Gaara yang mencuri dengar apa yang Vinson katakan hanya bisa terkekeh. “Dasar bajingan,” katanya sebelum mengambil kursi yang kosong tepat di dekat jendela barisan kedua belakang. “Nelsy,” panggil Gaara yang membuat gadis itu melirik. “Jangan sangkut pautkan masalahmu dengan si bajingan Vinson, kau tetap harus memberiku bantuan.”Vinson langsung mengacungkan jari tengahnya ke Gaara. “Nelsy tidak akan sudi berbagi denganmu, jawabannya itu milikku.”“Bangsat,” maki Gaara tetapi dia pribadi tidak terlalu menanggapi omongan Vinson dengan serius.Vinson sendiri sebenarnya terbilang pandai, tetapi karena sifatnya yang selalu menganggap remeh semua hal dan kebiasaan buruknya yang mendarah daging kepintarannya itu jadi hilang begitu saja dan Nelsy selalu menjadi malaikat yang membantu Vinson tetap berada di sepuluh besar seangkatan.Kalau Gaara sendiri bukan tipikal mahasiswa yang peduli soal nilai. Dia hanya datang ke kampus untuk setor muka dan memastikan agar uang sang ayah tetap mengalir
Esther mundur selangkah demi selangkah. Kedua tangan secara otomatis menutup mulutnya yang ternganga tidak percaya untuk menahan jeritan. Suara gadis itu melengking kencang dan histeris. Air mata kontan langsung mengalir di pipi dan kedua kaki mulai lemas dan dia langsung jatuh terduduk. Tidak ada siapa pun yang mendengarnya saat itu. Karena suasananya memang sunyi senyap dan hanya ada dia saja disitu.“Oh Tuhan …”Disana, di dalam lokernya terdapat bangkai ayam hitam dengan leher yang dipatahkan. Darah segar yang menetes dari bangkai ayam tersebut mengotori semua isi loker Esther, termasuk kantong berisi pakaian Gaara yang rencananya akan diserahkan malam ini.Tetapi tidak sampai disitu, dalam tubuh ayam hitam tersebut disandarkan sebuah boneka yang dibentuk sedemikian rupa dengan rambut berwarna perak panjang yang terbuat dari benang wold an sepasang mata yang terbuat dari manik-manik.Esther sudah lama tidak merasakan gelombang perasaan yang tidak terkontrol di dalam dirinya sepert
Begitu mendekat, Gaara menyadari bahwa pria yang berkerumun tersebut terdiri dari tiga orang, salah satunya mencekal kedua tangan Esther dari belakang, juga membekap mulutnya pula. Kedua kaki gadis itu berusaha keras memberikan perlawanan, tetapi dia kalah jumlah dan juga tenaga sehingga upayanya yang menendang-nendang mereka tidak begitu berarti. Sementara seorang lagi tampak bersenang-senang dengan pisau lipat kecil untuk kemudian dia gunakan menggores leher gadis itu dengan ujungnya. Mereka tertawa dan bersorak sambil melontarkan komentar mesum dan jorok terhadap tubuh Esther yang sedang mereka kerumuni.Gaara tidak membuang waktu dan langsung mencengkram bahu si bajingan yang merobek kemeja Esther dan menendang kepalanya sampai puas. Pria itu mengeluarkan sederet sumpah serapah menyadari aksi Gaara yang spektakuler.“Bangsat! Siapa kau ini?”“Lepaskan gadis itu, monyet!”Sekali lagi tanpa perlu banyak bicara, Gaara menghantam lagi lelaki itu dan juga menendangnya membuat orang itu
Esther masih menangis seperti anak kecil, wajahnya merah, pipinya basah, meski begitu dia berusaha keras untuk menjawab pertanyaan Gaara. “Ada seseorang yang menaruh bangkai ayam yang telah disembelih di dalam lokerku. Darahnya mengotori semua barang-barangku, dan …” Esther sempat menghela napasnya lantaran terlalu tergesa menjelaskan pada Gaara. “…ada boneka santet yang dibuat mirip denganku.”Bangkai ayam dan boneka santet?Gaara memberenggut ketika memahami situasi yang disampaikan oleh Esther. Dia sebenarnya tidak terlalu percaya hal-hal seperti itu. Namun karena di negeri ini kebanyakan orang masih cukup kental dengan hal-hal mistis, Gaara tidak bisa menyalahkan seberapa besar efek psikologisnya pada Esther.Dia sudah keterlaluan, pikir Gaara dongkol menyadari kelakukan temannya. Pantas saja perempuan ini sampai histeris dan ketakutan.Gaara kemudian dengan lembut menghapus air mata Esther dengan jemarinya, dan menepuk-nepuk bahu gadis itu sebagai bentuk support dan menenangkanny
Esther membuka mata dan mendapati sebuah pemandangan yang telah begitu familiar. Kegelapan yang meliputi kamar tersebut membuat dia hanya bisa menebak bahwa sekarang barangkali telah tengah malam. Dia juga bisa mendengar ada suara napas teratur yang berasal dari sebelahnya, tanpa melihat pun Esther sudah tahu dari siapa suara napas itu berasal. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa dia kerap terbangun di tempat tidur orang lain. Ah, bukan. Lebih tepatnya dia selalu terbangun di kamar Gaara.Esther kemudian bangkit untuk duduk, dan sekejap saja dia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum mendapati sosok Gaara yang terlelap di sampingnya. Lelaki itu hanya mengenakan jeans belel, dengan posisi tidur telungkup, kepalanya terkulai di atas bantal dengan mulut sedikit terbuka. Esther menemukan kedua matanya tertarik untuk menatap punggung telanjang lelaki disampingnya, tatapannya mulai menjelajahi setiap inchi otot punggung lelaki itu dengan seksama, hingga mencapai pingg
“Jadi kau lebih suka kalau aku jahat padamu?”“Bukan begitu!” sergah Esther cepat. “Hanya saja karena kau itu temannya si Vinson, dan kau juga tidak pernah ikut campur saat dia berbuat jahat padaku, jadi aku rasa tidak ada alasan bagimu untuk menolongku.”“Ya, aku memang temannya Vinson, tapi aku sudah memikirkan kata-katamu saat di kedai ice cream. Kurasa kau benar, dan itu sedikit menyadarkanku. Maksudku orang yang paling jahat justru adalah orang yang diam saja saat melihat oranglain disakiti. Lagipula saat ini aku mampu menolongmu, jadi kenapa aku harus diam saja ketika aku tahu sabab musababnya?”Esther tertegun mendengar pidato singkat dari Gaara. Butuh beberapa saat baginya hingga dapat mencerna seluruh perkataan lelaki itu. Dia sempat tidak percaya ketika mengetahui bahwa Gaara masih ingat apa yang dia katakan padanya, padahal kejadian itu sudah berlalu cukup lama. Namun secara perlahan, Esther tersenyum dan berbisik dengan suaranya yang paling halus.“Terima kasih, Gaara.”En
Keheningan yang tercipta terpecah, dan samar Esther bisa mendengar kekehan Gaara.“Jadi, kau lapar ya?”Itu memalukan! Sangat memalukan!Dari sekian banyak moment yang terjadi, mengapa harus sekarang dia mendeklarasikan rasa lapar?“M—maaf,” ujar Esther nyaris mencicit. Dia sungguh ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan sekarang juga. Dia tidak sanggup menatap Gaara yang sudah pasti menertawakan dia sekarang. Dalam hati dia mengumpat sendiri, lantaran perutnya tidak bisa diajak berkompromi dengan otaknya sebelum mengeluarkan bunyi sekeras itu dalam situasi canggung seperti ini.“Tidak apa, kau tidak usah malu. Lagipula kau kan memang belum makan apapun sejak kita tiba.” Gaara tiba-tiba saja bangkit dari posisinya. “Biar kusuruh seseorang untuk menyiapkan sesuatu.”“Jangan! Tidak usah!” Tangan Esther secara refleks bergerak untuk menahan lengan lelaki itu dan mencegah dia untuk turun dari ranjang guna merealisasikan niatan.“Kenapa?” pandangan bingung langsung tersorot ke arah muka
Akhirnya Esther terus melihat seisi album sampai habis. Begitu selesai, gadis itu menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Kecuali dihalaman pertama album tersebut, tidak ditemukan adanya foto ayahnya Gaara. Album itu hanya berisi foto pertumbuhan Gaara yang sedang sendirian atau saat bersama ibunya. Selain itu, ada satu keganjilan lain lagi. Tetapi karena Esther rasa itu bukan ranahnya untuk berkomentar, maka gadis itu menelan pertanyaan tersebut untuk dirinya sendiri.Gaara mengizinkan Esther melihat album selanjutnya. Album tersebut tidak berbeda jauh dengan yang pertama, berisi potret ibunya Gaara dengan berbagai pose dalam balutan beragam macam pakaian. Tiba di satu potret setengah badan berwarna hitam putih seukuran satu halaman penuh. Esther terpaku pada sosok yang ada di foto tersebut, tampa sadar dia menekuni wajahnya. Tulang pipi yang tinggi seperti milik Gaara, sepasang mata gelap yang besar, rambut coklat yang panjang, semua komponen itu sebenarnya ada pada diri semua peremp
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa