Rio menyandarkan kepalanya pada kedua tangan yang ia tumpulan di atas meja. Kedua matanya terpejam karena berkas-berkas laporan yang ia kerjakan kembali tertumpuk di hadapannya.
"Kamu ini gimana?! Bisa kerja apa gak?! Masa buat laporan gini aja salah semua?!" bentak Pak Biran–atasannya di kantor.
"Apa, Pak? Laporan saya salah semua?" Rio membalas tanya tak percaya.
"LIHAT SENDIRI!" Pak Biran melempar berkas-berkas ke wajah Rio hingga jatuh berhamburan.
Tangan Rio mengepal, kedua matanya terpejam. Ia menahan emosi yang semakin membuat darahnya mendidih. Namun, ia hanya bisa diam. Jika ia membalas, pemecatan akan terjadi padanya.
"Maafkan, saya, Pak," ujar Rio akhirnya. Ia memunguti kertas-kertas tersebut dan menjadikan satu dalam map.
"Akan saya teliti lagi. Tolong maafkan saya ...." Rio memohon, mengiba pada Pak Biran.
Pak Biran dikenal sebagai orang yang keras dan tegas. Namun, tak jarang beliau juga bisa melunakkan
Maksudnya apa?" Zulfa melempar tanya, ia menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi."Satu hari sesudah pernikahanmu dengan Rio di rumah ini, Fikri datang. Dia membawa banyak hantaran untukmu. Dia telah memenuhi janjinya padamu, Nak," ungkap Bu Umi dengan mata yang menerawang jauh. Sorot mata Bu Umi terlihat begitu sedih.Zulfa menggeleng pelan. "Itu tidak mungkin ... lagi pula, Fikri sudah bertunangan, lalu ... untuk apa dia datang?" Zulfa menggeleng lagi. Ia masih sukar menerima."Aku tidak pernah bertunangan dengan siapa pun, Fa! Aku selalu berpegang teguh dengan janji yang kubuat! Lagi pula jika aku sudah bertunangan, untuk apa aku sekarang ada di sini dan membantumu membuka rahasia Rio ?! timpal Fikri dengan tegas dan penuh penekanan. Mata elangnya tidak berbohong bahwa ia tengah bersungguh-sungguh."Lalu kamu kemana? Aku menunggumu waktu itu! Aku menunggumu setiap hari, dengan harapan agar kamu benar-benar datang. Tapi ... malah Rio yang datang padak
Semakin hari, sikap Amara semakin tidak bisa ditolerir. Bu Salma mengerjakan semua pekerjaan rumah di rumah anaknya sendiri. Semuanya ... bahkan, mencuci pakaian dalam Amara dan Rio."Hoalah, mimpi apa aku kok bisa jadi babu begini ... untung saja anak itu lagi hamil. Kalau enggak, gak bakalan mau aku," gerutu Bu Salma seraya menjemur pakaian Amara.Sedangkan, Amara dan Rio tengah pergi ke dokter untuk cek kehamilan. Bu Salma berharap, Amara segera melahirkan agar ia bisa bebas. Biarlah prematur, pikirnya. Ia sudah lelah.Beliau datang ke rumah Rio tiga kali setiap minggunya. Dan setiap beliau datang, keadaan rumah tak pernah rapi. Padahal beliau tidak datang sehari saja, penampilan rumah anaknya seperti kapal pecah.Dan, semua yang beliau kerjakan, Amara tak pernah sekali pun membantu. Beliau mulai ragu, apakah Amara memang benar-benar mual atau hanya pura-pura."Assalamu'alaikum ..."Bu Salma segera menyelesaikan acara menjemur pakaiannya.
Fikri berdiri di depan rumah Rio. Rumah berlantai dua itu nampak sunyi. Seolah tak ada penghuni di dalamnya. Ia memencet bel berulang kali agar penghuni rumah itu segera keluar.Sesekali, Fikri mendengar teriakan dari dalam. Ia menajamkan pendengarannya. Sepertinya Rio dan Amara sedang bertengkar. Fikri kembali mengetuk pintu. Kali ini ia menggedor-nggedornya dengan begitu keras.Tak berselang lama, akhirnya pintu terbuka. Sosok Amara adalah yang pertama Fikri lihat."Kamu? Bukannya kamu yang ada di rumah Zulfa waktu itu?" tanyanya pada Fikri dengan wajah sedikit terkejut."Amara! Aku belum selesai bicara! Kenapa kamu tega nyuruh Ibu ngerjain semua pekerjaan rumah!" Rio mengomel sepanjang jalannya menuju arah depan. Hingga pada akhirnya, ia terdiam saat melihat kehadiran Fikri di rumahnya."Kamu, Fik?! Ada apa?!" ketus Rio. Wajahnua nampak tak bersahabat.Tanpa basa-basi, Fikri melayangkan tinju ke wajah Rio hingga ia tersungkur. Amara menje
Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu di rumah Rio. Pak Setyo hanya mendiamkan Bu Salma. Bukan bermaksud apa-apa. Pak Setyo merasa marah karena sang istri mau-maunya dijadikan pembantu di rumah anaknya sendiri."Yah, maafkan ibu, ya." Bu Salma menyodorkan secangkir kopi kepada Pak Setyo yang tengah bersantai di halaman rumah.Pak Setyo melirik sekilas, kemudian kembali menatap lurus ke depan.Bu Salma mendesah pelan. "Yah, aku minta maaf. Mbok, ya jangan didiemin terus aku ini," ucap beliau."Apa hari ini kamu mau ke rumah mereka lagi?" Pak Setyo bertanya dengan datar.Bu Salma diam."Kalau kamu memang mau ke sana lagi. Pergilah! Jadilah babu mereka!" ujar Pak Setyo dingin."Kenapa kamu ngomongnya begitu? Mereka anak kita, Yah! Masa aku hanya diam saja nggak bantu-bantu? Kan kasihan!"Bu Salma nampaknya masih teguh dengan pendiriannya. Bagi beliau yang seorang Ibu, tidak tega rasanya jika melihat anaknya kesulit
"Mbak Zulfa ... selamat, ya. Mbak Zulfa sehat. Tak ada masalah dalam rahim, Mbak. Tak ada kista, tak ada miom, semuanya bersih," terang Dokter Fariska dengan senyum ramah.Zulfa tertegun, ia berusaha mencerna setiap kata-kata yang diucapkan Dokter Fariska. Ia mencoba mencubit tangannya. Takut, jika yang ia dengar hanyalah mimpi belaka.Fikri tersenyum melihat Zulfa yang mencubiti tangannya sendiri. Ia berinisiatif untuk merangkul Zulfa."Sadarlah! Semua memang bukan mimpi," ujar Fikri.Zulfa menoleh cepat saat tangan kiri Fikri melingkar di pundaknya. Ia segera melepas rangkulan itu dan menatap Fikri dengan cemberut. Lantas, kembali fokus menatap wanita bergelar dokter di hadapannya."Benarkah itu, Dok? Anda tidak salah, kan?" Zulfa memastikan. Ia benar-benar takut jika salah dengar."Memangnya Mbak Zulfa berharap sakit?" goda Dokter Fariska.Zulfa menggeleng cepat. "Bukan begitu. Hanya saja saya takut jika i
"Assalamu'alaikum." Zulfa menguluk salam. Ia masuk ke dalam rumah dan segera meletakkan barang belanjaannya di kulkas.Bu Umi sedang salat Ashar ketika Zulfa hendak berpamitan lagi. Ia menunggu di samping sang Ibu. Meminta izin sekaligus memberi kabar baik.Bu Umi mengucap salam, pertanda sholatnya telah usai. Beliau lantas menatap Zulfa yang terus tersenyum dengan binar bahagia."Kenapa, Nak?" tanya Bu Umi lembut.Tanpa menjawab, Zulfa langsung menghambur ke pelukan Bu Umi. Tangisnya tumpah, ia mengeluarkan kelegaannya di pelukan sang Ibu."Loh, kenapa, Nak?" tanya beliau lagi."Aku seneng, Bu. Alhamdulillah ... alhamdulillaaahh," seru Zulfa semakin erat memeluk."Iya ... iya. Seneng kenapa?" Bu Umi merenggangkan pelukan, menangkup kedua pipi Zulfa dan menatap kedua netra putrinya itu."Aku sehat, Buk. Tidak ada masalah dalam rahimku. Malah kata dokter, aku subur!" jelas Zulfa dengan air mata yang terus mengalir
Pak Setyo berencana mengunjungi Zulfa. Beliau merasa rindu dengan menantunya itu. Ya, meski sudah mantan menantu, bagi beliau Zulfa tetaplah menantunya."Memang Zulfa pernah berbuat jahat sama kamu? Memangnya dia pernah nyuruh-nyuruh kamu seperti apa yang dilakukan Amara padamu? Kamu juga harus ingat! Kalau kamu sakit, siapa yang merawatmu?! Zulfa, Buu!!!" cecar Pak Setyo, ketika Bu Salma menolak ajakannya ke rumah Zulfa."Ya ... memang benar katamu, Yah. Tapi, mau ngapain, sih, ke sana?" sahut Bu Salma. Beliau enggan melangkahkan kaki menuju rumah Zulfa. Egonya terlalu besar. Apa nanti yang akan dipikirkan mantan menantunya itu. Pikir beliau."Kok tanya mau ngapain, kamu itu loh! Ya kita silaturahmi sama Bu Umi dan Zulfa. Mereka itu korban dari kelakuan Rio, Bu! Kita ini orang tua, harusnya bisa mengayomi. Lah, kamu ini malah seperti anak kecil! Friska saja kalah sama kamu!" tegas Pak Setyo.Bu Salma terdiam. Beliau berpikir, memang benar s
Rio tengah pusing berkutat dengan laptop dan kertas. Tugas yang kembali salah, harus ia kerjakan ulang di rumah. Rasa-rasanya, kepalanya hampir pecah memikirkan tugas dari bosnya itu."Mas! Perutku mulas." Amara menghampiri Rio dengan memegangi perutnya. Ia meringis, seolah menahan sakit."Kalau kebelet larinya ke wc, jangan ke kamar. Ngadu ke aku!" protes Rio."Maaasss!!! Aku mau lahiirrraaann ....!" bentak Amara.Rio membeliak, ia menatap Amara yang merintih. Ia segera mendekati sang istri. Keringat mengucur deras dari kening Amara. Rasa panik pun mencuat, saat dari pangkal paha Amara keluar cairan bening yang tak henti-hentinya keluar."Saaa-kiit, Mas," rintih Amara.Rio bergegas menggendong Amara menuju mobil. Tak lupa ia menelpon orang tuanya untuk menyusul serta membawa perlengkapan Amara dan bayinya setelah lahir nanti."Tahan dulu. Apa sesakit itu?" Kepanikan Rio terlihat jelas. Walau bagaimanapun, ia
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a
Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.