BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Da, Ida …," panggilku sambil mengetuk pintu berkali-kali. Pagi-pagi buta aku sudah menyambangi kontrakannya. Tidak berapa lama Ida pun membuka pintu, wajahnya masih terlihat ngantuk. "Astaga, Mas Heru. Ngapain pagi begini sudah ke sini. Aku juga belum mandi, baru bangun tidur.""Boleh aku masuk dulu. Ngga enak kalau dilihatin orang." Aku celingak celinguk mengamati sekitar kontrakan Ida. "Cepetan!"Aku pun segera memasukkan barang-barangku.Semalam terpaksa aku tidur di pos ronda tak jauh dari kontrakan Ida, karena bingung mesti ke mana. "Da, aku nitip mandi, ya.""Hem … malah repot sendiri 'kan sekarang. Harusnya Mas Heru tidak usah pakai acara pergi dari rumah segala. Mestinya badut itu yang keluar. Sekarang dia malah enak-enakkan tinggal di rumah kamu.""Ngga pa-pa, Da. Ini juga untuk sementara saja. Besok setelah Ning melahirkan, aku akan ceraikan dia. Dan rumah itu akan aku minta." Terpaksa berbohong, padahal rumah tersebut memang mi
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSebenarnya aku malu harus meladeni kekonyolanmu itu, Mas. Tapi ucapan demi ucapan yang kamu lontarkan selalu menyakitkan. Memberi sedikit pelajaran memang harus aku lakukan. "Cepat kamu ambil kunci motorku!" Mas Heru menarik kasar baju badutku dari belakang. Untung saja aku bisa mengimbangi badan sehingga tidak terjengkang."Jangan kasar sama perempuan, apalagi dia sedang hamil," balas Bu Wati yang tiba-tiba datang mem*k*l keras kepala Mas Heru."Tidak usah ikut campur perempuan tua. Ini urusanku dengan badut g*la itu," ucap Mas Heru seraya menunjukku.PLAKKKPLAKKKDua tamparan keras membuat pipi Mas Heru seketika memerah. "Badut gil*? Lagi-lagi kamu mengucapkan kata-kata itu. Bukannya kamu yang tidak w*ras? Aku, yang kamu sebut g*la tak lain Ibu dari darah dagingmu." Mas Heru memegang pipinya dengan wajah penuh amarah. "Aku tidak yakin itu anakku, bisa saja 'kan selama ini kamu juga memiliki selingkuhan. Aku 'kan jarang di rumah.
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Ngga usah bicara apapun, Mas. Urus sendiri, tuh, motor kamu." Ida meremas kesal tangannya, dia terlihat sangat marah. "Da, kamu mau ninggalin Mas sendirian di sini? Ini kuncinya belum bisa diambil." Aku berusaha mengejar langkah Ida yang hendak menyeberang."Aku 'kan sudah bilang, urus sendiri. Lagian kamu itu benar-benar kurang kerjaan, ya, Mas. Nyari makan siang saja sampai ke sini. Aku yakin, kamu memang sengaja pengen ketemu si badut g*la itu."Niatku memang ingin memberi pelajaran pada Ning, tapi aku tidak menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Bahkan Ning berani sekali men*njokku sampai memar seperti ini. "Oke, Mas minta maaf. Tapi bantuin Mas ngambil kuncinya, ya. Biar kita bisa cepat balik ke pabrik.""Apa?" ucap Ida dengan mata melotot. "Maksudnya aku mesti turun ke selokan dan ngambil kuncinya? Begitu?""Tepat, kamu memang perempuan cerdas. Mas belum bilang saja, kamu sudah tahu. Tolong, ya." Aku menangkupkan kedua tangan, mem
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGDari tadi menunggu Bu Wati, tapi beliau tidak balik-balik. Akhirnya aku pun berusaha mencari ke kamar mandi seperti pamitnya. Kakiku terhenti ketika melihat Bu Wati dan pria yang mengejarnya seperti sedang berdebat. Pria tersebut berkali-kali memegang tangan Bu Wati, tapi dengan cepat pula Bu Wati selalu menarik tangannya kembali. Takut terjadi apa-apa dengan Bu Wati, aku pun berjalan mendekati mereka. "Maaf, Bu. Ada apa ini?" tanyaku yang membuat mereka langsung terdiam. "Ning khawatir karena dari tadi Bu Wati tidak balik. Makanya saya mencari Ibu," terangku."Tidak ada apa-apa, Ning. Ibu baik-baik saja. Ayo kita balik ke tempat tadi," ajaknya."Tunggu! Tolong terima uang ini. Ibu jangan jadi badut lagi!" ucap pria tersebut sembari meraih tangan Bu Wati dan meletakkan sebuah amplop cokelat.Tiba-tiba Bu Wati meletakkan amplop tersebut di atas tanganku. "Uang ini untuk kamu saja, Ning. Buat modal usaha biar kamu tidak perlu panas-pa
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Siapa, sih, ini?" ucapku ketika ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal sampai sembilan kali. Saat bekerja, ponsel memang aku simpan dalam loker. Dan aku silent.Karena penasaran, aku pun menelepon balik nomor tersebut. "Hallo, selamat siang," jawabnya."Siang. Maaf, ini siapa, ya?" tanyaku."Oh, ini nomor yang tadi dihubungi sama Mbak Ning, ya?""Mbak Ning?" Ngapain Ning meneleponku segala? Jangan-jangan dia mau minta uang. Karena sudah lama tidak terlihat menjadi badut."Iya, Mbak Ning–pasien di sebelah kakak saya. Tadi dia pinjam ponsel saya, katanya untuk menghubungi suaminya.""Pasien? Memangnya Ning di rumah sakit?""Lho, ini suaminya bukan? Masa' iya istri melahirkan tidak tahu.""Sa-saya memang suaminya, tapi saya di luar kota. Jadi wajar 'kan kalau saya tidak tahu Ning melahirkan," jawabku sedikit emosi."Memangnya istrinya ngga dibeliin ponsel sama anda? Kasihan 'kan kalau ada hal penting seperti ini. Bagaimana dia mau ngabari?
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGAku terus berdoa ketika rasa sakit luar biasa mulai sering kurasakan. Mengatur napas, berusaha menikmati setiap proses menjelang kelahiran. Dadaku terasa sesak ketika menatap setiap calon ibu yang satu ruangan denganku menunggu pembukaan lengkap ditemani suami dan juga keluarganya. Mereka berusaha menenangkan ketika rasa sakit tak tertahankan datang. Ada yang teriak dan berkali-kali bilang tidak kuat. Ada juga yang reflek tiba-tiba mengejan. Suasana yang membuat hati ini pilu. Aku–di sini sendiri. Sesekali seorang perawat mendekat dan mengelus pinggangku ketika aku merintih sakit. Akhirnya hal yang kulakukan agar tetap kuat adalah memupus untuk tidak mengasihani diri sendiri. Karena saat ini aku harus menyiapkan mental, berjuang demi buah hati yang sebentar lagi akan hadir ke dunia. Untaian doa tak hentinya kupanjatkan pada Rabb'ku. "Aku ikhlas atas jalan hidup ini ya Allah," ucapku dengan air mata yang menetes dengan sendirinya.
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKURasanya benar-benar hampa. Sudah dua minggu ini Ida marah padaku. Dia memintaku untuk tidak menemuinya dulu sebelum aku dan Ning resmi bercerai. Ida merasa tidak nyaman dengan sebutan pelakor yang ditujukan padanya.Semua karena mulut ember teman-teman pabrik. Memangnya mereka tahu apa soal rumah tanggaku dengan Ning. Bisa-bisanya nyebut Ida sebagai pelakor. —-------------Diam-diam aku datang ke kontrakan Ida. Rasa rinduku sudah tak terbendung lagi. Dia benar-benar cuek saat bertemu di tempat kerja. Di telepon, di chat tidak ada respon sama sekali. Aku memesan bucket bunga mawar yang tengahnya aku sisipkan kotak perhiasan berisi kalung beserta liontin. Semoga saja usahaku ini bisa meluluhkan hatinya."Ida, Ida, tunggu dulu. Mas kangen banget sama kamu," terangku dengan menahan pintu saat dia mau menutup kembali ketika melihat aku datang. "Aku 'kan sudah bilang sama Mas Heru, jangan temui aku kalau belum resmi bercerai. Aku malu, Mas. Teman
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGTangisan Fathan mengalihkan pandanganku pada Mas Heru yang baru saja pergi. Aku segera membalikkan badan untuk masuk kembali. Baru saja langkah ini sampai di ambang pintu, terdengar suara klakson yang membuatku menoleh ke halaman.Mobil Bu Wati?"Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam, Bu.""Ibu, sendiri?" Aku memastikan dengan menatap ke arah mobil."Iya, Ibu nyetir sendiri. Itu Fathan nangis, Ning.""Astaghfirullah. Mari, Bu, masuk!"Aku segera mengambil Fathan dari kamar dan menggendongnya."Aduh, cucu Nenek. Ning, Ibu gendong Fathan, ya."Aku pun memberikan Fathan pada Bu Wati. Fathan terlihat nyaman di gendongan beliau. Dia sangat anteng."Tadi Ibu seperti meli-hat ….""Mas Heru?" sambungku sebelum Bu Wati meneruskan ucapannya. "Iya, Bu. Dia memang dari sini.""Alhamdulillah, akhirnya ingat juga dengan kalian.""Dia datang ke sini hanya untuk membicarakan soal perceraian, Bu. Bahkan masuk dan melihat Fathan saja tidak."Bu Wati me
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUFull PartBerkali-kali aku mengamati sebuah undangan cantik berwarna cokelat yang terpampang sebuah foto, tertera nama Ningrum Anniyah dan Ilham Ramadhan. Ning memberikan langsung undangan tersebut saat aku datang menemui Fathan. "Mas, jika berkenan, aku harap kamu datang di acara pernikahanku. Aku juga minta doanya semoga lancar sampai hari H." Ucapan tersebut terus terngiang di telinga. Perempuan yang dulu kupilih menjadi pendamping dan telah kuceraikan, kini sudah ada pria lain yang meminang.—------------Mondar-mandir dengan perasaan tak menentu. Hari ini hari pernikahan Ning dengan Pak Ilham. Aku bingung, harus datang atau tidak. Bukan tidak suka Ning menikah lagi, aku bahagia untuk itu. Tapi … entah kenapa, aku justru teringat kembali dengan pernikahan kami. Apa ini rasa penyesalan karena telah meninggalkan dia? Atau sebenarnya rasa yang dulu pernah ada tumbuh kembali? Tidak … itu tidak boleh terjadi. Sekarang Ning sudah menemukan pr
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSetelah ada kesepakatan, akhirnya kedua belah pihak keluarga memutuskan kalau pernikahanku dengan Mas Ilham akan dilaksanakan lebih dulu satu bulan dari pernikahan Faiz dan Raras. Aku juga sudah bicara pada keluarga kalau menginginkan pernikahan sederhana saja, sama seperti waktu lamaran. Selain ini pernikahan kedua untuk aku dan Mas Ilham. Aku juga menjaga perasaan pihak keluarga mama'nya Fahira yang masih sangat berhubungan baik dengan keluarga Mas Ilham, bahkan mereka juga begitu baik padaku. Faiz dan Raras pun tidak keberatan sama sekali kalau kami mendahului mereka. Bahkan mereka sangat antusias sekali menyambut rencana pernikahanku dengan Mas Ilham yang akan dilaksanakan dua bulan lagi.Di acara pernikahan nanti, aku ingin kedua orang tua Mas Heru datang. Pun dengan Mas Heru sendiri. —------------"Kamu mau menikah, Ning?" jawab emaknya Mas Heru ketika aku memberitahu soal pernikahan dan meminta doa restu melalui sambungan te
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUFathan … seketika kehadiranmu telah merubah ayah. Memberikan kebahagiaan yang selama ini belum pernah ayah rasakan. Rasa bersalahku semakin tak terbendung, ketika, Ning, perempuan yang sudah aku sia-siakan sama sekali tidak menyimpan dendam, dia telah memaafkan'ku. —-----------Terlihat ada keributan tak jauh dari toko pakaian tempat aku membelikan setelan baju untuk Fathan. Aku pun sedikit mendekat untuk memastikan ada apa."Dasar ulat bulu. Sudah tahu suami orang, masih saja kamu dekati." Terdengar ucapan dari seorang perempuan sambil menjambak rambut perempuan di depannya. "Jangan, Mbak, kasihan. Nanti rambutnya rontok," ucap pria yang mencoba menghalangi. Aku masih belum melihat dengan jelas. "Kasihan? Kamu kasihan sama pelakor ini. Sedangkan kamu tidak kasihan dengan istri yang sedang hamil besar di rumah." Suaranya begitu lantang dengan ucapan yang sangat jelas Aku semakin mendekat jadi satu dengan orang-orang yang berkerumun.Kedua
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGMas Heru … bukannya aku tidak ingin kamu mendekati Fathan. Sebenarnya perasaanku lega kalau hatimu benar-benar sudah terbuka. Karena memang yang aku harapkan selama ini.Tetapi … sepertinya aku masih butuh waktu mengizinkan Fathan untuk mengenalmu sebagai ayahnya, selama masih ada kebimbangan dalam diri kamu. —-------------Hari ini adalah hari di mana aku akan memberi jawaban pada Mas Ilham. Genap satu bulan aku meminta waktu untuk berpikir matang-matang dan memohon petunjuk pada Allah sebelum akhirnya mengambil sebuah keputusan besar. Semua orang sudah kumpul di ruang tamu. Raras juga datang bersama Mas Ilham. Kini semua pandangan terarah padaku. Sepertinya mereka sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban yang akan aku sampaikan. "Bismillah, hari ini saya akan memberi jawaban atas niat Mas Ilham satu bulan lalu." Aku menghentikan ucapan yang membuat semua orang terlihat tegang. "Mas Ilham sudah tahu bagaimana masa lalu saya. Ma
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUKenapa sekarang aku lemah di depan Ning? Kenapa bibir ini tak mampu mengucap sebuah pembelaan seperti yang biasa aku lakukan setiap bertemu dengannya Mungkin memang sudah waktunya aku diam. Ya … akan aku dengar dan aku terima apapun yang ingin kamu katakan, Ning. Menatap Ning yang buru-buru pergi. Aku mengingat kembali atas ucapan yang pernah aku lontarkan padanya waktu dulu dia menjadi badut. Sebuah pekerjaan yang aku pandang sebelah mata, ternyata sekarang menjadi profesiku sehari-hari. —----------------Semakin hari rasa ingin bertemu dengan Fathan semakin kuat. Tersiksa. Hati ini merasa ada yang mengganjal ketika teringat anak tersebut.Apa dia memang darah dagingku? Kenapa wajah dan tatapannya saat foto bersama di taman waktu itu tidak bisa kulupakan. Terus membayangi pikiran.Haruskah aku memastikan pada Ning. Apa benar Fathan anakku?-Pulang menjadi badut, aku putuskan untuk datang ke rumah yang dulu pernah ngamen di sana, tempat
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGBibirku tak mampu berkata-kata. Bahkan napas ini terasa berhenti. Tertegun."I-Ibu tidak salah dengar 'kan? Kamu mau melamar Ning, Ham?" Bu Wati memperjelas ucapan yang baru saja dikatakan Mas Ilham. "Iya, Bu. Saya ingin melamar Ningrum–putri Ibu," terangnya. Aku berdiri hendak meninggalkan ruang tamu. Apa ini? Tiba-tiba Mas Ilham ingin melamarku, seakan-akan keputusan sangat besar hanya seperti candaan semata."Mbak Ning. Maaf, kalau niat saya ini tidak berkenan di hati, Mbak. Saya tidak akan memaksa." "Ning … duduklah!" titah Bu Wati.Rasanya berat untuk kembali menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Tapi aku tidak bisa menolak apa yang diperintahkan Bu Wati. "Kenapa Mas Ilham bisa semudah itu ingin melamar saya? Kita kenal sebatas kenal biasa. Tidak ada kedekatan lebih. Apalagi memiliki rasa. Apa Mas Ilham pikir, saya perempuan yang berhak dipermainkan?" "Demi Allah, saya serius. Saya tidak mempermainkan Mbak Ningrum."Aku menatap B
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Apa? Kamu mau mengundurkan diri. Padahal bekerja belum ada satu minggu," respon Pak Bagas ketika aku minta izin berhenti kerja. Rasanya tidak mungkin untuk tetap kerja di tempat yang pemiliknya saja ternyata sangat kenal baik dengan Ning. Bahkan anaknya Pak Ilham begitu lengket dengan mantan istriku itu. Kalau sampai Ning tahu aku kerja di restaurant ini sebagai cleaning servis, pasti dia akan mencemooh habis-habisan. "Saya mau pulang kampung dalam waktu yang belum bisa ditentukan, Pak.""Ya sudah, saya juga tidak bisa melarang kalau itu sudah menjadi keputusan kamu."—----------Baru juga dapat pekerjaan, tapi aku sudah harus berhenti. Hidupku seakan-akan selalu diikuti bayangan Ning. Selalu saja bertemu dia. Sekarang aku tidak tahu harus kerja apa. Sedangkan lamaran lainnya belum ada panggilan. Apa mesti ngamen lagi? Menghentikan motor dan memarkirkannya. Aku turun dan duduk di pinggir trotoar. Menatap setiap kendaraan yang lewat denga
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGMas Heru? Tidak. Mana mungkin dia ada di sini. Aku melihat sosok pria yang mirip sekali dengan Mas Heru. Tapi hanya sekilas melihatnya karena terhalang para tamu."Kamu lihatin siapa, Ning?" tanya Bu Wati yang menghampiri. "Mas Heru, Bu.""Heru. Heru mantan suami kamu maksudnya? Memangnya dia ada di sini?""Entahlah, Bu. Ning seperti melihat dia. Mungkin mirip saja kali, ya, Bu.""Ya sudah, kita langsung masuk, yuk.""Tante, ayo," ajak Fahira. Dari awal datang, dia langsung menyambutku dengan wajah sumringah. "Fahira, jangan ngerepotin Tante Ningrum, ya. Dia 'kan tamu," ucap Mas Ilham yang seketika membuat mata Fahira berkaca-kaca."Tidak apa-apa, Mas. Saya ke sini juga ingin bertemu sama Fahira kok. Ayo, Sayang." Aku mengajak Fahira masuk. Kami duduk satu meja dengan Bu Wati, Faiz dan juga Raras. -Setelah serangkaian acara, Akhirnya sampai juga di acara paling ditunggu-tunggu gunting pita dan potong tumpeng. Mas Ilham di dampin
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUMengenakan kemeja warna putih, celana dan sepatu warna hitam, aku berangkat menuju restaurant tempat aku melamar pekerjaan. Setelah tiga minggu, akhirnya mendapat panggilan.Sesampainya di restaurant, ternyata sudah ada beberapa pelamar lainnya yang menunggu untuk interview. Melihat mereka semua yang masih muda, tak menciutkan mentalku. Karena aku yakin pasti akan diterima. Setelah menunggu lumayan agak menjenuhkan, kini giliranku untuk interview."Apa, Pak, diterima sebagai cleaning servis atau busser? Saya 'kan melamar sebagai waiters," ucapku di tengah-tengah interview."Syarat sebagai waiters atau waitress, umur harus di bawah dua puluh lima tahun. Sedangkan mas'nya sudah dua puluh delapan tahun."Sialan, sudah dandan serapi mungkin hanya diterima sebagai cleaning servise. Padahal wajahku cukup tampan, sangat disayangkan hanya jadi tukang bersih-bersih "Bagaimana, mau diterima apa tidak? Karena masih banyak pelamar lain di luar."Kalau t