Saat jam kampus sudah habis, Tiana masih menunggu Legolas bersama dengan dua temannya. Mereka berdua duduk di depan sebuah halte dan nampak bercanda tawa bersama. "Tiana, bagi dong nomor telfon bodyguard-mu itu... Jangan pelit-pelit, katanya kita ini teman!" seru Anika merangkul Tiana. "Kalian ini! Kan Tiana sudah berkali-kali bilang kalau Legolas itu punya kekasih! Dia punya pacar yang jauh lebih dewasa dari kita!" balas Tiana pada mereka semua. "Huh, kebiasaan sekali Tiana. Nomor kembaranmu deh kalau begitu!" sahut Leana. "Hehh, kok malah melunjak sih! Kalau itu jelas tidak boleh!" seru Tiana memukuli lengan sahabatnya hingga tawa tercipta di antara mereka semua. Sampai akhirnya sebuah mobil berwarna putih milik Jannes datang. Leana dan Anika pun berpamitan untuk pulang lebih dulu pada Tiana. "Kita duluan ya, Tiana... Hati-hati!" pekik Jannes. Tiana mengangguk. "Iya, jangan khawatir." Mobil mereka pun berjalan pergi dan Tiana sendirian di sana. Cuaca memasuki akhir tahun jug
"Hahh, kenapa orang itu mengikutiku terus sih?! Siapa dia dan apa maunya?!" Tiana berlari di tengah hujan, dia mencari Legolas dan tidak berhasil menemukannya. "Legolas... Legolas di mana?!" Tiana berdiri di tengah jalanan yang sepi, di sebuah lorong gang. "Bu-bukannya tadi penjualnya ada di sekitar sini?! Kenapa sekarang tidak ada?!" Rasa bingung dan takut menyerang Tiana bersamaan, air hujan membasahi wajahnya, pandangannya buram karena kaca mata yang dia pakai kini basah. Tiana menoleh ke kanan dan ke kiri, dia melihat siluet seorang laki-laki yang sejak tadi mengikutinya. Begitu Tiana hendak berlari, dia tergelincir batu paving dan terjatuh. Hujan semakin deras tak terkira saat ini. Kaca mata bening itu jatuh, namun Tiana diam dan tidak berusaha mencarinya. Ia menundukkan kepalanya dan pikirannya seolah kosong. Hanya ada satu nama, Legolas, di mana dia kini?Suara langkah kaki mendekati Tiana. "Si-siapa..." Tiana mendongak, tapi pandangannya yang buruk membuat ia merasa perc
Angin berhembus dingin, Tiana takut untuk sekedar pergi ke kampusnya pagi ini. Bayangan bagaimana bila tiba-tiba saja Aldrich datang dan muncul di hadapannya, Tiana tidak siap untuk hal itu. "Nona Tiana," sapa Legolas mendekati Tiana yang melamun duduk di teras. "Ya?" jawab Tiana dengan ekspresi wajah bingung. "Nona Tiana tidak pergi bersiap untuk kuliah hari ini?" tanya laki-laki itu memperhatikan wajah pucat Tiana. "Kepalaku pusing, sepertinya karena aku kehujanan kemarin, Legolas," jawab Tiana tersenyum memamerkan gigi putihnya. Senyuman tipis terukir di bibir Legolas. Dia menarik satu kursi kayu dan langsung duduk di samping Tiana. Mereka berdua mengobrol hingga seorang pelayan muncul membawakan teko berisi teh. "Apa Nona masih memikirkan Aldrich?" tanya Legolas menebak dan ia pun sesungguhnya sudah tahu jawabannya. "Kenapa Nona mengabaikan dia kalau Nona masih mencintainya?" "Keluarganya tidak merestui, aku itu penyakitan," ujar Tiana menundukkan kepalanya. "Dia tidak pa
Dua Tahun Kemudian..."Tidak ada yang berubah, semuanya tetap sama." Tiana, gadis itu menatap sekitar dari jendela mobil. Dia kembali ke Inggris setelah dua setengah tahun tinggal di Prancis. Kini gadis itu menjadi sosok gadis yang sangat cantik berkaca mata, rambutnya panjang, tubuhnya kecil ramping, kulitnya putih, dia seperti boneka hidup. "Pak, tolong berhentikan saya di halte depan ya, Pak. Saya mau meminta jemput kembaran saya," ujar Tiana pada sang sopir taksi. "Baik Nona." Mobil taksi itu berhenti tepat di sebuah halte. Tiana pun langsung turun, dia membawa kopernya pink miliknya dan duduk di bawah pohon di musim semi pertama di Inggris. Angin pagi berhembus dengan sejuk dan segar menyapa Tiana. Gadis menatap anak-anak kecil pergi bersekolah. 'Rasanya seperti lama sekali aku tidak pulang. Padahal hanya beberapa tahun saja, kan? Kangen Mami, kangen Papi, kangen Kakak kembar...' Tiana mengeluarkan ponselnya, ia menghubungi Tino saat itu juga. "Halo, Kak Tino di mana?" t
"Cepat siap-siap, katanya ingin ikut menjemput Tiano!" Seruan keras itu terdengar dari Tino, dia yang kini menunggu Tiana di lantai satu. Dan akhirnya Tiana pun muncul tak lama kemudian. Gadis itu memakai dress floral berwarna kuning cerah, rambutnya diikat tinggi dan memakai kaca mata berbingkai emas. Dia, sangat cantik. "Sudah, ayo Mi, Pi," ajak Tiana pada orang tuanya. "Tiana satu mobil sama Tino ya," bujuk Sebastian. "Iya Pi." Gadis itu langsung menoleh pada Tino yang kini membuang muka. Sontak ia menarik lengan sang Kakak. "Sama adik tidak boleh begitu! Dosa!" seru Tiana. "Sok tahu banget bocah, pakai dosa-dosaan segala!" Tino menjitak kening Tiana. Gadis itu mendorong-dorong punggung Tino seketika. Memang tidak seru bagi mereka kalau tidak ribut. Mau tidak mau akhirnya Tiana satu mobil dengan Tino. Di dalam mobil itu, Tiana sesekali mengecek ponselnya. Dia banyak mengirimkan pesan pada Legolas kalau dirinya baik-baik saja. "Dia tidak bisa tenang sedikit atau bagaimana
Tiana gemetar memegang gagang pintu di balik tubuhnya saat sosok laki-laki itu berdiri menyapanya setelah dua setengah tahun mereka tidak bertemu. Seulas senyum terukir di bibir Aldrich, ia maju satu langkah dan membungkukkan badannya di hadapan Tiana. "Kau sama sekali tidak berubah, hem?" lirihnya. "Me-memangnya mau berubah jadi apa?!" pekik Alesha dengan wajah masam. "Aku suka dengan diriku yang sekarang, kau mengerti! Permisi!" Alesha melewati Aldrich begitu saja, tidak disangka-sangka kalau gadis itu akan memiliki nyali sekedar untuk mengabaikan seorang Aldrich Hubert. Meskipun kini Tiana merasakan dadanya bergemuruh dengan rasa tak karuan. Gadis itu kembali ke depan, ia langsung duduk di samping Maminya. "Kau tidak bertemu dengan Aldrich?" tanya Tiano menatap Tiana. "Tidak," jawab Tiana, dia berdusta dan menutupi semua rasa aneh yang bergelanyar di tubuhnya. "Syukurlah..." Tiana kembali fokus pada makanannya, sedangkan Papanya sibuk berbincang dengan Papa Aldrich, terny
"Jangan menangis, tidak sakit, Tiana..." Aldrich mengobati kaki dan tangan Tiana yang terluka. Hal itu membuat Aldrich juga merasakan cemas. Pasalnya Tiana menangis dan kesakitan. Luka lecet di pergelangan kakinya dibersihkan oleh Aldrich, memberikan obat yang ia bawa di mobilnya, karena selalu menyediakan. "Sakit tahu, Aldrich..." Tiana meringis dan memukuli lengan Aldrich. "Iya ini sudah pelan, Tiana. Tidak papa, jangan nangis." Laki-laki itu menatap wajah Tiana yang masam. Ingin sekali dia tertawa, namun Tiana pasti akan memakinya dengan kesal. Situasi ini membuat ia merasa senang bisa bersama Tiana, namun setengahnya lagi juga membuat Aldrich merasa sedih, gadis itu asing padanya. "Sudah," ucap Aldrich memasangkan plaster di kaki Tiana. "Tolong telefonkan Tino dan Tiano, suruh mereka menjemput Tiana di sini," pinta gadis cantik itu. "Biar aku yang mengantarkanmu pulang." "Aaaa... Tidak mau! Kalau begitu carikan taksi saja!" pekik Tiana cemberut. Dia tidak sadar dengan po
Pagi ini sesuai dengan janjinya kalau Tiano mendatangi sebuah tempat di mana ia membuat janji dengan Aldrich semalam. Di sebuah cafe, di sana Aldrich pun juga sudah menunggunya. Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu memperhatikan Tiano yang masuk ke dalam tempat itu. "Hai, bagaimana kabarmu?!" Aldrich bangkit dari duduknya dan ia langsung berjabat tangan dengan Tiano. "Baik, lama sekali kita tidak bertemu heh!" Tiano tersenyum seraya duduk di hadapan Aldrich. Mereka memesan sebuah kopi, dan mengobrolkan tentang karier masing-masing, sebelum Aldrich tak sabar ingin bertanya apa yang membuat Tiano mengajaknya bertemu. Seperti yang semua orang tahu, termasuk Tiano kalau Aldrich bukanlah orang yang mudah diajak basa-basi."Apa ada masalah dengan Tiana?" tanya Aldrich menatap Tiano lekat-lekat. "Ya, aku hanya ingin bertanya sedikit saja denganmu." "Apa?" Tiano bingung ingin bertanya dari mana pada rekan sekaligus orang yang pernah seperti saudara dengannya ini. "Apa kau sunggu
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut