir. Tapi suami saya sudah terlambat untuk bekerja. Saya mohon maaf sekali lagi" tolak bu Fika dengan sangat pelan. Mungkin Bu Fika takut kalau aku tersinggung."Oh yasudah bu tidak apa-apa" ucapku."Kalau begitu saya pamit ya bu. Nita Nisa ibu pulang du
Pagi ini anak-anak bangun lebih awal. Bahkan semalam saja mereka tidak bisa tidur nyenyak. Sedikit-sedikit bangun. Katanya udah ga sabar nunggu pagi.Selagi aku menyiapkan sarapan, mereka segera mandi.Sarapan Kali ini aku tak perlu membeli gorengan, karena kemarin bu Fika memberi kami banyak bahan makanan.Beras satu karung, telur, minyak goreng, mie rebus. Dan banyak lagi. Entah mengapa mereka selalu baik pada kami. Apa mereka hanya bersimpati saja pada kami? Semoga saja begitu. Aku tidak boleh berfikiran negatif tentang mereka.Setelah sarapan siap, kami makan bersama."Kak, nanti kalau aku jalan-jalan lagi aku mau naik kuda bohongan yang bisa Muter lagi. Seruuu banget!" Sembari memakan makanannya dia tak henti-hentinya bercerita."Iya nanti cerita nya ya, sekarang Nita makan dulu" titahku."Bu, padahal ga usah sarapan, nanti juga aku bakalan di ajak makan lagi di tempat bagus" sambil memainkan sendok yang ada di tangannya.