Share

Mama

Penulis: El Nurien
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-26 19:15:08

"Mama …."

Itulah kalimat yang terdengar di telinga Tera saat pertama kali matanya terbuka. Ia masih keheranan, mencoba mengenali ruangan yang dilihatnya juga seorang anak laki-laki kecil nan imut berusia sekitar lima tahun berambut keriting. 

Pintu kamar kecil terbuka, muncul seorang perempuan melewati paruh baya memakai kerudung lebar berwarna merah maroon. 

"Kamu sudah bangun, Nak. Syukurlah. Saya panggil dokter dulu," ucap ibu itu sambil memencet tombol di dekat kepalanya. 

“Ini rumah sakit? Bagaimana saya sampai di sini?” tanya Tera keheranan. Wajahnya meringis membayangkan harus membayar ruang rawat inap semewah itu. Ia juga mencermati bagian sikunya yang ditutupi kain kasa. Bahkan dahinya juga ditutupi plester. 

“Mama!” Bocah itu kembali memanggilnya. 

Seketika perempuan berkerudung itu tersentak. “Kamu sudah bisa ngomong, Cu!” 

“Mama!” Kali ini, bocah itu memegang tangan Tera. 

“Mama?” ulang Tera, masih diselimuti kebingungan. 

Tera menatap heran. Ia beralih ke perempuan  itu minta penjelasan. 

“Sebentar. Kita hubungi Papa dulu, ya!” bujuk perempuan baya itu. 

Bocah itu mengangguk bahagia. 

Tak lama datang seorang dokter bersama seorang perawat. Perempuan itu membawa cucunya menjauh. “Biarkan dokter memeriksa dia dulu!”

Anak itu patuh. 

“Keadaannya sudah membaik. Kita lihat sampai besok, jika makin membaik, dia boleh pulang,” lapor dokter itu setelah selesai melakukan pemeriksaan.

“Terima kasih, Dokter,” ucap perempuan paruh baya itu. Dokter dan perawat itu undur diri.

“Terima kasih, Dok,” imbuh Tera. 

“Bu bisa jelaskan kepada saya apa yang terjadi?” tanya Tera. 

Bocah itu kembali mendekat. Kali ini ia duduk di sebuah kursi. Ia mencium pipi Tera. Tera terkesiap. 

“Nanti aku jelaskan, ya. Setelah ayah Evan datang?” jawab perempuan itu.

“Ayah Evan?” ulang Tera. 

“Oh iya. Kenalkan aku Fatima. Ini Evan Hara cucuku, biasa dipanggil Evan. Namamu?”

“Nama saya Teratai. Biasa dipanggil Tera,” jawab Tera canggung

“Baiklah, saya juga panggil kamu Tera.”

“Mama,” oceh kembali anak yang disebut Evan itu. Kembali Tera diserbu keheranan.

“Nak Tera, kemarin yang menabrak kamu itu mobil kami,” jelaskan Fatima.

Tera tersentak. Ia baru teringat kecelakaan yang menimpanya di saat hujan setelah diusir ibu kandungnya.

“Tempat kejadian itu sunyi. Tidak ada rumah penduduk di sana, jadi kami tidak tahu harus bagaimana mencari identitasmu. Selain itu, kami khawatir jika terlambat memberikan pertolongan padamu, khawatir bisa mengancam nyawamu. Karena itulah, kami langsung membawamu ke rumah sakit ini.”

 Pintu terbuka, disusul dengan kemunculan seorang laki-laki berperawakan tinggi, mengenakan kemeja putih yang dilapisi rumpi. Di belakang laki-laki itu seorang perempuan cantik, mengenakan blazer warna hitam menutup kaos warna putih. Rambut panjang terurai, sedikit bergelombang di ujungnya, melengkapi kecantikan wanita itu. Tera merasakan tubuhnya menciut. Kecantikan wanita itu benar-benar mengintimidasi kulit dekilnya. 

Tanpa suara Evan berlari menyusul laki-laki yang baru datang. 

“Bagaimana keadaannya, Ma?” tanya laki-laki itu setelah mengangkat Evan. Perempuan cantik itu mengiringinya, lalu mencium tangan Fatima.

“Alhamdulillah, dokter mengatakan tadi dia sudah baikan. Kemungkinan besok dia sudah bisa pulang.”

Laki-laki hanya menjawab dengan anggukan. Tera mengernyit. Ia bertanya-tanya, mungkinkah laki-laki itu pelit suara?

“Nak Tera, kenalkan ini anak ibu, namanya Sanad Gandaria, ayah Evan.”

Tera hanya menganggukkan kepala sebagai penghormatan. Sekarang ia bisa menduga kalau perempuan cantik itu istri Sanad dan ibunya Evan. Namun, kenapa Evan tidak mendekati wanita itu? 

Ia berharap Sanad tidak mengulurkan tangan kepadanya. Sayangnya, doanya tidak dikabulkan.

“Panggil saja saya Sanad.” Sanad mengulurkan tangan padanya. 

Ia tidak bisa mencegah wajahnya untuk tidak meringis. Tangan terulur dengan terkepal, enggan membuka. Ia malah menarik tangannya, dan menyembunyikan dalam selimut yang menutupi kakinya. “Maaf, Pak. Saya seorang nelayan, tangan saya sangat kasar."

“Oh.” Sanad menarik tangannya dengan salah tingkah. Evan tersenyum melihat ayahnya. 

“Mama!” Evan menyingkap selimut Tera, menarik keluar tangannya. Dengan kebingungan ia menuruti saja tindakan Evan. Betapa terkejutnya, ternyata tangannya diulurkan ke arah Sanad.

Mata Sanad membelalak. Mulutnya membuka, tapi tak kunjung bersuara. Ia menatap ibunya penuh tanya, yang dijawab dengan anggukan dan mata berkaca-kaca. Wanita cantik itu juga terlihat bahagia. 

“Mama!” 

Sanad masih terpasung syok. Tatapannya beralih antara putranya dan tangan Tera yang terulur. 

“Mama!” Evan kembali bersuara. 

Tanpa peduli dengan wajah Tera yang enggan, Sanad menyambut uluran tangan itu. Sesaat ia terkejut. Kekasaran tangan perempuan itu melebihi seorang buruh di perusahaannya.

Tera langsung menyembunyikan tangannya. 

Sanad berjongkok, memegang kedua bahu putranya. “Kamu bisa ngomong, Sayang?” 

Mata Tera membesar. Ia tidak menyangka bocah seimut itu tidak bisa bersuara. 

“Mama.”

Sanad langsung memeluk tubuh mungil itu. Mata Sanad berkaca-kaca menatap putranya. “Coba panggil Papa.”

Evan diam. Fatima ikut berjongkok. “Coba ucap papa.” 

Evan terlihat hanya memainkan bibirnya. Fatima dan Sanad saling bersitatap, lalu beralih ke arah Tera yang masih diselimuti kebingungan.

***

“Bu, bisa kita bicara sebentar di luar?” tanya Sanad. Tera menoleh, ia tidak menyangka, laki-laki kaku itu ternyata bisa bersikap lembut pada ibunya.

Fatima mengangguk.

Sanad kembali menjongkok. “Papa mau bicara sama nenek sebentar. Evan di sini dulu ya..”

Evan mengangguk. Sanad mendudukkan ke atas sofa, tetapi anak itu turun, lalu naik ke kursi di samping Tera. Kening Sanad mengerut tajam dengan tingkah putranya, lalu beralih ke Tera yang tak kalah herannya. Tera merasakan, kepalanya kusut memuntal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab.

Sanad dan Fatima telah keluar. Perempuan cantik itu mendekati Tera dan mengulurkan tangan.

“Perkenalkan saya Hayati, istri Sanad, ayah Evan.”

Tera menyambut uluran tangan itu canggung. “Tera.” Retina matanya sempat menangkap tangan Hayati yang mengusap. Ia dapat memahami, jika Hayati kaget dengan kekasaran tangannya. 

Tangan kasar sebuah kelaziman bagi orang Bangkau sebagai seorang nelayan, yang kesehariannya bersentuhan dengan pisau dan ikan. Titik saraf nyeri sudah kebal dengan tusukan duri-duri ikan, sayatan pisau, juga kutu air yang menambah nilai estetik di tangan orang Bangkau, tak terkecuali Tera. Waktu kecil, tiap hari ia mengolesi telapak tangannya dengan salep anti kutu air. Sesekali ia mengolesi dengan minyak jelantah, lalu memanggangnya di atas bara api. Kini Tera sudah kebal. Kulit sudah kadung menebal. 

Hayati mendekati Evan. Ia mengelus rambut Evan, tetapi bocah itu bergeming. Satu pertanyaan lagi memuntal kepala Tera yang sudah kusut. 

Hayati bukan ibu Evan?

Tera memiliki otak kritis. Kesehariannya bersama alam telah mengajarkan banyak padanya. Ia sangat bersyukur dengan karunia itu. Namun, kini ia menyesalinya. Mengapa ia terjebak dengan berbagai pertanyaan yang tidak ada hubungan dengannya?

***

“Apa Ibu sudah tahu siapa perempuan itu?” tanya Sanad pada ibunya ketika mereka sudah di luar.

“Namanya Tera.”

“Iya, siapa pun itu,” sahut Sanad cuek. Fatima menggelengkan kepala dengan sikap putranya.

“Belum! Saat dia sadar, Ibu memanggil dokter, jadi masih belum ada kesempatan berbicara banyak dengannya.”

“Berarti dia juga belum berbicara banyak dengan Evan?”

Fatima menggeleng. “Saat itu Ibu baru keluar dari kamar kecil. Dia terjaga dengan masih kebingungan. Evan sudah memanggilnya Mama.”

Sanad mengerutkan kening. “Ini suatu keanehan, tetapi patut disyukuri. Perempuan itu membuat Evan bisa berbicara, padahal kita sudah sekian lama berusaha supaya Evan mau bicara dengan berbagai cara, tapi selalu gagal.”

Fatima mengangguk. “Ibu akan mengusahakan dia tinggal bersama kita, menjadi pengasuh Evan. Sepertinya Evan sangat menyukainya.”

Kening Sanad menukik tajam. Bagaimana bisa putranya bisa menyukai perempuan yang tidak memperlihatkan sisi kewanitaan. Dari bahunya saja, Sanad tahu perempuan itu bertubuh kekar meski kurus. Kulit hitam nyaris serupa dengan gosong. Wajah berminyak dan jerawat di sana sini. Apa yang disukai Evan dari perempuan itu? Dibanding Hayati, istrinya, tentu Hayati lebih feminim dan lembut. 

“Aku setuju dengan pendapat Ibu, tapi dia orang asing. Kita tidak bisa percaya begitu saja.”

“Jangan buruk sangka begitu. Evan memang polos, tapi bukan berarti dia bisa jatuh cinta begitu saja. Kamu lupa, kita telah mencoba puluhan pengasuh, tapi tidak ada yang cocok dengannya. Sedang Tera, baru saja ia membuka mata, Evan langsung menyukainya.”

“Tapi … dilihat dari tubuhnya, aku rasa dia sudah mempunyai pekerjaan. Apa dia bilang tadi seorang nelayan? Berarti bukan berasal daerah kejadian kecelakaan?” 

“Iya. kalau memang dia seorang nelayan, berarti dia dari Bangkau atau ke situ, dua desa sebelum kejadian.”

“Ngapain dia bersepeda hujan-hujanan di malam hari pula? Ibu tidak curiga?”

Fatima menggeleng-gelengkan kepala. “Mengapa dari awal, kamu terlihat tidak menyukainya.”

“Bukan begitu. Bagaimanapun dia orang asing. Bagaimana kalau dia sengaja melakukannya untuk memeras kita?”

Fatima menghempaskan napasnya. “Sudahlah, berbicara denganmu tidak ada muaranya. Kamu pulanglah, bawa Evan. Ibu ingin berbicara banyak dengan Tera. Siapa tahu Ibu bisa menahannya,” tukas Fatima tanpa menunggu respon putranya.

***

“Sekarang Papa Mama sudah datang, Evan pulang dulu ya,” bujuk Fatima sambil memegang pundak cucunya.

Evan diam. Ia memainkan bibirnya. Ia menoleh ke arah Tera yang juga menatapnya. Masih dengan keheranan.

“Tante Tera masih sakit.”

“Mama.”

“Iya, Mama.” Fatima mengalah. “Mama Tera masih sakit. Biarkan dia istirahat. Evan pulang dulu dengan Papa Mama, ya.”

Evan masih merapatkan bibirnya.

“Ya?! Evan cucu Oma yang baik dan patuh. Evan pulang dulu, ya. Besok ke sini lagi, ya.”

Evan mengangguk pelan, setelah lama terdiam.

“Cucu Nenek yang pinter.” 

Tera menatap Fatima memeluk cucunya dengan haru. Pertanyaan makin menumpuk di kepalanya. Apa yang terjadi dengan Evan?

Sebelum pulang, Evan naik ke atas kursi. Tera terkesiap. Tanpa ia duga, Evan mencium pipinya. Matanya terbelalak, mengarah kepada Hayati yang melihatnya dengan tatapan tidak suka. 

*** 

Bab terkait

  • Bahagia Setelah Terusir   Menggali Informasi

    Sebelum pulang, Evan naik ke atas kursi. Tera terkesiap. Tanpa ia duga, Evan mencium pipinya. Matanya terbelalak, mengarah kepada Hayati yang melihatnya dengan tatapan tidak suka. *** “Bu, bagaimana dengan biaya rumah sakit ini?” todong Tera begitu Sanad dan keluarga kecilnya menghilang di balik pintu.Fatima duduk di kursi samping ranjang Tera. Kursi yang diduduki Evam sebelumnya. “Biaya perawatanmu kami yang tanggung. Kami minta maaf atas kejadian itu. Beruntung kamu masih bisa diselamatkan.”Tera menghela napas lega. “Syukurlah. Kamar seluas ini, saya tidak sanggup membayarnya.”“Nak, kamu tinggal di mana?”Seketika Tera terdiam. Wajahnya mendadak datar. “Supaya kami bisa memberi tahu keluargamu. Keluargamu pasti sangat mengkhawatirkanmu. Atau kamu bisa menelpon mereka dulu.”Tera menggeleng. “Tidak perlu.Terima kasih banyak atas perawatannya. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan ibu.”Fatima mengerutkan kening. Ia mencium ada yang disembunyikan Tera, tetapi tidak pantas ora

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-26
  • Bahagia Setelah Terusir   Penyelesan

    "Kalau sudah, kita pulang sekarang," ucap Hayati. Evan mengulurkan tangannya. Tera tertawa kecil. Ia menyambut uluran tangan kecil itu, lalu turun dari ranjang. ***Tera ternganga, rumah mewah modern kini di depan matanya. Halaman luas, hamparan rumput dengan potongan sangat rapi, tanaman di sana sini, dan tersedia kursi taman. Tidak pernah terbayangkan, kalau suatu saat ia akan menginjakkan kaki ke rumah semewah ini. Terlihat orang berlalu-lalang. Dari pakaiannya, Tera menerka mereka itu pembantu di rumah ini.“Inilah, rumah sederhana kami. Buatlah dirimu nyaman. Anggaplah rumah sendiri,” ujar Fatima. Rumah sederhana? Ternyata setiap orang berbeda nilai standar. Baginya ini terlalu mewah, seperti mimpi. Namun bagi Fatima dibilang sederhana?Tera mengangguk sedikit. “Iya, terima kasih, Bu.”“Setiap kerjaan sudah ada petugasnya, jadi kamu jangan sibukkan dirimu. Tugasmu hanya menjaga Evan,” intruski Fatima.“Inggih, Bu,” sahut Tera dengan wajah menunduk. “Kalau begitu, aku antar ke

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-26
  • Bahagia Setelah Terusir   Anak Yang Dibanggakan

    “Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”*** Sanad melepaskan kaca matanya, lalu meletakkan buku yang dibacanya ke atas nakas, ketika Hayati baru keluar dari kamar mandi. “Mau ke mana?” tanya Hayati.“Mau bacakan dongeng buat Evan.”“Bukannya sekarang ada Tera?! Jika Evan mau dibacakan dongeng, dia akan minta bacakan pada Tera,” sahut Hayati sambil mengusap rambutnya yang basah. “Aku tak percaya perempuan itu,” tukas Sanad, lalu hilang di balik pintu.Hayati hanya bisa menghela napas. Ia menoleh ke arah ponsel yang menyala. Bibirnya langsung tersungging senyum begitu melihat pemilik pesan itu.***Tera tersentak dengan kemunculan Sanad di kamar. Ia mengelus dadanya yang terasa ingin meledak akibat debarannya.“Ke depannya, kamu harus mengetuk pi

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-10
  • Bahagia Setelah Terusir   Anak Yang Dibanggakan (2)

    “Tadi katanya mau masuk ke kamar Evan, terus datang marah-marah. Siapa yang bikin kamu begini? Tera?”“Sudahlah. Malas ngomongin perempuan itu.” Sanad naik ke atas ranjang, lalu memasukkan kakinya ke dalam selimut dan berbaring.Hayati merebahkan kepalanya di bahu Sanad. Laki-laki itu langsung menyambutnya tanpa suara. Hayati ikut terdiam. Sanad memang selalu menyambut sikapnya, tetapi ia tahu hanyalah sentuhan kosong. Hati laki-laki itu tidak pernah untuknya.*** Sambil membelai rambut Hayati, Sanad memejamkan mata. Namun, pikirannya masih tertinggal di kamar Evan. Mata nyalang, tetapi berair masih melekat di benaknya. Ia memang sengaja mengucapkan hal itu untuk melihat reaksi Tera. Namun, mengapa reaksi itu di luar dugaannya.'Kenapa harus marah? Bukankah ia pernah melakukan itu?'*** “Mama tidak mengerti, ke

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-10
  • Bahagia Setelah Terusir   Separuh Jiwa Sanad

    Hari Minggu pagi, Evan bermain lempar bola dengan Tera. Evan sudah mandi dan mengenakan baju santainya. Tiba-tiba pandangan Evan tertuju pada Pak Agus, seorang pekerja khusus merawat halaman dan tanaman.“Evan?” Tera menatap Evan heran yang tidak lagi melempar bola di tangannya. Ia mengikuti tatapan Evan. Terlihat Pak Agus sedang mengaduk tanah. Tak jauh dari situ  ada beberapa buah pot tanaman.“Evan mau mencoba itu?” pancing Tera.Evan menoleh ke belakang, lalu mengangguk. Tera tersenyum lebar. Dari gelagat, Tera tahu kalau bocah itu tidak diizinkan main kotor. Namun, ia memilih pura-pura tidak tahu. “Ayo!” Tera mengulurkan tangan, Evan menyambutnya, lalu ia membawa ke tempat Pak Agus yang lagi asik memasukkan tanah ke adalam pot. Tak jauh dari situ sebatang mawar yang sudah tinggi tergeletak di tanah.“Tanahnya mau diganti, Pak?”“Iya, Dik. Sudah lama, diganti lagi d

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-10
  • Bahagia Setelah Terusir   Separuh Jiwa Sanad (2)

    Ia masuk ke rumah, lalu ke dapur. Di sana Asih sedang sibuk merapikan sayuran di sebuah kulkas khusus sayur. Ini salah satu yang tidak bisa dimengerti Tera, mengapa mereka memiliki banyak kulkas. Ia paham, supaya tidak tercampur baunya. Namun, bukankah Asih hampir selang hari ke pasar? Mereka cukup membeli sekadarnya, hingga bau tidak sampai saling bertukar. Untuk apa stok banyak kalau sering ke pasar? “Sudahlah! Bodo amat!” Tera membatin. “Sih, Ibu sudah datang?” tanya Tera. “Belum,” jawab Asih. Ia mengambil beberapa biji tomat lalu memasukkan ke sebuah toples persegi yang Tera prediksikan untuk besok pagi.“Kamu sudah lama bekerja di sini?” tanyanya sambil duduk di kursi. “Baru dua tahun.” Asih duduk di kursi yang satunya. Mengelilingi meja yang biasa mereka gunakan untuk mempersiapkan bahan makanan.“Kamu tahu bagaimana  perlakuan Tuan ke Evan?” 

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-11
  • Bahagia Setelah Terusir   Melindungi

    Hanya perlu beberapa detik, panggilan Hayati langsung terjawab. Seakan yang dipanggil sedang menunggunya."Dia ke mana?" tanya di seberang setelah mendengar desah napasnya. "Ke rumah sakit, bawa anaknya.""Oh.""Oh?" protes Hayati. Laki-laki di seberang tertawa. "Terus?""Iya, apa kek," rajuk Hayati. Laki-laki di seberang kembali tertawa. "Kamu tau, aku selalu menunggu ceritamu, meski kamu tidak mau mendengarkan saranku.""Kamu tau, aku sangat mencintainya. Aku lebih dulu mengenal Sanad dari Kaayat. Meski hanya mendapatkan jasadnya, inilah kesempatanku."Terdengar helaan panjang dari seberang sana. "Terserah lah." "Maaf. Aku serakah, Gilang. Dulu aku pikir dengan mendapatkan jasadnya, aku cukup bahagia. Ternyata tidak, aku menginginkan lebih. Aku menginginkan hatinya.""Dan sampai sekarang kau belum mendapatkannya," tukas Gilang."Aku akan mendapatkannya." "Selalu begitu. Kamu selalu mengeluh, tapi pada akhirnya tetap dengan pendirianmu." "Menurutmu bagaimana lagi, supaya aku me

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-12
  • Bahagia Setelah Terusir   Melindungi (2)

    Meski Evan terlihat tenang, Tera tidak bisa membuang kekhawatirannya. Sesekali ia melirik laki-laki itu yang sudah duduk di kursi pengemudi.***“Ya?”  Sanad setelah menyentuh ikon panggilan berwarna hijau, tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen. “Tuan benar!” Seketika Sanad tersentak. “Mereka sekarang di mana?”“Mereka bersama saya,” jawab Keane.“Bawa mereka ke sini!” perintah Sanad. “Baik, Tuan!”*** “Tuan menyuruh saya membawa kalian ke kantornya,” ucap Keane setelah mematikan panggilannya. Sesaat Tera dan Evan saling bersitatap. Tera menatap cemas, tetapi Evan tersenyum lebar. “Yakin dia anak buah Papamu?” Tera tidak bisa membuang kecemasannya. Sekali lagi Evan mengangguk. Tera memeluk badan mungil Evan. “Ya sudah! Sepertinya kamu sangat menyukainya? Kenapa?”

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-12

Bab terbaru

  • Bahagia Setelah Terusir   Teratai Dan Danau Bangkau

    "Kamu pakai parfum apa?" tanya Sanad. "Parfum yang kamu kasih." "Aku suka wanginya." Sanad tergoda membaui aroma lembut di leher Tera. Tera merasakan bulu romanya merinding. Kehangatan napas Sanad menimbulkan reaksi alamiah yang membuat Sanad semakin bersemangat."San, hati-hati, kamu tidak bisa mandi lo." Tera mengingatkan.Tera menghempaskan napasnya. Ia segera bangkit, dan menurunkan kakinya ke lantai. "Aku pingin lihat Evan. Kok nggak ada suaranya." Tangan Sanad menyambar pinggangnya. "Tadi dia sama Lilac.""Aku pingin lihat, khawatir badannya bentol-bentol."Sanad menarik bahunya hingga terbaring. Seketika tubuhnya terkunci oleh sebelah tangan kekar."Tadi aku sudah minta Lilac agar mengolesi kulitnya dengan lotion anti nyamuk." Sanad meletakkan bibirnya di leher Tera. "San, kamu berani berendam di tengah malam? Bukan mandi di kolam rumah lo.""Kita mandi bersama.""San …." Mendadak bibirnya terkunci oleh

  • Bahagia Setelah Terusir   Ending (Season 1)

    "Benarkah? Janji?!""Iya …."*** Kamar Tera kini dihiasi layaknya kamar pengantin. Ada sedikit berbeda di kamar Tera dibanding kamar pengantin umumnya. Di zaman sekarang, pengantin lebih banyak menggunakan ranjang modern tipe divan bed, sedang Tera memilih tipe ranjang kelambu. Ranjang yang memiliki kanopi supaya bisa dipasang kelambu. Dulu orang Bangkau banyak memakai tipe ini, mengingat kampung mereka banyak nyamuk. Perlahan ranjang kelambu kekurangan peminatnya, karena ranjang divan bed setiap masa desainnya semakin modern dan untuk menghiasi kamar pun semakin banyak kreasinya. Soal nyamuk, itu nanti dipikirkan, yang penting terlebih dahulu menikmati sebagai sepasang raja ratu, meski hanya sehari.Berbeda dengan Tera, mengingat Sanad bukanlah orang Bangkau, tentu nyamuk bukanlah perkara bisa dianggap enteng. Pertama kali yang dipikirkannya bagaimana supaya suaminya bisa tidur dengan nyaman tanpa adanya gangguan nyamuk. Menggunakan obat nyamuk sepanjang malam bukanlah pilihan ya

  • Bahagia Setelah Terusir   Ending (Season 1)

    "Cil." Tera ikutan menangis. "Kenapa ngungkit itu, kan jadi nangis." Ia mengusap wajahnya kasar.Kembang mengambilkan tisu, lalu meletakkan di tengah-tengah."Terima lah dia. Dilihat kesungguhannya ingin beli Teratai Kedua, terlihat dia sangat ingin membahagiakanmu. Masalah perbedaan, asal sama-sama mau berusaha dan terbuka, seiring waktu kalian akan bisa saling mengimbangi.""Cil." Tera meletakkan wajahnya di pangkuan Acil Nurul. Tangisnya makin menderu. Bastiah dan Kembang ikut mengusap wajahnya. Air mata Acil Nurul tak henti-hentinya mengalir. Sebelah tangannya membelai rambut Tera. "Doa Acil akan selalu menyertaimu."***Hari lamaran tiba. Mengingat Bastiah sering menyebut perbedaan, Sanad mengantisipasi dengan hanya melibatkan keluarga dari pihak ibunya yang berada di Baruh Kambang. Secara kelas social mereka tidak terlalu berbeda. Ditambah Muallim Ibrahim, keluarga Tera yang tinggal di Baruh Kambang mem

  • Bahagia Setelah Terusir   Menuju Ending (2)

    “Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Malam ini aku akan ke sini.”“Jangan!” jawab Tera cepat. "Kenapa?" "Kamu lihatlah, bagaimana mereka," bisik Tera sambil mengerling ke arah kumpulan tetangga. "Tapi masih banyak yang harus kita bicarakan.""Kita bisa bicara lewat telepon kan?""Iya, sih. Tapi ….""Ayo lah …."Akhirnya mau tak mau, Sanad harus mau menuruti Tera. Benar saja, begitu mobil Sanad menjauh, ibu-ibu di kumpulan itu langsung memberondongnya. Mereka mengikuti Tera sampai ke dalam rumah. "Bagaimana keadaanmu, Tera? Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang," ucap salah seorang ibu yang muka cemongnya dengan pupur basah. "Aku nggak menyangka lo, Tera. Kamu kemarin sudah kayak mayat," imbuh seorang perempuan muda. "Oh iya, laki-laki tadi menyelamatkanmu kemarin kan? Dia siapa? Jangan katakan dia langganan kerupukmu!""Mulai," batin Tera. Bastiah datang membawa

  • Bahagia Setelah Terusir   Menuju Ending

    "Jangan khawatir. Aku hanya butuh akuisisi. Produksinya tetap mereka yang tangani, kamu hanya bertanggungjawab bagian pengembangan." Tera menghela napasnya. "Tapi … apa aku bisa? Teratai Produksi yang sempat jaya bertahun-tahun, sekarang kolaps padahal ditangani seorang sarjana. Rudi cerita produksi Teratai Kedua juga mengalami kemunduran, apa aku bisa membangkitkannya, padahal kamu telah mengeluarkan banyak biaya." "Kamu pasti bisa. Kamu dengarkan Mama sudah menawarkan tempat untukmu, tinggal produksi saja lagi dengan kualitas sebaik mungkin." "Aku takut mengecewakan."Sanad meraih bahu Tera. "Aku percaya kamu pasti bisa.""Coba saja, Tera. Nanti aku langsung akan cek barangnya, aku tidak akan segan menolak, kalau memang itu tidak layak bertengger di minimarket kami."Tera mengangguk. "Terima kasih, Bu.""Semangatlah." Sanad mendekatkan wajahnya ke telinga Tera. "Ini kesempatanmu membuktikan diri kalau kamu layak jadi istri Sanad."Tera berdecak. Fatima tersenyum penuh arti. Tapi

  • Bahagia Setelah Terusir   Orang Kota dan Orang Kampung

    "Belum apa-apa sudah nyusur. Tera, kamu dan dia jauh banget. Dia orang kota, kita orang kampung. Orang kampung masih polos. Bagaimana kamu bisa hidup sebebas dia? Belum jadi istri sudah berani cium. Kamu juga, diam aja dicium," gerutu Bastiah. Elang tertawa. "Siapa bilang orang kampung itu masih polos? Sekarang informasi mudah diakses, jadi hal semacam itu bukan lagi hal tabu. Ibu saja yang tidak memperhatikan perubahan zaman.""Pokoknya aku tak suka dengan orang kota. Mereka nggak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kita.""Sudahlah, Bu. Kenapa sih selalu maunya punya Ibu yang dijalankan?" sanggah Elang."Bukan begitu. Orang tua itu sudah banyak makan asam garam," sahut Bastiah. "Aku tau. Tapi Kak Tera juga sudah dewasa. Apa yang terjadi nanti, tentu dia sudah siap menghadapinya. Yang merepotkan, jika Ibu bersikukuh dengan pendapat Ibu, tiba-tiba nanti dia mengalami hal buruk, maka beban yang dirasakan Kak Tera akan terasa lebih be

  • Bahagia Setelah Terusir   Orang Kota dan Orang Kampung

    "Dia Elang, adikku. Yang masih kuliah di Bjb." Tera mengenalkan.  "Evan ingat tidak?"Evan mengangguk. "Om Elang." "Pintar!" Tera mengeratkan pelukannya.Kedua lelaki itu saling berjabat tangan dan mengenalkan diri. "Akhirnya aku bisa bertemu dengan Anda," ucap Elang nada membuat Tera mengernyit. Mata tajamnya menatap penuh selidik. "Elang, apaan sih kamu?" tegur Tera. "Tidak apa. Aku hanya ingin memastikan orang yang dekat dengan kakakku itu orang baik. Aku tidak ingin kejadian dulu terulang lagi," sahut Elang sambil mengerling ke arah Arbain. "Ngomong apa kamu, Lang?" sela Bastiah. "Oh iya, Nak Sanad. Ini agak kasar, tapi Ibu minta kamu jangan terlalu dekat dengan Teratai. Teratai telah bertunangan dan kamu juga telah beristri. Sebagai seorang ibu, tentu aku tidak ingin putriku jadi perusak rumah tangga orang lain.""Ibu ngomong apa sih?" seru Teratai. Ia mengerling ke arah Evan. Sanad mendekati

  • Bahagia Setelah Terusir   Bimbang (2)

    Tera membuka mulut, tetapi menutup kembali. Tidak memungkinkan ia membela diri di saat sama-sama emosi. Selain itu, ia tidak tahu betul bagaimana hubungan Sanad dengan Hayati. Sanad belum bercerita kalau sudah bercerai dengan Hayati. "Terserah Ibu lah," ucapnya akhirnya, lalu menutup diri. Dalam selimut ia masih saja mendengar wejangan Bastiah. "Tera, aku tahu perlakuan laki-laki itu sangat baik padamu, tapi jangan jadi perusak rumah tangga orang. Selain itu, sebesar apa pun ia mencintaimu, kalian dari kasta yang berbeda. Aku sudah dengar dari Arbain. Dia putra bosnya yang memiliki banyak minimarket. Dari segi keturunan, mereka juga dari kaum bangsawan, bergelar Gusti."Tera tercenung. Ia masih belum berani berharap pada Sanad. Namun membayangkan perbedaan yang sangat jauh membuat nyalinya ciut. Bahkan berbanding dengan Evan saja dia masih ketinggalan jauh. Antara langit dan bumi. Ia sering menemani Evan ke berbagai acara keluarga, rata-rata mereka baik dan ramah, tapi itu dulu h

  • Bahagia Setelah Terusir   Bimbang

    "San, aku ingin bicara denganmu. Ada waktu?" tanya Rudi.Sanad mengerutkan keningnya. Sesaat ia menoleh ke arah Tera. Gadis itu terlihat cemas. Ia juga menoleh ke Bastiah."Asal tidak sekarang, kapan?""Nanti kasih kabar, jika kamu punya waktu."***Sepeninggalan Sanad, Bastiah membuka kulkas. Sesaat matanya membesar. Melihat kulkas yang terisi penuh. Mulai roti, buah, cake, susu cair, yogurt, teh botol dan air mineral. "Kalian mau jualan?" ejek Bastiah. Tera menengok sebentar, tapi lalu kembali berpaling. Bahkan menoleh pun masih terasa sakit.Rudi duduk berhadapan dengan Tera yang sedang menyuap buburnya. "Bubur sumsumnya tidak dimakan?" tanya Rudi."Habiskan ini dulu. Sayang, sudah terlanjur. Itu kan masih belum bergerak, nggak papa disimpan lama." Rudi terkekeh. Tera memang selalu begitu, penuh dengan pertimbangan. Tidak bisa kah di saat sakit seperti ini mengutamakan rasa

DMCA.com Protection Status