Bahkan sampai detik di jam dinding terus berlalu, tak ada sahutan dari siapa pun atas ucapan Danu yang sejatinya sedang mencari simpati."Baiklah, sepertinya memang aku harus pergi dari sini. Mungkin aku bukan orang yang layak mendapat gelar sebagai seorang anak, hanya karena keberadaan perempuan ini." Danu menatap Mita penuh emosi. Semua masih diam. Tak terkecuali Selena yang saat ini berekspresi penuh kebencian demi menatap istri pertama suaminya. "Kamu boleh saja mengurus surat perceraian, Mita. Tapi, kamu tentu tahu tak akan ada perceraian jika tak ada ikrar talak yang aku ucapkan sebagai seorang suami. Lantas, bagaimana status kamu nanti jika kata cerai saja masih belum kamu genggam?" ucap Danu dengan tatapan sinis. Namun, bukan kekalahan yang Mita rasakan. Mungkin ia bisa kaget mendengar ucapan Danu yang mengancam tak akan membuatnya sah bercerai. Tapi, ada kartu AS yang Danu belum tahu, dan itu akan memudahkan jalan baginya untuk secepatnya berpisah dari lelaki itu. "Aku ti
Dua hari setelah pulang ke rumah pasca keguguran yang Mita alami, kini ia sudah terlihat lebih sehat. Kemarin Ranti sempat menjenguknya setelah pulang dari butik. Disusul hari ini Yola yang juga menyempatkan datang sekalian memberi kabar jika Nina sudah kembali sehat. "Tumben sekali Nina menanyakan kabar Mbak Mita. Padahal sudah lama ia lupa setelah Mas Amar meminta bocah itu untuk tidak menanyakan kabar Mbak lagi.""Kenapa Mas Amar harus begitu? Aku bingung sama pemikirannya. Apakah ia tidak berpikir mungkin saja kemarin Nina sakit juga karena mikirin aku, Yola.""Aku udah berkali-kali bilang, Mbak. Tapi, Mas Amar enggak mau dengerin aku," sahut Yola terlihat kesal. Keduanya berbincang di taman samping sembari menikmati cemilan sore hari yang ibu Mita buatkan. "Yang aku pikirin juga sama dengan yang apa Mbak Mita bilang barusan. Sempat aku sampein hal itu ke Mas Amar. Ya ... tapi lagi-lagi Mas Amar enggak peduli dengan apa yang aku bilang."Mita menggeleng lemah. Tak pernah ia men
"Kamu dari mana?" Amar bertanya pada Yola saat gadis itu pulang hampir menjelang makan malam."Aku 'kan udah bilang sama Mas, mau jenguk Mbak Mita.""Tapi kamu bilang 'kan cuma sebentar." Amar terlihat tak suka. "Ya ampun, Mas. Yang penting 'kan aku udah pulang. Aku juga enggak kemana-mana kok selain ngobrol di rumah Mbak Mita." Yola sudah akan berbalik ketika sang kakak kembali memanggilnya. "Yola!"Gadis itu urung menaiki tangga. "Apa lagi, Mas?""Mas belum selesai. Jangan bersikap seolah tidak punya sopan santun terhadap Mas.""Ih, Mas Amar ini kenapa sih? Sensitif banget hari ini." Yola terlihat becanda ketika menyahut omongan sang kakak. "Aku 'kan udah bilang aku enggak kemana-mana, sesuai izin yang aku minta ke Mas. Terus apa lagi?""Iya, tapi Mas belum selesai bicara."Akhirnya Yola memilih untuk duduk di sebuah sofa tunggal di mana biasanya sang kakak duduk di sana. Tak lama Amar pun ikut duduk di dekatnya. "Gimana kabar Mita?""Baik.""Apa dia nanyain Mas, eh ... maksud M
Mita sudah duduk di salah satu ruangan pengadilan bersama ibu dan bapaknya. Hari itu jadwal pertama persidangan atas gugatan perceraian yang ia layangkan kepada Danu. Lelaki itu sudah dua pekan lalu mendapat surat pemanggilan dari pengadilan agama. Agenda pertama adalah mediasi. Namun, seperti ucapannya kepada sang ibu, ia tak akan pernah hadir dalam setiap jadwal persidangannya. Hari itu juga tidak tampak batang hidungnya meski waktu mediasi sudah akan dimulai. "Sepertinya Danu tak akan datang, Bu.""Bukankah itu lebih baik, jadinya persidangan ini akan cepat selesai."Mita hanya mengangkat bahunya, pasrah. Entah apakah dengan tidak hadirnya Danu akan memuluskan niatnya yang ingin berpisah. Terdengar notifikasi pesan masuk ke ponsel Mita. Sebuah pesan masuk dari Danu segera Mita baca. 'Apakah kamu berpikir akan terbebas dengan begitu mudah? Tak akan pernah!'Pesan tersebut berisi ancaman, tapi Mita malah tertawa menanggapi pesan yang suaminya kirim itu. "Ada apa?" Tiba-tiba ibun
"Silakan diminum!" ucap Mita pada tamu-tamu istimewanya siang itu. Yola yang datang dengan Nina plus diantar oleh kakaknya —Amar, terlihat mengangguk lalu mengambil gelas berisi jus jeruk yang tampak menggoda di depannya. Diikuti Nina yang terlihat senang melihat minumannya sendiri yang ia pesan, yaitu jus alpukat. Sedangkan lelaki satu-satunya yang ada di ruangan itu, hanya diam dan tersenyum sebagai gerakan menghormati tawaran sang tuan rumah.Sejak kedatangannya Amar memang lebih banyak diam, membuat Mita sempat tak enak hati karena merasa ada yang disembunyikan oleh lelaki itu, entah apa. Tapi beruntung ada Nina, bocah perempuan yang sudah lama ia rindukan itu bisa membuat suasana menjadi lebih ceria dan mampu mencairkan obrolan. "Nina dari sekolah, Tante.""Kok siang sekali pulangnya?" Mita menjawab perkataan Nina. "Iya, tadi ayah jemputnya lama. Jadi, Nina baru keluar setelah teman-teman Nina pulang.""Wah, kasihan! Terus Nina sama siapa nunggunya?" Kali ini giliran ibu Mita
"Lusa aku akan menikahi Selena!" Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?""Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?""Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi."Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mi
Pukul delapan Danu turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Mita sendiri sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya sejak ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. "Pagi ini aku akan pergi," ucap Danu setelah duduk di bangku ruang makan.Penampilannya memang tampak rapi dan selalu tampan. Tak bisa dipungkiri, wajah Danu sudah membuat Mita jatuh hati karenanya. "Kemana, Mas?"Lelaki itu sedikit menoleh, memandang istrinya. "Bertemu Selena untuk mengecek persiapan esok." Tanpa perasaan bersalah, Danu secara jujur bicara mengenai rencana pernikahannya dengan Selena yang akan digelar besok minggu. 'Ya Tuhan, kuatkanlah hamba!' batin Mita merespon jawaban suaminya itu. Laki-laki itu kini terlihat menyantap makanan yang istrinya sudah siapkan dalam suasana lapar dan kelahapan yang nyata terlihat. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Suasana hening di ruangan itu hanya didominasi tangan-tangan yang beradu dengan peralatan makan di atas meja, baik milik Danu ataupun Mita
Danu belum pulang ketika Mita kembali dari butiknya di waktu sore menjelang maghrib tiba. Padahal, wanita itu sengaja berlama-lama tinggal di butik demi menghindari pertemuan dengan suaminya yang pasti datang dengan wajah ceria sebab akan menggelar pernikahannya besok dengan Selena, mantan kekasihnya itu. Akhirnya Mita pun memilih untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak sempat istirahat, ia langsung menyiapkan makan malam seperti biasanya.Wanita itu tahu meskipun Danu mampu membeli makanan di restoran, suaminya itu tetap akan pulang ke rumah untuk memakan masakan yang ia siapkan. Alhasil, meski rasa nyeri di hatinya masih begitu terasa demi mendengar keputusan sang suami yang akan menikah lagi, Mita tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik.Masakan sudah terhidang di atas meja ketika Danu pulang tepat di jam delapan malam. Mita baru saja selesai salat Isya ketika suaminya datang dengan ekspresi wajah yang sudah Mita tebak sebelumnya. Bahagia dan begitu c
"Silakan diminum!" ucap Mita pada tamu-tamu istimewanya siang itu. Yola yang datang dengan Nina plus diantar oleh kakaknya —Amar, terlihat mengangguk lalu mengambil gelas berisi jus jeruk yang tampak menggoda di depannya. Diikuti Nina yang terlihat senang melihat minumannya sendiri yang ia pesan, yaitu jus alpukat. Sedangkan lelaki satu-satunya yang ada di ruangan itu, hanya diam dan tersenyum sebagai gerakan menghormati tawaran sang tuan rumah.Sejak kedatangannya Amar memang lebih banyak diam, membuat Mita sempat tak enak hati karena merasa ada yang disembunyikan oleh lelaki itu, entah apa. Tapi beruntung ada Nina, bocah perempuan yang sudah lama ia rindukan itu bisa membuat suasana menjadi lebih ceria dan mampu mencairkan obrolan. "Nina dari sekolah, Tante.""Kok siang sekali pulangnya?" Mita menjawab perkataan Nina. "Iya, tadi ayah jemputnya lama. Jadi, Nina baru keluar setelah teman-teman Nina pulang.""Wah, kasihan! Terus Nina sama siapa nunggunya?" Kali ini giliran ibu Mita
Mita sudah duduk di salah satu ruangan pengadilan bersama ibu dan bapaknya. Hari itu jadwal pertama persidangan atas gugatan perceraian yang ia layangkan kepada Danu. Lelaki itu sudah dua pekan lalu mendapat surat pemanggilan dari pengadilan agama. Agenda pertama adalah mediasi. Namun, seperti ucapannya kepada sang ibu, ia tak akan pernah hadir dalam setiap jadwal persidangannya. Hari itu juga tidak tampak batang hidungnya meski waktu mediasi sudah akan dimulai. "Sepertinya Danu tak akan datang, Bu.""Bukankah itu lebih baik, jadinya persidangan ini akan cepat selesai."Mita hanya mengangkat bahunya, pasrah. Entah apakah dengan tidak hadirnya Danu akan memuluskan niatnya yang ingin berpisah. Terdengar notifikasi pesan masuk ke ponsel Mita. Sebuah pesan masuk dari Danu segera Mita baca. 'Apakah kamu berpikir akan terbebas dengan begitu mudah? Tak akan pernah!'Pesan tersebut berisi ancaman, tapi Mita malah tertawa menanggapi pesan yang suaminya kirim itu. "Ada apa?" Tiba-tiba ibun
"Kamu dari mana?" Amar bertanya pada Yola saat gadis itu pulang hampir menjelang makan malam."Aku 'kan udah bilang sama Mas, mau jenguk Mbak Mita.""Tapi kamu bilang 'kan cuma sebentar." Amar terlihat tak suka. "Ya ampun, Mas. Yang penting 'kan aku udah pulang. Aku juga enggak kemana-mana kok selain ngobrol di rumah Mbak Mita." Yola sudah akan berbalik ketika sang kakak kembali memanggilnya. "Yola!"Gadis itu urung menaiki tangga. "Apa lagi, Mas?""Mas belum selesai. Jangan bersikap seolah tidak punya sopan santun terhadap Mas.""Ih, Mas Amar ini kenapa sih? Sensitif banget hari ini." Yola terlihat becanda ketika menyahut omongan sang kakak. "Aku 'kan udah bilang aku enggak kemana-mana, sesuai izin yang aku minta ke Mas. Terus apa lagi?""Iya, tapi Mas belum selesai bicara."Akhirnya Yola memilih untuk duduk di sebuah sofa tunggal di mana biasanya sang kakak duduk di sana. Tak lama Amar pun ikut duduk di dekatnya. "Gimana kabar Mita?""Baik.""Apa dia nanyain Mas, eh ... maksud M
Dua hari setelah pulang ke rumah pasca keguguran yang Mita alami, kini ia sudah terlihat lebih sehat. Kemarin Ranti sempat menjenguknya setelah pulang dari butik. Disusul hari ini Yola yang juga menyempatkan datang sekalian memberi kabar jika Nina sudah kembali sehat. "Tumben sekali Nina menanyakan kabar Mbak Mita. Padahal sudah lama ia lupa setelah Mas Amar meminta bocah itu untuk tidak menanyakan kabar Mbak lagi.""Kenapa Mas Amar harus begitu? Aku bingung sama pemikirannya. Apakah ia tidak berpikir mungkin saja kemarin Nina sakit juga karena mikirin aku, Yola.""Aku udah berkali-kali bilang, Mbak. Tapi, Mas Amar enggak mau dengerin aku," sahut Yola terlihat kesal. Keduanya berbincang di taman samping sembari menikmati cemilan sore hari yang ibu Mita buatkan. "Yang aku pikirin juga sama dengan yang apa Mbak Mita bilang barusan. Sempat aku sampein hal itu ke Mas Amar. Ya ... tapi lagi-lagi Mas Amar enggak peduli dengan apa yang aku bilang."Mita menggeleng lemah. Tak pernah ia men
Bahkan sampai detik di jam dinding terus berlalu, tak ada sahutan dari siapa pun atas ucapan Danu yang sejatinya sedang mencari simpati."Baiklah, sepertinya memang aku harus pergi dari sini. Mungkin aku bukan orang yang layak mendapat gelar sebagai seorang anak, hanya karena keberadaan perempuan ini." Danu menatap Mita penuh emosi. Semua masih diam. Tak terkecuali Selena yang saat ini berekspresi penuh kebencian demi menatap istri pertama suaminya. "Kamu boleh saja mengurus surat perceraian, Mita. Tapi, kamu tentu tahu tak akan ada perceraian jika tak ada ikrar talak yang aku ucapkan sebagai seorang suami. Lantas, bagaimana status kamu nanti jika kata cerai saja masih belum kamu genggam?" ucap Danu dengan tatapan sinis. Namun, bukan kekalahan yang Mita rasakan. Mungkin ia bisa kaget mendengar ucapan Danu yang mengancam tak akan membuatnya sah bercerai. Tapi, ada kartu AS yang Danu belum tahu, dan itu akan memudahkan jalan baginya untuk secepatnya berpisah dari lelaki itu. "Aku ti
Kedua orang tua Mita sampai tak bisa lagi berkata-kata. Memiliki menantu seperti Danu yang mereka harapkan bisa menjadi suami yang baik bagi sang putri, nyatanya meleset jauh. Danu bukan laki-laki yang baik setelah apa yang ia lakukan kepada Mita, putri tinggal keluarga Sasmita. "Kalau kamu memang tidak mau mengakui anak yang putriku kandung, seharusnya kamu tidak membunuhnya?" Geram suara bapak Mita dengan ekspresi pilu yang terlihat jelas. "Aku tidak membunuhnya, Pak." Danu menyahut cepat. "Bukan kamu, tapi wanita itu yang melakukannya karena tidak mau ada anak lain di keluarga ini selain anaknya. Jadi, apa bedanya, Mas?""Apa yang kamu katakan, Mita? Anak? Anak siapa yang kamu maksud?" Ibu Danu terlihat begitu frustrasi. Mita menatap sang mertua khawatir di tengah kelelahan yang hatinya rasakan. "Keinginan kalian mendapatkan cucu dari Mas Danu akan segera terwujud. Tapi, sayangnya bukan berasal dari rahimku, Yah, Bu."Tak bisa dibayangkan saat ini. Kedua mertua Mita sudah bisa
Danu tampak salah tingkah. Clue yang Mita berikan sudah langsung bisa ditebak oleh sang ibu. "A-aku tidak begitu. Maksud aku ... maksud aku apa yang Mita katakan tidak sepenuhnya benar." Danu gagap ketika berbicara. "Perkataan aku yang mana, Mas? Aku cuma bilang nama Selena. Tak ada kalimat apapun lagi selain ucapan Ibu yang langsung mengambil kesimpulan.""Ya, maksud aku itu. Selena.""Jadi, Selena salah begitu?""Bukan Selena salah, tapi ...." Danu benar-benar dibuat tak bisa bicara. Bukan hanya karena tatapan marah Mita saja yang ia lihat, tapi kedua mertuanya juga yang memang sejak awal mereka datang sudah menampilkan gelagat lain, membuat Danu kebingungan dalam memilih kata. "Mita, katakan saja ada apa?" Giliran ayah mertua Mita yang angkat bicara. Ia tampak geram dengan pembahasan yang membuatnya suasana hatinya mulai tak enak. Mita tersenyum menanggapi permintaan sang mertua. Terlebih ketika ia melihat kode yang Danu berikan kepadanya supaya ia tidak mengatakan apapun, ia
Di sepanjang makan malam, ibu dan bapak Mita menatap Danu dengan tatapan tak bersahabat. Kedua orang tua Mita seperti baru saja melihat seorang pencuri yang masuk ke rumah. Ingin menghajar dan menghakimi. Entah apa yang mereka tengah lakukan kepada sang menantu, yang pasti sudah membuat Danu bersikap canggung hingga tak berselera ketika makan masakan sang ibu. "Mita, makan yang banyak." Di tengah makan ibu Danu berbicara pada menantunya. Mita terlihat tersenyum dan hanya mengangguk lemah. "Perut aku kecil, Bu. Enggak akan muat banyak makanannya," kekeh Mita. "Ya, tapi setidaknya enggak sedikit gitu. Ini 'kan lauk kesukaan kamu." Sembari berkata, sang ibu mertua mengambil sepotong lauk ayam yang dibumbu kecap. "Udah, Ibu. Nanti malah enggak kemakan. Sayang, mubazir."Mita terlihat enggan. Bukan tak suka, tapi kondisinya masih belum berselera untuk makan. "Ada Danu, biar dia yang habiskan kalau enggak kemakan." Mendengar sang ibu bicara demikian, Danu hanya nyengir kuda. Tak bera
"Kamu ini bicara apa, Mita? Sejak tadi pertanyaan kamu ini terdengar aneh."Ibu mertua Mita tampak curiga. Kekhawatiran akan rasa kehilangan Mita terhadap buah hati yang dikandungnya, membuat wanita itu menjadi iba karenanya. "Mita, cerita sama Ibu kalau kamu merasa sedang tidak baik-baik saja."Meski mendapat perhatian luar biasa dari sang mertua, nyatanya Mita merasa jika hatinya tak lagi bisa bertahan lebih jauh. "Bu, aku mau istirahat. Boleh 'kan?"Tak menanggapi kekhawatiran ibu mertuanya, Mita memilih mengabaikan dan berpikir jika saat ini lebih baik dirinya menata hati dan pikiran sebelum ia membuat kejutan di hadapan banyak orang. "Tentu saja. Kamu memang seharusnya banyak beristirahat," ucap ibunya Danu seolah lupa dengan apa yang sebelumnya ia khawatirkan. "Ayo! Ibu antar.""Eh, enggak usah, Bu. Aku bisa sendiri." Mita menolak halus. Ia jelas tidak ingin ibu mertuanya tahu kebohongan yang selama ini ia dan Danu sembunyikan. Namun, wanita paruh baya itu tetap bergeming.