Beranda / Romansa / Baju Bayi di Rumah Mertua / Katanya, Namanya Mira

Share

Katanya, Namanya Mira

Penulis: Askana Sakhi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-20 19:31:00

"Oh, i-tu ... iya, semalam ada sepupunya Hamid yang main ke sini. Kebetulan dia punya anak bayi," sahut mertuaku dengan wajah yang terlihat sedikit memucat.

Padahal ini Lisa, loh, yang bertanya. Bukan polisi yang sedang menginterogasi.

"Sepupu? Sepupunya yang mana, ya, Mas? Apa aku kenal?" tanyaku sambil terus berusaha menormalkan nada bicara ketika memindai wajah suamiku.

"Itu itu—." Mas Hamid terlihat sedikit gelagapan.

"Si Mira. Sepupu jauh yang tinggal di Bandung itu, loh, Lis. Baru pulang beberapa hari ini. Karena pas hamil tua, suaminya malah selingkuh, jadi dia nggak tahan, makanya pulang," sambar mertuaku cepat.

"Ooh … suaminya selingkuh? Kasian." Aku menggeleng kepala sambil mendecak singkat saat menunjukkan rasa simpati pada si 'Mira' itu.

Walau heran karena ibu mertua yang selalu menjawab, aku terus mencoba menenangkan diri. Meski hati diliputi perasaan curiga sedari tadi, aku tak mau gegabah.

Slow down, Alisa.

"Ya sudah, Mas, ambil pakunya yang di dalam jok, gih. Sebelah mana genteng ibu yang bocor, cepat perbaiki."

Setelah tadi gelagapan saat kutanya perihal sepupunya, kini Mas Hamid nampak bingung ketika aku membahas pasal paku dan genteng.

Ya ampun!

"Sebenarnya gentengnya bocor sedikit saja, kok. Lagian ini mulai memasuki musim kemarau. Nanti-nanti saja diperbaikinya, Nak. Kasian kamu juga, habis kerja. Harusnya sudah istirahat. Udah … besok-besok aja kamu mampir lagi," sahut ibu mertuaku sambil menepuk pundak Mas Hamid yang sedari tadi menunjukkan tampang bingung. Seperti orang yang kelaparan tapi tak ada makanan, begitulah ekspresi suamiku saat ini.

"Oh, iya, Bu." Mas Hamid mengangguk canggung. "Kalau gitu, besok-besok saja lagi Hamid mampir."

Ibu mertua mengangguk pelan sambil mengulas senyum.

"Ayo, Lis. Kita pulang." Mas Hamid mengalihkan pandangan padaku. Aku masih enggan, karena apa? Paket yang aku pesan tadi, kan belum datang.

Suamiku lantas berdiri, lalu mendekat dan merangkul pundakku.

"Permisi! Paket!"

Detik kemudian, seruan dari kurir paket terdengar jelas di telinga. Membuat semua yang ada di ruangan ini saling pandang satu sama lain.

Mas Hamid lantas mengambil inisiatif, bergegas keluar untuk menghampiri kurir yang datang.

"Paket apa, Mas?" tanyaku begitu melihat Mas Hamid masuk sambil membawa sebuah bungkusan paket di tangan.

Suamiku menggendikkan bahu dan menampilkan tampang lugu.

"Palingan salah alamat, Lis."

"Mana, coba lihat?" Aku mengambil alih paket dari tangan Mas Hamid tanpa basa-basi.

"Paling salah alamat itu, Lis …." Mas Hamid terlihat keukeuh dengan pendapatnya.

"Ah, masa, sih? Tapi kalau atas namamu seharusnya, kan ke alamat rumah kita?".

Mas Hamid tampak bingung.

"Salah alamat tapi, kok alamat ibu di sini, bener? Ini juga bener, loh, nomor hape kamu." Aku menunjuk dengan santai paket yang sebenarnya aku pesan sendiri saat di rumah tadi.

"Aku penasaran, deh, Mas. Apa isinya."

"Paling orang mau kirim paket buat Ibu Lina, enggak tahu nama Ibu, makanya pake namaku. Udah … taruh aja." Mas Hamid memaksaku tetap pulang.

"Ah! Tapi aku penasaran."

Kutepis tangan Mas Hamid. Tak ingin membuang waktu, langsung kurobek kertas dan plastik pembungkus paket. Dari lirikan mataku, terlihat jelas Mas Hamid menanti dengan wajah gelisah ketika aku membuka paket. Mertuaku pun tak kalah gelisah.

"Pakaian bayi?"

Kuangkat selembar pakaian dan kuperlihatkan pada mereka. Aku memperhatikan dengan seksama perubahan raut wajah keduanya. Mengalami peningkatan, dari gelisah menjadi tegang.

"Tuh, kan salah kirim. Udah, ah. Nggak penting, ayo kita pulang!" Mas Hamid memaksa lagi.

"Bu. Sepertinya ada yang nggak beres."

Aku beralih menatap mertuaku yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya. Ya, untuk ukuran emak-emak jaman old, ibu mertuaku memang bisa dikata cukup lincah bermain ponsel. Salut!

"Nggak beres apanya, sih, Lis. Sudah Ibu bilang, memang tadi ada anak bayi tapi sudah pulang. Anaknya Mira, kamu masih ingat, kan?"

Nada bicara ibu mertuaku mulai berubah. Mungkin dia kesal karena aku mulai menampakkan kecurigaan.

"Tunggu, Ibu telepon Lina dulu," ucap mertuaku menahan Mas Hamid yang memaksaku pulang.

"Halo, Lin. Ini kok ada paket atas nama Hamid. Isinya baju bayi. Apa kamu yang pesen?" tanya mertuaku saat telepon sudah tersambung dan loudspeaker pun sudah diaktifkan.

"Iya, hehehehe," jawaban dan tawa Lina terdengar begitu sumbang.

"Buat apa?"

"Gak apa-apa, Bu. Tadi Mas Hamid bilang mau beli baju bayi buat ngadoin anaknya Kak Mira, tapi dia belum gajian. Jadi, aku inisiatif aja beliin pake uang kiriman dari Mas Aryo. Udah, ya, Bu. Aku mau latihan dulu, nih. Udah ditunggu sama teman-teman. Assalamualaikum." Lina mengakhiri percakapan setelah berucap panjang lebar. Tapi membual.

"Tuh, kan. Lina yang punya kerjaan. Nggak ada apa-apa. Udah sana, kalian pulang saja. Ibu mau arisan. Lina habis latihan, tuh, biasanya pulang mepet Maghrib."

Ibu Mertua seperti sengaja mengusir kami.

Baiklah kali ini aku pulang. Tapi dari apa yang terjadi sejak tadi di rumah ini, aku bisa menarik satu kesimpulan pasti. Mereka bertiga ternyata satu tim yang solid dalam bersandiwara. Membohongiku.

"Baik, Bu. Maafin Lisa, ya, kalau Lisa sempat curiga dan berpikir macam-macam. Lisa pamit, ya, Bu." Kuraih dan kucium dengan takzim tangan mertua walau hatiku sakit karena kebohongannya.

Tak mengapa. Bukan kalian saja yang pandai bersandiwara. Aku juga bisa. Kita tunggu saja tanggal mainnya.

Tenang saja, Mira, Maisaroh, atau siapa pun itu. Setelah ini, akan kucari kau walau sampai ke lubang semut sekalipun.

Bab terkait

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Bayi Siapa?

    Sepanjang perjalanan pulang, Mas Hamid terus diam, seperti enggan diajak bicara. "Mampir ngebakso, yuk, Mas," ujarku saat melewati warung bakso favoritnya."Kalau kamu mau, bungkus aja. Aku enggak lapar," sahutnya agak dingin.Tumben sekali. Biasanya dia tak pernah menolak."Oh, ya udah. Enggak usah, deh, kalau Mas enggak mau makan."Aku memang hanya berbasa-basi menawarkan. Ya … daripada tidak ada topik buat dibahas, kan?Mas Hamid kembali melajukan sepeda motor tanpa bicara. Yap, hari ini dia berubah menjadi sosok yang lebih kalem daripada biasanya.Tiba di rumah, bukannya mandi, suamiku malah terlihat sibuk berselancar di dunia maya dengan ponselnya. Melihat hal itu, aku berusaha tampil setenang mungkin. Seolah tak terjadi apa-apa. Ya, seperti hari-hari biasa. "Kok nggak langsung mandi, Mas?" tanyaku iseng."Bentar."Hanya jawaban singkat singkat yang kudengar dari mulutnya, sementara tangannya sibuk menari-nari di atas layar ponsel. Matanya pun tak lepas fokus dari benda persegi

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-20
  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Mereka Mengusirku?

    "Lisa ... dia ini ya ... Mira." Ibu Mertuaku beringsut mendekati wanita yang sedari tadi tampak kesulitan walaupun hanya mengungkap sepatah dua patah kata, mengenai jati dirinya. Dengan penuh kasih sayang, wanita paruh baya itu mengelus punggung wanita yang katanya bernama Mira.Agak berlebihan menurutku. Bukankah Ibu bilang Mira merupakan sepupu jauh Mas Hamid? Tapi, kok, bisaan banget, ya, sedekat itu? Sudah seperti memperlakukan anak sendiri."Oh … sepupu yang diceritain kemarin dulu itu?" tanyaku meski hati sudah dihinggapi perasaan tak enak sedari tadi."Iya.""Loh, kok balik lagi?" Aku mengerutkan dahi menatap mertuaku, karena sedari tadi, dia yang asyik menjawab, kan?"Iya, kan hari itu udah diceritain, suaminya selingkuh. Sekarang suaminya bener-bener ninggalin dia. Jadi ... dia kembali dan Ibu yang minta dia tinggal di sini saja." Jika sedang bersandiwara, aku akui, akting ibu mertua patut diacungi jempol. Lancar, loh, dia ngomongnya. Sudah seperti artis yang paham skrip di lu

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-20
  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Kena Kau, Mas!

    Apa mereka pikir bisa semudah itukah mengusirku?Oh .... tidak bisa!Aku di sini posisinya menantu. Menantu seharusnya lebih diprioritaskan daripada sepupu, bukan? Dan seperti yang kita ketahui bersama, Mira hanya sebatas sepupu. Iya, sepupu.Ya … walaupun mungkin hanya sebatas sepupu ... palsu. Entahlah.Rasanya aku masih harus menunggu keabsahan dari pengakuan mereka."Kalau belum lapar, ya nggak bisa dipaksa juga kan, Mas?" kilahku kemudian. Membuat Mas Hamid dan Mira kompak terdiam."Lagian, ngapain juga kamu makannya buru-buru? Orang ada aku, kok yang jagain. Iya, 'kan, Dek? Dek Mei?" Eum … kayaknya lucu juga, ya, kalau panggilannya Mei Mei kayak temen Upin-Ipin itu, loh."Mendengar aku berceloteh, tampak Mira tersenyum canggung. Entah keberatan atau bagaimana anaknya aku panggil Mei Mei. Aku tak tahu.Dan well, aku hanya berharap dia tidak sedang menyamakan aku dengan Kak Ros kali ini. Rasanya terlalu jutek dan agak bengis jika seorang Alisa disamakan dengan kartun berwatak gar

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-20
  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Aku Ingin Lihat Kartu Keluarga Mereka!

    Mira yang ternyata tengah mengganti popok Mei-Mei, terlonjak kaget saat melihatku. Sementara seorang lelaki yang juga duduk dengan posisi membelakangi pintu, langsung menoleh dan menatap diriku penuh keheranan.Membuatku terjebak perasaan ... entah. Antara malu, kesal dan entah perasaan apa lagi. Namun, yang jelas, rasa malu lah yang lebih mendominasi. Bagaimana tidak, aku salah sasaran!Ya ampun!Andai diizinkan menghilang layaknya Jin Botol, pasti sudah kulakukan sekarang.Benar sungguh. Aku malu ….Ya Tuhan, aku mendadak seperti kehilangan muka saat ini.Eh, tunggu!Laki-laki itu ... siapa? Kenapa dia ada di kamar ini? Lalu, ke mana perginya Mas Hamid?Mei-Mei yang terkejut karena ulah barbar yang kulakukan, menangis begitu kencang. Membuatku jadi semakin salah tingkah. Terlebih saat merasa lelaki itu memperhatikan gerak-gerikku. Sungguh, seperti hampir mati berdiri saja aku ini.Menyadari bayinya menangis kencang, dengan sigap, Mira mengangkatnya untuk menenangkan. Namun yang menj

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-27
  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Mengambil Sampel Rambut si Bayi

    "Ngapain kamu pake nanyain soal KK mereka segala? KK ya nggak dibawa-bawa lah."Suara Mas Hamid terdengar meninggi saat aku tiba-tiba membahas perihal KK Mira dan anaknya yang masih misterius itu."Lah, emang di sini kalau ada tamu yang nginep 1x24 jam nggak disuruh lapor RT?" Aku bersikukuh dengan pendapatku.Aku dan Mas Hamid masih terjebak suasana kaku saat Ibu yang sepertinya menyimak obrolan aku dengan anak sulungnya dari tadi, datang mendekat pada kami yang berdiri di halaman rumah."Di sini, 'kan masih tergolong kampung, Lisa. Itu bukan hal yang penting. Lagipula, mereka tau, kok yang nginep perempuan, dan yang diinepin juga Ibu sama Lina, nggak ada lah mereka bakal mikir aneh-aneh. Lagian, kenapa kamu jadi sibuk dengan urusan orang? Nggak ada untung ruginya juga buat kamu, 'kan? Kalau alasannya karena curiga, apa dasarnya? Apa cuma karena Mira tinggal di sini?"Kali ini ibu mertuaku berbicara dengan nada gusar dan kentara sekali ada emosi yang menyertai. Aku sedikit kaget. Su

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Lembur Lagi

    Aku mencoba tampil senormal mungkin di depan Mira. Tak mau terlihat gugup apalagi pucat. Takut Mira curiga."Mbak, Ibu ke mana?" tanya Mira sembari memindai seluruh penjuru ruang tamu saat mungkin menyadari Bu Ida tak ada di ruangan ini.Wait!Dia bertanya soal Ibu, 'kan barusan?Oh, syukurlah berarti dia tidak sempat melihat aku mencabut rambut anaknya tadi.Aman ... aman.Aku menghembuskan napas pelan saat menyadari Mira memang sepertinya tak memergoki aku mencabut rambut bayi cantik yang entah kenapa tetap terlihat menjengkelkan di mataku."Mbak?" Aku terkesiap saat Mira yang berdiri di sampingku, menepuk pelan pundakku."Anu itu …." Ya ampun, kenapa aku jadi gugup begini?Santai, Alisa. Santai!"Ke rumah Bu … Ani." Astaghfirullah, cuma mengingat nama Bu Ani saja loading lambat bukan main, Lisa! Padahal tinggal mengingat Rhoma Irama, loh."Oh …." Mira mengangguk samar mendengar jawaban dariku."Bu Ani tetangga sini, ada yang baru pulang dari rumah sakit." Aku memberi penjelasan tan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Siapa Sebenarnya Zaki?

    [Lis, ntar jalan, aja, yuk. BT nih, ambil cuti seharian cuma di rumah aja.] Evi yang dulu merupakan teman baikku kembali mengirimi pesan bahkan belum sepuluh menit sejak sambungan telepon kami terputus.[Hah, kemana?][Makan aja, KFC kek, McD, kek][Boleh, deh.][Tenang, aku yang traktir.][Sip lah.]Benar. Aku sungguh beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya.***Sorenya, aku yang dijemput oleh Evi, meminta pada teman baikku ini untuk melewati rumah mertua sebelum menuju restoran siap saji yang kami tuju.Dari kejauhan, aku mengamati dengan seksama. Barangkali saja, motor Mas Hamid terparkir di halaman.Ternyata tidak.Ah, mungkin saja benar suamiku memang lembur.Kami pun meneruskan perjalanan saat melihat tak ada tanda-tanda mencurigakan di sana."Yang semangat, dong, makannya." Di restoran siap saji yang kami datangi, Evi menegurku yang tak kunjung menikmati ayam yang sudah lebih dari sepuluh menit lalu disajikan."Kira-kira, Mas Hamid beneran lembur nggak, ya, Vi?" gumamku tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Aku Tak Sebodoh Itu, Evi!

    "Kalau sampe cewek aku nggak mau balikan, sampai ke ujung dunia aku nggak bakal maafin kamu!" Ancam Zaki sebelum berlalu meninggalkanku yang masih berdiri kaku setelah mengetahui status Zaki yang sebenarnya."Kalau gitu, Meisha anak siapa?""Udah sih, fokus tes DNA aja. Lebih akurat." Evi menepuk pundakku dan membuatku makin mantap dengan rencana sebelumnya.***Sepulang dari resto, aku pun mulai melakukan pencarian. Mencari rambut mas Hamid di pisau cukur dan sisir yang selama ini dia gunakan menjadi tugasku sore ini.Nihil. Aku tak menemukan sehelai rambut pun di pisau cukur dan sisirnya.Terpaksalah aku harus melakukan cara yang sama seperti saat mendapatkan rambut Meisha tadi siang.Payah!Mas Hamid yang tampak kelelahan, tertidur dengan pulas di sampingku.Saatnya beraksi, Lisa! Saatnya beraksi.Melihatkan Mas Hamid sudah terlelap, aku gerak cepat meraih plastik transparan yang kusembunyikan di balik bantal.Pelan, sambil mengusap lembut rambutnya aku mencoba mencabut beberapa he

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03

Bab terbaru

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Indah Pada Waktunya

    "Mas, apa mereka sudah menikah?" tanyaku pelan saat langkah Zaki dan Evi semakin dekat.Mas Hamid tak menyahut, matanya terus dia fokuskan pada dua orang yang sempat mengukir sejarah dengan kenangan bertolak belakang dalam hidupku."Mas." Aku yang memang diliputi rasa penasaran, berusaha memaksa suamiku sekedar untuk memberi jawaban 'sudah' atau 'belum'. Namun, agaknya Mas Hamid masih belum tertarik membagi informasi yang belum aku ketahui tentang mereka."Nanti, kapan-kapan aku ceritain semua, ya, Sayang," balasnya dengan senyum terukir di bibir dan tanpa menatapku. Karena memang fokusnya terus ia arahkan ke arah sana, pasangan yang sepertinya sedang dimabuk asmara. Zaki Rafandra Zulfikar dan Selvi Adinara Putri.Mendadak, aku terjebak perasaan canggung saat Evi dan Zaki yang jalan beriringan mulai menaiki pelaminan.Tak cuma aku, rasanya … Evi pun tak kalah canggung kali ini. Terbukti, gadis manis itu buru-buru melepas genggaman tangan Zaki dengan sangat gugup beberapa saat sebelum

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Pernikahan dan Tamu Istimewa

    Aku menghapus air mata sambil mengangguk malu sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan Bu Ida padaku—tentang kesediaanku kembali menjadi menantunya."Terima kasih, Nak. Terima kasih karena sudi memberi kesempatan pada Hamid sekali lagi." Dengan mata yang menunjukkan bias kaca, Bu Ida kembali memeluk diriku. Menyalurkan rasa yang mungkin sama dengan apa yang tengah aku rasakan sekarang. Haru dan bahagia yang membaur indah menjadi satu.Aku mengangguk dalam pelukannya. Ah, aku bahkan sampai kehabisan kata-kata untuk mengekspresikan betapa bahagianya aku saat ini."Lisa, Nduk. Kalau begini ceritanya, apa iya kamu masih betah lama-lama di kamar? Ndak penasaran, toh sama wajah calon suamimu?" ledek Ibu ketika tiba-tiba muncul dari balik pintu. Membuatku tersipu malu."Ayo, Nak." Dengan penuh kasih sayang, Bu Ida menggandeng tanganku dan menuntunku keluar kamar layaknya calon pengantin yang baru pertama kali bakal bertemu dengan orang yang melamarnya.Sumpah!Aku jadi deg-degan seka

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Yang Kedua Kali

    "Aku yang seharusnya minta maaf," balas Mas Hamid sambil tersenyum tipis."Oh iya, gimana kabar Meisha?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan."Baik. Alhamdulillah Nova sudah mendapatkan pria yang tepat, Lis, dan aku pun merasa sangat beruntung karena suaminya begitu menyayangi Meisha. Dan yang lebih penting, dia membebaskan bertemu dengan Meisha kapan pun aku mau, dia tak melarang," ungkap Mas Hamid panjang lebar."Oh … syukurlah," balasku penuh kelegaan.Hening menjeda sementara waktu."Semoga suatu saat, kamu juga bisa menemukan pasangan hidup yang baik, ya, Mas. Sebaik yang Nova dapatkan saat ini," ucapku dengan mata yang tiba-tiba mengembun.Mas Hamid menatap sendu padaku."Tidak adakah kesempatan untuk kita memperbaiki semuanya, Lis?"Aku mengangkat bahu. Tak ingin terburu-buru mengambil langkah seperti saat menerima Zaki kala itu.Jujur, aku masih trauma untuk kembali membina rumah tangga."Mas, tolong nanti antar aku sampai jalan depan rumah aja, ya, please, aku nggak pingi

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Maafkan Aku, Mas

    "Lis." Evi menggenggam tanganku sambil tersenyum saat kami sama-sama menyaksikan dua sahabat yang selama ini dalam diam menyimpan dendam, masih berpelukan haru setelah Zaki mengeluarkan sebuah keputusan besar pagi ini."Sebentar lagi, kamu bisa balikan sama Mas Hamid," bisiknya pelan di telingaku.Deg!Aku membeliak.Balikan?Aku menoleh dan lantas menatap nanar pada Evi yang jelas ikut lega saat mengetahui hubunganku dan Zaki hampir berakhir dan hubungan baik dengan Mas Hamid kembali terjalin.Benarkah bisa semudah itu aku kembali membina rumah tangga setelah sebelumnya dua kali gagal?Hatiku berkecamuk tiba-tiba.Ya Allah, sungguh, aku takut tetanggaku di kampung mengecam aku sebagai wanita yang suka kawin cerai, jika memutuskan untuk secepatnya menikah lagi dengan Mas Hamid setelah surat ceraiku dan Zaki turun."Entahlah, Vi. Aku nggak tahu. Mungkin sendiri lebih baik," balasku yang sontak menarik perhatian Zaki dan Mas Hamid untuk menatapku."Maksud kamu, Lis?" tanya Mas Hamid den

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Mereka Berdamai?

    Meski dengan langkah berat, aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamar dan menghampiri mereka."Kenapa harus minta maaf, Mas?"Jelas sekali pertanyaanku membuat Zaki dan sahabat baikku terkejut. Entah apa yang mereka sembunyikan dariku, aku tak mengerti.Saat mungkin merasa risih karena aku mendekat, terlihat Evi melepas paksa cengkraman tangan Zaki."Ada apa sebenarnya, Vi?" tanyaku sambil menatap Evi tajam saat menuntut penjelasan."Tanyakan saja pada suamimu!"Evi berlari, seperti enggan berlama-lama bertatap muka dengan Zaki. Membuat kecurigaan dalam dada kian bertumpuk.Ya, kepergian Evi yang terkesan terburu-buru setelah kepulangan Zaki, memang meninggalkan sejuta tanya untukku.Kulihat wajah Zaki tampak dipenuhi perasaan bersalah saat menatap punggung Evi yang perlahan menghilang dari pandangan.Ada apa?"Apa yang kau lakukan pada Evi, Mas?" cecarku penasaran.Zaki diam."Jangan bilang kalau kamu udah bikin keluarga Evi celaka!"Zaki masih diam. Membuat kecurigaan dalam da

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Ada Apa dengan Evi dan Zaki?

    "Sini!" Malamnya, aku yang sedang asyik berselancar di dunia maya, dibuat terkejut saat Zaki merampas ponselku secara tiba-tiba."Apa, sih, Mas?" Aku yang semula berbaring di atas ranjang, bangkit dan berusaha merampas benda kesayanganku itu kembali. "Sebentar aja!" sahutnya ketus sambil mengusap layar ponselku dengan tangan kiri seperti mencari-cari sesuatu, lalu tangan kanannya juga memegang ponselnya. "Nih!"Zaki melempar ponselku kembali. "Nyari apa kamu, Mas?" Aku menyelidik curiga padanya yang tertunduk seraya mengotak-atik ponselnya."Nomor Evi," sahutnya singkat tanpa menatapku."Buat apa?" tanyaku panik. Jangan sampai dia menyakiti Evi karena membela Mas Hamid tadi. Dan jangan sampai juga dia berpikiran jika Evi adalah wanita murahan yang bisa semudah itu diajak berkencan.Aku tahu betul Evi tipe gadis yang seperti apa. Tiga tahun pernah bekerja satu shift dengannya membuatku mengenalnya cukup baik. Dia bukan gadis yang mudah jatuh cinta dan asal menerima siapa saja pria

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Ancaman Evi

    "Dasar gila! Amit-amit kalau sampai punya suami modelan kayak kamu. Yang ada bisa mati berdiri aku!" Evi menatap Zaki dengan mata melotot dan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut.Zaki berdecak lirih."Tidak usah bermulut besar! Kalau ternyata kita berjodoh bagaimana?""Heh!" Jelas sekali Evi makin kesal dengan ucapan Zaki yang terkesan mengada-ada."Jodoh tidak ada yang tahu, Evie Tamala," ucap Zaki lantas tertawa sumbang. Membuatku terkesiap. Benarkah Zaki serius ingin menjadikan Evie istri kedua? Ah, tidak. Tidak mungkin.Bukankah soal membual dan me-rosating orang adalah keahliannya?"Kalau sampai kamu macam dan main tangan sama Lisa. Aku pastikan kau akan menyesal, Tuan Zulfikar!" Evi menodongkan telunjuknya tepat di depan wajah lelaki angkuh tersebut."Apa kau pikir aku takut dengan ancamanmu, Cewek Songong?!" Dengan dada turun naik, Zaki mencengkram kuat pergelangan tangan Evi sambil menatapnya tajam, membuatku bergidik ngeri. Takut juga sahabatku itu menjadi korban kemarah

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Lelaki dengan Arogansi Tinggi

    Kuremas dada yang kembali terasa nyeri saat mengingat betapa egois dan gegabahnya seorang Lisa di masa itu. Tiba-tiba saja, rindu akan rumah itu memenuhi dada. Jujur, bukan hanya rumahnya, tapi suasana di dalamnya dulu, sebelum badai menerpa kehidupan rumah tanggaku dan Mas Hamid.Menyadari ada kesempatan, aku bergegas memesan Go-Car, berniat mendatangi rumah penuh kenangan itu, sekedar untuk melepas rindu.Sampai di sana, aku melihat pasangan suami-istri sedang bercengkrama bersama seorang anak kecil di teras rumah.Aku yang semula berniat turun, mendadak seperti tak punya kekuatan walau sekedar untuk menjejakkan kaki di tanah."Jadi turun, Mbak?" Pertanyaan pengemudi Go-Car yang kutumpangi menyadarkanku dari lamunan.Dengan tatapan nanar aku menggeleng lemah pada sang pengemudi."Terus aja, Pak," ucapku seperti orang linglung. Meminta terus lurus padahal tak ada tujuan. Sampai di persimpangan, aku meminta sang pengemudi Go-Car putar haluan menuju ke rumah mantan mertua, Bu Ida. Ti

  • Baju Bayi di Rumah Mertua    Caption di Postingan Masa Lalu

    "Ja-jadi … jadi yang kamu bilang memperjuangkan cintamu waktu itu, maksudnya apa, Mas?" Di sela-sela isak tangis, aku bertanya dengan batin yang kian terasa pilu.Zaki mendengkus pelan."Apa kau pikir aku serius, Lisa?" Zaki yang masih berbaring dan berbagi selimut denganku, memiringkan badan dan menatapku dengan tatapan mengejek.Membuatku merasa menjadi wanita paling bodoh yang pernah ada di muka bumi ini."Harus aku akui, kalau kau terlalu polos dan gampang percaya, Alisa Nurhafiza, dan itu sangat menguntungkan buatku." Zaki tertawa sumbang pasca menuntaskan dua kalimat yang bahkan terasa lebih tajam dari sembilu."Jadi … alasanmu menikah denganku karena apa?" tanyaku sambil menatapnya nanar."Hamid," balas suamiku singkat tapi sarat akan emosi. Aku menangkap ada aroma dendam yang menyelinap dari caranya berbicara dan berekspresi."Mas Hamid?" tanyaku berat."Aku cuma ingin dia merasakan patah hati yang pernah aku rasakan, itu saja." Zaki bangkit lantas menyambar handuk dan berlalu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status