Sanad berjongkok. "Kita pulang dulu, ya. Nanti kita janjian lagi," bujuk Sanad.
Evan tetap bersikukuh. Sanad beralih ke Bastiah. "Kami tunggu saja, Bu.""Iya, silakan masuk." Bastiah menyingkir.Sanad hendak menarik tangan Evan, tetapi anak itu malah menarik, lalu duduk di bangku panjang."Kalau begitu, kami tunggu di sini saja, Bu. Maaf ya.""Iya, nggak apa-apa. Silakan. Saya ke belakang dulu," ucap Bastiah ramah.Sanad duduk di samping Evan, setelah Bastiah masuk ke rumah, Sedang Keane berdiri, bersandar ke sebuah tiang.“Cepat banget gerahnya ya,” keluh Keane sambil mengipas-ngipas kerah kemejanya. Ia membuka ponselnya. “Cuaca sama saja dengan Kandangan. Kenapa terasa cepat gerah?”“Itu karena posisi kita di atas air. Uap air akan membuat suhu lebih panas. Ditambah air menjadi panas ketika kena matahari. Semakin panas suatu benda, maka semakin panas pula suhunya. Panasnya akan berkali lipat. Panas ini akSanad tertawa ketika melihat bintik merah di wajah putranya akibat gigitan nyamuk. Ditambah dengan garukannya, akibat gatal. “Jangan digaruk!” Sanad mengambil tangannya yang hendak kembali menggaruk. “Kulitnya putih sekali, jadi merahnya nampak sekali. Di sini banyak nyamuk, Cu. Apalagi kalau malam,” ucap Bastiah. Tak lama terdengar bunyi mesin ketinting dari kejauhan. “Nah itu mungkin Tera,” seru Bastiah, lalu berdiri. Evan langsung berdiri, hendak mengikuti, tetapi ditahan Sanad. “Di sini saja!”“Tak apa. Masuk saja. Barangkali mau melihat Bangkau lebih luas lagi."Evan bergerak-gerak, menarik ayahnya. “Ayo, Nak.”Akhirnya Sanad berdiri, masih dengan memegang tangan putranya mengikuti Bastiah. Di tengah rumah, tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari kamar dengan wajah kucel. Arbain terkejut ketika melihatnya.“Pak Sanad? Iya kan, Pak Sanad?” tanya Arbain.“Kamu mengenalnya?” tanya Bastiah. “Dia kan putra Bu Fatima, pemilik minimarket tempat saya bekerja.”“Benar, Nak?!” tanya
Tera menghela napasnya. Melihat sikap Tera, Sanad mendekat dan mengambil kertas yang dipegangnya. Ia mengelus rambut Evan. “Ada banyak yang harus dikerjakan Mama. Mama juga punya ibu yang harus dijaga, jadi Mama harus pulang. Evan ngerti ‘kan?” Evan mengangguk. Tera tersenyum haru. Matanya mulai mengembun. Evan kembali menulis dan menyerahkan pada Tera. [Evan juga akan jaga Mama jika sudah besar]Sontak Tera tertawa. Kali ini matanya berair. Diam-diam Sanad menatapnya. Betapa ia ingin menghapus air mata itu. Air mata yang mengalir untuk anaknya. Melihat Tera, ia selalu bertanya-tanya dalam dalam hati, benarkah perasaan sukanya murni dari hati? Jangan-jangan yang dirasakannya hanyalah bentuk terima kasih atas semua yang dilakukan Tera untuk putranya. Hari itu, anak dan bapak itu menghabiskan waktu seharian bersama Tera. Sore hari Bastiah menyuguhkan makanan khas Bangkau. Ikan kerapu goreng, ikan gabus panggang, tana
Sesaat Bastiah termangu. Sebagai seorang ibu, ia pun turut bahagia mendengar pengakuan tulus itu. “San!”“Aku minta maaf jika pengakuan ini mengganggumu. Aku sadar, kalau aku laki-laki beristri. Karena itu, mulai sekarang aku tidak akan tidak mengganggumu lagi.”“San!” Tiba-tiba perasaan takut membekap Tera. Betapa ia terlanjur berharap banyak setelah kedatangan Evan kali ini. Ia terlanjur berharap Evan akan selalu mendatanginya, meski hanya sebulan sekali. Sanad berdiri. “Kalau begitu. Aku permisi. Aku banyak-banyak minta maaf, karena membuat Ibu, Tera dan mungkin juga sekeluarga merasa terganggu. Terima kasih atas kebaikan Ibu dan Tera. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian.Bastiah menyambut uluran tangannya dengan sedikit kikuk. “Maaf ya, Nak. jika ini menyinggungmu. Ibu melakukan ini ….”“Iya, saya mengerti, Bu. Saya mungkin juga akan melakukan hal yang sama jika saya di posisi Ibu. Terima kasih banyak.”Sanad
‘Jika itu definisi cinta, apakah aku juga mencintaimu? Entah sejak kapan, aku sangat suka melihat wajah judesmu tersenyum.’“Tera … Tera,” gerutunya sambil membenamkan wajahnya dengan bantal. Gelap semakin membuat wajah ayah dari Evan itu semakin jelas. ‘Aku hanya ingin kamu tahu, di dunia ini ada yang mencintaimu tulus. Jadi percaya dirilah. Kamu berhak menentukan pilihanmu. Kamu berhak mencintai dan dicintai.”“Aaa …,” erangnya. “Kenyataannya, untuk apa kamu mengungkapkannya? Pada akhirnya kamu juga meninggalkanku.”Bunyi ketukan pintu terdengar. Seketika ia menutup mulutnya, berharap di luar tidak ada yang mendengar gerutuannya. “Tera!” panggil ibunya.Ia meloncat dari ranjang, lalu membuka pintu. “Kenapa dikunci?” “Ibu lupa, kalau di rumah ini ada laki-laki lain?” singgung Tera.“Siapa? Arbain? Bukankah dia iparmu?”“Ibu lupa apa yang telah dia perbuat padaku?”“Pintar jawab ya
Sanad melajukan mobilnya membelah kota Kandangan mengarah ke Barabai. Ia lupa kapan terakhir mengendarai mobil sendiri. Setelah kecelakaan, kemana-mana selalu di kemudi seorang sopir, entah Pak Karni sopir yang mengantar ke kantor atau Keane yang sekarang menjaga Evan. Kini ia tak peduli lagi dengan trauma, hati remuk ditambah satu masalah membuatnya tidak sempat lagi memikirkan rasa takut. Mobilnya berhenti tepat berada di halaman rumah Rudi. Rudi langsung keluar, begitu mendengar bunyi mobil berhenti di depan rumahnya. Meski tidak hafal, ia sudah bisa menebak siapa yang akan datang. “Kenapa kamu membatalkan transaksi?” tanyanya tanpa basa-basi. “Itu hakku. Apa mau kujual, kutarik atau kuberikan, itu terserahku," jawab Rudi sekenanya. Namanya saja sudah membuat emosi Rudi terpantik, apalah lagi dengan sikap kasar Sanad.“Tidak bisa begitu. Kamu tau berapa kerugian yang kami tanggung?!” Rudi tertawa sumbang. “Rugi? Bukankah
“San, berilah dia kesempatan sekali lagi,” bujuk Fatima. “Sudahlah. Aku capek. Keputusanku sudah bulat. Nanti besok, aku akan antar kamu ke orang tuamu.” Sanad berdiri.“SAN!” sergah Fatima. Tetapi Sanad berlalu, masuk ke kamar Evan.*** Hayati masih duduk di lantai, tangisnya makin menderu. Fatima merasa iba melihatnya. Ia memegang kedua bahu Hayati, lalu membantu berdiri.“Kamu istirahatlah! Semoga setelah pikirannya mulai tenang, ia mau menarik ucapannya,” bujuk Fatima. Hayati mengangguk. “Terima kasih, Ma.”Fatima hanya menjawab anggukan kepala. “Istirahatlah!***Setelah beberapa malam, Rudi datang ke rumah Tera, tetapi tak kunjung ketemu, akhirnya ia memutuskan mendatangi Tera ke lantingnya. Tera hanya menatap sebentar, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Membetulkan hampang yang tak lagi berdiri tegak akibat ulah orang tidak bertanggung jawab. Rudi melonca
"Jika kamu tidak bisa menikahi Tera, dan bercerai dengan Hayati, itu artinya kamu akan sendiri?"Sanad mengangguk. "Tak apa, Ma. Aku memang ingin menyendiri dulu. Konsentrasi merawat Evan. Aku pun tak berencana lagi mencari pengasuh. Akan kurawat sendiri.""San ….""Ma, tolong hargai keputusanku. Menurutku ini juga lebih baik buat Hayati. Memang menyakitkan untuk sementara. Tapi sudah saatnya dia mau menerima kenyataan, melepaskan diri dariku dan berpikir menerima orang lain yang bisa mencintainya."*** Malam hari, Sanad beserta ibunya ke rumah orang tua Hayati. Awalnya orang tua Hayati tidak terima dengan sikap Sanad. Namun, mau tak mau harus menerima keputusan Sanad, meski hati mereka tentu sangat kecewa, terutama ayahnya Hayati, Aidin. Terlebih lagi jika melihat putrinya yang sangat terpukul. "Anak tak tau terima kasih," gerutu Aidin geram.***“Mentari, tolong pesankan tiket ke Jakarta untuk hari ini juga, dan persiapkan semua data kerjasama dan jangan lupa beberapa rancangan ba
Di danau Bangkau, Teratai duduk menghadap sebuah meja diterangi oleh sebuah lampu ublik. Memandangi buku yang diberikan Evan sewaktu mereka berkunjung ke rumah, The Lord Of The Rings. Ia tersenyum geli menyadari hal itu. Ternyata anak sama bapak sama kejamnya. Dulu ia marah karena Sanad membacakan buku itu untuk Evan yang baru berusia lima tahun. Menurutnya ini terlalu berat untuk Evan, Mengapa tidak dibacakan buku-buku khusus untuk seusianya? Tuh banyak buku anak-anak yang edukatif dan mendidik. Sekarang ia harus marah kepada siapa jika Evan memberikan buku ini padanya yang hanya lulusan sekolah dasar?Baru saja menyingkap sampulnya, susunan huruf bagaikan monster yang menyatu, lalu berputar memaksa dunianya terasa mau meledak. Spontan ia langsung menutup sampul itu. Ia teringat pertama kali menaiki sampan, dunia juga terasa berputar dan menyeramkan baginya. Cukup lama beradaptasi, tetapi setelah sekian lama, setelah mendapatkan pengalaman baru, sampan dan danau
"Kamu pakai parfum apa?" tanya Sanad. "Parfum yang kamu kasih." "Aku suka wanginya." Sanad tergoda membaui aroma lembut di leher Tera. Tera merasakan bulu romanya merinding. Kehangatan napas Sanad menimbulkan reaksi alamiah yang membuat Sanad semakin bersemangat."San, hati-hati, kamu tidak bisa mandi lo." Tera mengingatkan.Tera menghempaskan napasnya. Ia segera bangkit, dan menurunkan kakinya ke lantai. "Aku pingin lihat Evan. Kok nggak ada suaranya." Tangan Sanad menyambar pinggangnya. "Tadi dia sama Lilac.""Aku pingin lihat, khawatir badannya bentol-bentol."Sanad menarik bahunya hingga terbaring. Seketika tubuhnya terkunci oleh sebelah tangan kekar."Tadi aku sudah minta Lilac agar mengolesi kulitnya dengan lotion anti nyamuk." Sanad meletakkan bibirnya di leher Tera. "San, kamu berani berendam di tengah malam? Bukan mandi di kolam rumah lo.""Kita mandi bersama.""San …." Mendadak bibirnya terkunci oleh
"Benarkah? Janji?!""Iya …."*** Kamar Tera kini dihiasi layaknya kamar pengantin. Ada sedikit berbeda di kamar Tera dibanding kamar pengantin umumnya. Di zaman sekarang, pengantin lebih banyak menggunakan ranjang modern tipe divan bed, sedang Tera memilih tipe ranjang kelambu. Ranjang yang memiliki kanopi supaya bisa dipasang kelambu. Dulu orang Bangkau banyak memakai tipe ini, mengingat kampung mereka banyak nyamuk. Perlahan ranjang kelambu kekurangan peminatnya, karena ranjang divan bed setiap masa desainnya semakin modern dan untuk menghiasi kamar pun semakin banyak kreasinya. Soal nyamuk, itu nanti dipikirkan, yang penting terlebih dahulu menikmati sebagai sepasang raja ratu, meski hanya sehari.Berbeda dengan Tera, mengingat Sanad bukanlah orang Bangkau, tentu nyamuk bukanlah perkara bisa dianggap enteng. Pertama kali yang dipikirkannya bagaimana supaya suaminya bisa tidur dengan nyaman tanpa adanya gangguan nyamuk. Menggunakan obat nyamuk sepanjang malam bukanlah pilihan ya
"Cil." Tera ikutan menangis. "Kenapa ngungkit itu, kan jadi nangis." Ia mengusap wajahnya kasar.Kembang mengambilkan tisu, lalu meletakkan di tengah-tengah."Terima lah dia. Dilihat kesungguhannya ingin beli Teratai Kedua, terlihat dia sangat ingin membahagiakanmu. Masalah perbedaan, asal sama-sama mau berusaha dan terbuka, seiring waktu kalian akan bisa saling mengimbangi.""Cil." Tera meletakkan wajahnya di pangkuan Acil Nurul. Tangisnya makin menderu. Bastiah dan Kembang ikut mengusap wajahnya. Air mata Acil Nurul tak henti-hentinya mengalir. Sebelah tangannya membelai rambut Tera. "Doa Acil akan selalu menyertaimu."***Hari lamaran tiba. Mengingat Bastiah sering menyebut perbedaan, Sanad mengantisipasi dengan hanya melibatkan keluarga dari pihak ibunya yang berada di Baruh Kambang. Secara kelas social mereka tidak terlalu berbeda. Ditambah Muallim Ibrahim, keluarga Tera yang tinggal di Baruh Kambang mem
“Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Malam ini aku akan ke sini.”“Jangan!” jawab Tera cepat. "Kenapa?" "Kamu lihatlah, bagaimana mereka," bisik Tera sambil mengerling ke arah kumpulan tetangga. "Tapi masih banyak yang harus kita bicarakan.""Kita bisa bicara lewat telepon kan?""Iya, sih. Tapi ….""Ayo lah …."Akhirnya mau tak mau, Sanad harus mau menuruti Tera. Benar saja, begitu mobil Sanad menjauh, ibu-ibu di kumpulan itu langsung memberondongnya. Mereka mengikuti Tera sampai ke dalam rumah. "Bagaimana keadaanmu, Tera? Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang," ucap salah seorang ibu yang muka cemongnya dengan pupur basah. "Aku nggak menyangka lo, Tera. Kamu kemarin sudah kayak mayat," imbuh seorang perempuan muda. "Oh iya, laki-laki tadi menyelamatkanmu kemarin kan? Dia siapa? Jangan katakan dia langganan kerupukmu!""Mulai," batin Tera. Bastiah datang membawa
"Jangan khawatir. Aku hanya butuh akuisisi. Produksinya tetap mereka yang tangani, kamu hanya bertanggungjawab bagian pengembangan." Tera menghela napasnya. "Tapi … apa aku bisa? Teratai Produksi yang sempat jaya bertahun-tahun, sekarang kolaps padahal ditangani seorang sarjana. Rudi cerita produksi Teratai Kedua juga mengalami kemunduran, apa aku bisa membangkitkannya, padahal kamu telah mengeluarkan banyak biaya." "Kamu pasti bisa. Kamu dengarkan Mama sudah menawarkan tempat untukmu, tinggal produksi saja lagi dengan kualitas sebaik mungkin." "Aku takut mengecewakan."Sanad meraih bahu Tera. "Aku percaya kamu pasti bisa.""Coba saja, Tera. Nanti aku langsung akan cek barangnya, aku tidak akan segan menolak, kalau memang itu tidak layak bertengger di minimarket kami."Tera mengangguk. "Terima kasih, Bu.""Semangatlah." Sanad mendekatkan wajahnya ke telinga Tera. "Ini kesempatanmu membuktikan diri kalau kamu layak jadi istri Sanad."Tera berdecak. Fatima tersenyum penuh arti. Tapi
"Belum apa-apa sudah nyusur. Tera, kamu dan dia jauh banget. Dia orang kota, kita orang kampung. Orang kampung masih polos. Bagaimana kamu bisa hidup sebebas dia? Belum jadi istri sudah berani cium. Kamu juga, diam aja dicium," gerutu Bastiah. Elang tertawa. "Siapa bilang orang kampung itu masih polos? Sekarang informasi mudah diakses, jadi hal semacam itu bukan lagi hal tabu. Ibu saja yang tidak memperhatikan perubahan zaman.""Pokoknya aku tak suka dengan orang kota. Mereka nggak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kita.""Sudahlah, Bu. Kenapa sih selalu maunya punya Ibu yang dijalankan?" sanggah Elang."Bukan begitu. Orang tua itu sudah banyak makan asam garam," sahut Bastiah. "Aku tau. Tapi Kak Tera juga sudah dewasa. Apa yang terjadi nanti, tentu dia sudah siap menghadapinya. Yang merepotkan, jika Ibu bersikukuh dengan pendapat Ibu, tiba-tiba nanti dia mengalami hal buruk, maka beban yang dirasakan Kak Tera akan terasa lebih be
"Dia Elang, adikku. Yang masih kuliah di Bjb." Tera mengenalkan. "Evan ingat tidak?"Evan mengangguk. "Om Elang." "Pintar!" Tera mengeratkan pelukannya.Kedua lelaki itu saling berjabat tangan dan mengenalkan diri. "Akhirnya aku bisa bertemu dengan Anda," ucap Elang nada membuat Tera mengernyit. Mata tajamnya menatap penuh selidik. "Elang, apaan sih kamu?" tegur Tera. "Tidak apa. Aku hanya ingin memastikan orang yang dekat dengan kakakku itu orang baik. Aku tidak ingin kejadian dulu terulang lagi," sahut Elang sambil mengerling ke arah Arbain. "Ngomong apa kamu, Lang?" sela Bastiah. "Oh iya, Nak Sanad. Ini agak kasar, tapi Ibu minta kamu jangan terlalu dekat dengan Teratai. Teratai telah bertunangan dan kamu juga telah beristri. Sebagai seorang ibu, tentu aku tidak ingin putriku jadi perusak rumah tangga orang lain.""Ibu ngomong apa sih?" seru Teratai. Ia mengerling ke arah Evan. Sanad mendekati
Tera membuka mulut, tetapi menutup kembali. Tidak memungkinkan ia membela diri di saat sama-sama emosi. Selain itu, ia tidak tahu betul bagaimana hubungan Sanad dengan Hayati. Sanad belum bercerita kalau sudah bercerai dengan Hayati. "Terserah Ibu lah," ucapnya akhirnya, lalu menutup diri. Dalam selimut ia masih saja mendengar wejangan Bastiah. "Tera, aku tahu perlakuan laki-laki itu sangat baik padamu, tapi jangan jadi perusak rumah tangga orang. Selain itu, sebesar apa pun ia mencintaimu, kalian dari kasta yang berbeda. Aku sudah dengar dari Arbain. Dia putra bosnya yang memiliki banyak minimarket. Dari segi keturunan, mereka juga dari kaum bangsawan, bergelar Gusti."Tera tercenung. Ia masih belum berani berharap pada Sanad. Namun membayangkan perbedaan yang sangat jauh membuat nyalinya ciut. Bahkan berbanding dengan Evan saja dia masih ketinggalan jauh. Antara langit dan bumi. Ia sering menemani Evan ke berbagai acara keluarga, rata-rata mereka baik dan ramah, tapi itu dulu h
"San, aku ingin bicara denganmu. Ada waktu?" tanya Rudi.Sanad mengerutkan keningnya. Sesaat ia menoleh ke arah Tera. Gadis itu terlihat cemas. Ia juga menoleh ke Bastiah."Asal tidak sekarang, kapan?""Nanti kasih kabar, jika kamu punya waktu."***Sepeninggalan Sanad, Bastiah membuka kulkas. Sesaat matanya membesar. Melihat kulkas yang terisi penuh. Mulai roti, buah, cake, susu cair, yogurt, teh botol dan air mineral. "Kalian mau jualan?" ejek Bastiah. Tera menengok sebentar, tapi lalu kembali berpaling. Bahkan menoleh pun masih terasa sakit.Rudi duduk berhadapan dengan Tera yang sedang menyuap buburnya. "Bubur sumsumnya tidak dimakan?" tanya Rudi."Habiskan ini dulu. Sayang, sudah terlanjur. Itu kan masih belum bergerak, nggak papa disimpan lama." Rudi terkekeh. Tera memang selalu begitu, penuh dengan pertimbangan. Tidak bisa kah di saat sakit seperti ini mengutamakan rasa