"Kau tidak menyeriusi ucapan Oma, kan?" Aldrich berjalan mendekati Tiana yang kini tengah duduk di balkon kamar mereka. Suara Aldrich membuat Tiana menoleh ke belakang menatap suaminya. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya pelan. "Ya Sayang?" Aldrich duduk di sampingnya dan menggenggam satu tangan Tiana. "Jangan hamil dulu," ujar laki-laki itu langsung to the point. Kedua mata Tiana mengerjap seolah bertanya-tanya, mengapa? Mengapa tidak boleh?Tautan jemari Aldrich dibalas menjadi genggaman yang hangat oleh Tiana. Gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Aldrich dengan nyaman. "Kenapa jadi panik begini? Seorang anak itu lahir karena anugerah dari Tuhan, kalau diberi sekarang maka harus diterima, kalau belum diberi berarti belum mendapatkan anugerah tersebut. Iya kan?" Gadis itu menatap wajah Aldrich yang nampak ragu-ragu. "Ck! Pokoknya jangan dulu, Sayang!" seru laki-laki itu kesal. Tiana terkekeh geli dengan ekspresi kesal Aldrich pada istrinya ini. Perlahan Tiana mengulu
Aldrich memanggil dokter untuk memeriksa Tiana dan memastikan keadaan istrinya. Laki-laki itu khawatir dengan apa yang terjadi pada Istrinya saat ini. "Nyonya Tiana tidak papa, hanya kelelahan saja. Tolong untuk tidak mengabaikan kesehatannya ya, karena Nyonya juga butuh banyak waktu untuk beristirahat," ujar seorang dokter perempuan yang baru saja memeriksa Tiana. "Tapi sungguh tidak ada yang serius dengan istri saya, dok?" tanya Aldrich serius."Tidak ada Tuan. Hanya kekalahan biasa saja." Tiana memperhatikan suaminya yang begitu khawatir dengan keadaan Tiana saat ini. Sampai akhirnya dokter pun kini berpamitan, tinggal Aldrich dan Tiana saja yang ada di dalam kamar itu. Tiana mengulurkan tangannya meraih lengan Aldrich dan memintanya untuk duduk di sampingnya. Wanita cantik itu tersenyum sembari menggelengkan kepalanya mengisyaratkan kalau dia tidak papa. "Sayang, aku baik-baik saja kan! Tiana bilang juga apa, Tiana itu tidak papa," ujar Tiana tersenyum manis. Aldrich duduk
Malam ini Tiana tidur bersama Shela, gadis itu sejak tadi tidak enak diam. Meskipun tidak berbicara dan sudah mengatakan kalau dia mengantuk, namun Tiana masih terus menerus mengusap dan mengelus perutnya. Shela menatapi putrinya, sesungguhnya kedua mata Tiana sudah terpejam. "Sayang, Tiana kenapa?" tanya Shela beranjak duduk. "Kenapa nak, sakit perut?" "Tidak Mi... Tidak tahu kenapa maunya diusap terus," jawab Tiana berbaring miring. Shela menyibak selimutnya. "Mami buatkan teh dulu ya, mungkin Tiana masuk angin." Tiana menganggukkan kepalanya, gadis itu ikut dengan Shela bangun dan berjalan bersama turun ke lantai dasar. Di sana, ada Tiano yang hari ini pulang untuk menamani Mami dan adiknya. Tiano pun sedang duduk di pantry dapur dengan laptop di hadapannya. "Loh, belum tidur?" Tiano menoleh pada Tiana yang kini duduk di sampingnya dengan wajah lesu. "Sepertinya adikmu masuk angin," jawab Shela membuatkan teh hangat untuk Tiana. "Ck! Ada-ada saja sih, Tiana..." Tiano menyi
"Wahh, kau benar-benar bisa membuat Sushi! Hebat...! Padahal aku selalu gagal saat menggulung nasinya." Tiana tersenyum lebar duduk di kursi kayu di hadapan Sora. Gadis bermata sipit itu mengangguk dan menuangkan saos di mangkuk kecil. "Ayo Tiana, dihabiskan. Kalau kurang aku buatkan lagi," ujar Sora tersenyum senang. "Terima kasih, Sora..." Dengan senang hati Tiana memakannya, dan Sora sama sekali tidak memakan Sushi itu. Dia tidak suka olahan ikan mentah, makan seafood, Sora tidak terlalu menyukainya, hanya saja karena ada Tiano, dia menyediakan untuk laki-laki galak itu. "Kau tidak mau?" Tiana menyodorkan di hadapan gadis itu. "Emm... Aku tidak suka seafood," jawab Sora menggelengkan kepalanya. "Jadi sebanyak ini kau buatkan khusus untukku?""Tentu saja. Ini kan pertama kalinya kau ke sini, aku juga tidak pernah ke manapun apalagi punya teman, jadi aku sangat senang dengan kedatanganmu hari ini." Sora begitu tulus pada Tiana. Tiana menatapnya dalam-dalam, ia tahu pancaran m
Satu Minggu Kemudian..."Aldrich pulang sekarang? Mau Tiana masakin apa?" Suara Tiana tengah mengobrol dengan Aldrich di telfon membuat Shela tersenyum. Putrinya itu sangat perhatian dan manja mendengar kabar kepulangan suaminya. "Emmm, masa Aldrich pulang jauh-jauh dari luar kota tidak minta dimasakin apa-apa sama Tiana sih?" Tiana duduk merengut. "Ah ya sudah, sampai bertemu nanti... Bye Sayang!" Panggilan itu terputus, Tiana mengembuskan napasnya panjang dan tersenyum manis menatap layar ponselnya. Sebentar lagi suaminya akan pulang dan Tiana sudah sangat merindukannya satu minggu ini. "Mereka sudah sampai mana, Sayang?" tanya Shela dari arah dapur. "Masih mau berangkat pulang Mi," jawab Tiana seraya menatapi layar ponselnya. "Ohhh, Mami kira mereka sudah berangkat..." Tiana menoleh ke belakang menatapi Maminya. Gadis itu melangkah mendekat ke arah dapur dan duduk di samping meja marmer panjang. Sesekali Shela menoleh memperhatikan putrinya yang kini melihat apa yang Tiana
Pukul sebelas malam Tiana terbangun dari tidurnya, ia merasakan kecupan-kecupan kecil di wajahnya dan pelukan erat yang melilit di pinggangnya yang ramping. "Emmm, Aldrich kenapa?" Tiana mendorong pipi suaminya dan ia hendak beranjak bangun. "Tidak papa Sayang. Aku lapar," bisik Aldrich menyibak selimutnya. "Mau Tiana masakin apa?" tanya Tiana sembari duduk di tepi ranjang mengucek kedua matanya. Aldrich tidak menjawab, laki-laki itu berdiri di hadapan Tiana dan mengulurkan tangannya memberi usapan gemas. "Tidak usah repot-repot, biar aku masak sendiri saja. Tidur lagi kalau ngantuk," jawab Aldrich. "Tiana ikut..." "Ya sudah ayo. Pakai dulu kaca matanya, Tiana... Nanti kalau jatuh bagaimana?" Dengan sangat perhatian, Aldrich meraih kaca mata bening di atas meja. Ia memakaikan pada Tiana hingga mata gadis itu kembali terbuka lebar. Wajah cantik, manja, menggemaskan. Aldrich mengecup bibir Tiana dengan lembut, sontak hal itu membuat Tiana berjinjit merengkuh punggung kekar sang
"Bi, mulai sekarang jangan sampai Tiana membantu-bantu apapun ya. Kalau dia melakukan pekerjaan, ambil saja langsung. Dia butuh istirahat total!" Aldrich menasihati pembantunya, wanita dengan setengah baya itu menganggukkan kepalanya patuh. "Baik Tuan, saya setiap hari sebenarnya juga melarang Nyonya. Tapi Nyonya Tiana sendiri yang tidak bisa saya larang." Hal semacam itu sudah Aldrich duga. Istrinya memang sangat keras kepala. Apapun yang dia inginkan tidak akan bisa dibantah begitu saja. Aldrich tidak lagi kaget dengan sosok Tiana Morgan yang sangat dia cintai."Sayang... Sayang kau di mana?" Suara gadis itu membuat Aldrich menoleh ke lantai dua, Tiana berjalan keluar dari dalam kamar dengan wajah bantalnya. Dia baru saja bangun tidur, masih mengantuk dan lesu. "Hei, aku di sini!" Aldrich melambaikan tangannya. Sontak Tiana tersenyum lebar, gadis itu berjalan menuruni anak tangga dengan cepat dan berjalan mengulurkan kedua tangannya memeluk tubuh Aldrich."Kenapa sudah bangun
Aldrich mengantarkan Marsha pulang ke sebuah apartemen. Namun dia hanya berhenti di tepi jalan saja, laki-laki itu awalnya juga malas namun itu semua juga perintah Papanya. Marsha melepaskan sabuk pengamannya dan menoleh pada Aldrich. "Al, kau tidak ingin mampir ke apartemenku?" tawar Marsha menatap Aldrich dalam-dalam. "Tidak terima kasih." "Aku akan membuatkan teh atau kopi dan camilan untukmu Al, ayo..." Marsha bersikeras membujuk Aldrich. Hal ini membuat laki-laki itu merasa risih dan kesal. Wanita itu tidak tahu kalau Aldrich bukanlah wanita yang mudah sekali untuk digoda. "Istriku sedang menungguku, cepat keluar dari dalam mobilku sekarang!" perintah Aldrich menoleh dan memberikan tatapan dingin pada wanita itu.Marsha mendengkus pasrah. "Ya sudah, terima kasih ya, Al..." Aldrich tidak menjawabnya. Ia pun langsung beranjak pergi dari depan gedung apartemen saat itu juga. Sepanjang perjalanan, ia hanya bisa mengumpat kesal dan marah. Aldrich tahu betul pasti Papanya yan
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut