"Kalau sudah, kita pulang sekarang," ucap Hayati.
Evan mengulurkan tangannya. Tera tertawa kecil. Ia menyambut uluran tangan kecil itu, lalu turun dari ranjang. ***Tera ternganga, rumah mewah modern kini di depan matanya. Halaman luas, hamparan rumput dengan potongan sangat rapi, tanaman di sana sini, dan tersedia kursi taman. Tidak pernah terbayangkan, kalau suatu saat ia akan menginjakkan kaki ke rumah semewah ini. Terlihat orang berlalu-lalang. Dari pakaiannya, Tera menerka mereka itu pembantu di rumah ini.“Inilah, rumah sederhana kami. Buatlah dirimu nyaman. Anggaplah rumah sendiri,” ujar Fatima. Rumah sederhana? Ternyata setiap orang berbeda nilai standar. Baginya ini terlalu mewah, seperti mimpi. Namun bagi Fatima dibilang sederhana?Tera mengangguk sedikit. “Iya, terima kasih, Bu.”“Setiap kerjaan sudah ada petugasnya, jadi kamu jangan sibukkan dirimu. Tugasmu hanya menjaga Evan,” intruski Fatima.“Inggih, Bu,” sahut Tera dengan wajah menunduk. “Kalau begitu, aku antar ke kamarmu.” Belum melangkah, Evan menariknya. “Evan, biarkan Mama ke kamarnya dulu,” seru Fatima. Evan menggeleng. Ia menarik lengan Tera. Tera menurut saja, hingga sampai ke sebuah kamar dengan dominan merah. Dari dekorasi di dinding mobil merah, rak gantung, lemari, kursi dan meja belajar, rak buku, nakas, bahkan ranjang sprei dengan motif si mobil merah, Mcqueen.“Ini kamar Evan?” tanya Tera, meski ia tahu, itu pasti milik Evan.Evan mengangguk. Ia mengambil pulpen dan note warna warni yang selalu tersedia dalam tas selempangnya. Ia menulis sesuatu, lalu menyerahkan pada Tera. “Mama tidur di sini?” baca Tera.Fatima yang sejak tadi mengikuti mereka terkejut. “Ranjangmu terlalu kecil untuk berdua, Evan.” Evan menggeleng. Ia menarik Tera hingga terduduk di ujung ranjang. Tera bertanya ke Fatima dengan isyarat.“Kalau kamu tidak keberatan, saya sih tidak masalah,” jawab Fatima. Evan tersenyum cerah. Deretan gigi halusnya, selalu menggoda Tera hendak mencubit.“Baiklah kalau begitu. Saya tidur di sini.” Evan meloncat kegirangan. Ia berdiri lalu memeluk Tera. Tidak peduli dengan wajah Tera yang selalu kebingungan. Fatima menatapnya haru. “Kalau begitu, kita ke pasar sekarang saja. Beli buat keperluanmu,” ucap Fatima.“Tapi saya tidak mempunyai uang, Bu,” sahut Tera.“Jangan pikirkan itu. Kamu bersiap-siaplah!”Evan turun dari ranjang, lalu menarik tangan Tera. *** "Ini semua bukumu, Van?" tanya Tera. Tera berbalik karena tidak mendapat respon Evan. "Van?"Evan masih bergeming. Tera mengerutkan kening. "Ooh," pekik Tera sambil menepuk dahinya. Ia mendekati Evan yang di ujung ranjang. "Jadi kamu biasa dipanggil Evan ya?"Evan mengangguk. Tera berdecak. Ia menatap rak buku milik Evan yang hanya membaca beberapa sampul buku sudah membuatnya pening. "Kaku sekali," batinnya.Ia menjongkok di depan Evan. "Mulai sekarang Mama akan memanggil nama singkatanmu Van."Evan bergeming Tera naik, duduk di sisi Evan. "Dengar, ini khusus Mama. Tidak ada yang boleh memanggil Van selain Mama! Iya?"Evan tersenyum, lalu mengangguk."Pinter." Tera segera menghadiahinya dengan ciuman. Sebuah ketukan, lalu muncul Asih dari balik pintu. “Saatnya makan.”***Sudah ada Fatima, Sanad dan Hayati saat Tera membawa Evan ke meja makan. Tera menarik sebuah kursi yang didekati Evan.“Evan bisa makan sendiri 'kan? Mama mau ke dapur dulu,” ucap Tera sambil memasangkan celemek untuk Evan yang sudah tersedia di meja. Evan menarik lengan Tera. Sesaat Tera menatap Fatima yang juga menatapnya. Fatima mengangguk. Hampir saja ia duduk, andai saja tidak melihat wajah datar Sanad. Ia mengelus rambut Evan.“Van, dengarlah. Setiap orang sudah punya tempatnya masing-masing. Evan di sini, Mama bersama-sama Tante Asih dan lainnya,” ucapnya lembut. Evan menggeleng. “Evan, anak patuh. Patuhlah sama Mama,” bujuk Tera. Ia menjauh tanpa menunggu reaksi Evan.“MA!” panggil Evan dengan setengah menangis. Tera berbalik. Hunjaman mata Sanad membuatnya kembali berpaling. “Ma!” Evan kali ini mendekat, lalu memegang kain baju Tera.“Tera!” panggil Sanad, lalu menyuruhnya duduk dengan gerakan dagu.Tera mencebik. “Apa susahnya ngomong,” gerutu Tera, tetapi seketika mengatupkan bibirnya begitu melihat tatapan tajam Sanad. Tiba-tiba di meja, Tera kebingungan caranya makan? Ia bisa menebak bagaimana cara makan mereka, dari sinetron yang ia lihat di televisi. Masalahnya ia tidak pernah latihan. “Buatlah dirimu nyaman, Tera,” seru Fatima setelah melihatnya kebingungan. Tera hanya mengangguk dengan wajah meringis. “Oh, iya. Aku punya sesuatu buat Mama.” Sanad meletakkan sendok garpunya ke atas piring. Ia mengeluarkan dua bungkus kerupuk dari kantong kertas. Sebungkus dalam kemasan plastik biasa, sedang satunya kemasan standing pouch. “Ini kesukaan Mama kan?” Tera tersentak melihat warna putih dengan merah di tepinya pada kemasan itu. Sanad tersenyum sinis. Ujung retinanya menangkap keterkejutan Tera. “Sepertinya iya. Namanya juga sama. Tapi, beda kemasan ya?” Fatima membanding dua kemasan di tangannya.“Iya. Dari nama dan produksinya sama, hanya beda kemasan. Produk ini sudah masuk ke minimarket kita beberapa hari yang lalu.”Mata Tera membulat. Ia mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak bereaksi.“Woah, bagus tuh, kalau sudah masuk ke minimarket. Dijamin laris. Rasanya enak, gurih dan renyah,” ucap Fatima sambil membuka kemasan standing pouch.“Dicoba dulu, baru berkomentar,” sergah Sanad. “Mama sering memakan ini,” sahut Fatima sambil menyuap sepotong kerupuk. Tiba-tiba keningnya mengerut. “Kok seperti beda, ya? Sanad mengangguk. “Orang bilang juga gitu. Coba Mama coba yang satunya itu.”Fatima menyobek kemasan yang satunya lagi, lalu menyuapnya. “Nah kalau ini, memang iya,” ujar Fatima sambil mengangguk-ngangguk. Ia kembali menyuap kerupuk itu. “Mama suka banget kerupuk ini.” Tera termangu. Tiba-tiba ia rindu dengan Teratai Produksi beserta karyawannya.“Tapi kenapa beda rasanya ya? Padahal kemasannya sudah bagus.” Suara Hayati menembus lamunan Tera.Sesaat Sanad memperhatikan air muka Tera yang berubah mendung. “Entahlah! Karyawan bilang, Supplier ke minimarket memang beda dengan orang-orang yang mengedarkan ke pasaran,” sahut Sanad. “Maksudmu ini tiruan?” tanya Fatima.Sanad hanya menjawab dengan kedikkan bahu, lalu menyuap makanannya. “Sudah,” seru Evan. Tera sedikit linglung. “Oh, iya.” Ia mengambil teko berisi air. Sesaat semua mata di sana menatapnya, karena gelas milik Evan masih penuh.Maaf,” ucapnya dengan wajah menunduk Sanad mengeluarkan selembar kartu, lalu meletakkan ke arah Tera. “Ini untuk keperluan Evan.” Tera memerhatikan kartu itu. Tiba-tiba ia teringat barang-barang yang ingin dibeli untuk Evan. “Untuk Evan? Selama untuk Evan, saya bebas menggunakannya?” tanya Tera.Sanad mengangguk. “Tapi itu memengaruhi penilaian kinerjamu. Jangan sampai belum genap seminggu kamu sudah dipecat.” Tera terkesiap. Fatima menggelengkan kepalanya.“Kalau begitu kami permisi dulu.”Fatima mengangguk lembut. “Haruskah kamu berkata begitu?!” Pertanyaan Fatima masih terdengar di telinga Tera. Sanad tidak terdengar menyahut.“Pembantu memang harus begitu, Ma. Kadang mereka bisa melonjak, jika dibiarkan.” Hayati bersuara. “Pembantu?!” protes Fatima. “Iya, terus apa dong? Dia kan memang pembantu. Sama saja dengan Asih dan lainnya,” sahut Hayati. “Tapi, dia merawat Evan. Aku tidak suka orang yang merawat cucuku disebut pembantu,” tukas Fatima. “Pengasuh, baby sister.”“Tetap saja kan orang upahan?”Sanad berdiri. “Aku sudah.”*** Di Bangkau.Bastiah bersandar di dinding dengan menjulurkan kaki. Kembang memijat kaki ibunya. Sudah berapa hari Bastiah sakit-sakitan. “Kembang, apa tidak ada kabar dari Tera?” Kedua matanya kembali mengalir. “Ibu masih mau cari dia? Suami adiknya masih mau diembat? Itu kurang ajar banget, Bu!” debat Kembang. “Sejahat-jahatnya dia, dia masih kakakmu. Ingatlah, kita hidup sampai sekarang karena dia.”“Tetap saja. Apa ibu mau, aku menderita gara-gara dia.” Spontan Kembang berdiri karena emosi. “Siapa yang ingin membuatmu menderita? Kita bisa mengingatkan dia? Kembang, dia tulang punggung kita. Kita masih memerlukan biaya untuk Elang dan Lilac. Kamu mau membiayai mereka? Dari mana? Gajimu? Kamu pasti ingat, sampai sekarang kita belum mendapatkan resep aslinya.”“Ibu tidak percaya pada kemampuanku?! Bu, aku dan Mas Arbain sarjana, Ibu masih tidak percaya pada kami? Oke, aku memang belum bisa membuat kerupuk seenak punya Tera, tapi dengan masuknya produk kita ke minimarket dan tersebar-sebar di mana, apa Ibu masih meragukannya?""Kembang!"“Mas, MAS,” teriak Kembang.Arbain keluar dengan tergopoh-gopoh dari kamarnya. “Iya, Dek?”“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”“Jelaskan pada Ibu, bagaimana sekarang perkembangan kerupuk kita,” perintah Kembang.“Oh itu. Jangan khawatir, Bu. Sore tadi aku sudah lihat di beberapa minimarket. Terlihat rak-raknya sudah mulai kosong, Bu. Saya prediksikan, minggu depan kita bisa memproduksi lebih banyak lagi.”*** Sanad melepaskan kaca matanya, lalu meletakkan buku yang dibacanya ke atas nakas, ketika Hayati baru keluar dari kamar mandi. “Mau ke mana?” tanya Hayati.“Mau bacakan dongeng buat Evan.”“Bukannya sekarang ada Tera?! Jika Evan mau dibacakan dongeng, dia akan minta bacakan pada Tera,” sahut Hayati sambil mengusap rambutnya yang basah. “Aku tak percaya perempuan itu,” tukas Sanad, lalu hilang di balik pintu.Hayati hanya bisa menghela napas. Ia menoleh ke arah ponsel yang menyala. Bibirnya langsung tersungging senyum begitu melihat pemilik pesan itu.***Tera tersentak dengan kemunculan Sanad di kamar. Ia mengelus dadanya yang terasa ingin meledak akibat debarannya.“Ke depannya, kamu harus mengetuk pi
“Tadi katanya mau masuk ke kamar Evan, terus datang marah-marah. Siapa yang bikin kamu begini? Tera?”“Sudahlah. Malas ngomongin perempuan itu.” Sanad naik ke atas ranjang, lalu memasukkan kakinya ke dalam selimut dan berbaring.Hayati merebahkan kepalanya di bahu Sanad. Laki-laki itu langsung menyambutnya tanpa suara. Hayati ikut terdiam. Sanad memang selalu menyambut sikapnya, tetapi ia tahu hanyalah sentuhan kosong. Hati laki-laki itu tidak pernah untuknya.*** Sambil membelai rambut Hayati, Sanad memejamkan mata. Namun, pikirannya masih tertinggal di kamar Evan. Mata nyalang, tetapi berair masih melekat di benaknya. Ia memang sengaja mengucapkan hal itu untuk melihat reaksi Tera. Namun, mengapa reaksi itu di luar dugaannya.'Kenapa harus marah? Bukankah ia pernah melakukan itu?'*** “Mama tidak mengerti, ke
Hari Minggu pagi, Evan bermain lempar bola dengan Tera. Evan sudah mandi dan mengenakan baju santainya. Tiba-tiba pandangan Evan tertuju pada Pak Agus, seorang pekerja khusus merawat halaman dan tanaman.“Evan?” Tera menatap Evan heran yang tidak lagi melempar bola di tangannya. Ia mengikuti tatapan Evan. Terlihat Pak Agus sedang mengaduk tanah. Tak jauh dari situ ada beberapa buah pot tanaman.“Evan mau mencoba itu?” pancing Tera.Evan menoleh ke belakang, lalu mengangguk. Tera tersenyum lebar. Dari gelagat, Tera tahu kalau bocah itu tidak diizinkan main kotor. Namun, ia memilih pura-pura tidak tahu. “Ayo!” Tera mengulurkan tangan, Evan menyambutnya, lalu ia membawa ke tempat Pak Agus yang lagi asik memasukkan tanah ke adalam pot. Tak jauh dari situ sebatang mawar yang sudah tinggi tergeletak di tanah.“Tanahnya mau diganti, Pak?”“Iya, Dik. Sudah lama, diganti lagi d
Ia masuk ke rumah, lalu ke dapur. Di sana Asih sedang sibuk merapikan sayuran di sebuah kulkas khusus sayur. Ini salah satu yang tidak bisa dimengerti Tera, mengapa mereka memiliki banyak kulkas. Ia paham, supaya tidak tercampur baunya. Namun, bukankah Asih hampir selang hari ke pasar? Mereka cukup membeli sekadarnya, hingga bau tidak sampai saling bertukar. Untuk apa stok banyak kalau sering ke pasar? “Sudahlah! Bodo amat!” Tera membatin. “Sih, Ibu sudah datang?” tanya Tera. “Belum,” jawab Asih. Ia mengambil beberapa biji tomat lalu memasukkan ke sebuah toples persegi yang Tera prediksikan untuk besok pagi.“Kamu sudah lama bekerja di sini?” tanyanya sambil duduk di kursi. “Baru dua tahun.” Asih duduk di kursi yang satunya. Mengelilingi meja yang biasa mereka gunakan untuk mempersiapkan bahan makanan.“Kamu tahu bagaimana perlakuan Tuan ke Evan?”
Hanya perlu beberapa detik, panggilan Hayati langsung terjawab. Seakan yang dipanggil sedang menunggunya."Dia ke mana?" tanya di seberang setelah mendengar desah napasnya. "Ke rumah sakit, bawa anaknya.""Oh.""Oh?" protes Hayati. Laki-laki di seberang tertawa. "Terus?""Iya, apa kek," rajuk Hayati. Laki-laki di seberang kembali tertawa. "Kamu tau, aku selalu menunggu ceritamu, meski kamu tidak mau mendengarkan saranku.""Kamu tau, aku sangat mencintainya. Aku lebih dulu mengenal Sanad dari Kaayat. Meski hanya mendapatkan jasadnya, inilah kesempatanku."Terdengar helaan panjang dari seberang sana. "Terserah lah." "Maaf. Aku serakah, Gilang. Dulu aku pikir dengan mendapatkan jasadnya, aku cukup bahagia. Ternyata tidak, aku menginginkan lebih. Aku menginginkan hatinya.""Dan sampai sekarang kau belum mendapatkannya," tukas Gilang."Aku akan mendapatkannya." "Selalu begitu. Kamu selalu mengeluh, tapi pada akhirnya tetap dengan pendirianmu." "Menurutmu bagaimana lagi, supaya aku me
Meski Evan terlihat tenang, Tera tidak bisa membuang kekhawatirannya. Sesekali ia melirik laki-laki itu yang sudah duduk di kursi pengemudi.***“Ya?” Sanad setelah menyentuh ikon panggilan berwarna hijau, tanpa mengalihkan perhatiannya dari dokumen. “Tuan benar!” Seketika Sanad tersentak. “Mereka sekarang di mana?”“Mereka bersama saya,” jawab Keane.“Bawa mereka ke sini!” perintah Sanad. “Baik, Tuan!”*** “Tuan menyuruh saya membawa kalian ke kantornya,” ucap Keane setelah mematikan panggilannya. Sesaat Tera dan Evan saling bersitatap. Tera menatap cemas, tetapi Evan tersenyum lebar. “Yakin dia anak buah Papamu?” Tera tidak bisa membuang kecemasannya. Sekali lagi Evan mengangguk. Tera memeluk badan mungil Evan. “Ya sudah! Sepertinya kamu sangat menyukainya? Kenapa?”
“Nanti aku beritahu,” sahutnya Sanad tanpa menoleh. “Keane, kita harus pergi ke suatu tempat. Evan, sini!”***Tera terperangah, ketika mereka memasuki sebuah gedung bertuliskan Spa Health. 'Entah berapa tahun lagi aku harus beradaptasi dengan keluarga ini? Benarkan kataku, ketampanannya karena salon.'Tanpa sadar, Tera cekikikan sendirian, tetapi seketika berhenti ketika mendapatkan tatapan tajam dari Sanad. Ia mendehem. "Kamu ingin spa di sini?" Keane membelalak. “Kamu?”"Kenapa membawa kami? Coba kalau kami dibiarkan pulang, bisa istirahat. Ya 'kan, Van?" celoteh Tera, lalu beralih ke Evan meminta pembelaan. Evan hanya tersenyum. Ia menatap Tera dan ayahnya silih berganti "Kamu yang akan di-spa," jawab Sanad dengan wajah serius."APA?!" pekik Tera. "Yang benar saja. Ngapain aku ke sini?! Orang kaya bukan, istri orang kaya apalagi. Sudahl
"Permak?""Oh." Seketika Sanad tergagap. Tanpa sadar ia telah mengucapkan sesuatu. “Mengapa?” lirih Hayati sendu. Sanad menoleh. “Mengapa kamu masih saja tertutup padaku?”Sanad membuka mulutnya, tetapi keburu tertutup akibat ponsel di dalam saku jasanya bergetar. “Ya …. Paksa, kalau perlu seret.”Hayati mengerutkan keningnya, melihat geraham suaminya yang mengeras.*** “Namamu siapa tadi? Keane?” Dari penampilan, Tera tahu Keane lebih tua darinya. Sikap Keane dari awal yang terus memaksanya, membuatnya hilang rasa segan.“Gini, Keane! Untuk apa ke sini? Aku hanya seorang pembantu. Mau dipoles pakai porselen juga tetap pembantu. Tetap saja tempat ngumpulnya sama pembantu, makannya di emper atau pojokan. Rekreasinya paling mentok ke kebun. Ngapain coba habisin banyak uang? Mendingan kita sedekahkan uangnya?”Keane menghem
"Kamu pakai parfum apa?" tanya Sanad. "Parfum yang kamu kasih." "Aku suka wanginya." Sanad tergoda membaui aroma lembut di leher Tera. Tera merasakan bulu romanya merinding. Kehangatan napas Sanad menimbulkan reaksi alamiah yang membuat Sanad semakin bersemangat."San, hati-hati, kamu tidak bisa mandi lo." Tera mengingatkan.Tera menghempaskan napasnya. Ia segera bangkit, dan menurunkan kakinya ke lantai. "Aku pingin lihat Evan. Kok nggak ada suaranya." Tangan Sanad menyambar pinggangnya. "Tadi dia sama Lilac.""Aku pingin lihat, khawatir badannya bentol-bentol."Sanad menarik bahunya hingga terbaring. Seketika tubuhnya terkunci oleh sebelah tangan kekar."Tadi aku sudah minta Lilac agar mengolesi kulitnya dengan lotion anti nyamuk." Sanad meletakkan bibirnya di leher Tera. "San, kamu berani berendam di tengah malam? Bukan mandi di kolam rumah lo.""Kita mandi bersama.""San …." Mendadak bibirnya terkunci oleh
"Benarkah? Janji?!""Iya …."*** Kamar Tera kini dihiasi layaknya kamar pengantin. Ada sedikit berbeda di kamar Tera dibanding kamar pengantin umumnya. Di zaman sekarang, pengantin lebih banyak menggunakan ranjang modern tipe divan bed, sedang Tera memilih tipe ranjang kelambu. Ranjang yang memiliki kanopi supaya bisa dipasang kelambu. Dulu orang Bangkau banyak memakai tipe ini, mengingat kampung mereka banyak nyamuk. Perlahan ranjang kelambu kekurangan peminatnya, karena ranjang divan bed setiap masa desainnya semakin modern dan untuk menghiasi kamar pun semakin banyak kreasinya. Soal nyamuk, itu nanti dipikirkan, yang penting terlebih dahulu menikmati sebagai sepasang raja ratu, meski hanya sehari.Berbeda dengan Tera, mengingat Sanad bukanlah orang Bangkau, tentu nyamuk bukanlah perkara bisa dianggap enteng. Pertama kali yang dipikirkannya bagaimana supaya suaminya bisa tidur dengan nyaman tanpa adanya gangguan nyamuk. Menggunakan obat nyamuk sepanjang malam bukanlah pilihan ya
"Cil." Tera ikutan menangis. "Kenapa ngungkit itu, kan jadi nangis." Ia mengusap wajahnya kasar.Kembang mengambilkan tisu, lalu meletakkan di tengah-tengah."Terima lah dia. Dilihat kesungguhannya ingin beli Teratai Kedua, terlihat dia sangat ingin membahagiakanmu. Masalah perbedaan, asal sama-sama mau berusaha dan terbuka, seiring waktu kalian akan bisa saling mengimbangi.""Cil." Tera meletakkan wajahnya di pangkuan Acil Nurul. Tangisnya makin menderu. Bastiah dan Kembang ikut mengusap wajahnya. Air mata Acil Nurul tak henti-hentinya mengalir. Sebelah tangannya membelai rambut Tera. "Doa Acil akan selalu menyertaimu."***Hari lamaran tiba. Mengingat Bastiah sering menyebut perbedaan, Sanad mengantisipasi dengan hanya melibatkan keluarga dari pihak ibunya yang berada di Baruh Kambang. Secara kelas social mereka tidak terlalu berbeda. Ditambah Muallim Ibrahim, keluarga Tera yang tinggal di Baruh Kambang mem
“Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Malam ini aku akan ke sini.”“Jangan!” jawab Tera cepat. "Kenapa?" "Kamu lihatlah, bagaimana mereka," bisik Tera sambil mengerling ke arah kumpulan tetangga. "Tapi masih banyak yang harus kita bicarakan.""Kita bisa bicara lewat telepon kan?""Iya, sih. Tapi ….""Ayo lah …."Akhirnya mau tak mau, Sanad harus mau menuruti Tera. Benar saja, begitu mobil Sanad menjauh, ibu-ibu di kumpulan itu langsung memberondongnya. Mereka mengikuti Tera sampai ke dalam rumah. "Bagaimana keadaanmu, Tera? Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang," ucap salah seorang ibu yang muka cemongnya dengan pupur basah. "Aku nggak menyangka lo, Tera. Kamu kemarin sudah kayak mayat," imbuh seorang perempuan muda. "Oh iya, laki-laki tadi menyelamatkanmu kemarin kan? Dia siapa? Jangan katakan dia langganan kerupukmu!""Mulai," batin Tera. Bastiah datang membawa
"Jangan khawatir. Aku hanya butuh akuisisi. Produksinya tetap mereka yang tangani, kamu hanya bertanggungjawab bagian pengembangan." Tera menghela napasnya. "Tapi … apa aku bisa? Teratai Produksi yang sempat jaya bertahun-tahun, sekarang kolaps padahal ditangani seorang sarjana. Rudi cerita produksi Teratai Kedua juga mengalami kemunduran, apa aku bisa membangkitkannya, padahal kamu telah mengeluarkan banyak biaya." "Kamu pasti bisa. Kamu dengarkan Mama sudah menawarkan tempat untukmu, tinggal produksi saja lagi dengan kualitas sebaik mungkin." "Aku takut mengecewakan."Sanad meraih bahu Tera. "Aku percaya kamu pasti bisa.""Coba saja, Tera. Nanti aku langsung akan cek barangnya, aku tidak akan segan menolak, kalau memang itu tidak layak bertengger di minimarket kami."Tera mengangguk. "Terima kasih, Bu.""Semangatlah." Sanad mendekatkan wajahnya ke telinga Tera. "Ini kesempatanmu membuktikan diri kalau kamu layak jadi istri Sanad."Tera berdecak. Fatima tersenyum penuh arti. Tapi
"Belum apa-apa sudah nyusur. Tera, kamu dan dia jauh banget. Dia orang kota, kita orang kampung. Orang kampung masih polos. Bagaimana kamu bisa hidup sebebas dia? Belum jadi istri sudah berani cium. Kamu juga, diam aja dicium," gerutu Bastiah. Elang tertawa. "Siapa bilang orang kampung itu masih polos? Sekarang informasi mudah diakses, jadi hal semacam itu bukan lagi hal tabu. Ibu saja yang tidak memperhatikan perubahan zaman.""Pokoknya aku tak suka dengan orang kota. Mereka nggak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kita.""Sudahlah, Bu. Kenapa sih selalu maunya punya Ibu yang dijalankan?" sanggah Elang."Bukan begitu. Orang tua itu sudah banyak makan asam garam," sahut Bastiah. "Aku tau. Tapi Kak Tera juga sudah dewasa. Apa yang terjadi nanti, tentu dia sudah siap menghadapinya. Yang merepotkan, jika Ibu bersikukuh dengan pendapat Ibu, tiba-tiba nanti dia mengalami hal buruk, maka beban yang dirasakan Kak Tera akan terasa lebih be
"Dia Elang, adikku. Yang masih kuliah di Bjb." Tera mengenalkan. "Evan ingat tidak?"Evan mengangguk. "Om Elang." "Pintar!" Tera mengeratkan pelukannya.Kedua lelaki itu saling berjabat tangan dan mengenalkan diri. "Akhirnya aku bisa bertemu dengan Anda," ucap Elang nada membuat Tera mengernyit. Mata tajamnya menatap penuh selidik. "Elang, apaan sih kamu?" tegur Tera. "Tidak apa. Aku hanya ingin memastikan orang yang dekat dengan kakakku itu orang baik. Aku tidak ingin kejadian dulu terulang lagi," sahut Elang sambil mengerling ke arah Arbain. "Ngomong apa kamu, Lang?" sela Bastiah. "Oh iya, Nak Sanad. Ini agak kasar, tapi Ibu minta kamu jangan terlalu dekat dengan Teratai. Teratai telah bertunangan dan kamu juga telah beristri. Sebagai seorang ibu, tentu aku tidak ingin putriku jadi perusak rumah tangga orang lain.""Ibu ngomong apa sih?" seru Teratai. Ia mengerling ke arah Evan. Sanad mendekati
Tera membuka mulut, tetapi menutup kembali. Tidak memungkinkan ia membela diri di saat sama-sama emosi. Selain itu, ia tidak tahu betul bagaimana hubungan Sanad dengan Hayati. Sanad belum bercerita kalau sudah bercerai dengan Hayati. "Terserah Ibu lah," ucapnya akhirnya, lalu menutup diri. Dalam selimut ia masih saja mendengar wejangan Bastiah. "Tera, aku tahu perlakuan laki-laki itu sangat baik padamu, tapi jangan jadi perusak rumah tangga orang. Selain itu, sebesar apa pun ia mencintaimu, kalian dari kasta yang berbeda. Aku sudah dengar dari Arbain. Dia putra bosnya yang memiliki banyak minimarket. Dari segi keturunan, mereka juga dari kaum bangsawan, bergelar Gusti."Tera tercenung. Ia masih belum berani berharap pada Sanad. Namun membayangkan perbedaan yang sangat jauh membuat nyalinya ciut. Bahkan berbanding dengan Evan saja dia masih ketinggalan jauh. Antara langit dan bumi. Ia sering menemani Evan ke berbagai acara keluarga, rata-rata mereka baik dan ramah, tapi itu dulu h
"San, aku ingin bicara denganmu. Ada waktu?" tanya Rudi.Sanad mengerutkan keningnya. Sesaat ia menoleh ke arah Tera. Gadis itu terlihat cemas. Ia juga menoleh ke Bastiah."Asal tidak sekarang, kapan?""Nanti kasih kabar, jika kamu punya waktu."***Sepeninggalan Sanad, Bastiah membuka kulkas. Sesaat matanya membesar. Melihat kulkas yang terisi penuh. Mulai roti, buah, cake, susu cair, yogurt, teh botol dan air mineral. "Kalian mau jualan?" ejek Bastiah. Tera menengok sebentar, tapi lalu kembali berpaling. Bahkan menoleh pun masih terasa sakit.Rudi duduk berhadapan dengan Tera yang sedang menyuap buburnya. "Bubur sumsumnya tidak dimakan?" tanya Rudi."Habiskan ini dulu. Sayang, sudah terlanjur. Itu kan masih belum bergerak, nggak papa disimpan lama." Rudi terkekeh. Tera memang selalu begitu, penuh dengan pertimbangan. Tidak bisa kah di saat sakit seperti ini mengutamakan rasa