Esther kali itu sedang terjebak macet dalam perjalanannya menuju ke komplek hiburan raksasa di pusat kota. Sesuai dengan rencana yang telah dia rancang sebelumnya, Esther bermaksud untuk mempertemukan keluarganya dengan si kakak beradik yang dimasa lalu telah teraniaya. Esther ingin melihat ayahnya dan Elson (terutama) untuk berada dalam satu meja dan meminta maaf atas apa yang telah terjadi di masa lalu meski dosa mereka barangkali tidak cukup menebus segala yang telah terjadi. Meskipun Esther sudah kepalang membenci Vinson dalam waktu yang lama, tetapi setelah mengetahui kebenaran yang melatarbelakangi aksinya, Esther merasa bahwa dia tidak bisa diam saja melihat permusuhan diantara kedua keluarga.Melihat Esther yang punya hubungan cukup baik dengan Felix, ayahnya pun mempercayakan pada Esther untuk menghubungi pria tersebut. Karena itulah dia pagi tadi memberanikan diri mengirim pesan singkat kepada pria itu untuk bertemu bila dia punya waktu kosong.Untungnya pria itu tidak membu
Karena tidak ingin menarik perhatian orang-orang disekitar. Vinson sadar bahwa cara terbaik untuk menangani Esther yang sekarang adalah dengan melepaskannya sebelum nanti dia akan menangkapnya lagi jika situasi disekitar sudah jauh lebih kondusif.Ketika sampai diluar, Esther berhenti lalu menoleh kebelakang. Dia berjengit saat Vinson rupanya masih mengikuti. “Kenapa kau masih mengikutiku?” bentak Esther emosi.Vinson yang tidak suka dengan nada suara Esther yang meninggi lantas balas membentaknya pula. “Kenapa pula kau tiba-tiba lari?”Esther mengernyit, “Kau sendiri kenapa mengejarku?” tantangnya.Vinson menghembuskan napas kesal, dia mengacak rambutnya dengan sebelah tangan. “Coba kau berkaca pada dirimu sendiri dan lihat situasinya,” ujar lelaki itu sambil berkacak pinggang. “Kau datang sendiri kemari atas kemauanmu sendiri, mencari kakakku, dan ketika aku bertanya kenapa, kau bertingkah dan aneh tiba-tiba lari. Bagaimana aku bisa melepaskanmu begitu saja saat aku melihat kau memb
Ketika Esther telah mengelap air matanya, barulah kemudian Vinson angkat bicara. “Aku… sebenarnya tidak terlalu ingat.” Suara Vinson membuat Esther menoleh kepadanya. “Memori yang paling melekat padaku saat itu adalah kau terluka nyaris sekarat dan Elson bilang bahwa kau … sangat membenci aku.” Esther menatap wajah Vinson lekat-lekat dan hal itu membuat Vinson sedikit kurang nyaman. “Bisa tidak, jangan menatapku seperti itu?”Esther menganggukan kepala lalu mencoba untuk tidak terlalu bereaksi dengan ekspresinya sendiri.Vinson menghela napas. “Kurasa aku sudah terbiasa membenci kalian sejak itu. Semua tindakanku padamu seperti memang sudah seharusnya. Natural.”Esther mengerti maksud lelaki disampingnya. Memang benar bahwa ketika membenci seseorang begitu lama, sadar atau tidak sadar semua hal yang orang bersangkutan lakukan akan terlihat buruk dan ada kecenderungan untuk menyakitinya. Dan meski kalimat yang Vinson katakan barusan terdengar tidak berperasaan tetapi Esther bisa memaha
Bahkan kalau saat itu Nara masih duduk disebrang jalan, dia pasti masih bisa melihat ekspresi wajah Nelsy yang menunjukan perubahan seratus delapan puluh derajat. Tetapi gadis itu berusaha menutupinya dengan senyuman yang sayangnya Gaara sendiri sudah menyadari adanya kegelisahan diwajah gadis itu. Begitulah kerugian orang yang ekspresif, dia seperti buku yang mudah dibaca siapa saja.“Mereka saling membenci, kau juga tahu soal itu kan?” kata Nelsy sambil berpura-pura menyentuh bunga matahari yang kebetulan berada dalam jangkauannya.“Nelsy…,” sebut Gaara yang jelas menunjukan dengan jelas nada yang mengancam.“Apa? A—aku tidak tahu apa-apa Gaara. Harusnya kau tanya Vinson saja, dia kan sahabatmu.”“Aku sudah datang ke rumahnya tapi dia tidak ada disana. Kau adalah orang yang paling dekat dengan Vinson sejak kecil dan kau juga baru-baru ini dekat dengan Esther,” Nara memutar mata mendengarnya. “Itu sebabnya aku kemari.”“Aku tidak tahu apa-apa Gaara. Dengar, sekarang aku mau makan sia
Dia sangat cantik.Dia sangat cantik di bawah tetesan air hujan. Dia sangat cantik, saat berdiri di samping lokernya pada pagi hari seolah menunggunya dengan penuh pengharapan. Dia sangat cantik saat tertidur disampingnya. Dia sangat cantik ketika tersenyum malu-malu saat dansa pertama mereka. Dia sangat cantik, di bawah gemerlap lampu kota pada malam hari mereka berjalan bersama. Dia sangat cantik, saat muncul diantara ayahnya dan sepupunya ketika Gaara menjemputnya dibawah cahaya bulan malam itu. Dia sangat cantik, ketika bercerita pada Gaara soal daftar jajanan yang dia rekomendasikan pada Gaara begitu mereka tiba di festival nanti.“Aku belum pernah mendatangi festival apapun.” Adalah respon Gaara ketika Esther bertanya mengenai makanan apa yang paling menarik perhatiannya setelah gadis itu menjelaskan panjang lebar semuanya. “Lebih baik kau yang pilihkan saja untukku.”Kedua mata gadis itu langsung berbinar-binar, dan dia sangat cantik saat mengaitkan lengannya pada Gaara dan men
Dulu sekali Esther pernah diberi tahu sebuah teori oleh ibunya bahwa hidup manusia ini terdiri dari berbagai peristiwa yang terkesan acak. Namun sesungguhnya seiring waktu, justru peristiwa acak tersebut memiliki hubungan satu sama lain. Kemudian bila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, rangkaian peristiwa tersebut akan terlihat sangat logis.Aksi, reaksi, konsekuensi.Bila seseorang melakukan sesuatu, apapun yang telah diperbuatkan pasti akan menghasilkan sebuah reaksi. Namun tidak sampai disitu saja. Setelah ada reaksi, maka selanjutnya adalah konsekuensi. Ya, ibunya memang tipikal orang yang menyukai hal-hal filosifi.Setelah melewati festival bersama Gaara, Esther menemukan dirinya justru terus menerus mengulang teori yang pernah dijabarkan oleh sang ibu. Lucu sekali saat emosinya terkuras habis, Esther justru malah teringat sesuatu yang dikatakan ibunya.Esther, kau sudah memenangkan taruhanmu.Esther sama sekali tidak merasa bahwa dia baru saja memenangkan sesuatu. Dia s
Dua pasang mata langsung menatap Nelsy begitu gadis itu tiba dan memahami apa yang sebenarnya terjadi di rumah sang mantan kekasih. Vinson menatapnya dengan tidak percaya, sedangkan Esther yang masih sembab langsung membelalak karena shock atas pengakuan yang baru saja Nelsy ujarkan.“K—Kenapa?” tanya Esther dengan suara yang lebih rendah daripada bisikan.Melihat wajah Esther dan kondisi rumah Vinson, Nelsy tidak kuasa menahan air matanya sendiri. Jika saja saat itu bukan karena kondisi yang gawat, Vinson pasti sudah mengeluh karena terjebak bersama dua orang gadis yang menangis dihadapannya yang menambah ruwet pemikiran lelaki itu.“Sebenarnya Gaara mengetahui hal ini pertama kali dari Elise, dan … Gaara datang padaku untuk mendapatkan validasi atas info yang dia dapatkan.”“Elise?” tanya Esther dan Vinson bersamaan.Setelah bisa menguasai dirinya lagi, Nelsy kemudian menceritakan apa yang terjadi saat Gaara datang ke toko bunganya seminggu yang lalu. Setelah selesai, air mata gadis
Sejak ayah dan ibunya bercerai, satu-satunya waktu yang bisa mempertemukan Esther dengan ibunya adalah saat liburan. Sayangnya, sang ayah terkadang kerap mengambil alih waktu tersebut dengan rencana liburan berdua saja dengan sang ayah seolah dia tidak ingin Esther bertemu dengan ibunya. Terakhir kali Esther bertemu dengan sang ibu adalah saat liburan sebelum masuk universitas, tepat setelah ibunya memutuskan pindah ke London. Sejak saat itu pula hubungan Esther dan ibunya hanya berlangsung lewat telepon atau jika sangat rindu hanya melalui video call.Jadi, ketika tiba-tiba saja sang ibu berada dalam jangkauannya. Esther sangat senang bukan kepalang sampai sesaat dia lupa sedang memikirkan sebuah permasalahan yang sedang menghantui kepalanya. Sejujurnya berada dalam pelukan ibunya seperti ini membuat Esther merasa sangat aman, dan dia bisa merasa baik-baik saja.“Kapan… kenapa … bagaimana…” Saking banyaknya yang ingin Esther tanyakan dia bahkan tidak tahu mana dulu yang harus dia lon
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa