Matahari baru saja terbit, sinarnya merembes ke salah satu gedung apartemen di bagian selatan kota Jakarta. Dari kamar Eva Sania, sudah terdengar riuh suara hair dryer yang menyala. Sepagi itu, Eva sudah bersiap dengan napas segar dan rambut basah yang siap di-blow dan styling.
“Gila, gila! Udah ngalah-ngalahin pengantin rempong di hari-H nya aja lu, Va!” Gerutuan itu terdengar dari arah dapur, menembus pintu kamar yang terbuka. Sahabat Eva, Ika, sedang berkutat di sana.
Eva hanya bisa tersenyum maklum sambil mulai mengambil roller, menempatkan rambut depannya sehingga memberinya ruang berkonsentrasi pada bagian belakang.
“Makasih loh, Ka … you’re a lifesaver!” ucap Eva tulus kepada Ika, yang kini terburu-buru memasuki kamarnya sambil menyajikan piring nasi goreng sosis-telur.
Hari itu Nisa semangat sekali. Masbos kesayangannya, Bastian, baru saja menitahkan sebuah permintaan yang membuat asisten muda itu kegirangan sepanjang pagi. Tian mengajak Nisa berbelanja untuk memilih hadiah ulang tahun Eva. Hal yang membuat Nisa senang adalah bukan karena dia bisa keluar kantor lebih cepat dan berjalan-jalan di mall bersama Tian. Bukan, sama sekali bukan. Melainkan, adalah karena Nisa berkesempatan untuk menggali lebih dalam fakta tentang kelanjutan hubungan Tian dan Eva. Terlihat Jelas bahwa sejauh ini asisten muda itu sangat mendukung ketertarikan bosnya terhadap perempuan itu, terbukti pada saat photoshoot kemarin, Nisa sengaja meminta Wira untuk mengambil beberapa foto candid selama makan siang mereka. Niatan Nisa tentu saja untuk mengamankan barang bukti kalau sewaktu-wak
Selama 28 tahun hidup di dunia, Eva tidak pernah merasa sedongkol ini. Sepertinya setiap manusia yang ada di sekitarnya telah menyumbang bahan bakar tersendiri untuk membuatnya kesal hati. Ika, sahabat yang seharusnya mendukung Eva apapun keadaannya, kini malah bersikap netral tanpa berani menegur keluarga Eva. Mami dan Papi yang bersekongkol memanfaatkan hari ulang tahun Eva sebagai ajang memperkenalkan lelaki asing itu, tentu saja sukses membuat mood Eva menjadi anjlok. Dan lelaki ini, Raka … ah, kalau saja dia tidak cengengesan dan tersenyum sopan bagaikan anak anjing yang super manut terhadap Papi, mungkin Eva bisa lebih marah terhadapnya. Tapi yang jelas, Eva juga marah sekali terhadap satu laki-laki yang dinantikannya sejak tadi pagi, yang mem-PHP-nya dengan ja
Eva ingin tertawa. Rasanya dunia ini lucu sekali. Waktu itu, Eva sempat memenyokkan si Juki karena telepon mematikan dari Mami, yang membuatnya kini jadi kelimpungan sendiri—mencoba mendapatkan perhatian Bastian Cokro, lelaki yang secara tak sadar telah ia jadikan target sebagai kandidat baby daddy. “Eva? Kamu melamun?” Suara Bastian Cokro berhasil membawa Eva kembali ke realita. Diliriknya lelaki di sisi kanannya itu, yang ternyata sedang memandangi Eva dari balik roda kemudi. Mobil mereka berjalan dengan kecepatan lambat menyusuri jalan perumahan. “Eh, iya … sori, Mas,” ucap Eva. Bastian tersenyum. “Nggak papa. Tadi saya nanyain, arah ke rumah kamu belokan yang mana, tapi kamu malah bengong.” Tepat saat itu Eva menyada
Bastian Cokro melajukan Range Rover abu di jalan bebas hambatan dari arah Bogor ke Jakarta. Hari semakin malam, dan lalu lintas di jalur yang ditempuhnya lengang karena memang berlawanan dari arus balik tengah kota. Hari yang dilewatinya di rumah keluarga Eva sangatlah menyenangkan, membuat senyum Tian terpoles tak kunjung hilang sembari menyetir dan menikmati alunan lagu dari pemutar musik di dasbor. Lagu cinta memang akan terdengar lebih merdu bagi mereka yang kebetulan juga sedang jatuh cinta. Mood Tian yang begitu baik seakan hampir membuatnya lupa akan kejadian yang baru saja dilaluinya siang tadi. Kejadian yang membuat sisi Range Rover-nya penyok parah. Kejadian yang tak sepenuhnya ia ceritakan dengan tuntas kepada Eva. Beberapa jam sebelumnya … “Mas beneran ya
Sehari setelah ulang tahun Eva, kini perempuan itu duduk termangu di balkon apartemennya. Dia tidak mengenakan alas kaki, memandangi langit senja yang mulai menjingga, sambil menggumamkan nada lagu yang tersalur di earphone telinganya. Suara Cody Fry dalam I Hear A Symphony-nya mengalun merdu, membawa ingatan Eva ke salah satu museum tempat dia berswafoto dengan Tian, lelaki yang mengenalkannya pada lagu ini. Eva juga mulai sadar kalau dia tersenyum sendiri, tanpa ada angin dan hujan, sekadar hanya karena mengingat senyuman Tian; lesung tunggal itu sukses membuat Eva dan keluarganya luluh di acara ulang tahun kemarin. Menyadari dirinya sudah merasakan sensasi yang sudah lama sekali tak muncul ke permukaan, Eva membatin pada dirinya sendiri. Celaka, jangan-jangan aku beneran suka?
Kantor Pandora padat seperti biasa. Di balik meja CEO, Bastian sibuk mengetik e-mail balasan dan menandatangani beberapa dokumen secara bergantian. Jika belum masuk jam makan siang, maka lelaki gila kerja ini tak akan istirahat atau bahkan keluar ruangan. Tidak seperti pegawai lain yang merokok, Tian tidak membutuhkan waktu break dengan mengisap nikotin batangan. Tian begitu berkonsentrasi sehingga tidak mendengar ketukan di pintu. Sekali. Dua kali. Tiga kali ketukan yang kali ini lebih kencang, akhirnya Tian mengangkat wajah. “Ya, Nisa? Ada apa?” ucap Tian saat mendapati asistennya berdiri di ambang pintu. “Ini, Mas … tanda tangan lagi.” Nisa menyodorkan beberapa lembar dokumen lain. “Apa ini?” tanya Tian sambil membaca
Ika sedang dilema parah. Wanita dengan potongan rambut pendek sedagu ini baru saja mendapatkan banyak informasi tentang jabang jodoh sahabatnya. Tapi, bukannya merasa tercerahkan, Ika seketika terjebak dalam buah simalakama.Haruskah ia memberitahu Eva yang sebenarnya? Atau, haruskah ia tetap mendukung gerilya pendekatan Bastian yang jelas-jelas menaruh hati pada Eva, namun tidak bisa memenuhi goal akhir perempuan itu; menjadi ayah dari bayi yang diinginkannya?[Kak Ika, please jangan terlalu dianggap serius itu perkataan terakhir dari Kirana, dia memang biangnya ghibah, ratu gosip kantor. Aku mohon banget Kakak keep nama baik Mas Tian, ya? Jangan dibocorkan ke media masalah yang terlalu pribadi itu, tolong .…]Pesan digital dari Aura yang masuk ke ponsel Ika membuat wanita
Eva Sania berangkat kerja dengan pikiran yang tak fokus. Berkali-kali ingatannya terseret pada rangkaian kalimat yang dilontarkan Ika, sang sahabat, kemarin saat Eva mengepak barang sebelum keberangkatannya malam nanti. “I’m telling you, Bastian itu mandul, Va .…” Ika mengulang kalimat yang sukar dipercaya itu. Ika juga melanjutkan, “ini nggak sesuai sama misi lu buat punya anak, Va. Kalau lu beneran butuh ayah jabang bayi, kemungkinan besar Tian bukan orangnya.” TING! Elevator terbuka. Eva kembali ke masa kini, di lobi kantornya, terburu-buru memasuki lift untuk naik ke studio broadcast. ‘Tega bener kamu ngasih tau aku kabar begitu, Ka …,’ pikir Eva sambil melamun di dalam lift. ‘Aku harus gimana sekarang?’ lanjutnya da