BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Mending kamu pindah kerja saja, Mas. Kalau kita masih satu tempat kerja seperti ini, yang ada akan menimbulkan masalah terus. Capek jadi olok-olokan teman pabrik," ucap Ida."Pindah kerja? Ngapain sampai segitunya, sih, Da. Cuekin saja omongan mereka yang ngga penting itu. Apalagi sekarang aku sudah resmi bercerai dengan Ning. Jadi masalahnya di mana kalau Mas deketin kamu?""Masalahnya, dari awal mereka sudah menganggap'ku sebagai perusak rumah tangga kamu dan badut itu. Kalau kamu pindah kerja, pasti mereka tidak akan membahas tentang kita lagi."Ada benarnya juga ucapan Ida. Sampai kapan pun mereka pasti akan membicarakan kami. Apalagi ada provokator si Eli dan gengnya itu."Terus, kapan badut itu keluar dari rumah kamu, Mas? Kenapa sampai sekarang kamu masih ngekost. Bukannya setelah resmi bercerai, dia akan kamu usir?""I-iya, Da. Pasti Mas akan usir Ning. Tapi sabar dulu, biar perempuan itu selesai masa iddahnya. Nanti Mas dikira suami
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Hebat, aku pikir kamu perempuan polos, ternyata licik sekali," ucap Mas Heru dengan kedua tangan mengepal. Aku yang dikagetkan dengan kedatangannya malam-malam masih bingung atas ucapannya tersebut. "Maksud kamu apa bicara seperti itu? Aku heran sama kamu, Mas. Hobby sekali datang ke sini dan marah-marah.""Tidak perlu berlagak bodoh! Kembalikan uang warisanku," teriak Mas Heru.Ternyata Mas Heru datang ke sini dan marah-marah karena uang yang diberikan orang tuanya padaku dan juga Fathan. Sudah aku duga dari awal, pasti akan menjadi masalahi. Tapi … kemarin bapak dan emak sudah mewanti-wanti agar uang tersebut tidak boleh diberikan pada Mas Heru. Bahkan mereka sampai bilang tidak ridho."Kenapa diam? Cepat kembalikan uangnya.""Tidak. Aku tidak akan memberikan uang tersebut padamu, Mas. Kalau memang harus aku kembalikan, akan aku kembalikan pada bapak dan emak."Uang masih tersimpan dengan rapi, selembar pun aku tidak menguranginy
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUSialan … sudah capek-capek pulang kampung, ngga dapat apa-apa. Mana aku sudah janji mau membelikan Ida gelang emas. Sebenarnya yang anaknya bapak dan emak itu siapa? Aku apa Ning? Kenapa orang tuaku sendiri justru sangat membela perempuan itu. Sampai-sampai uang penjualan tanah warisanku malah diberikan pada dia dan anak selingkuhannya. Memang br*ngsek perempuan itu. Hidupku selalu sial karena dia. Sudah ceraipun masih saja membuat hidupku susah. -"Apa, Mas? Kamu tidak jadi beliin aku gelang? Terus ngapain kemarin nanya aku pengen apa. Kamu sudah janji, pokoknya aku ngga mau tahu." Ida sangat marah.Wajar saja Ida kecewa, aku tidak bisa menyalahkan dia. Semua karena Ning, karena sudah mengambil uangku secara licik. "Iya, Da. Besok kalau sudah ada uangnya, pasti Mas beliin."Ida menatapku dengan kedua mata membulat dan tangan bersedekap. "Kalau tidak punya uang, ngapain kemarin bilang mau beliin aku gelang? Aku sudah terlanjur bilang sama t
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Ning, hari ini kamu ikut Ibu, ya. Toko biar ditunggu Mbak Tum sama Mbak Sri," terang Bu Wati menghampiri'ku ke kamar. Sudah dua minggu ini aku memang tinggal di rumah Bu Wati. Akhirnya aku tidak bisa menolak ajakan beliau untuk tinggal bersama. Bu Wati mengontrakkan aku sebuah toko yang tak jauh dari rumah beliau untuk jualan kue yang memang mulai banyak pelanggan dan juga pesanan setiap hari. Meski sudah pindah tempat, tapi pelanggan tetap setia datang.Tidak sampai di situ, Bu Wati juga merenovasi rumahku. Berusaha menolak kebaikan beliau pun percuma. Karena Bu Wati tidak akan berhenti sebelum aku mengangguk dan mengucap kata iya.Sebenarnya berat harus meninggalkan rumahku sendiri. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin dengan cara tinggal bersama Bu Wati, aku bisa membuka lembaran baru dan menutup masa lalu yang penuh luka hati di rumah itu. "Memangnya kita mau ke mana, Bu?""Mau ke butik langganan Ibu. Satu bulan lagi 'kan acara
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Da … tunggu! Mas bisa jelaskan." Aku berlari menyusul Ida yang begitu marah setelah mendengar ucapan Ning. Hal yang aku takutkan akhirnya benar-benar terjadi. Sekarang Ida tahu kalau aku tidak memiliki rumah. "Mana kunci motornya. Cepat berikan!" bentak Ida padaku. Dia berusaha mencari kunci motor dengan merogoh setiap saku yang ada di pakaianku."Ja-ngan ngikutin aku lagi. Paham."Ida langsung menghidupkan motor dan tancap gas meninggalkan aku sendiri di rumah Ning."Daa … terus Mas pulangnya bagaimana?" teriakku."Terserah …," jawab Ida tak kalah kencang suaranya. Aku hanya mampu mengusap kasar wajahku sendiri sembari menjambak rambut berulang kali. Ingin rasanya teriak sekeras mungkin untuk mengeluarkan rasa kesal yang sudah membendung. "Makanya, Mas. Jangan suka berbohong, cepat atau lambat pasti bakal terbongkar."Mendengar ucapan Ning yang sengaja meledekku, membuat emosi ini semakin memuncak.Aku menoleh ke arahnya. Menatap Ning ya
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Semakin hari, Ibu lihat kamu semakin tegar, Ning.""Memang harus seperti itu 'kan, Bu. Siapa lagi yang akan menguatkan hati kalau bukan diri sendiri."Meski sebenarnya ada rasa sakit yang sampai detik ini masih menancap di hati, soal Fathan. Mungkin aku bisa menahan rasa sakit atas perlakuan dan pengkhianatan Mas Heru. Tapi soal Fathan, tak bisa dipungkiri hatiku begitu teriris karena sampai sekarang, sekalipun Mas Heru belum pernah menanyakan darah dagingnya sendiri. Bahkan menatap pun enggan. —----------Bulan ini Bu Wati disibukkan dengan persiapan lamaran Faiz. Beliau mengajakku mencari seserahan yang akan dibawa untuk lamaran nanti. Sedangkan Faiz masih sibuk dengan pekerjaannya yang memang tidak bisa ditunda. "Rasanya Ibu bahagia sekali, Ning. Setelah ditinggal ayahnya Faiz, Ibu sangat kesepian. Tapi sekarang hari-hari Ibu berwarna lagi setelah ada kamu dan Fathan.""Ning juga bahagia, Bu. Sekarang punya keluarga baru. Apala
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUSemakin hari sikap Ida sangat menyebalkan. Sepertinya memang sengaja ingin membuatku panas dengan memamerkan kemesraan dengan Rudi–anak baru yang dipuja-puja para perempuan di pabrik ini. Cakepan juga aku ke mana-mana. Cuma modal motor sport saja sudah sok paling yes. "Bagus banget gelangnya, Beb. Aku suka." Terdengar suara Ida yang lewat persis di depanku."Perempuan matre," sahutku lantang.Ida berhenti, lalu menoleh ke arahku. "Tidak ada perempuan matre, yang ada pria kere dan pembohong kaya kamu, Mas," ucapnya sambil mengacungkan ibu jari ke bawah."Sekarang kamu 'kan sudah punya pacar baru yang katanyaa … kaya. Minta di beliin motor dong! Jangan bisanya merampas punyaku.""Siapa bilang aku merampas? Motor itu sebagai jaminan. Kalau mau ambil silahkan, tapi kasih uang lima belas juta dulu. Sebagai ganti rugi karena aku sudah kamu bohongi.""Mana bisa seperti itu.""Ter-se-rah …."—-----------Aku memutuskan untuk berhenti kerja. Rasanya
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NING"Tante …." Fahira lari mendekat dan memelukku ketika kami semua hendak pulang setelah acara lamaran selesai. Raras dan keluarganya yang mengantar kami ke depan, mereka menatapku dengan tatapan yang lagi-lagi aku tidak paham. Sama seperti pria yang menyebut dirinya papa pada Fahira.Sebenarnya ada apa ini? "Fa-Fahira mau bicara sama, Mbak Ning?" tanya Raras dengan mata berkaca-kaca."I-iya, Ras. Memangnya kenapa?" "Baru kali ini Fahira mau bicara lagi setelah ditinggal ibunya yang sudah tiada enam bulan lalu. Bahkan dia tidak mau dengan siapapun kecuali saya. Makanya tadi saya seakan tidak percaya waktu Mbak bilang Fahira memperkenalkan dirinya," sahut papanya Fahira. "Iya, Mbak Ning. Fahira itu keponakan Raras dan Mas Ilham ini adalah kakaknya Raras yang pertama," sambung Faiz."Terima kasih. Karena, Mbak, Fahira mau bicara lagi," ucap pria yang ternyata kakaknya Raras "Ta-tapi saya tidak melakukan apa-apa, Mas." "Kehadiranmu me
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUFull PartBerkali-kali aku mengamati sebuah undangan cantik berwarna cokelat yang terpampang sebuah foto, tertera nama Ningrum Anniyah dan Ilham Ramadhan. Ning memberikan langsung undangan tersebut saat aku datang menemui Fathan. "Mas, jika berkenan, aku harap kamu datang di acara pernikahanku. Aku juga minta doanya semoga lancar sampai hari H." Ucapan tersebut terus terngiang di telinga. Perempuan yang dulu kupilih menjadi pendamping dan telah kuceraikan, kini sudah ada pria lain yang meminang.—------------Mondar-mandir dengan perasaan tak menentu. Hari ini hari pernikahan Ning dengan Pak Ilham. Aku bingung, harus datang atau tidak. Bukan tidak suka Ning menikah lagi, aku bahagia untuk itu. Tapi … entah kenapa, aku justru teringat kembali dengan pernikahan kami. Apa ini rasa penyesalan karena telah meninggalkan dia? Atau sebenarnya rasa yang dulu pernah ada tumbuh kembali? Tidak … itu tidak boleh terjadi. Sekarang Ning sudah menemukan pr
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGSetelah ada kesepakatan, akhirnya kedua belah pihak keluarga memutuskan kalau pernikahanku dengan Mas Ilham akan dilaksanakan lebih dulu satu bulan dari pernikahan Faiz dan Raras. Aku juga sudah bicara pada keluarga kalau menginginkan pernikahan sederhana saja, sama seperti waktu lamaran. Selain ini pernikahan kedua untuk aku dan Mas Ilham. Aku juga menjaga perasaan pihak keluarga mama'nya Fahira yang masih sangat berhubungan baik dengan keluarga Mas Ilham, bahkan mereka juga begitu baik padaku. Faiz dan Raras pun tidak keberatan sama sekali kalau kami mendahului mereka. Bahkan mereka sangat antusias sekali menyambut rencana pernikahanku dengan Mas Ilham yang akan dilaksanakan dua bulan lagi.Di acara pernikahan nanti, aku ingin kedua orang tua Mas Heru datang. Pun dengan Mas Heru sendiri. —------------"Kamu mau menikah, Ning?" jawab emaknya Mas Heru ketika aku memberitahu soal pernikahan dan meminta doa restu melalui sambungan te
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUFathan … seketika kehadiranmu telah merubah ayah. Memberikan kebahagiaan yang selama ini belum pernah ayah rasakan. Rasa bersalahku semakin tak terbendung, ketika, Ning, perempuan yang sudah aku sia-siakan sama sekali tidak menyimpan dendam, dia telah memaafkan'ku. —-----------Terlihat ada keributan tak jauh dari toko pakaian tempat aku membelikan setelan baju untuk Fathan. Aku pun sedikit mendekat untuk memastikan ada apa."Dasar ulat bulu. Sudah tahu suami orang, masih saja kamu dekati." Terdengar ucapan dari seorang perempuan sambil menjambak rambut perempuan di depannya. "Jangan, Mbak, kasihan. Nanti rambutnya rontok," ucap pria yang mencoba menghalangi. Aku masih belum melihat dengan jelas. "Kasihan? Kamu kasihan sama pelakor ini. Sedangkan kamu tidak kasihan dengan istri yang sedang hamil besar di rumah." Suaranya begitu lantang dengan ucapan yang sangat jelas Aku semakin mendekat jadi satu dengan orang-orang yang berkerumun.Kedua
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGMas Heru … bukannya aku tidak ingin kamu mendekati Fathan. Sebenarnya perasaanku lega kalau hatimu benar-benar sudah terbuka. Karena memang yang aku harapkan selama ini.Tetapi … sepertinya aku masih butuh waktu mengizinkan Fathan untuk mengenalmu sebagai ayahnya, selama masih ada kebimbangan dalam diri kamu. —-------------Hari ini adalah hari di mana aku akan memberi jawaban pada Mas Ilham. Genap satu bulan aku meminta waktu untuk berpikir matang-matang dan memohon petunjuk pada Allah sebelum akhirnya mengambil sebuah keputusan besar. Semua orang sudah kumpul di ruang tamu. Raras juga datang bersama Mas Ilham. Kini semua pandangan terarah padaku. Sepertinya mereka sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban yang akan aku sampaikan. "Bismillah, hari ini saya akan memberi jawaban atas niat Mas Ilham satu bulan lalu." Aku menghentikan ucapan yang membuat semua orang terlihat tegang. "Mas Ilham sudah tahu bagaimana masa lalu saya. Ma
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUKenapa sekarang aku lemah di depan Ning? Kenapa bibir ini tak mampu mengucap sebuah pembelaan seperti yang biasa aku lakukan setiap bertemu dengannya Mungkin memang sudah waktunya aku diam. Ya … akan aku dengar dan aku terima apapun yang ingin kamu katakan, Ning. Menatap Ning yang buru-buru pergi. Aku mengingat kembali atas ucapan yang pernah aku lontarkan padanya waktu dulu dia menjadi badut. Sebuah pekerjaan yang aku pandang sebelah mata, ternyata sekarang menjadi profesiku sehari-hari. —----------------Semakin hari rasa ingin bertemu dengan Fathan semakin kuat. Tersiksa. Hati ini merasa ada yang mengganjal ketika teringat anak tersebut.Apa dia memang darah dagingku? Kenapa wajah dan tatapannya saat foto bersama di taman waktu itu tidak bisa kulupakan. Terus membayangi pikiran.Haruskah aku memastikan pada Ning. Apa benar Fathan anakku?-Pulang menjadi badut, aku putuskan untuk datang ke rumah yang dulu pernah ngamen di sana, tempat
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGBibirku tak mampu berkata-kata. Bahkan napas ini terasa berhenti. Tertegun."I-Ibu tidak salah dengar 'kan? Kamu mau melamar Ning, Ham?" Bu Wati memperjelas ucapan yang baru saja dikatakan Mas Ilham. "Iya, Bu. Saya ingin melamar Ningrum–putri Ibu," terangnya. Aku berdiri hendak meninggalkan ruang tamu. Apa ini? Tiba-tiba Mas Ilham ingin melamarku, seakan-akan keputusan sangat besar hanya seperti candaan semata."Mbak Ning. Maaf, kalau niat saya ini tidak berkenan di hati, Mbak. Saya tidak akan memaksa." "Ning … duduklah!" titah Bu Wati.Rasanya berat untuk kembali menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Tapi aku tidak bisa menolak apa yang diperintahkan Bu Wati. "Kenapa Mas Ilham bisa semudah itu ingin melamar saya? Kita kenal sebatas kenal biasa. Tidak ada kedekatan lebih. Apalagi memiliki rasa. Apa Mas Ilham pikir, saya perempuan yang berhak dipermainkan?" "Demi Allah, saya serius. Saya tidak mempermainkan Mbak Ningrum."Aku menatap B
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU"Apa? Kamu mau mengundurkan diri. Padahal bekerja belum ada satu minggu," respon Pak Bagas ketika aku minta izin berhenti kerja. Rasanya tidak mungkin untuk tetap kerja di tempat yang pemiliknya saja ternyata sangat kenal baik dengan Ning. Bahkan anaknya Pak Ilham begitu lengket dengan mantan istriku itu. Kalau sampai Ning tahu aku kerja di restaurant ini sebagai cleaning servis, pasti dia akan mencemooh habis-habisan. "Saya mau pulang kampung dalam waktu yang belum bisa ditentukan, Pak.""Ya sudah, saya juga tidak bisa melarang kalau itu sudah menjadi keputusan kamu."—----------Baru juga dapat pekerjaan, tapi aku sudah harus berhenti. Hidupku seakan-akan selalu diikuti bayangan Ning. Selalu saja bertemu dia. Sekarang aku tidak tahu harus kerja apa. Sedangkan lamaran lainnya belum ada panggilan. Apa mesti ngamen lagi? Menghentikan motor dan memarkirkannya. Aku turun dan duduk di pinggir trotoar. Menatap setiap kendaraan yang lewat denga
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUPOV NINGMas Heru? Tidak. Mana mungkin dia ada di sini. Aku melihat sosok pria yang mirip sekali dengan Mas Heru. Tapi hanya sekilas melihatnya karena terhalang para tamu."Kamu lihatin siapa, Ning?" tanya Bu Wati yang menghampiri. "Mas Heru, Bu.""Heru. Heru mantan suami kamu maksudnya? Memangnya dia ada di sini?""Entahlah, Bu. Ning seperti melihat dia. Mungkin mirip saja kali, ya, Bu.""Ya sudah, kita langsung masuk, yuk.""Tante, ayo," ajak Fahira. Dari awal datang, dia langsung menyambutku dengan wajah sumringah. "Fahira, jangan ngerepotin Tante Ningrum, ya. Dia 'kan tamu," ucap Mas Ilham yang seketika membuat mata Fahira berkaca-kaca."Tidak apa-apa, Mas. Saya ke sini juga ingin bertemu sama Fahira kok. Ayo, Sayang." Aku mengajak Fahira masuk. Kami duduk satu meja dengan Bu Wati, Faiz dan juga Raras. -Setelah serangkaian acara, Akhirnya sampai juga di acara paling ditunggu-tunggu gunting pita dan potong tumpeng. Mas Ilham di dampin
BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKUMengenakan kemeja warna putih, celana dan sepatu warna hitam, aku berangkat menuju restaurant tempat aku melamar pekerjaan. Setelah tiga minggu, akhirnya mendapat panggilan.Sesampainya di restaurant, ternyata sudah ada beberapa pelamar lainnya yang menunggu untuk interview. Melihat mereka semua yang masih muda, tak menciutkan mentalku. Karena aku yakin pasti akan diterima. Setelah menunggu lumayan agak menjenuhkan, kini giliranku untuk interview."Apa, Pak, diterima sebagai cleaning servis atau busser? Saya 'kan melamar sebagai waiters," ucapku di tengah-tengah interview."Syarat sebagai waiters atau waitress, umur harus di bawah dua puluh lima tahun. Sedangkan mas'nya sudah dua puluh delapan tahun."Sialan, sudah dandan serapi mungkin hanya diterima sebagai cleaning servise. Padahal wajahku cukup tampan, sangat disayangkan hanya jadi tukang bersih-bersih "Bagaimana, mau diterima apa tidak? Karena masih banyak pelamar lain di luar."Kalau t